KEDUDUKAN ALAT BUKTI FORENSIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN
TINDAK PIDANA ABORSI Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam sesuatu kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang dalam pergaulannya, serta hak dan kewajibannya. Forensik adalah penerapan berbagai ilmu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting bagi sistem hukum yang mungkin terkait dengan perilaku kriminal. Selain itu Wijaya mengatakan bahwa Forensik adalah ilmu yang digunakan untuk tujuan hukum memiliki bukti ilmiah yang adil dan dapat digunakan di pengadilan, investigasi kriminal dan persidangan. Pembuktian adalah cara untuk meyakinkan hakim bahwa dia bisa menemukan kebenaran sejati atau yang sebenarnya dalam putusannya, bila hasil bukti ternyata tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut, namun sebaliknya jika terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan kesalahan nya bisa dibuktikan maka terdakwa harus diberi sanksi. Alat Bukti adalah alat yang berhubungan dengan tindak pidana, yang mana alat tersebut digunakan sebagai bahan pembuktian untuk meyakinkan hakim atas kebenaran tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Aborsi atau Abortus Provokatus Kriminalis adalah Tindakan yang dilakukan untuk menghentikan kehamilan atau mengeluarkan Janin dari rahim sebelum waktunya. Ratdew (Slide 4) A. Peranan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Pembuktian Perkara Pidana Aborsi Aborsi sebagai tindak pidana yang menghilangkan atau menggugurkan nyawa (janin) dalam kandungan memiliki unsur-unsur sebagaimana terdapat dalam Pasal 346 KUHP yaitu: 1. Unsur seorang wanita; yang dimaksud dengan unsur seorang wanita yaitu orang atau subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan atau tindakannya, maksudnya tidak memiliki alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang subyeknya adalah seorang wanita yang tenah mengandung; 2. Unsur dengan sengaja; maksud unsur ini adalah wanita yang sedang mengandung mengetahui serta menghendaki dan ditujukan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan sadar yang bertujuan untuk menggugurkan kandungannya; 3. Menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu; dalam hal ini, si ibu dari janin yang dikandungnya meneggugurkan kandungannya sendiri atau menyuruh orang lain untuk menggugurkan kandungannya dengan maksud agar kandungannya digugurkan. Dalam tindak pidana aborsi, ilmu kedokteran forensik memiliki peranan untuk membuat visum et repertum dan dokter ahli forensik sebagai saksi ahli. Pertama, visum et repertum dibuat oleh dokter ahli, yang dalam tindak pidana aborsi dibuat oleh dokter ahli kandungan. Visum et repertum dibuat oleh dokter dalam kasus-kasus tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh manusia, khususnya kasus-kasus kematian seseorang yang memerlukan pembedahan terhadap mayat-mayat yang ditemukan dan diduga telah terjadi kejahatan tindak pidana terhadap mayat tersebut. Dalam hal ini, visum etrepertum digunakan sebagai alat bukti surat. Kedua, dokter ahli forensik sebagai saksi ahli yang berkedudukan sebagai pembuat visum et repertum. Dokter ahli diberikan tugas sepenuhnya untuk membuat visum et repertum sebagai pembantu hakim untuk menemukan kebenaran materiil dalam memutuskan perkara pidana. dalam hal ini, dokter diikutsertakan untuk turut memberikan pendapatnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dalam pemerksaan perkara pidana. Diperlukannya pendapat dokter ahli forensik disebakabkan hakim sebagai pemutus perkara tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang memiliki hubungan dengan anatomi tubuh manusia. Oleh karenanya, peranan dokter sebagai ahli forensik sangat diperlukan untuk memastikan sebab, cara serta waktu kematian yang diduga terjadi karena pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, maupun kematian yang dianggap mencurigakan. Dalam hal ini, korban yang tidak dikenal identitasnya diperlukan pemeriksaan agar identitasnya diketahui, begitu pula yang terjadi pada korban penganiayaan, pengguguran kandungan, peracunan serta peristiwa lain yang dibutuhkan pemeriksaan oleh dokter ahli forensik untuk menjelaskan peristiwa tersebut secara medis. Meiline (Slide 5-6) Dalam keterkaitan dengan aborsi, terdapat 2 (dua) macam aborsi, yaitu aborsi normal dan aborsi induksi. Aborsi normal merupakan keadaan dimana gugurnya janin disebabkan proses alamiah yang diakibatkan oleh cacat kromosom maupun kecelakaan. Sedangkan untuk aborsi induksi dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu pertama induksi Medicianalis adalah aborsi yang dilakukan sebab alasan medis, kedua induksi Kriminalis yaitu aborsi yang dilakukan di luar tindakan medis. Dalam hal ini, aborsi yang dapat dikecualikan terhadap larangan aborsi atau pengguguran kandungan sebagaimana terdapat dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahum 2009 tentang Kesehatan adalah sebagai berikut: 1. Indikasi dalam kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia keamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan , maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau 2. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkoaan. Dalam hal yang dimaksud dalam tindakan aborsi di atas, hanya dapat dilaksanakan apabila telah melakukan konseling dan/atau penasehatan oleh konselor yang kompeten dan berwenang sebelum tindakan dilakukan dan diakhiri setelah tindakan aborsi dilakukan (Pasal 75 ayat (3) Undang-undang Nomor 36 Tahum 2009 tentang Kesehatan). Jadi, segala tindakan aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti yang telah disebutkan sebelumnya merupakan aborsi ilegal dan pelakunya dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 194 Undang-undang Nomor 36 Tahum 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan, “setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dla Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupilah).” Kemudian, dalam tindak pidana aborsi untuk membuktikan dilakukannya aborsi ilegal, maka visum et repertum sebagai alat bukti surat diperlukan apabila tidak terdapat bukti lain, karena dalam hal pembuktian diperlukan minimal 2 alat bukti. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa kedudukan visum et repertum merupakan alat bukti yang sah seperti yang terdapat dalam dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP. Sebagai alat bukti yang sah visum et repertum memiliki kekuatan yang sama dengan alat bukti lainnya, yang apabila terdapat dalam berkas perkara, maka visum et repertum juga harus disebutkan serta digunakan sebagai bahan pertimbangan majelis hakim. Tina (Slide 7-8) B. Kendala yang Dihadapi dalam Melakukan Pembuktian Forensik pada Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Aborsi Salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia, sebagaimana yang telah kita ketahui yaitu masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum serta judicial corruption yang sudah mendarah daging, yang mana sampai saat ini masih sulit sekali diberantas. Adanya bentuk behavior yang buruk dari aparat penegak hukum, jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para birokrasi peradilan yang seharusnya menegakkan hukum secara baik, malah terlibat ke dalam praktek korupsi, sehingga sulit untuk menciptakan good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga- lembaga hukum bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum dalam suatu sudut tertentu. Ada berbagai pendapat-pendapat masyarakat mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi kepatuhan terhadap hukum. Bahwa dalam hal ini pasti ada kaitannya dengan faktor-faktor, yaitu undang-undang, penegak hukum, serta sarana dan fasilitas. Tidak setiap kegiatan yang bertujuan supaya masyarakat menaati hukum, untuk menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada beberapa kemungkinan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut malah akan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya. Contohnya, kalau ketaatan terhadap hukum dilakukan dengan hanya mengesampingkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman apabila hukum dilanggar, maka mungkin masyarakat malah hanya akan taat pada saat ada petugas saja. Hal ini bukan berarti bahwa cara demikian (coersive), selalu menghasilkan ketaatan yang semu. Yang artinya adalah, bahwa apabila cara demikian (coersive) selalu ditempuh, maka hukum dan penegak hukum dianggap sebagai sesuatu hal yang menakutkan. Upaya-upaya lain yang dapat diterapkan, misalnya, upaya yang lunak (persuasion) yang bertujuan agar masyarakat secara mantap mengetahui dan memahami hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Dapat juga diterapkan upaya mengadakan penerangan dan penyuluhan yang dilakukan berulang kali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan tertentu terhadap hukum (pervasion). Upaya lainnya yang dapat menyudutkan warga masyarakat adalah compulsion. Pada upaya ini dengan sengaja diciptakan situasi tertentu, sehingga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menaati hukum. Memang, dengan mempergunakan upaya ini, tercipta suatu situasi dimana masyarakat agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pembuktian forensik dalam tindak pidana aborsi memerlukan peran Visum et Repertum sebagai alat bukti pada pembuktian abortus provokatus kriminalis yang mana Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah di pengadilan yang merupakan surat keterangan yang berisikan fakta dan pendapat dari dokter forensik atau dokter lainnya. Kendala yang dihadapi dalam pembuktian forensik tindak pidana aborsi adalah apabila timbul keberatan dari pihak keluarga, sehingga perlu dijelaskan kembali tentang maksud dan tujuan diadakannya bedah mayat kepada pihak keluarga. Menolak otopsi mempunyai beberapa konsekuensi yang dapat dikenakan Pasal 222 KUHP, Pasal 135 KUHAP dan tidak mendapatkan Surat Keterangan Form-A dengan segala konsekuensinya (tidak dapat dikubur, asuransi, warisan dan perdata lainnya). Thania(Slide 9-11) Berikut contoh kasus tindak pidana aborsi : Pada Hari Selasa tanggal 19 Agustus 2014 sekira pukul 09.00 WIB ditemukan bayi laki-laki di selokan jalan dusun ikut Dusun Jakatawa, Kec. Bantarsari Kab. Cilacap dalam keadaan meninggal dunia; Hasil pemeriksaan secara medis terhadap bayi tersebut adalah : a. Janin tersebut adalah janin manusia; b. Panjang janin manusia tersebut 16,5 Cm; c. Berat janin manusia tersebut 150 gram; d. Jenis kelamin janin manusia tersebut adalah jenis kelamin laki-laki; e. Bentuk tubuh sudah dalam keadaan komplit tetapi mata belum terbuka, dan rambut; f. Diduga janin manusia tersebut sudah meninggal kurang lebih 5 (lima) hari atau sejak masih didalam kandungan janin tersebut sudah meninggal; Berdasarkan keterangan ahli, bahwa hasil visum yang dipaparkan telah sesuai dengan isi Pasal 133 KUHAP, yakni ; 1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. 2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Berdasarkan hasil visum yang dibuat oleh donter forensik terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan alat bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya, sehingga unsur dari Pasal 133 jo Pasal 187 (c) KUHAP telah terpenuhi, juga telah memenuhi syarat formal dan syarat materiil sebagai alat bukti autentik yang sah secara normatif limitatif sehingga terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana aborsi sesuai Pasal 194 Undang- undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa.