Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 2

NAMA : NUR KHIKMAH


NIM : 044333882
MATKUL : HUKUM PIDANA

PERTANYAAN
1. Miya dan Clint adalah sepasang kekasih yang telah dewasa, mereka berdua
berkewarganegaraan negara X. Karena mabuk asmara Clint dan Miya melakukan
tamasya ke Indonesia, keduanya sering melakukan hubungan layaknya suami istri
sampai Miya pun akhirnya hamil di luar nikah. Karena Clint tidak mau bertanggung
jawab atas kehamilan Miya, maka Miya berniat untuk menggugurkan kandungannya
saat berada di Indonesia, di negara asalnya yaitu negara X perbuatan aborsi adalah hal
yang legal dan bukan merupakan tindak pidana. Apakah Miya dapat dipidana
berdasarkan hukum di Indonesia karena aborsi? Jelaskan pandangan Saudara
berdasarkan argumentasi hukum!
2. Pandangan sifat melawan hukum dalam hukum pidana dikenal dengan istilah dalam
bahasa Belanda nya yaitu “wederechtelijk”. Dalam suatu tindak pidana, unsur
melawan hukum dianggap sangat penting karena unsur inilah yang akan menentukan
apakah seseorang dapat dijatuhkan pidana atau tidak. Dalam hukum pidana dikenal
istilah sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum material.
a.       Buatlah perbandingan tentang dua istilah tersebut, kemudian buatlah
kesimpulan dari perbandingan yang telah saudara buat!
b.      Berikan masing-masing contoh dari melawan hukum formil dan sifat melawan
hukum material tersebut !
  3. Jelaskan perkembangan  asas legalitas dalam hukum pidana dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, berikan contoh kasus dan berikan pula analisis atas kasus
tersebut! 
  4. Pengenaan pidana betapapun ringannya pada hakekatnya merupakan pencabutan
hak-hak dasar manusia. Oleh karena itu penggunaan pidana sebagai sarana politik
kriminal harus dilandasi oleh alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
filosofis, yuridis dan sosiologis. Dalam hukum pidana, dikenal ada tiga teori
pemidanaan yang dijadikan sebagai alasan pembenar penjatuhan pidana.
Buatlah kesimpulan saudara dari ke tiga teori pemidanaan tersebut dengan
mengemukakan kelebihan dan kelemahannya masing-masing!
Sebutkan tokoh dari masing-masing teori tersebut!

JAWABAN:

1. Secara umum kegiatan aborsi yang dilakukan di Indonesia merupakan tindakan


illegal.  Namun mengenai aturan aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan). Dimana dalam
Undang-Undang tersebut dijelaskan mengenai hal-hal yang dilarang dan
diperbolehkan dalam melakukan aborsi.

Pada pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk
melakukan aborsi. Setelah itu dalam pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan bahwa adanya
larangan terhadap tindakan aborsi dapat dikecualikan dengan berdasarkan pada:
1. Terdapatnya indikasi darurat medis yang telah dideteksi pada usia dini sebuah
kehamilan;
2. Mengancam nyawa dari ibu dan juga janin;
3. Terdapat penyakit genetik/cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga dapat menyulitkan kehidupan bayi ketika hidup di luar kandungan;
4. Adanya kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.

Jika mereka tidak punya alasan sesuai ketentuan di atas maka miya dan clint dapat di
hukum menurut hukum pidana yang berlaku di indonesia.dan jika dokter atau
seseorang yang membantu mengaborsi miya akan di hukum sesuai pasal yang
berlaku.

Dikutip kompas.com, salah satu negara yang telah memberi izin atau legal dalam
praktik aborsi adalah Argentina. Meskipun begitu lahirnya UU dan ditandatangani
oleh presiden Argentina sebagai sahnya aborsi legal yang tetap memiliki kriteria
tertentu. Tujuan kriteria yang ditetapkan ini untuk menjalankan praktik aborsi yang
aman dan tidak memiliki resiko tinggi. Dalam hal itu sama dengan tetap
memperhatikan bahwa kehamilan seorang wanita berumur 14 minggu dan dalam
kasus pemerkosaan. Selain itu jika dalam kesehatan ibu hamil tersebut terancam. 

Selain Argentina, terdapat negara-negara lain yang memberikan akses legal dalam
melakukan aborsi adalah Singapura, Perancis, dan Amerika.

2. a) Indonesia merupakan negara yang majemuk. Setiap daerah memiliki kebudayaan


yang berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan suatu hukum yang berfungsi untuk
mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya hukum, diharapkan
akan tercipta keadilan, persatuan, kedamaian, dan ketertiban dalam suatu
masyarakat. Hukum merupakan suatu peraturan yang berisi norma dan sanksi yang
dibuat oleh pemerintah (lembaga) yang berwenang yang bertujuan untuk mengatur
tingkah laku manusia agar tercipta keadilan, keamanan, dan ketertiban. Perbedaan
sifat melawan hukum formil dan materiil yaitu jika melawan hukum formil berarti
suatu tindakan yang bertentangan dengan sumber (kaidah) hukum sedangkan
melawan hukum materiil berarti suatu tindakan yang bertentangan dengan isi dari
suatu hukum. Sifat melawan hukum dapat dikecualikan jika orang tersebut gila,
tidak sengaja, sudah meninggal, dan masih di bawah umur.

Jika dilihat dari sumbernya pun berbeda. Sumber hukum formil itu adalah sumber
hukum yang menentukan bentuk dan sebab terjadinya suatu peraturan dan kaidah
hukum sedangkan sumber hukum materil adalah sumber hukum yang menentukan isi
suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengikat setiap orang.

Kesimpulannya

Dapat kita simpulkan bahwa menurut sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan
tersebut yang telah memenuhi rumusan undang - undang tidak secara serta merta
merupakan perbuatan pidana, dikarenakan adanya hal - hal yang telah ditentutkan
oleh undang - undang sebagai alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat
melawan perbuatan hukum tersebut.
Tidak dapat dikatakan bahwa seorang yang melakukan perbuatan yang diancam
pidana itu mesti di pidana, apabila undang - undang sendiri tidak dengan tegas - tegas
menyebut adanya alasan - alasan penghapus pidana. Karena dalam hal ini sifat
melawan hukumnya perbuatan tidak ada,sehingga oleh karena pasal yang
bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara tegas memenuhi unsur
delik."

b) contoh melawan hukum formil

Polisi menahan seseorang yang diduga telah melaksanakan suatu perbuatan pidana.
Perbuatan polisi ini sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Pasal 333 KUHP.
Tetapi karena perbuatan itu tidak dapat dikatakan bersifat melawan hukum karena
polisi menjalankan kewajibannya berdasarkan Undang - Undang hukum acara pidana.
Dan oleh sebab itu sifat melawan hukumnya hapus karena ketentuan Pasal 50 KUHP.

Contoh melawan hukum materil

 Seorang ayah yang memukul pemuda yang telah memperkosa anaknya.


 Dalam suatu ekspedisi di kutub selatan seorang menembak mati temannya atas
permintaannya sendiri , karena ia menderita luka parah dan tidak mungkin
hidup terus, apalagi jauh dari dokter.
 Seorang biolog membedah binatang - binatang untuk penelitian ilmiah.

3. Hukum adalah salah satu aturan yang bersifat mengikat dan memaksa yang
diciptakan oleh lembaga yang berwenang dan memiliki sanksi yang cerdas.
Berdasarkan soal, dapat disimpulkan bahwa perkembangan asas legalitas dalam
hukum pidana dan faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain sebagai berikut:

Asas legalitas berlaku di dalam ranah hukum pidana dan terkenal istilah adagium
legendaris Von Feuerbach. Bunyinya yaitu  nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali. Secara umum, Von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga
bagian:

-Tidak ada hukuman jika tidak ada perbuatan pidana (nulla poena sine crimine).

-Tidak ada hukuman jika tidak ada ketentuan undang-undang (nulla poena sine lege).

-Tidak ada perbuatan pidana jika tidak ada hukuman yang berdasarkan undang-
undang (nullum crimen sine poena legali)

4. Teori pemindahan dikelompokkan dalam 3 golongan besar yaitu teori absolut,teori


relatif dan teori penggabungan.
a. Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien). Menurut teori ini
pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak
pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada
pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat
tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan
tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan
(revegen).

Sebagaimana yang dinyatakan Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) bahwa: Teori


absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang
telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya
kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan
keadilan.

Menurut Vos (Andi Hamzah, 1993 : 27), bahwa: Teori pembalasan absolut ini terbagi
atas pembalsan subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif adalah
pembalasan terhadap kesalahan pelaku, sementara pembalasan obyektif adalah
pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar.

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis,
seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu
kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap
kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah
maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya
sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah
pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31).

b. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)

Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat
untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan
teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya
penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental
atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap
mental. Menurut Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) tentang teori ini
bahwa: Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana
mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan
masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang
tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas
keadilan.

Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik
pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun
pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif ini
berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif,detterence, dan reformatif.
Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan
pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk
menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak
mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan
tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan
dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali
melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat. Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak
harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan,
tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau
bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada
masa depan.

Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana
saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama
harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak
terulang lagi (prevensi). Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan
untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan
melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen(Wirjono Projdodikoro, 2003 : 26)
”terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan
intelektual, dan perbaikan moral.” Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat
dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berfikir si
penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral
mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.

c. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat
plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut
(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan
mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik
moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak
pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan
perilaku terpidana di kemudian hari.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List (Djoko Prakoso, 1988 :47)
dengan pandangan sebagai berikut :

1. Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu gejala


masyarakat.
2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan
hasil studi antropologi dan sosiologis.
3. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah
untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh
karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan
dalam bentuk kombinasi denga upaya sosialnya.
Dari pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan
itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah
memberikan pemidanaan dan pendidikan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu
dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan
kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik
tertentu yang dianggap dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat, dan
dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka
sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu pemidanaan tidak dapat dihindari. Teori
ini di satu pihak mengakuiadanya unsur pembalasan dalam penjatuhan pidana. Akan
tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki
penjahat/pelaku yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena
terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori
tersebut adalah (Hermien Hadiati Koeswadji, 1995 : 11-12):

Kelemahan teori absolut :

1. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua


pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan
berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
2. Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa
hanya Negara saja yang memberikan pidana?
Kelemahan teori tujuan :

1. Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan


itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan
dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga
menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk
memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan
demikian diabaikan.
3. Sulit untuk dilaksanakan dalam peraktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan
dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya
terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin
unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Yang pertama, yaitu menitik beratkan
unsur pembalasan dianut oleh Pompe (Andi Hamzah, 2005 : 36). Pompe
menyatakan: Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat
dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat
dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat
dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika
menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.

Van Bemmelan pun menganut teori gabungan (Andi Hamzah, 2005 : 36), ia
menyatakan: Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat.
Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan,
keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam
kehidupan masyarakat.
Refrensi:

https://www.hukum96.com/2020/03/contoh-sifat-melawan-hukum-formil-dan.html

https://www.lawyersclubs.com/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan-pemidanaan/

Anda mungkin juga menyukai