Anda di halaman 1dari 3

1.

Hukum Acara Perdata


Amir dan Joni bersahabat. Mereka melakukan perjanjian jual beli secara tertulis di bawah
tangan Lokasi penandatanganan perjanjian di Rumah Amir, di Solo. Amir telah bersepakat
dengan Joni untuk menjual mobilnya sebesar Rp 500.000.000,- dengan janji akan
diserahkan mobil tersebut setelah Joni melakukan pembayaran secara transfer ke rekening
Amir. Karena Joni percaya dengan Amir maka ditransferlah uang tersebut. Joni telah
menghubungi Amir dan Amir berjanji akan menyerahkan mobilnya keesokan harinya.
Tibalah saatnya sampai dengan satu minggu menunggu Amir tidak juga menyerahkan
mobil tersebut kepada Joni, bahkan Amir sulit dihubungi. Merasa dirinya dirugikan, maka
Joni menunjuk kuasa hukum untuk mewakili dirinya mengajukan somasi terlebih dahulu
kepada Amir. Namun somasi diabaikan oleh Amir. Amir tidak juga melaksanakan
kewajibannya, bahkan tidak ada itikad baik dari Amir untuk berdamai. Joni akhirnya
memutuskan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Pertanyaan:
Silahkan Anda analisis asas hukum acara perdata apa saja yang dapat diterapkan pada
kasus posisi di atas? dan berikan alasannya?
Jawab
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang
bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan bagaimana pengadilan harus
bertindak satu sama lain guna menegakkan hukum material perdata. di dalam ukum acara
perdata diatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta
memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya. Hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata.
Dengan adanya peraturan hukum acara perdata itu, orang dapat memulihkan kembali
haknya yang dirugikan atau terganggu itu lewat hakim dan akan berusaha menghindarkan
diri dari tindakan main hakim sendiri.
Menurut pendapat saya asas-asas hukum acara perdata yang dapat diterapkan pada
kasus di atas adalah:
1. Hakim Bersifat Menunggu:
Asas ini berarti bahwa inisiatif untuk mengajukan gugatan sepenuhnya diserahkan
kepada mereka yang berkepentingan, dalam hal ini Joni sebagai penggugat. Dengan
kata lain bahwa apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau
gugatan akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang
berkepentingan (yang merasa dirugikan). Kalau tidak ada gugatan atau penuntutan,
maka tidak ada hakim. Jadi, yang mengajukan gugatan adalah pihak-pihak yang
berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu diajukannya suatu perkara
atau gugatan (periksa Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg). Hal ini berarti bahwa hakim
tidak boleh aktif mencari-cari perkara (jemput bola), akan tetapi jika perkara diajukan
kepada hakim maka hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinnya
dengan alasan apapun sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Hakim pasif :
Hakim di dalam memeriksa suatu perkara bersikap pasif dalam pengertian bahwa ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada
asasnya ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Dengan
perkataan lain, pihak yang merasa haknya dirugikanlah (Joni sebagai penggugat) yang
menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, juga
tergantung pada para pihak (penggugat dan/atau tergugat), apakah perkara akan
dilanjutkan atau dihentikan (karena terjadi perdamaian atau karena gugatan dicabut)
semuanya tergantung pada (para) pihak, bukan pada hakim. Hakim hanya membantu
para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya suatu peradilan, demikian ditentukan dalam Pasal 5 Undang – Undang
No 48 Tahun 2009.
3. Hakim Aktif:
Hakim Indonesia harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, memimpin sidang,
melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak dalam mencari kebenaran,
penjatuhan putusan sampai dengan pelaksanaan putusannya (eksekusi). Di dalam
penyelesaian suatu perkara (kasus di atas) yang dijatuhkan kepengadilan maka hakim
wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang
tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang dituntut.
4. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum :
Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum,
yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan menghadiri dan mendengarkanpemeriksaan
perkara di persidangan. Adapun tujuan dari pada asas ini tidak lain adalah memberikan
perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan dan menjamin objektivitas
peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta
putusan yang adil kepada Joni dan Amir dihadapan umum.
5. Mendengar kedua belah pihak :
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak (Joni dan Amir) haruslah diperlakukan
sama, tidak memihak dan didengar bersamasama. Bahwa pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membedakan orang sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, mengandung arti bahwa di dalam hukum acara
perdata pihak – pihak berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan
yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan
pendapatnya. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu
pihak sebagai benar bila pihak lawan tidak didengan atau tidak diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya.
6. Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan :
Semua putusan hakim (pengadilan) harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan
dasar untuk mengadili (Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat (1)
HIR, Pasal 195 RBg, 61 Rv). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai
pertanggunganjawaban hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak,
pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum sehingga oleh karenanya mempunyai nilai
objektif.
7. Hakim Harus Menunjuk Dasar Hukum Putusannya :
Sekali suatu perkara diajukan kepada hakim maka hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apapun Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman. Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan
adanya anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius curia novit). Seandainya dalam
memeriksa suatu perkara hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
(Pasal 27 Undang-undang No.14 tahun 1970).
8. Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan :
Selain hakim dalam putusan harus menunjuk dasar hukum yang dipakai sebagai dasar
putusannya, hakim harus pula memutus semua tuntutan dari pihak (Pasal 178 ayat (2)
HIR, 189 ayat (2) RBg). Misalnya, penggugat (Joni) mengajukan tuntutan-tuntutan 1)
Tergugat (Amir) dihukum mengembalikan utangnya; 2) Tergugat (Amir) dihukum
membayar ganti rugi; 3) Tergugat (Amir) dihukum membayar bunga maka tidak satupun
dari tuntutan tersebut boleh diabaikan oleh hakim. Mengenai hakim akan menolak atau
mengabulkan tuntutan tersebut tidak menjadi masalah, tergantung dari terbukti atau
tidaknya hal-hal yang dituntut tersebut. Meskipun hakim harus memutuskan tuntutan yang
diajukan oleh penggugat (Joni) dalam gugatannya, namun hakim tidak boleh memutus
lebih atau lain dari pada yang dituntut.
9. Beracara Dikenakan Biaya :
Seseorang yang akan berperkara di pengadilan pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 182,
183 HIR, 145 ayat (4), 192 - 194 RBg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan
biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Akan tetapi, bagi
mereka yang memang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, dapat
mengajukan perkara secara cumacuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk
dibebaskan dari membayar biaya perkara dengan melampirkan surat keterangan tidak
mampu yang dibuat oleh pejabat setempat. Selanjutnya, bagi mereka yang benar-benar
tidak mampu dan kurang mengerti tentang hukum, pada saat ini dapat pula minta bantuan
hukum dengan cuma-cuma kepada lembaga-lembaga atau biro-biro bantuan hukum yang
ada di lingkungan Fakultas Hukum Universitas-universitas Negeri maupun Swasta, serta
yang bernaung di bawah organisasi-organisasi sosial dan politik, seperti Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Peradin, Lembaga Konsultasi dan Penyuluhan Hukum (LPPH) di bawah
naungan Golongan Sosial, Lembaga Bantuan Hukum MKGR, dan lain-lain.
10. Tidak ada keharusan mewakilkan :
HIR tidak mewajibkan orang untuk mewakilkan kepada orang lain apabila hendak
berperkara di muka pengadilan, baik sebagai penggugat, maupun sebagai tergugat,
sehingga pemeriksaan di persidangan dapat terjadi secara langsung terhadap para pihak
yang berkepentingan. Namun demikian, para pihak dapat juga dibantu atau diwakili oleh
kuasanya apabila dikehendaki (Pasal 123 HIR/ Pasal 147 RBg). Sumber: BMP
HKUM4405/MODUL 1 Halaman 1.24 - 1.32 /

Anda mungkin juga menyukai