Anda di halaman 1dari 9

A.

Kejahatan Perkosaan

Kejahatan perkosaan digolongkan sebagai kejahatan yang diatur

dalam Bab XVI Pasal 285 KUHP, yang menyatakan: Barangsiapa dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh

dengan dia di luar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Berdasarkan bunyi Pasal 285 KUHP tersebut, maka unsur-unsur

tindak pidana perkosaan adalah:

a. Barangsiapa

Sebagian pakar berpendapat bahwa “barangsiapa” bukan merupakan

unsur, hanya memperlihatkan sipelaku (dader) adalah manusia. Sebagian

pakar lagi berpendapat bahwa “barangsiapa” tersebut adalah manusia,

tetapi perlu diuraikan manusia siapa dan berapa orang. Jadi

identitas “barangsiapa” tersebut harus jelas.

b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

Unsur dengan kekerasan dimaksudkan setiap perbuatan yang dilakukan

dengan kekuatan badan yang agak hebat. Pasal 89 KUHP memperluas

pengertian “kekerasan” sehingga membuat pingsan atau melemahkan

orang disamakan dengan melakukan kekerasan. “Kekerasan atau

ancaman kekerasan” tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan

bersifat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan baginya selain

membiarkan dirinya untuk disetubuhi.

c. Memaksa
“Memaksa” berarti diluar kehendak dari wanita tersebut atau

bertentangan dengan kehendak wanita itu.

d. Seorang wanita bersetubuh dengan dia

Kalau bukan wanita (dalam hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan

Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pengertian

“bersetubuh”, berarti bersentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-

laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan

kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran air mani dalam

kemaluan si perempuan. Pengertian “bersetubuh” pada saat ini diartikan

bahwa telah terjadi penetrasi atau penis masuk kedalam vagina.

e. Di luar perkawinan

Di luar perkawinan berarti bukan istrinya. Dengan demkikan

persetubuhan itu dilakukan bukan dalam ikatan perkawinan.

Berdasarkan kelima unsur delik perkosaan tersebut, maka untuk

membuktikan bahwa perbuatan seseorang tersebut dikategorikan ke dalam

kejahatan perkosaan, maka harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat

dalam Pasal 285 KUHP, yaitu: (1) Barangsiapa, (2) dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya, (3)

bersetubuh dengan dia. Berdasarkan bunyi pasal tersebut bahwa undang-

undang tidak mensyaratkan adanya unsur "kesengajaan" pada diri pelaku

dalam melakukan perbuatannya, tetapi dengan adanya unsur "memaksa" di

dalam rumusan Pasal 285 KUHP, maka jelas sudah ada unsur kesengajaan
yang termasuk di dalamnya. P.A.F. Lamintang, membagi perkosaan menurut

Pasal 285 KUHP kedalam beberapa unsur, yaitu:

1) Unsur barangsiapa.
2) Unsur dengan sengaja.
3) Unsur dengan ancaman akan memakai kekerasan.
4) Unsur memaksa.
5) Unsur korban seorang wanita.
6) Unsur mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan.1

Menurut para ahli, kekerasan mengakibatkan terjadinya kerusakan

fisik maupun psikis adalah bertentangan dengan hukum. Dilihat dari

perspektif kriminologi kekerasan ini menunjuk pada tingkah laku yang

bebeda-beda baik mengenai motif maupun mengenai tindakannya, seperti

perkosaan dan pembunuhan, kedua macam kejahatan ini diikuti dengan

kekerasan, namun perkosaan memiliki motif pemuasan nafsu seksual,

sedangkan kejahatan pembunuhan memiliki motif cemburu atau harta.

Perumusan dalam Pasal 285 KUHP menetapkan beberapa kriteria

untuk dapat mengkategorikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana

perkosaan, yakni:

1. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bukan hanya


kekerasan yang dipakai sebagai sarana, tapi bahkan ancaman
untuk melakukan kekerasan sudah cukup.
2. Memaksa perempuan, dalam hal ini berarti tidak ada persetujuan
atau consent dari si perempuan
3. Yang bukan istrinya, apabila perempuan yang dipaksa adalah
istri pelaku sendiri, maka hal ini tidak termasuk dalam
perkosaan, walaupun ada kekerasan/ancaman kekerasan.
4. Untuk bersetubuh.2

1
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar
Grafika, hal.52-53.
2
R. Soesilo, Op.cit, h.7.
Berdasarkan ketentuan Pasal 285 KUHP bahwa undang-undang tidak

mensyaratkan adanya unsur "kesengajaan" pada diri pelaku dalam

melakukan perbuatannya, tetapi dengan adanya unsur "memaksa" di dalam

rumusan Pasal 285 KUHP, maka jelas sudah ada unsur kesengajaan yang

termasuk di dalamnya.

Makna persetubuhan sendiri, menurut R. Soesilo, masih berkiblat ke

Belanda, dengan mengacu pada Arrest Hooge Raad tanggal 5 Pebruari 1912,

yaitu "peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang

dijalankan untuk mendapatkan anak....". Dengan demikian bentuk-bentuk

kekerasan seksual yang tidak memenuhi kriteria ini bukanlah perkosaan.

Jelaslah bahwa sempitnya definisi perkosaan ini menimbulkan banyak

masalah bagi kaum perempuan yang menjadi korban.3

Perumusan di atas dapat dibandingkan dengan perumusan dalam

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, dimana "perkosa" disebutkan sebagai

"...menundukkan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi...". 4 Makna

perkosaan di sini sangat luas karena tidak membatasi pelaku, korban,

maupun bentuknya. Persamaannya dengan KUHP hanyalah berkenaan

dengan kata (memaksa) dengan kekerasan.

Menurut Wirjono, kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi

aslinya (Belanda), yakni Verkrachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan

tidak menggambarkan secara tepat tentang perkosaan menurut arti yang

sebenarnya dari kualifikasi verkrachting, yakni perkosaan untuk bersetubuh.

3
Ibid.
4
Sulchan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Amanah, Surabaya, 1997, h.378.
Oleh karena itu, menurut beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285

KUHP adalah perkosaan bersetubuh.5

R. Sugandhi mejelaskan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal

285 KUHP adalah dengan ancaman kekerasan memaksa perempuan yang

bukan isterinya untuk bersetubuh dengan dia. Oleh karena itu perempuan

yang dipaksa sedemikian rupa itu akhirnya tidak dapat melawan lagi, dan

terpaksa mau melakukan persetubuhan itu, masuk pula dalam pasal 285

KUHP. Untuk dapat dituntut menurut Pasal 285 KUHP, persetubuhan itu

harus dilakukan sebagaimana sudah diterangkan di dalam penjelasan Pasal

284 KUHP, yaitu anggota kelamin pria masuk ke dalam lubang kemaluan

wanita, sehingga akhirnya mengeluarkan air mani.6

Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang

ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang

bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima

kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.

Menerima kehendaknya ini setidaknya ada dua macam, yaitu: (a) menerima

apa yang akan diperbuat terhadap dirinya; atau (b) orang yang dipaksa

berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang

memaksa.

Untuk yang pertama terdapat pada memaksa menurut Pasal 285

KUHP, yakni bersetubuh dengan dia, atau bersedia disetubuhi. Demikian

5
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT Eresco, Jakarta-
Bandung, 1980, h.123.
6
R. Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, h.303.
juga memaksa pada Pasal 289 KUHP dalam hal membiarkan dilakukan

perbuatan cabul. Sementara itu, untuk yang kedua misalnya terdapat pada

Pasal 368 KUHP (pemerasan), Pasal 369 KUHP (pengancaman) di mana

perbuatan memaksa ditujukan agar orang yang dipaksa melakukan perbuatan

yang sama dengan kehendaknya, yakni menyerahkan benda, menghapuskan

piutang dan membuat utang. Cara-cara mernaksa di sini terbatas dengan dua

cara, yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met

geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam undang-

undang. Hanya mengenai kekerasan, ada Pasal 89 KUHP yang rnerumuskan

tentang perluasan arti dari kekerasan, yaitu membuat orang pingsan atau

tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. R.Soesilo

memberi arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau

kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah.7 Menurut Satochid

kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan

badan yang tidak ringan atau agak berat.8

Menurut Pasal 89 KUHP bahwa "yang dimaksud dengan melakukan

kekerasan, yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi".

Maksud dari "melakukan kekerasan" adalah menggunakan tenaga atau

kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya memukul

dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang

7
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1980, h.84.
8
Satochid dalam Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2005, h.64.
dan sebagainya yang menyebabkan orang yang terkena tindakan kekerasan

tersebut merasa sakit yang luar biasa.

Menurut Pasal 89 KUHP bahwa melakukan kekerasan dapat

disamakan dengan membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. Pingsan

artinya hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya, atau tidak mengetahui

lagi apa yang terjadi dengan dirinya. Sedangkan tidak berdaya artinya

tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak

mampu mengadakan perlawanan sedikitpun, seperti halnya orang yang diikat

dengan tali pada kaki dan tangannya.

Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana

yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut:

a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan di

sini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada causal

verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. Contohnya

kekerasan pada perkosaan, yang digunakan sebagai cara dari memaksa

bersetubuh. juga pada pemerasan (Pasal 368 KUHP), yang mengakibat-

kan korban tidak berdaya, dengan ketidakberdayaan itulah yang

menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat

utang atau menghapuskan piutang.

b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana,

bukan merupak , an cara melakukan perbuatan. Contohnya kekerasan

pada Pasal 211 atau 212 KUHP.


Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting, yaitu sebagai

berikut:

1. Aspek objektif, ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang

berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan

permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar

yakni kekerasan secara sempurna; dan (b) menyebabkan orang menerima

kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa

cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan).

2. Aspek subjektif, ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima

kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak

dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benar-

benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam

ancaman kekerasan sebab jika kepercayaan ini tidak timbul pada diri

korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu

perbuatan terhadap dirinya.

Kekerasan dan ancaman kekerasan ditujukan pada seorang

perempuan yang bukan istrinya. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan

perempuan itu terdapat hubungan kausal, dan karena tidak berdaya itulah

persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadinya persetubuhan pada

dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan

kekerasan dan ancaman kekerasan itu. Oleh karena itu, perkosaan ini adalah

tindak pidana material, dan bukan tindak pidana formal walaupun

dirumuskan juga perbuatan yang dilarang dalam Pasal 285 yakni memaksa.
Kekerasan yang bersifat fisik dengan kekuatan yang besar dan

ditujukan pada orang lain yang in casu seorang perempuan, dapat

menimbulkan akibat luka berat atau kematian. Dalam tindak pidana

perkosaan bersetubuh, akibat luka berat tidak merupakan alasan pemberatan.

Akan tetapi, akibat kematian adalah merupakan dasar pemberatan pidana,

sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 291 ayat (2) KUHP menjadi diancam

dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Anda mungkin juga menyukai