Anda di halaman 1dari 14

PENGGUNAAN ‘BUJUK RAYU’ SEBAGAI PERLUASAN MAKNA PASAL 285 KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN


(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 786 K/PID/2015)

Bagus Dwi Wahyudi


(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya)
baguswahyudi@mhs.unesa.ac.id

Emmilia Rusdiana
(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya)
emmiliarusdiana@unesa.ac.id

Abstrak
Pasal 285 KUHP mengatur tentang tindak pidana perkosaan. Unsur-unsur Pasal 285 KUHP yaitu
perbuatanya memaksa, caranya dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan, objeknya seorang
perempuan bukan istrinya, bersetubuh dengan dia. Namun, seiring perkembangan zaman muncul
modus-modus baru dalam tindak pidana perkosaan. Salah satunya sepertinya terdapat dalam
Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor 12/PID/2015/PT.BGL. Dalam pertimbangan hakim
disebutkan bahwa perbuatan bujuk rayu terdakwa terhadap korban sebagai unsur memaksa dalam
Pasal 285 KUHP. Definisi dari pemaksaan sendiri tercantum dalam Pasal 335 ayat (1) angka 1
KUHP yang memiliki unsur barang siapa, secara melawan hukum, memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman
kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap
orang itu sendiri maupun orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan
bujuk rayu dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pada orang dewasa dan mengetahui ketepatan perluasan makna frase “bujuk rayu” pada
putusan hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor 12/PID/2015/PT.BGL sebagai unsur
memaksa dalam Pasal 285 KUHP. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan
menggunakan analisis pendekatan Perundang-undangan, dan pendekatan konsep. Hasil penelitian
dan pembahasan ini menunjukan bahwa bujuk rayu yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) UU
perlindungan anak tidak dapat diterapkan pada orang dewasa karena bertentangan dengan asas
legalitas, Argumentum a Contrario dan tujuan dibuatnya UU perlindungan anak. Perbuatan bujuk
rayu tidak memenuhi unsur memaksa dalam Pasal 285 KUHP, karena memiliki pengertian dan
konsep yang berbeda. Penggunaan interpretasi analogi terbatas terhadap kehormatan wanita
sebagai barang menjadikan bujuk rayu dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor
12/PID/2015/PT.BGL lebih tepat dikenakan sebagai tindak pidana penipuan.
Kata Kunci : Pasal 285 KUHP, Bujuk Rayu, Perkosaan.

Abstract
Article 285 of the Criminal Code regulates the crime of rape. The elements of Article 285 of the
Criminal Code are coercive acts, the way with violence or threats of violence, the object is a
woman not his wife, having sex with him. However, with the development of the times appeared
new modes in the crime of rape. One of them seems to be contained in the Decision of the High
Court of Bengkulu Number 12/PID/2015/PT. BGL. In consideration the judge mentioned that the
act of persuasion of the accused against the victim as a forceful element in article 285 of the
Criminal Code. The definition of coercion itself is stated in Article 335 paragraph (1) number 1 of
the Criminal Code which has an element of anyone, unlawfully, forcing others to do, not do or
allow something, by using violence, something other or unpleasant treatment, or by using threats
of violence, something else or unpleasant treatment, either against the person himself or others.
This study aims to analyze the use of persuasion in article 81 paragraph (2) of Law No. 23 of
2002 on Child Protection in adults and to know the accuracy of the expansion of the meaning of
the phrase "persuasion" in the decision of the judge of the High Court of Bengkulu Number
12/PID/2015/PT. BGL as a forceful element in Article 285 of the Criminal Code. This research is
normative juridical research using analysis of legislation approach, and concept approach. The
results of this study and discussion show that the persuasion contained in article 81 paragraph (2)
of the Child Protection Law cannot be applied to adults because it is contrary to the principle of
legality, Argumentum a Contrario and the purpose of making the Child Protection Law. The act
of persuasion does not meet the element of coercion in article 285 of the Criminal Code, because

1
it has different understandings and concepts. The use of limited interpretation of analogy to the
honor of women as goods makes persuasion in the Decision of the High Court of Bengkulu No.
12/PID/2015/PT. BGL is more appropriately charged as a criminal offence of fraud.
Keywords: Article 285 of the Criminal Code, Seduction, Rape.

PENDAHULUAN Ketentuan perundang-undangan sebenarnya


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur masalah kesusilan sebagaimana
mengatur delik-delik asusila dalam Bab XIV dari tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum
buku II mulai dari Pasal 281 sampai dengan Pasal pidana (KUHP) Bab XIV tentang kejahatan terhadap
296. Khususnya untuk delik pemerkosaan atau kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya mengenai
verkracting diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang- tindak pidana perkosaan diatur pada Pasal 285
Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa : KUHP. Meskipun hingga saat ini Pasal 285 KUHP
”Barang siapa dengan kekerasan atau masih berlaku sebagai acuan normatif dalam
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita penyelesaian kasus-kasus pemerkosaan di
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, pengadilan, seiring dengan perkembangan jaman,
diancam karena melakukan perkosaan dengan definisi pasal pemerkosaan tidak selalu bisa
pidana penjara paling lama dua belas tahun.” mengakomodir lagi terhadap penyelesaian-
Pada Pasal ini yang diancam hukuman ialah dengan penyelesaian kasus kejahatan seksual yang secara
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa substansi dapat di kategorikan sebagai tindakan
perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan pemaksaan/kekerasan/ancaman kekerasan seksual
dia(Soesilo 1988). yang menjadi syarat terpenuhinya unsur Pasal 285
Tindakan pemerkosaan adalah tindakan yang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Para
melanggar hukum, karena tindakan tersebut dapat penyusun undang-undang sendiri sudah menyadari
merugikan orang lain yaitu orang yang telah betapa sempitnya (lemahnya) Pasal pemerkosaan
diperkosa tersebut(Moeljatno 2007). Ancaman dalam KUHP dan akan membuat gagasan baru yang
hukuman dalam Pasal 285 KUHP ini ialah pria yang
dapat menjangkau banyak kasus kekerasan seksual
memaksa wanita, dimana wanita tersebut belum
terikat perkawinan dengan pria tersebut dan pria yang sejauh ini belum tercover oleh hukum formal
tersebut melakukan hubungan selayaknya suami istri supaya nantinya bisa mengakomodir seluruh
dengan dia dengan ancaman atau pemerkosaan kejahatan yang termasuk dalam
(Sugandhi 1980). Baru dapat dikatakan kesusilaan/pemerkosaan dengan kekerasan maupun
“persetubuhan”, apabila anggota kelamin Pria telah tidak dengan kekerasan .
masuk kedalam lubang anggota kemaluan wanita
Menurut Sugandi pengertian melakukan
sedemikian rupa, sehingga akhirnya mengeluarkan
kekerasan sesuai Pasal 89 Kitab Undang-Undang
air mani, apabila yang dimaksud dengan kekerasan
Hukum Pidana ialah “melakukan kekerasan” dapat
yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya
disamakan dengan “membuat orang jadi pingsan atau
lagi (Sugandhi 1980).
tidak berdaya”. Adapun definisi pingsan artinya
Tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan
hilang ingatan atau tidak sadar dirinya” orang
yang cukup mendapat perhatian dikalangan pingsan itu tidak mengetahui lagi apa yang terjadi
masyarakat. Sering terlihat di media massa baik dengan dirinya(Sugandhi 1980).
ditelevisi, koran, maupun internet diberitakan terjadi “Tidak berdaya” menurut Sugandhi yaitu
tindak pidana perkosaan. Tindak pidana ini sudah ada “Tidak mempunyai kekuataan atau tenaga sama
sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk sekali, sehingga tidak mampu mengadakan
kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perlawanan sedikit jua pun (Sugandhi 1980).
perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, akan Misalnya seperti halnya orang yang diikat dengan tali
selalu ada dan berkembang setiap saat. Tindak pidana pada kaki dan tangannya terkurung dalam kamar
perkosaan tidak hanya terjadi kota-kota besar yang terkena suntikan, sehingga orang itu menjadi lumpuh.
relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau Orang yang tidak berdaya ini masih dapat
pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Inti yang
yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat menjadi perhatian disini adalah bahwa “merayu” atau
istiadat. Wanita dianggap makhluk yang lemah melakukan “bujuk rayu” tidak bisa disamakan
daripada laki-laki yang mengakibatkan mudahnya dengan “melakukan kekerasan” atau “ancaman
seseorang melakukan perbuatan perkosaan tersebut. kekerasan” sesuai dengan yang diamanatkan Pasal
285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Sugandhi tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
1980). Nomor 48 Tahun 2009, yang berbunyi:
Dalam perkembangan jaman terdapat modus “Pengadilan tidak boleh menolak untuk
baru dalam tindak pidana perkosaan yang memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang
menyebabkan perilaku kekerasan maupun ancaman diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kekerasan dinilai tidak digunakan lagi untuk kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
memperdayai korban (wanita). Mereka (laki-laki) dan mengadilinya.”
kerap memperdayai korbannya dengan menggunakan Konsekuensi dari Pasal 10 ayat (1) Undang-
rayuan, maupun janji palsu. Seperti mereka Undang Nomor 48 Tahun 2009 yakni, pengadilan
memberikan kata-kata rayuannya dengan maksud tidak dapat menolak suatu perkara walaupun unsur-
memperoleh simpati lawan jenisnya (korban) dimana unsurnya kurang sesuai dengan aturan yang ada.
mempermudah dalam melakukan tindak pidana Terbatasnya ruang lingkup yang dapat diakomodir
perkosaan. Pelaku disini dinilai telah ahli mengambil aturan hukum tertulis terhadap setiap peristiwa
hati wanita sehingga mereka terbuai dengan konkrit yang dihadapi oleh warga masyarakat yang
perkataan tersebut. kemudian diperhadapkan kepada hakim untuk
Yayasan Pusat pendidikan dan pemberdayaan memeriksanya, mengadili dan memutuskan, telah
untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu melahirkan konsekwensi bagi hakim untuk
mencatat tingginya angka kekerasan terhadap melakukan penemuan hukum dalam arti luas.
perempuan dan anak di daerah tersebut sebagai Penemuan hukum dalam arti luas yakni, penemuan
berikut : hukum yang harus dilakukan oleh Hakim tidak
Tabel 1.1 terbatas hanya pada aturan hukum yang tertulis saja,
Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak di akan tetapi lebih luas pada hukum yang tidak tertulis
Daerah Bengkulu (Amrullah 2007).
Tahun 2016 115 kasus Hakim dalam memutuskan suatu perkara harus
Tahun 2017 176 kasus bebas dan tidak berada di bawah pengaruh kekuasaan
Tahun 2018 113 kasus siapapun. Kebebasan hakim dalam menjalankan
fungsi yudisialnya dilindungi oleh Pasal 3 Undang-
Sumber : data (PUPA) Bengkulu tahun 2018
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kebebasan hakim untuk tidak berada
Meninjau dari tahun terakhir staf advokasi
dibawah pengaruh pihak kekuasaan pihak lain dalam
Yayasan Pusat pendidikan dan pemberdayaan untuk
memutuskan suatu perkara sangat rawan terjadinya
Perempuan dan Anak (PUPA) menjelaskan dari 113
penyalahgunaan wewenang, oleh karena itu
kasus, tertinggi adalah pemerkosaan sebesar 26,6%,
dibutuhkan pedoman bagi hakim agar tidak
pencabulan sebesar 22%, penganiayaan 22%,
menyalahgunakan wewenangnya.
kekerasan dalam rumah tangga(KDRT) 18,6%, dan
Kasus tindak pidana perkosaan menimbulkan
kasus lain seperti pelecehan seksual, perundungan,
kesulitan dalam penyelesaiannya, baik pada tahap
penelantaran, percobaan perkosaan, cyber
penyidikan, penyelidikan, penuntutan, maupun tahap
harassement, hingga kekerasan yang menyebabkan
penjatuhan putusan. Salah satu hal yang sering
perempuan meninggal. Tingkat paling tinggi adalah
menimbulkan dalam penyelesaiannya adalah adanya
kasus pemerkosaan. Penggunaan data tersebut
modus baru dalam tindak pidana perkosaan. Adanya
disesuiakan dengan wilayah tempat kejadian perkara
modus baru tersebut membuat hakim harus
dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor
melakukan penafsiran atau interpretasi lebih dalam
12/PID/2015/PT.BGL.
guna memutus perkara tindak pidana kasus
Memutuskan suatu perkara adalah salah satu
perkosaan.
tugas hakim dalam menjalankan fungsi yudisialnya.
Seperti pada kronologi putusan Pengadilan
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa,
Tinggi Bengkulu pada tanggal 26 Maret 2015
mengadili, dan memustuskan perkara yang diajukan
berdasarkan Putusan Nomor 12/PID/2015/PT.BGL
kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas
memutuskan kasus perkosaan dengan kronologi yaitu
aturannya termasuk dalam kasus perkosaan yang
Berawal terdakwa Myxe Zul Janova Alias Janob Bin
unsur-unsurnya kurang sesuai dengan Pasal 285
Medianto mengajak saksi korban Sunarti jalan-jalan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aturan
Dalam perjalanannya terdakwa bersama saksi pergi
mengenai pengadilan yang dilarang menolak perkara
makan ke Pondok Jagung. Setelah makan saksi

3
korban mengaku kepala dan badan terasa sakit. rayu sebagai unsur Pemaksaan dalam Pasal 285
Kemudian saksi Sunarti minta diantarkan pulang KUHP.
tetapi terdakwa malah membawa ke kamar hotel Amar Putusan Majelis Hakim dalam Putusan
dengan alasan sudah malam. Terdakwa berkata Mahkamah Agung Nomor 786 K/Pid/2015
terhadap Sunarti “Kalo adek memang sayang sama menyatakan Menolak permohonan kasasi dari
kakak, jangankan keperawan adek, nyawo adek pasti Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum pada
adek kasih.” Lalu saksi Sunarti menjawab “tapi Kejaksaan Negeri Bengkulu tersebut. Dalam
kakak janji, kalau udah adek kasih, kakak jangan Pertimbangannya Majelis Hakim menjelaskan Bahwa
tinggalkan adek ya.” lalu terdakwa menjawab “iya”. alasan Kasasi tidak dapat dibenarkan karena ternyata
Berdasar pembicaraan tersebut terdakwa dan saksi putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi yang
melakukan hubungan layaknya suami dan istri yang memperbaiki sekedar lamanya pidana yang
menyebabkan kemaluan saksi Sunarti mengeluarkan dijatuhkan yaitu dalam putusan Judex
darah dan terasa sangat sakit. Sehingga terdakwa Facti/Pengadilan Negeri Terdakwa dijatuhi pidana
memutuskan mengantarkan saksi ke rumah sakit penjara selama : 5 (lima) tahun dan dalam putusan
DKT dan kemudian terdakwa meninggalkan rumah Judex Facti/Pengadilan Tinggi Terdakwa dijatuhi
sakit tersebut. Hasil Visum menyatakan bahwa pidana penjara selama : 4 (empat) tahun dan 6
kemaluan saksi tampak luka robek pada vagina (enam) bulan adalah putusan yang tidak salah
bawah. menerapkan hukum karena mempertimbangkan
Berdasarkan kronologi percakapan diatas dapat secara tepat dan benar bahwa tidak terbukti bersalah
kita ketahui bahwa terdakwa melakukan “bujuk melakukan tindak pidana "Perkosaan" melanggar
rayu” terhadap saksi korban Sunarti agar mau Pasal 285 KUHP sesuai dakwaan Jaksa/Penuntut
melakukan hubungan suami istri dengan terdakwa. Umum.
Menimbang bahwa “bujuk rayu” merupakan makna Penelitian ini juga akan membahas penggunaan
perluasan unsur dengan kekerasan atau ancaman bujuk rayu yang ada dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
dengan dia di luar pernikahan. Dalam kasus ini telah Perlindungan Anak pada orang dewasa.
terdapat putusan pengadilan dari putusan Pengadilan Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan
Negeri, banding, hingga kasasi. membahas istilah bujuk rayu dikaitkan asas legalitas,
Amar Putusan Majelis Hakim dalam Putusan Pasal 81 UU Perlindungan anak dikaitkan
Pengadilan Negeri Bengkulu menyatakan terdakwa Argumentum A Contrario, dan tujuan dari dibuatnya
Myxe Zul Janova Als. Janov Bin Medianto telah UU perlindungan Anak. Kemudian akan dibahas juga
terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan ketepatan perluasan makna frase “bujuk rayu” pada
hukum bersalah melakukan tindak pidana: putusan hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor
PERKOSAAN sebagaimana dakwaan Penuntut 12/PID/2015/PT.BGL sebagai unsur memaksa dalam
Umum. Dalam putusan ini majelis hakim Pasal 285 KUHP.
menghubungkan unsur bujuk rayu dalam Pasal 81 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 penggunaan bujuk rayu dalam Pasal 81 ayat (2)
Tentang Perlindungan Anak dengan Pasal 285 KUHP Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
tentang Perkosaan untuk menjerat terdakwa. Perlindungan Anak pada orang dewasa dan
Amar Putusan Majelis Hakim dalam Putusan mengetahui ketepatan perluasan makna frase “bujuk
Pengadilan Tinggi Bengkulu menyatakan rayu” pada putusan hakim Pengadilan Tinggi
memperbaiki Putusan Majelis Hakim Tingkat Bengkulu Nomor 12/PID/2015/PT.BGL sebagai
Pertama Nomor 410/Pid.B/2014/PN. Bgl tanggal 19 unsur memaksa dalam Pasal 285 KUHP.
Februari 2015 yang dimintakan banding tersebut
sepanjang mengenai pertimbangan Unsur-unsur dan METODE
lamanya pidana yang dijatuhkan dan amar putusan: Metode penelitian yang digunakan adalah
sehingga amar selengkapnya adalah sebagai berikut; penelitian hukum normatif karena penelitian ini
Menyatakan terdakwa Myxe Zul Janova Als. Janov didasarkan pada putusan pengadilan yang mana
Bin Medianto terbukti secara sah dan meyakinkan hakim dianggap kurang tepat dalam menafsirkan
bersalah melakukan tindak pidana: PERKOSAAN perluasan makna dari unsur-unsur Pasal 285 Kitab
sebagaimana dakwaan Penuntut Umum. Dalam Undang-Undang Pidana dan mengadakan frase
pertimbangannya Majelis Hakim Menganggap bujuk
“bujuk rayu” sebagai perluasan makna dari unsur- dan bahan hukum yang berkaitan dengan perluasan
unsur Pasal 285 Kitab Undang-Undang Pidana. makna dan konsep-konsep penafsiran hukum.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Informasi yang dijadikan rujukan dalam penelitian
pendekatan perundang-undangan, dan pendeketan ini adalah buku-buku hukum yang membahas tentang
konseptual. Pendekatan perundang-undangan hukum pidana dan penafsiran hukum, jurnal
dilakukan dengan menelusuri peraturan atau regulasi internasional maupun nasional mengenai tindak
yang berkaitan dengan isu hukum yang dibahas pada pidana perkosaan, penelitian sejenis dan beberapa
penelitian yang bersangkutan (Marzuki 2014). Dalam berita online mengenai topik pemerkosaan.
penelitian ini pendekatan perundang-undangan Teknik analisis bahan hukum yang dilakukan
digunakan untuk menelaah semua peraturan dalam penelitian ini menggunakan metode preskripsi,
perundang-undangan yang berhubungan dengan yaitu mengidentifikasi fakta-fakta hukum dan
bujuk rayu dan unsur-unsur perkosaan guna mengeleminasi bahan-bahan yang tidak memiliki
mempermudah analisis. Pendekatan konseptual kaitan dengan masalah penelitian, melakukan
dilakukan dengan cara mempelajari pandangan- pencarian jawaban rumusan masalah berdasarkan
pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, bahan hukum yang telah terkumpul, lalu melakukan
sehingga menemukan ide-ide yang melahirkan penarikan kesimpulan sebagai jawaban atas rumusan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep masalah (Ibrahim 2005).
hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan
isu yang dihadapi (Fajar 2010). Pendekatan HASIL DAN PEMBAHASAN
konseptual digunakan untuk mempelajari pandangan Penggunaan Bujuk Rayu Dalam Pasal 81 Ayat (2)
dan doktrin terkait bujuk rayu, perkosaan, maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
pertimbangan hakim pada kasus bujuk rayu yang Perlindungan Anak Pada Orang Dewasa
serupa dengan kasus dalam penelitian ini. a. Istilah Bujuk Rayu Berdasarkan dengan
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini Asas Legalitas
dibedakan menjadi sumber bahan hukum primer dan Istilah bujuk rayu berasal dari kata “bujuk” dan
bahan hukum sekunder Bahan hukum primer “rayu”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
merupakan data-data yang dihimpun dari peraturan “bujuk” adalah usaha untuk meyakinkan seseorang
seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang bahwa yang dikatakan benar (KBBI n.d.), sedangkan
Peraturan Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor “rayu” adalah menyenangkan hati (memikat) dengan
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; kata-kata manis dan sebagainya (KBBI n.d.).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Berdasarkan pengerti tersebut bujuk rayu dapat
Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 5 diartikan sebagai perbuatan untuk meyakinkan
Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang seseorang untuk tujuan tertentu dengan cara
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan menyenangkan hati atau memikat hati dengan kata-
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 kata manis.
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Dalam tindak pidana perkosaan istilah “bujuk
Terorisme Menjadi Undang-Undang; Putusan rayu” berasal dari ayat (2) Pasal 81 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
1/PUU-XI/2013; Putusan Pengadilan Negeri Dalam ayat (2) tersebut terdapat frase “membujuk”
Bengkulu Nomor 410/Pid.b/2014/PN.BGL; Putusan yang merupakan asal dari istilah bujuk rayu. Pasal 81
Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
12/PID/2015/PT.BGL; Putusan Mahkamah Agung Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa :
Nomor 786 K/Pid/2015. Bahan hukum sekunder “(1) Setiap orang yang dengan sengaja
yang digunakan dalam peneltian ini adalah buku, melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
jurnal penelitian dan dokumen resmi yang membahas memaksa anak melakukan persetubuhan
tentang hukum pidana, kekuasaan kehakiman, dengannya atau dengan orang lain, dipidana
penafsiran hukum, perluasan makna. dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
Metode pengumpulan bahan hukum yang belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
mengumpulkan informasi dan bahan hukum yang (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
berkaitan dengan, studi kepustakaan yang dilakukan 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
dalam penelitian ini adalah mengumpulkan informasi

5
(2) Ketentuan pidana sebagaimana b. Istilah Bujuk Rayu dikaitkan dengan
dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Argumentum A Contrario
setiap orang yang dengan sengaja melakukan Argumentum a contrario adalah salah satu cara
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau untuk menemukan hukum bagi suatu peristiwa yang
membujuk anak melakukan persetubuhan tidak diatur secara khusus (Mertokusumo 2007).
dengannya atau dengan orang lain.” Metode argumentum a contrario menggunakan
Dalam ayat (2) Pasal 81 diatas menyebutkan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti
(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya (Ali 2015).
kebohongan, atau membujuk anak melakukan Dengan perkataan lain, menjelaskan undang-undang
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara
artinya menggunakan tipu muslihat, kebohongan, peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang
bujuk rayu juga dianggap sebagai bentuk kekerasan diatur dalam undang-undang.
dan ancaman kekerasan dalam Undang-Undang Dengan mengatur suatu peristiwa tetapi
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. peristiwa yang mirip lainnya tidak, maka untuk
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang peristiwa yang tidak diatur ini berlaku hal yang
kebalikannya. Pada argumentum a contrario titik
Perlindungan Anak adalah Undang-Undang Khusus
berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwa dan
yang ditujukan untuk melindungi anak, sehingga diperlakukan segi negatifnya atau kebalikan dari
tidak berlaku apabila persetubuhan tersebut undang-undang. Pada hakikatnya penafsiran
dilakukan antara orang dewasa. Undang-Undang argumentum a contrario sama dengan penafsiran
yang dikhususkan untuk anak tidak akan berlaku bagi analogi hanya hasilnya berlawanan. Analogi
orang dewasa karena terdapat Asas Legalitas. Asas membawa hasil positif sedangkan penafsiran
Legalitas dalam hukum pidana diatur dalam Pasal 1 argumentum a contrario hasilnya negatif (Soeroso
2015).
ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
Penafsiran berdasarkan argumentum a contrario
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, mempersempit perumusan hukum atau perundang-
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan undangan. Tujuannya ialah untuk lebih mempertegas
perundang-undangan pidana yang telah ada adanya kepastian hukum sehingga tidak
sebelumnya.” menimbulkan keraguan. Argumentum a contrario
Berdasarkan ayat diatas maka dapat diterapkan sewaktu Pasal dalam peraturan
disimpulkan apabila suatu perbuatan belum dianggap perundang-undangan tidak menyebut masalah yang
dihadapi (Soeroso 2015).
sebagai tindak pidana dan diatur dalam KUHP, maka
Isi dari Pasal 81 ayat (1) & (2) Undang-Undang
perbuatan tersebut bukanlah sebuah Tindak Pidana.
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Hanya perbuatan yang disebut dengan tegas oleh
hanya mengatur tentang perlindungan terhadap anak,
peraturan perundang-undangan sebagai kejahatan
anak yang berhadapan dengan hukum, anak sebagai
atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana).
saksi, dan anak sebagai korban. Undang-Undang
Asas ini memberikan jaminan kepada orang untuk
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh alat
tersebut sama sekali tidak menyebutkan bahwa hal-
penegak hukum. Dalam ayat (2) Pasal 81 Undang-
hal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut dapat
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
digunakan juga apabila korbannya orang dewasa.
Anak perbuatan tipu muslihat, serangkaian
Argumentum a contrario mempersempit
kebohongan, atau membujuk dalam ayat tersebut
berlakunya ketentuan undang-undang, maka Pasal 81
hanya ditujukan pada korban yang merupakan anak-
ayat (1) & (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
anak dan tidak ada keterangan lebih lanjut atau
2002 tentang Perlindungan Anak hanya berlaku jika
penjelasan yang menyatakan perbuatan-perbuatan
korban tindak pidana perkosaan adalah anak. Dapat
diatas dapat berlaku juga bagi korban orang dewasa.
dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi
Jika merujuk pada asas Legalitas, maka penggunaan
tindak pidana perkosaan yang korbannya bukan anak,
istilah bujuk rayu pada tindak pidana perkosaan yang
karena soal yang dihadapi tidak diliputi oleh Pasal
korbannya orang dewasa adalah tidak tepat karena
tersebut.
tidak tercantum bahwa bujuk rayu juga berlaku bagi
b. Penggunaan Bujuk Rayu Pada Orang
orang dewasa.
Dewasa Bertentangan Dengan Tujuan Utama
Dari Undang-Undang Perlindungan Anak
Tujuan utama dari Undang-Undang keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang
Perlindungan Anak adalah untuk menjamin dan yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
lain; paksaan (KBBI n.d.). “Ancaman” memiliki arti:
optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan
kekerasan dan diskriminasi. Secara teoritik, anak- sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan,
anak Indonesia dijamin dalam mejalani atau mencelakakan pihak lain; memberi pertanda
hidupnya(Marlina 2009). atau peringatan mengenai kemungkinan malapetaka
Marlina menyatakan “Masalah perlindungan yang bakal terjadi (KBBI n.d.). “Ancaman
hukum bagi anak merupakan salah satu cara kekerasan” dapat diartikan sebagai memberi pertanda
melindungi tunas bangsa di masa depan, atau peringatan untuk melakukan perbuatan yang
perlindungan hukum terhadap anak menyangkut menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau
semua aturan yang berlaku. Perlindungan ini perlu menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
karena anak merupakan bagian dari masyarakat yang “Memaksa” berasal dari kata dasar paksa yakni:
mempunyai keterbatasan secara fisik dan mental. mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun
Oleh karena itu memerlukan perlindungan dan tidak mau; kekerasan; perkosaan, dan memaksa yang
perawatan khusus(Marlina 2009). memiliki arti memperlakukan, menyuruh, meminta
Bujuk rayu yang terdapat dalam Undang- dengan paksa; berbuat dengan kekerasan (mendesak,
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan menekan); memerkosa (KBBI n.d.). Kata paksaan
Anak tidak dapat digunakan pada korban yang sendiri dalam terjemahan menurut Bahasa Inggris
merupakan orang dewasa. Hal ini dikarenakan memiliki beberapa sinonim kata yang sama yakni
beberapa alasan yaitu: pertama, bertentangan dengan coercion, compulsion, force, constraint, forcing dan
asas legalitas; kedua, bertentangan dengan enforcement. Namun dalam Black Law Dictionary
argumentum a contrario karena pada Pasal 81 Seventh Edition, hanya ditemukan pengertian
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang coercion, force dan compulsion tentang paksaan
Perlindungan Anak hanya mengatur tentang tindak menurut kamus hukum (Rukmana 2013).
perkosaan terhadap anak maka berlakulah Definisi kekerasan menurut Pasal 1 ayat (3)
kebalikannya yakni tidak dapat digunakan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang
korban yang merupakan orang dewasa. Ketiga, Tindak Pidana Terorisme:
penggunaan bujuk rayu dalam Pasal 81 Undang- “kekerasan adalah setiap perbuatan
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau
Anak hanya berlaku untuk tindak pidana perkosaan tanpa menggunakan sarana secara melawan
terhadap anak, mengingat tujuan utama dari hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan,
dibuatnya Undang-Undang Perlindungan Anak. nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk
menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.”
Ketepatan Perluasan Makna Frase “Bujuk Rayu” Definisi ancaman kekerasan menurut Pasal 1
Pada Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018
Nomor 12/PID/2015/PT.BGL Sebagai Unsur tentang Tindak Pidana Terorisme:
Memaksa Dalam Pasal 285 KUHP “Ancaman kekerasan adalah setiap
Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu perbuatan secara melawan hukum berupa
12/PID/2015/PT.BGL, Majelis Hakim tingkat ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan
banding menyimpulkan bahwa bujuk rayu tubuh, baik dengan maupun tanpa
merupakan perluasan dari unsur memaksa dalam menggunakan sarana dalam bentuk elektronik
Pasal 285 KUHP. Akan tetapi, pendapat majelis atau nonelektronik yang dapat menimbulkan
hakim tersebut dianggap kurang tepat, karena bujuk rasa takut terhadap orang atau masyarakat
rayu seharusnya tidak ada kaitannya dengan unsur secara luas atau mengekang kebebasan hakiki
memaksa. seseorang atau masyarakat.”
Berdasarkan penafsiran gramatikal akan dibahas Perbuatan memaksa tercantum dalam KUHP
arti dan konsep dari kekerasan, ancaman kekerasan, Pasal 335, yang berbunyi:
perbuatan memaksa, dan bujuk rayu. Menurut Kamus “(1) Diancam dengan pidana penjara
besar Bahasa Indonesia “kekerasan” dapat diartikan paling lama satu tahun atau denda paling
sebagai: perihal (yang bersifat, berciri) banyak empat ribu lima ratus rupiah:

7
1. barang siapa secara melawan hukum Bujuk adalah usaha untuk meyakinkan seseorang
memaksa orang lain supaya melakukan, bahwa yang dikatakan benar (KBBI n.d.), sedangkan
tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, rayu adalah menyenangkan hati (memikat) dengan
dengan memakai kekerasan, sesuatu kata-kata manis dan sebagainya (KBBI n.d.).
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak Berdasarkan pengerti tersebut bujuk rayu dapat
menyenangkan, atau dengan memakai diartikan sebagai perbuatan untuk meyakinkan
ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan seseorang atau membohongi untuk tujuan tertentu
lain maupun perlakuan yang tak dengan cara menyenangkan hati atau memikat hati
menyenangkan, baik terhadap orang itu dengan kata-kata manis. Dapat dikatakan seseorang
sendiri maupun orang lain; yang dibujuk rayu akan dengan senang hati
2. barang siapa memaksa orang lain supaya memenuhi permintaan orang yang melakukan bujuk
melakukan, tidak melakukan atau rayu.
membiarkan sesuatu dengan ancaman Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui
pencemaran atau pencemaran tertulis. bahwa perbuatan memaksa memiliki arti dan makna
(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan yang cendurung mengarah pada kekerasan atau
dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas ancaman kekerasan. Berbeda dengan memaksa,
pengaduan orang yang terkena.” perbuatan bujuk rayu lebih cendurung pada memikat
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atau membohongi seseorang agar tercapai tujuan dari
Nomor 1/PUU-XI/2013, bunyi Pasal 335 ayat (1) orang yang melakukan bujuk rayu. Pada bujuk rayu
angka 1 KUHP telah diubah menjadi: tidak terdapat arti atau makna yang mengarah pada
“Barang siapa secara melawan hukum kekerasan atau ancaman kekerasan.
memaksa orang lain supaya melakukan, tidak Pada konsepnya bujuk rayu berbeda dengan
melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan perbuatan memaksa, karena hasil akhir dari
memakai kekerasan, atau dengan memakai perbuatan bujuk rayu adalah seseorang yang terkena
ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu bujuk rayu akan melakukan atau memenuhi tujuan
sendiri maupun orang lain.” dari orang yang menggunakan bujuk rayu padanya.
Penggunaan daya upaya sudah menunjukkan, Sedangkan, dalam perbuatan memaksa seseorang
bahwa terdapat perbuatan paksaan dan juga, bahwa yang dipaksa akan melakukan atau memenuhi tujuan
perbuatan paksaan ini dilakukan dengan melawan dari orang yang memaksa dengan perasaan terpaksa
hukum, paksaan mana ditujukan terhadap berbuat, dan bukan karena keinginannya sendiri. Oleh karena
tidak berbuat atau membiarkan. Perbuatan paksaan itu bujuk rayu dan perbuatan memaksa tidak dapat
adalah setiap perbuatan yang dapat menimbulkan disamakan.
rasa takut pada orang lain (Risnayanti 2018). Dalam putusan hakim pada Putusan Pengadilan
Dapat dikatakan seseorang yang berada dalam Tinggi Bengkulu 12/PID/2015/PT.BGL, terdakwa
keadaan terpaksa akan memenuhi permintaan atau tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan karena
memenuhi tujuan orang yang memaksa dengan dalam percakapan antara terdakwa dengan saksi
perasaan terpaksa atau bukan karena keinginannya korban berakhir dengan sebuah kesepakatan.
sendiri. “dek kito ke hotel ajo, dak lemak tengok orang”
Dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang lalu dijawab oleh korban Narti: “ngapoi kak ke
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak hotel?” lalu terdakwa jawab: “maso adek dak ngerti”
tidak disebutkan apakah bujuk rayu termasuk dalam lalu dijawab lagi oleh saksi korban narti: “tapi aku
unsur kekerasan, ancaman kekerasan ataupun dak pernah ngelakukan itu sebelumnyo” lalu
perbuatan memaksa. Pasal 81 ayat (2) Undang- terdakwa jawab lagi : “kalo adek memang sayang
Undang Nomor 23 Tahun 2002 hanya menyebutkan : samo kakak, jangankan keperawanan adek, nyawo
“Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud adek pasti adek kasih” lalu dijawab korban
dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang narti :”tapi kakak janji, kalo udah adek kasih, kakak
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, jangan tinggalkan adek yo” lalu terdakwa jawab :
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak “iyo”.
melakukan persetubuhan dengannya atau Berdasarkan percakapan diatas dapat diketahui
dengan orang lain”. bahwa perbuatan bujuk rayu di dalam percakapan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Istilah tersebut bukanlah perbuatan memaksa seperti yang
bujuk rayu berasal dari kata “bujuk” dan “rayu”. disampaikan majelis hakim, karena di dalam
percakapan tersebut terjadi kesepakatan antara korban sehingga terjadilah kesepakatan antara
terdakwa dengan saksi korban pada akhir terdakwa dengan korban.
percakapan. Janji terdakwa untuk tidak Kemudian Majelis Hakim Tingkat Banding
meninggalkan saksi korban adalah upaya untuk mempertimbangkan: “bahwa berdasarkan
memikat hati saksi korban Sunarti. pertimbangan-pertimbangan diatas majelis hakim
Selain itu melihat dari keterangan-keterangan tingkat banding berpendapat bahwa meskipun
saksi korban yang memberikan penjelasan bahwa keterangan terdakwa melakukan persetubuhan atas
terdakwa melakukan perbuatan memaksa, terlihat dasar suka sama suka, namun berdasarkan
bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi korban keterangan saksi korban yang dihubungkan dengan
tidak relevan dan tidak sesuai fakta. Hal ini Visum Et Repertum Nomor VER/04/IX/2014
dikarenakan keterangan saksi korban terbantahkan tertanggal 02 September 2014 atas nama Sunarti
oleh keterangan saksi M. Ali Hamka selaku Martini dan keterangan ahli dipersidangan telah
karyawan hotel dan keterangan ahli dr. Deddy Fitri, dapat dijadikan sebagai bukti bahwa terdakwa
SpOG. “memaksa” saksi korban melakukan persetubuhan
Dalam keterangannya saksi karyawan hotel dengan terdakwa”. Keterangan saksi korban yang
mengatakan bahwa tidak jauh dari kamar yang digunakan majelis hakim tingkat banding dalam
disewa terdakwa terdapat mess karyawan yang pertimbangannya tersebut tidak tepat dan tidak
terdapat tiga orang teman saksi didalamnya pada saat relevan. Keterangan saksi korban banyak yang
itu dan pada malam hari tersebut saksi tidak bertentangan dengan fakta-fakta yuridis dalam
mendengar adanya teriakan atau kegaduhan dari Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor
kamar yang disewa terdakwa begitu juga dengan 410/Pid.B/2014/PN.BGL, seperti:
teman saksi. Kemudian ahli dr. Deddy Fitri, SpOG “Bahwa benar terdakwa dan saksi korban duduk
menjelaskan bahwa pendarahan dia area vagina diatas tempat tidur kemudian terdakwa menyuruh
tersebut dapat terjadi akibat aktivitas hubungan saksi korban membuka celana levis dan celana dalam
seksual yang dilakukan oleh saksi korban tidak dalam saksi korban sedangkan terdakwa membuka celana
kondisi rileks saat melakukan hubungan seksual panjang dan celana dalam terdakwa.”
tersebut, bisa jadi karena rasa takut, malu, dan “Bahwa benar terdakwa dan saksi korban
perasaan tegang lainnya. berciuman dan sewaktu terdakwa akan memasukkan
Mengingat dalam kasus ini saksi korban baru penis terdakwa ke dalam vagina saksi korban
pertama kali melakukan hubungan seksual maka kembali saksi korban mengatakan kepada terdakwa
dapat disimpulkan bahwa penyebab luka robek pada untuk tidak tinggalkan saksi korban setelah
area vagina adalah karena saat berhubungan seksual keperawanan saksi korban diberikan kepada
saksi korban dalam keadaan malu dan tegang, bukan terdakwa, “jangan nian pernah tinggali adek yo
karena adanya kekerasan, ancaman kekerasan, setelah adek kasih ini, awas kalo sampai kakak
maupun pemaksaan. Pernyataan ini sekaligus ninggali adek.”
membantah pertimbangan hakim yang menyatakan “Bahwa benar terdakwa memasukkan kemaluan
bahwa luka robek pada area vagina merupakan bukti terdakwa ke dalam kemaluan saksi korban dengan
jika persetebuhan antara terdakwa dengan saksi dibantu saksi korban yang ikut memegang penis
korban tidak diinginkan oleh saksi korban. terdakwa mengarahkan kemaluan terdakwa ke dalam
Selanjutnya majelis hakim dalam putusannya kemaluan saksi korban.”
berpendapat “bahwa kata cinta yang disampaikan Berdasarkan fakta yuridis dari Putusan
terdakwa tersebut diatas ternyata adalah merupakan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor
kata-kata bohong agar saksi korban mau disetubuhi 410/Pid.B/2014/PN.BGL tersebut, maka
terdakwa, hal ini dapat dibuktikan dari keterangan pertimbangan hakim tingkat banding yang
terdakwa yang menyatakan “janji saksi yang tidak menggunakan keterangan saksi korban Sunarti
akan meninggalkan saksi korban setelah saksi sebagai bukti bahwa terdakwa “memaksa” saksi
korban menyerahkan keperawanannya kepada korban berhubungan badan adalah tidak tepat.
terdakwa. Hal tersebut hanya rayuan dalam Sehingga unsur “dengan kekerasan atau ancaman
hubungan pacaran saja”. Dalam hal ini majelis kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
hakim dianggap tepat karena janji terdakwa kepada dengan dia diluar perkawinan” tidak terpenuhi. Maka
saksi korban adalah upaya untuk memikat hati saksi dari itu, berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas
perbuatan bujuk rayu yang dilakukan terdakwa dalam

9
Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor dipertimbangkan sebagai berikut. Bahwa sejalan
12/PID/2015/PT.BGL bukan merupakan unsur dengan perkembangan teknologi modern dan
memaksa dalam KUHP. kebudayaan, pengertian tentang “barang” ini semakin
Perbuatan terdakwa tidak melanggar Pasal 285 luas; Bahwa Pengadilan Tinggi khususnya dalam
KUHP, karena tidak ditemukan unsur-unsur perkara ini akan memperluas juga pengertian tersebut
memaksa dalam Pasal 285 KUHP. Akan tetapi jika di mana pengertian “barang” dalam Pasal 378 dari
dikaitkan dengan konteks kekuasan kehakiman, KUHP ini termasuk juga “jasa”; Bahwa di dalam
ketika hakim dihadapkan pada keadaan mengadili peristiwa yang terjadi ini seperti telah
suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar hukum dipertimbangkan di atas saksi Katarina br. Siahaan
atau pengaturan hukum yang tidak jelas (kabur). telah mengijinkan terdakwa bersenggama dengan
Maka, hakim selaku penegak hukum tidak dapat Katarina br. Siahaan dengan harapan untuk
menolak untuk memeriksa dan mengadili kasus dikawini(Sudirman 2007).
tersebut dengan dalih tidak ada hukum yang Bahwa seperti dipertimbangkan di atas
mengatur. Sesusai dalam Pasal 10 ayat (1) Undang- persenggamaan tersebut memberi keuntungan kepada
Undang Nomor 49 Tahun 2009 yang berbunyi: terdakwa sehingga dalam hal ini Mertua Raja
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk Sidabutar dianggap telah menerima suatu “jasa” dari
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang saksi Katarina br. Siahaan; Bahwa memang benar,
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau dari segi hukum perdata perikatan hukum yang
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa demikian adalah batal demi hukum karena
dan mengadilinya.” bertentangan dengan undang-undang, sehingga
Juncto Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor walaupun ada cedera janji (wanprestasi) oleh
49 Tahun 2009 yang berbunyi: terdakwa, hal ini tidak dapat digugat ganti rugi oleh
“Hakim dan hakim konstitusi wajib saksi Katarina br. Siahaan, akan tetapi Pengadilan
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Tinggi berpendapat di bidang pidana, perbuatan
kehidupan yang hidup dalam masyarakat.” cedera janji tetap dapat dipertanggungjawabkan
Menurut Kusnu Goesniadhie S, keberlakukan kepada terdakwa; Bahwa juga mengenai sesuatu
UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan yang melekat bersatu dalam diri seseorang, dalam hal
Kehakiman memberikan batasan terhadap kebebasan ini yang dimiliki saksi Katarina br. Siahaan, juga
tersebut yaitu sepanjang dalam tertentu terjadi termasuk dalam pengertian “barang”, karena
pertentangan norma hukum, kekaburan, atau bukankah ia telah menyerahkan kehormatannya,
ketidakjelasan norma hukum (Satriyo Ekoris karena janji, bila diterima disenggama akan dikawini
Sampurno 2015). Apabila melihat pada kasus terdakwa.
terdahulu, terdapat putusan yang cukup menjadi Putusan Hakim Bismar Siregar tersebut tidak
perhatian khusus. Pada putusan Pengadilan Tinggi dapat digunakan sebagai dasar karena Mahkamah
Medan Nomor 144/PID/1983/PT.Mdn yang dipimpin Agung membatalkan putusan tersebut. Penyebab
oleh Hakim Bismar Siregar sebagai ketua Majelis dibatalkan putusan tersebut karena Surat pengakuan
Hakim. Hakim Bismar menghukum seorang pria 18 Maret 1978 yang dibuat terdakwa tak
yang menghamili seorang wanita dengan tindak membuktikan adanya tipu muslihat atau rangkaian
pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP, kebohongan, karena surat pengakuan dibuat setelah
dengan hukuman penjara 3 (tiga) tahun penjara. senggama dilakukan.
Hakim Bismar Siregar melakukan perluasan Penemuan hukum pidana yang dilakukan oleh
penafsiran kata ‘barang’; hal tersebut termasuk juga Bismar Siregar dilakukan dengan berdasar pada sifat
jasa. Hubungan senggama antara terdakwa dan saksi melawan hukum dalam fungsi positif sehingga
korban telah menguntungkan terdakwa, karena itu digunakan interpretasi/penafsiran teleologis. Sifat
juga sudah menerima ‘jasa’ dari saksi korban. melawan hukum dalam fungsi positif yaitu apabila
Merujuk pada bahasa Tapanuli, ‘barang’ sering perbuatan yang dilakukan tidak diatur dalam
dipakai untuk menyebut kemaluan. Sehingga ketika peraturan perundang-undangan, tetapi oleh nilai-nilai
saksi korban menyerahkan kehormatannya akibat masyarakat perbuatan tersebut dianggap sebagai
bujuk rayu terdakwa, berarti sama dengan tindak pidana, maka dapat dipidana. Penggunaan
menyerahkan barang(Sudirman 2007). penafsiran teleologis ini dapat menjadi alasan logis
Hakim Bismar Siregar menjelaskan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum
memberikan atau menyerahkan barang tertentu pidana. Seperti yang telah diterangkan dalam Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menafsirkan bahwa ‘kemaluan perempuan’ dapat
tentang Kekuasaan Kehakiman: disamakan dengan barang. Mengacu pada
“Hakim dan hakim konstitusi wajib pertimbangan Hakim Bismar Siregar.
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai Ahli hukum Pompe yang ikut dalam golongan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam yang berisi para ahli hukum pidana yang menerima
masyarakat.” penerapan analogi pernah berpendapat bahwa dalam
ketentuan pidana yang dirumuskan dalam Pasal 1
Keputusan ini menjadi alasan pembenar atas
ayat (1) KUHP itu juga terdapat sebuah asas yang
penggunaan norma di dalam masyarakat sebagai melarang dipergunakannya metode penafsiran
dasar untuk menetukan keadilan sesuai kehendak undang-undang secara analogi dalam hukum pidana.
masyarakat. Keputusan diatas merupakan salah satu Akan tetapi dalam cetakan kelima bukunya, Pompe
bukti bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan mengubah pendapatnya dengan alasan setelah
pengadilan harus didasarkan dengan dasar yang kuat dipertimbangkan lebih lanjut, Pompe merasa
sehingga dapat menjamin kepastian hukum. argumen-argumen yang pernah dikemukakan
mengandung kelemahan (Nugroho 2018).
Dikatakan produk hukum baik apabila
Alasan Pompe untuk menerima penggunaan
memenuhi 3 (tiga) tujuan hukum yaitu untuk
analogi dalam hukum pidana disebabkan sejarah
mencapai kepastian hukum, keadilan, dan mencapai
Pasal 1 ayat 1 KUHP yang pada hakekatnya
kemanfaatan (Satriyo Ekoris Sampurno 2015).
menyatakan bahwa dapat dipidananya suatu
Dalam hal ini tindakan Majelis Hakim tingkat
perbuatan sepenuhnya diserahkan kepada hakim.
banding yang mengadili terdakwa tidak memenuhi
Pompe berpendapat bahwa untuk memberlakukan
aspek tujuan hukum sebagai berikut:
undang-undang pidana sebenarnya hakim
Satu, kepastian Hukum, tindakan Majelis
mempunyai suatu kebebasan yang besar, karena pada
Hakim tingkat banding yang dalam pertimbangannya
akhirnya hakimlah yang harus menilai apakah suatu
menggunakan perluasan makna Pasal 285. Pada
perkataan atau kalimat yang terdapat di dalam
hakikatnya KUHP telah mengatur secara tegas unsur
undang-undang itu sudah jelas atau belum. Apabila
perkosaan adalah “adanya kekerasan dan ancaman
hakim berpendapat bahwa suatu perkataan atau
kekerasan, memaksa”, tetapi dalam pertimbangannya
kalimat dalam undang-undang tidak jelas, maka ia
Majelis Hakim tingkat banding memasukkan
mempunyai suatu kebebasan untuk berusaha
penggunaan rayuan ataupun janji-janji palsu sebagai
mengetahui arti yang sebenarnya dari perkataan atau
perluasan dari unsur memaksa dari Pasal 285 KUHP.
kalimat tersebut, baik sesuai dengan maksud
Jelas bahwa pertimbangan tersebut tidak bias
pembentuk undang-undang maupun sesuai dengan
menjamin kepastian hukum.
maksud undang-undang itu sendiri. Pendapat Pompe
Dua, keadilan hukum, Putusan Pengadilan
ini senada dengan pendapat Sudikno Mertokusumo
Tinggi Bengkulu Nomor 12/PID/2015/PT.BGL tidak
dan A. Pitlo yang menyatakan oleh karena undang-
memberikan keadilan bagi terdakwa. Hal ini
undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka
dikarenakan perbuatan yang dilakukan terdakwa
hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan
tidak memenuhi unsur memaksa dalam Pasal 285
hukumnya (Nugroho 2018).
KUHP juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Menyangkut tentang strafbaarheid suatu delik
1/PUU-XI/2013, yang mengubah Pasal 335 ayat (1) yaitu penentuan dapat atau tidaknya suatu perbuatan
angka 1 KUHP. seseorang diancam pidana, Pompe hanya setuju
Tiga, kemanfaatan hukum, dengan mengadili penggunaan analogi yang terbatas, yaitu dalam
terdakwa akan terkesan memaksakan. Karena keadaan: Pertama, pembuat undang-undang lupa
ditinjau dari aspek macam-macam perkosaan, teori merumuskan perbuatan pidana. Kedua, pembuat
penafsiran hukum, asas legalitas, kekuasaan undang-undang tidak dapat memikirkan hal demikian
karena hal tersebut adalah hal yang baru(Nugroho
kehakiman, maupun tujuan hukum perbuatan
2018).
terdakwa bukanlah perbuatan yang memenuhi unsur Terlepas dari boleh-tidaknya analogi dalam
memaksa dalam Pasal 285 KUHP. hukum pidana, dalam perkembangannya sulit
Perbuatan terdakwa lebih tepat pada perbuatan dinafikan Hoge Raad dan Mahkamah Agung RI tidak
penipuan seperti yang dikemukakan hakim Bismar menggunakan analogi. Contoh konkrit arrest Hoge
Siregar. Mengingat putusan Pengadilan Tinggi Raad yang dapat dikatakan menggunakan analogi
Medan Nomor 144/PID/1983/PT.Mdn yang dipimpin yaitu Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921
oleh Hakim Bismar Siregar yang pada putusannya mengenai kasus pencurian listrik yang pada saat itu
untuk memenuhi unsur penipuan. Hakim Bismar Hoge Raad memperluas arti barang sehingga

11
meliputi benda yang tidak berwujud sehingga listrik bersetubuh dengan terdakwa). Terdakwa membujuk
termasuk kedalamnya. Selain itu Hoge Raad juga saksi korban menggunakan tipu muslihat (bujuk
mempersamakan antara perbuatan menyalakan saklar rayu) yang menimbulkan sebuah kesepakatan yakni
(inschakelen) dengan mengambil (wegneemt) dalam korban mau bersetubuh asal terdakwa tidak
Pasal 310 KUHP Belanda. meninggalkan saksi korban setelah bersetubuh.
Apabila berpegang pada pendapat Pompe dan Namun, janji terdakwa tersebut hanyalah tipu
ahli hukum lainnya yang memperbolehkan analogi muslihat, karena setelah kejadian tersebut terdakwa
terbatas, maka perbuatan bujuk rayu dapat di meninggalkan saksi korban dan tidak menghubungi
analogikan dengan penipuan. Tindak pidana saksi korban lagi.
penipuan diatur pada Pasal 378 KUHP, yang Perbuatan bujuk rayu yang dilakukan terdakwa
berbunyi: dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor
“Barang siapa dengan maksud untuk 12/PID/2015/PT.BGL bukan merupakan unsur
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara memaksa dalam KUHP karena tidak terpenuhinya
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau unsur memaksa. Perbuatan bujuk rayu terdakwa
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun kepada saksi korban dalam Putusan Pengadilan
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain Tinggi Bengkulu Nomor 12/PID/2015/PT.BGL lebih
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau tepat dianggap sebagai penipuan dan dapat dikenakan
supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
piutang diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.” PENUTUP
Menurut R. Soesilo dalam Kitab Undang- Simpulan
Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar- Istilah bujuk rayu yang terdapat dalam Undang-
komentarnya Lengkap pasal demi pasal, unsur Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
penipuan itu ada tiga, yaitu: Anak tidak dapat digunakan pada korban yang
Satu, Membujuk orang supaya memberikan merupakan orang dewasa. Hal ini dikarenakan
barang, membuat utang, atau menghapuskan piutang; beberapa alasan yaitu: pertama, bertentangan dengan
dua, Maksud pembujukan itu adalah hendak asas legalitas; kedua, bertentangan dengan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan argumentum a contrario karena pada Pasal 81
maksud melawan hak;, tiga, Membujuknya itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, Perlindungan Anak hanya mengatur tentang tindak
akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan perkosaan terhadap anak. Maka berlakulah
bohong(Soesilo 1988). kebalikannya yakni tidak dapat digunakan pada
Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu korban yang merupakan orang dewasa. Ketiga,
Nomor 12/PID/2015/PT.BGL perbuatan bujuk rayu penggunaan bujuk rayu dalam Pasal 81 Undang-
terdakwa kepada korban menghasilkan sebuah Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
kesepatan antara terdakwa dengan saksi korban, Anak hanya berlaku untuk tindak pidana perkosaan
yakni pelaku tidak boleh meninggalkan saksi korban terhadap anak, mengingat tujuan utama dari
setelah saksi korban bersetubuh dengan terdakwa. dibuatnya Undang-Undang Perlindungan Anak.
Sehingga apabila terdakwa ingkar janji maka Makna frase “bujuk rayu” pada putusan hakim
perbuatan terdakwa lebih tepat dianggap sebagai Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor
tindak pidana penipuan. Apabila merujuk pada 12/PID/2015/PT.BGL bukan merupakan unsur
pendapat hakim bismar sebelumnya, maka terdakwa memaksa dalam Pasal 285 KUHP. Hal ini
yang telah bersetubuh dengan saksi korban dapat dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
dianggap telah menerima keuntungan. Hal ini 1/PUU-XI/2013 mengubah definisi pemaksaan
dikarenakan terdakwa telah menerima jasa dengan menghilangkan unsur perbuatan tidak
(persetubuhan) dari saksi korban. menyenangkan. Sehingga, definisi pemaksaan
Perbuatan terdakwa tersebut sudah memenuhi mengacu pada kekerasan atau ancaman kekerasan,
unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP, yakni: sedangkan dalam bujuk rayu tidak terdapat unsur
Terdakwa membujuk saksi korban agar memberikan kekerasan atau ancaman kekerasan. Selain itu, bujuk
suatu jasa (bersetubuh dengan terdakwa). Maksud rayu berakhir dengan kesepakatan dan kesukarelaan
terdakwa membujuk korban adalah untuk saksi korban yang dibujuk rayu oleh terdakwa,
menguntungkan diri terdakwa (saksi korban mau berbeda dengan pemaksaan yang berakhir dengan
keterpaksaan saksi korban melakukan suatu Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme
perbuatan bukan karena keinginannya sendiri. Dalam Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
hal ini, terdakwa dapat dianggap telah menerima jasa Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
(persetubuhan) dari saksi korban setelah Ibrahim, Johny. 2005. Teori & Metodologi Penelitian
menggunakan bujuk rayu pada saksi korban. Oleh Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
karena itu perbuatan terdakwa lebih tepat dianggap Publishing.
sebagai tindak pidana penipuan. Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
Bandung: Refika Aditama.
Saran Marzuki, Peter Mahmud. 2014. Penelitian Hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Perlindungan Anak hanya dapat digunakan apabila
Mertokusumo, Sudikno. 2007. Penemuan Hukum
terjadi tindak perkosaan terhadap anak dan tidak
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
dapat digunakan pada korban yang merupakan orang
dewasa. Oleh karena itu, Lembaga Penegak Hukum Moeljatno. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
seyogyanya membuat aturan turunan mengenai
tindak pidana perkosaan atau aturan yang Soeroso, R. 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
memperbolehkan digunakannya Pasal 81 Undang- Sinar Grafika.
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Soesilo, R. 1988. Kitab Undang-Undang Hukum
Anak kepada orang dewasa. Hal ini karena Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
ditemukannya modus-modus baru dalam tindak Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
pidana perkosaan seiring perkembangan zaman dan Sugandhi, R. 1980. KUHP dan Penjelasannya.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Surabaya: Usaha Nasional.
sebagaimana warisan belanda yang berlaku sejak
Jurnal, Artikel Ilmiah, dan Skripsi
pada 1918 dinilai tidak sesuai apabila dihadapkan
pada konteks permasalahan-permasalahan sosial Amrullah, Andi. 2007. “Penemuan Hukum Oleh
Hakim Dalam Memutuskan Suatu Perkara
dewasa ini. Sehingga dengan adanya aturan turunan
Perdata Di Pengadilan Negeri Watanompe.”
diharapkan dapat menjadi jalan keluar sementara Universitas Hasanuddin.
terhadap permasalahan bujuk rayu dalam kasus
perkosaan sampai rampungnya Rancangan Kitab Nuryadin. 2014. “Kedewasaan Dalam Perspektif Al-
Qur’an.” Universitas Islam Negeri Alauddin.
Undang-Undang Hukum Pidana yang baru.
Hakim dalam memutus suatu perkara Risnayanti. 2018. “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak
seyogyanya berlandaskan pada hukum positif di Pidana Pemerasan Dengan Menggunakan
Senjata Tajam.” Universitas Hasanuddin,
Indonesia. Sebagaimana Indonesia mengakui adanya
Makassar.
asas legalitas. Dalam kasus perkosaan dengan modus
bujuk rayu Penegak Hukum seyogyanya mengajukan Rukmana, Fatmawati Indra. 2013. “Interpretasi
pengujian Pasal 378 KUHP kepada Mahkamah Hukum Dalam Menentukan Unsur Paksaan Dan
Ancaman Yang Melanggar Hukum Sebagai
Konstitusi untuk memperluas unsur objek dalam
Dasar Pembatalan Perkawinan (Analisis Yuridis
Pasal 378 KUHP tidak hanya barang dan piutang Putusan Nomor : 285/ Pdt.G/ 2008/ PA/ Krs Jo.
tetapi juga mencakup jasa. Hal tersebut dimaksudkan Putusan Nomor: 230/ Pdt. G/2008/ PTA.Sby ).”
agar tercapainya keadilan bagi korban bujuk rayu, Universitas Brawijaya, Malang.
sekaligus melindungi kerhormatan wanita. Karena Satriyo Ekoris Sampurno. 2015. “Analisis Yuridis
saat ini zaman sudah lebih modern dan KUHP butuh Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor
pembaharuan. Dalam kasus ini Hakim seyogyanya 410/Pid.B/2014/PN.BGL Tentang Tindak
juga mempertimbang Pasal terkait penipuan serta Pidana Perkosaan.” 1–19.
pendapat-pendapat ahli yang berpendapat bahwa Website
penipuan tidak hanya terhadap barang, tetapi juga
KBBI. “Definisi Ancaman.” Kamus Besar Bahasa
jasa.
Indonesia. Diambil 23 Maret 2021a
(https://kbbi.web.id/ancam).
DAFTAR PUSTAKA
KBBI. “Definisi bujuk.” Kamus Besar Bahasa
Buku Indonesia. Diambil 30 Maret 2021b
Ali, Achmad. 2015. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: (https://kbbi.web.id/bujuk).
Kencana Prenada Media Group.

13
KBBI. “Definisi Kekerasan.” Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Diambil 20 Maret 2021c
(https://kbbi.web.id/keras).
KBBI. “Definisi paksa.” Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Diambil 27 Maret 2021d
(https://kbbi.web.id/paksa).
KBBI. “Definisi Rayu.” Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Diambil 30 Maret 2021e
(https://kbbi.web.id/rayu-2).
Nugroho, Timothy. 2018. “Pemikiran Pompe
Mengenai Analogi Dalam Hukum Pidana.”
Vivajusticia.Net. Retrieved
(https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/11/29/p
emikiran-pompe-mengenai-analogi-dalam-
hukum-pidana/).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5606);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6216);
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor
1/PUU-XI/2013

Anda mungkin juga menyukai