Anda di halaman 1dari 5

Analisis Pasal 104,106, dan 107 KUHP

NAMA : MUHAMMAD RIFQI ALIFIANSYAH


NIM : 185010107111032

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Pasal 104,106,dan 107 berada di buku kedua tentang kejahatan.

Pasal 104 berisi tentang “Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden,
atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidk mampu
memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidan
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
ada dua kelompok yang memberikan tafsir atas pasal-pasal makar yang ada di dalam KUHP,
yaitu: kelompok ilmuwan yang menafsirkannya sebagai delik serangan, tindak kekerasan,
dan kelompok yang menafsirkannya sebagai delik percobaan yang tidak lengkap.
Serangan dan Tindak Kekerasan
Soesilo menjelaskan makna aanslag sama dengan penyerangan yang hendak membunuh,
merampas kemerdekaan atau menjadikan presiden tidak cakap
memerintah. Aanslag dilakukan dengan perbuatan kekerasan dan dimulai dengan
perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen). Sementara itu, yang dimaksud dengan
perbuatan kekerasan dimaknainya sebagai mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani
tidak kecil secara dan secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan
segala macam senjata, menyepak atau menendang dan sebagainya. Kekerasan juga
dimaknai dengan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Pingsan sendiri diartikannya
“tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya”. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai
kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun,
misalnya mengikat dengan tali kaki atau tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan
suntikan sehingga itu lumpuh.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa KUHP dan undang-undang pidana lainnya
tidak memberikan makna terhadap aanslag atau makar. P.A.F. Lamintang menafsirkan
bahwa kata aanslag berasal dari aanval (serangan) atau dengan tafsir keduanya
yaitu misdadige aanrading(penyerangan dengan maksud tidak baik). P.A.F Lamintang
sebenarnya masih ragu juga apakah benar aanslag berasal dari kata aanval atau misdadige
aanrading, dan apakah keduanya memang memiliki keterkaitan atau sama sekali dua kata
yang berbeda.
Tafsir dari Prof. Noyon dan Prof. Langemeijer, mengartikan makar sebagai tindak kekerasan
atau setidak-tidaknya merupakan percobaan-percobaan untuk melakukan tindak
kekerasan. Namun demikian menurut keduanya, tidak setiap aanslag selalu harus diartikan
sebagai tindak kekerasan karena dalam praktik dapat dijumpai beberapa aanslag yang
dilakukan tanpa didahulahui dengan kekerasan. Alasan Noyon dan Langemeijer ini
diperkuat dengan contoh perbuatan yang ingin mengganti haluan negara tanpa didahului
dengan kekerasan.
Prof. Simons menyatakan bahwa Aanslag ialah setiap tindakan yang dilakukan
dengan maksudseperti yang dimaksudkan dalam pasal 104 KUHP, jika tindakan-
tindakan yang terlarang menurut pasal 104 KUHP, jika tindakan-tindakan tersebut telah
melampaui atas dari suatu tindakan persiapan dan telah dapat dianggap sebagai permulaan
dari suatu tindakan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 KUHP.

Percobaan yang Tidak Lengkap


Sebagian ilmuwan hukum pidana lainnya memberikan tafsir lain atas aanslag sebagai delik
percobaan yang diamputasi, yaitu hilangnya unsur “berhentinya perbuatan bukan atas
kehendak si pelaku”. Menurut (Moeljatno, 1982:13) delik makar merupakan turunan dari
dari delik percobaan, hanya saja jika dalam delik percobaan memiliki tiga unsur yaitu “niat”,
“permulaan pelaksanaan”, “berhentinya permulaan pelaksanan bukan dari keinginan
pelaku”.
Ketentuan makar yang ada pada pasal 87 berada di dalam buku I KUHP, Buku Satu
merupakan penjelasan umum atau memberikan makna atas beberapa istilah yang ada di
Buku Kedua dan Buku Ketiga. Namun penjelasan yang terdapat dapatl Pasal 87 ini masih
kurang memuaskan. Pertanyaannya: kenapa penyusun KUHP mengkaitkannya dengan Pasal
53 KUHP?
Mengacu pada Pasal 87, unsur utama dalam makar adalah (1) niat dan (2) permulaan
pelaksaan. Kedua unsur itu sudah banyak ditafsirkan dalam doktrin. Oleh sebab itu, dapat
merujuk pada doktrin-doktrin yang ada. Dengan adanya kemiripan delik antara makar dan
percobaan, maka tafsir atas permulaan pelaksanaan yang ada pada makar dapat juga
menggunakan tafsir yang sama dalam delik percobaan.
Menurut Moeljatno (1985), delik makar termasuk dalam kategori delik percobaan dengan
persyaratan, yaitu: (1) tujuan terdakwa telah tercapai seluruhnya (2) Jika pun terdakwa
mengundurkan diri secara sukarela maka terdakwa masih dimungkinkan untuk dipidana.
Mencoba melakukan kejahatan dipidana jika ada niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan
oleh kehendaknya sendiri
Niat ditafsirkannya berbeda dengan kesengajaan, namun niat berpotensi berubah menjadi
kesengajaan jika sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Tetapi jika belum semua
ditunaikan menjadi perbuatan pidana, maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang
memberi arah kepada perbuatan. Oleh karena itu, niat tidak sama dan tidak bisa disamakan
dengan kesengajaan.
Merujuk pada pasal tersebut, jika kita mengambil contoh pada demonstrasi yang terjadi
kemarin, makar tidak bias dilakukan pada hal tersebut. Dikarenakan makar tidak bisa
merujuk pada sesuatu yang tidak pasti, maksudnya didemonstrasi tersebut kita tidak bisa
mengetahui bagaimana suasana tiap orang yang berada disitu karena sangat banyak orang
yang berfikir tidak suka terhadap presiden sehingga menimbulkan pemikiran terhadap
banyak orang disekitarnya untuk membenci presiden juga. Dalam hal tersebut juga, makar
bisa diartikan sebagai membunuh, disini membunuh diartikan dengan menghilangkan
nyawa orang tersebut, jadi jika orang tersebut hanya mengancam tidak bisa dikenakan pasal
makar tersebut, dan disini makar bisa dijeratkan kepada seseorang jika sudah
menghilangkan nyawa Patau bisa juga dengan sudah melakukan suatu hal meskipun tidak
direncanakan.
Pasal 106 berisi tentang “Makar dengan maksud supaya wilayah negara seluruhnya atau
sebagian jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah
negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama waktu tertuntu, paling lama dua puluh tahun,”

Makar yang terdapat pada pasal 106 bisa dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Berusaha menyebabkan seluruh wilayah Indonesia atau sebahagian menjadi jajahan
negara lain
b. Berusaha menyebabkan bagian dari wilayah Indonesia menjadi suatu negara yang
mardeka atau berdaulat terlepas dari NKRI.
Dalam pelaksanaan perbuatan makar dapat dikriteriakan dalam 3 kriteria :
1. Obyektif : yang telah dilakukan terdakwa benar-benar mendekatkan pada kondisi yang
potensial mewujudkan delik.
2. Subyektif : yang telah dilakukan terdakwa harus benar-benar dapat dinilai bahwa tidak
lagi ada keraguan niat untuk mewujudkan delik yang diniatinya.
3. Perbuatan terdakwa harus dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Untuk contoh dalam pasal 106 ini kita bisa mengambil pada kasus Pengibaran Bendera RMS
Rakyat Indonesia tiba-tiba dikejutkan oleh gangguan yang terjadi dihadapan presiden
Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ketika menghadiri peringatan Hari Keluargha
Nasional di Ambon, Jumat (29/6). Segerombolan penari Cakalele tiba-tiba memasuki
halaman upacara sampai pada jarak yang membahayakan presiden SBY. Rombongan penari
yang tidak diacarakan itu hendak membentangkan bendera RMS dihadapan presiden dan
rombongan pada saat Gubernur Maluku Albert Ralahalu menyampaikan laporannya.
Peristiwa memalukan ini membuat terenyuh banyak orang yang biasanya memandang
orang Ambon-Maluku sebagai sosok berkulit gelap, keriting, berani, dan berperangai
kasar,berambut keriting tetapi juga sebagai sosok yang romantis, berseni dan pencinta yang
lemah lembut tetapi tegas dan kokoh pada penderian yang rasional, sangat menghormati
tamu, adat istiadat dan sangat menghindari perbuatan aib. Kini tercoreng.
Aparat kepolisian resort pulau buru, Maluku, menangkap 17 warga yang kedapatan
mengibarkan bendera separatis Republik Maluku Selatan di area tambang emas Gunung
Botak di Pualu Buru, Maluku.
Dalam kasus ini ada hal yang diperhatikan yaitu kaliat “makar dengan maksud” artinya
perbuatan makar tersebut harus direncanakan setidak-tidaknya dipersiapkan. Meski
perumusan delik ini adalah delik formil oleh karenanya makar dalam konteks ini bersifat
karet karena tidak ada unsur penjelasan apakah makar ini dilakukan dengan upaya
kekerasan atau dilakukan dengan damai atau melalui mekanisme demokratis. Jika dilihat
pada konteks KUHP ini dibuat maka makar yang dimaksud dalam pasal 106 ini dilakukan
dengan cara kekerasan.
Pasal 107 berisi tentang
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Pemimpin dan pengatur makar tersebut ayat 1, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.

Tidak setiap orang bisa dikatakan melakukan makar dikarenakan makar hanya bisa
dilakukan jika dengan penyerangan secara fisik, menghasut ditempat umum, dan
melaksanakan hal hal tersebut (bukan wacana). Jadi sebenarnya makar yang dimaksud
untuk menggulingkan pemerintahan bisa terjadi jika hal hal tersebut menghasut banyak
orang ditempat umum dan juga melakukan penyerangan fisik terhadap objek yang ingin
digulingkan (pemerintahan).

Anda mungkin juga menyukai