Anda di halaman 1dari 17

Dr. Hamdan, S.H., M.Si.

PENGATURAN HUKUM MASALAH RESIDEVE


DIBEBERAPA NEGARA ASING

A. Pendahuluan
Sebelum membandingkannya dengan beberapa negara asing,
maka perlu untuk dipaparkan terlebih dahulu tentang
bagimana sesungguhnya pengaturan resideve di dalam
Hukum Pidana Indonesia.
Untuk saat ini, Residive belum diatur secara tersendiri
melainkan diatur sebagai bagian dari hal-hal yang
memberatkan pidana yang tersebar di buku ke II dan ke III
KUHP.
Hal yang paling esensial dan menarik dari residive ini ketika
memperbandingkannya dengan negara asing, adalah selain
untuk mengetahui efisiensi pengaturannya juga tentang
syarat-syaratnya.
B. Pengertian
Antara istilah Recidive dengan Residivis memiliki makna yang berbeda.
Kalau recidive itu berarti perbuatannya, sedangkan residivis
orangnya/pelakunya. Terhadap istilah residivis ini, masyarakat umum
lebih mengenalnya dengan sebutan “penjahat kambuhan”.
Menurt Barda Nawawi Arief, recidive terjadi dalam hal seseorang yang
melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu
putusan hakim yang tetap kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi.
Sedangkan menurut I Made Widnyana, bahwa recidive itu terjadi apabila
seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan
pidana tersebut telah dijatuhi dengan putusan hakim dan telah dijalaninya
sampai selesai (bebas), namun dalam waktu tertentu ia kembali
melakukan perbuatan pidana (I Gede Widhiana Suarda, 211 : 290).
Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh Barda Nawawi Arief dan I Gede
Widhiana Suarda, maka dapat ditarik garis yang tegas bahwa recidive
adalah pengulangan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang telah
pernah dipidana.
C. Macam-Macam Recidive
Paling tidak, saat ini dikenal ada 3 macam pengulangan kejahatan atau recidive
meskipun ada yang berpendapat hanya 2. Namun, dalam tulisan ini dianut pendapat
yang mengatakan 3 agar memudahkan dalam pemahamannya. Ketiga macam tersebut,
yaitu :
1. Pengulangan kejahatan atau Recidive Umum
Recidive umum, adalah pengulangan terhadap kejahatan jenis apapun dan dalam
waktu kapan saja (sembarang waktu).
Kejahatan jenis apapun, artinya bukan harus kejahatan sejenis/sama jenisnya.
Sedangkan waktu kapan saja, artinya waktunya tidak terikat harus waktu
tertentu,melainkan bebas yaitu bisa saja beberapa hari atau beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah terpidana dibebaskan.
Contoh : setelah 4 bulan A bebas dari menjalani masa hukuman (pidana) nya atas
kejahatan Pencurian (kejahatan harta benda), ia mengulangi/melakukan lagi
kejahatan Perkosaan dan Penganiayaan.
Contoh diatas menggambarkan pengulangan kejahatan bukan kejahatan sejenis,
yaitu pencurian dengan perkosaan dan penganiayaan bukan kejahatan yang sejenis
atau tidak sama jenisnya.
2. Pengulangan Kejahatan atau Recidive Khusus
Recidive khusus, yaitu pengulangan kejahatan sejenis (jenis yang
sama)dan dalam waktu tertentu. Makna waktu tertetu yaitu batas waktu
sebagaimana di tetapkan dalam KUHP Indonesia, yakni tidak boleh
melebihi 2 tahun dan ada pula yang tidak boleh melampaui 5 tahun
terhitung sejak putusan hakim berkekuatan hukum tetap
Contoh : Tanggal 1 Januari 1990, B mendapat putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dengan pidana penjara 8 tahun atas kejahatan
penganiayaan berat. Ketika tahun ke 2 ia menjalani masa hukumanya, B
kembali melakukan kejahatan penganiayaan terhadap salah seorang
sesama penghuni Lapas/penjara (Napi/warga binaan).
Pada contoh diatas, menggambarkan B dalam melakukan pengulangan
kejahatan yaitu menganiaya seorang penghuni Lapas sama atau sejenis
dengan kejahatan yang dilakukan sebelumnya (vonis 1 Januari 1990).
Kemudian Penganiayaaan yang dilakukan B terhadap salah seorang
penghuni Lapas/penjara pada tahun kedua B menjalani masa hukuman,
adalah batas waktu yang belum melampaui 5 tahun.
3. Tussen Stelsel
Tussen stelsel ini merupakan bentuk antara recidive umum
dengan recidive khusus. Tussen stelsel, adalah pengulangan
kejahatan-kejahatan tertentu yang berada dalam kelompok
sejenis dan dalam waktu tertentu.
Adapun pengertian kejahatan kelompok sejenis tersebut, yaitu
kejahatan-kejahatan yang meskipun bentuknya berbeda-beda
namun memiliki sifat yang sama. Contoh : tindak pidana
pencurian, tindak pidana penggelapan, tindak pidana penipuan,
dan tindak pidana pemalsuan. Kesemua tindak-tindak pidana ini
meskipun bentuknya berbeda satu sama lain, namun memiliki sifat
yang sama yaitu tindak pidana/kejahatan yang menyangkut harta
benda.
Demikian pula dengan pembunuhan, penganiayaan, penculikan
dan seterusnya, meskipun bentuknya berbeda-beda namun
sifatnya sama yaitu tindak pidana/kejahatan terhadap orang.
Berdasarkan pasal-pasal yang mengatur tentang pengulangan kejahatan (recidive) di dalam KUHP,
maka dapat diketahui bahwa KUHP menerapkan Recidive khusus dan Tussen stesel.
a. Recidive khusus
Recidive khusus di dalam KUHP terbagi dua, yaitu recidive kejahatan (tersebar di 11 pasal) dan
recidive pelanggaran (tersebar di 14 pasal).
1) Dalam recidive kejahatan, batas waktu untuk terjadinya recidive ada yang ditentukan 2 tahun
yaitu pada Pasal 137 (2), 144 (2), 208 (2), 216 (2), 303 (2).
Demikian pula ada juga yang ditentukan batas waktunya 5 tahun, yaitu pada Pasal 155 (2), 157
(2), 161 (2), 163 (2), 321 (2), 393 (2).
Untuk mengetahui bagaimana terjadinya recidive dengan batas waktu 2 tahun, dapat dilihat
dalam contoh berikut ini :
Misalnya, F dinyatakan terbukti bersalah karena melanggar Pasal 216 dimana oleh Pengadilan
pada tanggal 1 Januari 2000 melalui Putusan yang berkekuatan hukum tetap dijatuhi pidana
penjara 3 tahun.
Berdasarkan contoh diatas, maka dapat diketahui bahwa batas waktu/tenggang waktu dianggap
terjadi recidive berdasarkan Pasal 216 KUHP, adalah terhitung mulai tanggal 2 Januari 2000 sampai
dengan 2 Januari 2002. Apabila dalam tenggang waktu (batas waktu) tersebut F melakukan
kejahatan lagi, maka berarti perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai perbuatan recidivie.
2) Dalam recidive pelanggaran, batas waktu/tenggang waktu terjadinya recidive ada yang ditentukan
sebelum 1 tahun, yaitu pada Pasal-Pasal : 469, 492, 495, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Demikian pula ada yang ditentukan batas waktunya sebelum 2 tahun, yaitu pada Pasa-Pasal : 501,
512, 516, 517, dan 530.
b. Tussen Stelsel
Pengaturan tentang recdive di Tussen stelsel dalam KUHP tercantum pada BAB XXXI : Pasal 486, Pasal
487, dan Pasal 488.
Persyaratan recidive dalam Tussen stelsel ini, yaitu bahwa kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam
satu kelompok jenis kejahatan yang dilakukan sebelumnya (terdahulu).
Adapun kelompok kejahatan sejenis tersebut adalah :
1. Pasal 486 (kejahatan yang berhubungan dengan harta benda)
Kejahatan yang termasuk dalam kelompok jenis kejahatan ini, yaitu ;
a. Pemalsuan mata uang;
b. emalsuan surat;
c. Pencurian;
d. Pemerasan;
e. Penggelapan;
f. Penipuan;
g. Penadahan.
2. Pasal 487 (Kejahatan yang berhubungan dengan orang)
Adapun kejahatan yang termasuk kelompok jenis kejahatan ini, adalah :
a. Makar terhadap Kepala/Wakil Negara;
b. Pembunuhan biasa dan pembunuhan berencana;
c. Pembunhan anak;
d. Euthanasia;
e. Pengguguran kandungan/Abortus;
f. Penganiayaan biasa, berat, berancana.
g. Kejahatan pelayaran/Perompakan;
h. Insubordinasi.
3. Pasal 488 (Kejahatan yang berhubungan dengan martabat)
Adapun kejahatan yang temasuk kelompok jenis kejahatan ini, yaitu :
a. Penghinaan terhadap Presiden/Wakil;
b. Penghinaan terhadap Kepala Negara sahabat;
c. Penghinaan terhadap orang;
Adapun rentang waktu/batas waktu penghitungan recidive dalam
Tussen stelsel ini, adalah belum lewat 5 tahun sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian dari pidana (hukuman) yang dijatuhkan.
D. Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan yang mengatur recidive dlam KUHP Indonesia, maka
dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa :
1. Recidive yang diterapkan dalam KUHP, adalah recidive khusus dan Tussen
stelsel;
2. Residive berlaku juga baik dalam tindak pidana kejahatan maupun tindak
pidana pelanggaran;
3. Persyaratan untuk dapat dikatakan ada recidive pada perbuatan pelaku, yaitu
apabila pelaku pernah melakukan kejahatan/pelanggaran dan kemudian
diulangi lagi;
4. perbuatan kejahatan/Pelanggaran tersebut telah ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap;
5. KUHP tidak menetapkan pembatasan usia dalam ketentuan tentang recidive;
6. Ketentuan tentang recidive dalam KUHP ditetapkan batas waktu atau teggang
waktunya untuk kejahatan, yaitu tidak melawati 2 tahun dan 5 tahun.
Sedangkan untuk pelanggaran batas waktu atau tenggang waktunya adalah
sebelum 1 tahun dan sebelum 2 tahun.
E. Pengaturan Recidive Dalam KUHP Negara Asing
Rata-rata disemua negara, bahwa yang dijadikan sebagai
persyaratan umum untuk dapat dikatakan perbuatan pelaku sudah
merupakan recidive, jika :
1. Pelaku telah pernah melakukan suatu tindak pidana;
2. Terhadap tindak pidana yang pernah dilakukan tersebut telah ada
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
3. Dalam waktu tertentu setelah adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap itu, pelaku melakukan tindak pidana
lagi.
Namun, perbedaannya adalah terletak ada persyaratan-persyaratan
yang bersifat khusus.
Dalam Barda Nawawi Arief (2003) dibahas masalah ini, yang inti sarinya sebagai
berikut :
1. Korea
Dalam KUHP Korea masalah recidive diatur pada Pasal 35.
Bahwa seseorang dianggap telah melakukan pengulangan kejahatan (recidive),
apabila tindak pidana yang dilakukan (diulangi) nya itu adalah tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara, pidana kerja paksa, dan pidana mati.
Jadi, jika yang dilakukan (pengulangan kejahatan) adalah bukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati, pidana kerja paksa, dan pidana penjara maka
perbuatannya tersebut bukan sebagai recidive.
Catatan : Jadi, berbeda dengan Indonesia yang mana tidak mensyaratkan untuk
dapat dikatakan recidive, maka perbuatan (pengulangan kejahatan) yang
dilakukan itu harus diancam denga pidana penjara atau pidana kerja paksa atau
pidana mati. Atau dengan kata lain, di Indonesia tidak berlaku persyaratan khusus
seperti itu.
2. Thailand
Dalam KUHP Thailand, pada Pasal 94 yang intinya menetapkan
bahwa recidive tidak berlaku untuk :
a. Tindak-tindak pidana karena kealpaan (delik culpa);
b. Tindak-tindak pidana ringan (petty offence);
c. Umur pelaku tidak lebih dari 17 tahun (baik pada saat
melakukan tindak pidana terdahulu maupun tindak pidana
kemudian/pengulangan kejahatan).
Catatan : Perbedaannya dengan Indonesia, tidak
memberlakukan persyaratan seperti ini
3. Norwegia
Dalam KUHP Norwegia, khususnya dalam Pasal 61 ditentukan
bahwa pengulangan kejahatan (recidive) ada jika dilakukan oleh
pelaku yang telah genap berusia 18 tahun.
Ini berarti, jika yang melakukan pengulangan kejahatan
(recidive) itu belum berumur genap 18 tahun, maka pengulangan
kejahatan yang dilakukannya dianggap bukan recidive.
Dibagian lain dari Pasal 61 ini, ditentukan bahwa Pengdilan dapat
memperhitungkan pidana terdahulu yang dijatuhkan (kepada
pelaku) oleh negara-negara lain sebagai dasar pemberat pidana.
Ini berarti, perbuatan kejahatan terdahulu yang dilakukan pelaku
dinegara lain dapat dijadikan alasan/syarat adanya recidive.
Catatan : Persyaratan batas usia genap 18 tahun dan pernah
melakukan kejahatan dinegara lain, sebagai persyaratan adanya
recidve tidak terdapat dalam pengaturan recidive di KUHP
Indonesia.
4. Polandia
Dalam KUHP Polandia, dikenal dua macam recidive, yaitu recidive
biasa (recidive pertama kali) dan recidive yang dilakukan berkali-kali
(Multiple recidivism) yang datur pada Pasal 60 ayat (2). Adapun
syarat multiple recidivism, yaitu :
a. Seseorang yang telah dipidana dua kali (recidive biasa/pertama
kali);
b. Telah menjalani pidana seluruhnya atau sekurang-kurangnya telah
menjalani satu tahun pidana perampasan kemerdekaan;
c. Melakukan lagi tindak pidana yang sama dengan yang terdahulu
dalam waktu lima tahun setelah menjalani pidana yang terakhir;
d. Pengulangan kejahatan tersebut dilakukan dengan tujuan
memperoleh keuntungan material atau dilakukan karena watak
jahat.
Catatan : Multiple recidivism, tidak terdapat dalam pengaturan
recidive KUHP Indonesia.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai