A. Pendahuluan
Recidive terjadi jika seseorang yang telah melakukan tindak pidana dan
telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim dimana telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Sedangkan Delik aduan (klacht delict) merupakan delik yang hanya dapat
dituntut, apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan
sifatnya pribadi/privat, dengan syarat adanya suatu aduan dari pihak yang
dirugikan. Delik aduan/klach delict juga diartikan sebagai pembatasan inisiatif
jaksa untuk melakukan penuntutan. Delik ini membahas tentang kepentingan
korban. Pengaturan delik aduan dijumpai secara tersebar di dalam Buku ke II
KUHP.
Setelah mempelajari materi dalam pengulangan (recidive) dan delik
aduan (klachtdelict), Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah
mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Recidive, meliputi :
pengertian, Pemberatan Pidana Dalam Residive, Residive Dalam KUHP,
Sistem Residive, Sanksi Pidana (Pemberatan Dalam recidive), Syarat
Residive, dan mengenai Delik aduan (klachtdelict) meliputi : pengertian, Hak
Mengajukan Pengaduan, Jenis Delik Aduan, Menarik Pengaduan.
Pengulangan (recidive) dan delik aduan (klachtdelict), perlu dipelajari lebih
mendalam untuk bisa memahami materi dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis dengan
baik.
1
4.1 PERKULIAHAN PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)
A. Pengertian
Jonkers, Hazewinkel-Suringa, Vos, Van Hattum menganggap sesuatu
yang tidak tepat jika membahas masalah gabungan/perbarengan/ samenloop
dengan pengulangan/residive dalam satu bab, karena pengulangan/residive
berbeda prinsip dari gabungan/perbarengan/ samenloop. Oleh karena
pengulangan/residive itu menjadi suatu alasan yang memperberat
pemidanaan terhadap para pelaku kejahatan/pelanggaran. Pompe
mengatakan bahwa, baik dalam gabungan maupun pengulangan adalah satu
orang yang telah melakukan berturut- turut beberapa peristiwa pidana. Tetapi
dalam gabungan, dalam waktu antara dilakukannya dua peristiwa pidana,
tetapi pembuat itu tidak dijatuhi pidana karena peristiwa pidana itu,
sedangkan dalam pengulangan pembuat tersebut telah dijatuhi pidana
karena peristiwa pidana yang telah dilakukan pertama diantara peristiwa
pidana yang kedua itu (Utrecht E, 1965 : 195 - 196).
Arti residive menurut masyarakat adalah : “setiap orang yang telah
melakukan tindak pidana dan tindak pidana itu telah dijatuhi suatu pidana,
setelah menjalani pembinaan, bimbingan dan pendidikan tertentu didalam
lembaga pemasyarakatan, agar menjadi orang yang baik dan berguna dan
kembali menjadi anggota masyarakat, tetapi beberapa saat kemudian
kembali melakukan suatu tindak pidana”. Sehingga dalam hal ini telah terjadi
pengulangan suatu tindak pidana, tanpa memperhatikan syarat- syarat
lainnya sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang. Sedangkan arti
menurut hukum pidana adalah : “setiap orang yang telah melakukan suatu
tindak pidana dan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan itu telah
dijatuhi pidana, kemudian menjalani pembinaan, bimbingan dan pendidikan
tertentu didalam lembaga pemasyarakatan agar menjadi orang yang baik dan
berguna dan bila selesai menjalani pidana serta kembali menjadi anggota
masyarakat, beberapa waktu kemudian kembali melakukan suatu tindak
pidana”. Hal inilah yang menjadi ratio atau dasar pemberatan pidana bagi
pelaku suatu tindak pidana, karena kembali melakukan pengulangan suatu
tindak pidana yang dihubungkan dengan syarat-syarat tertentu yang
ditetapkan di dalam undang-undang.
2
Masruchin Ruba’i menegaskan bahwa, residive adalah salah satu dasar
pemberatan pidana (Masruchin Ruba’i, 2014 : 228). Hal yang perlu diingat dan
merupakan salah satu dasar pembeda antara pengulangan/residive dengan
gabungan/perbarengan/samenloop adalah bahwa dalam
pengulangan/residive perkara yang sebelumnya sudah diadili, sudah diputus
oleh hakim sehingga memiliki kekuatan hukum tetap/telah dijatuhi pidana
kemudian melakukan tindak pidana lagi. Mengenai hal ini Teguh Prasetyo
menyatakan bahwa, “Pengulangan/residive terdapat dalam hal seseorang
telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak
pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan mana satu atau lebih telah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan” (Teguh Prasetyo, 2011 : 191).
Residive diatur dalam Buku II KUHP, BAB XXXI dari Pasal 486, 487 dan
488, ini berarti bahwa ketentuan yang menyangkut residive itu tidak berlaku
umum, akan tetapi hanya untuk delik-delik yang disebutkan dalam ketiga ( ke
– 3 ) pasal tersebut. Dimana ketiga pasal tersebut masing- masing
menyebutkan kelompok kejahatan yang memberi pemberatan tentang
pemidanaan jika terjadi pengulangan tindak pidana.
Dalam KUHP, pengulangan tindak pidana ditentukan secara khusus,
yakni termasuk dalam jenis-jenis kelompok tindak pidana yang sama.
Misalnya :
486 : berkaitan dengan kej. Harta benda (pencurian, penggelapan, dll).
4
487 : berkaitan dengan nyawa (penyerangan presiden atau wakil presiden,
pembunuhan, pengguguran kandungan dll)
488 : berkaitan dengan kehormatan/nama baik dan harga diri orang
(penghinaan presiden atau wakil presiden, penghinaan, dll)
Apabila 1 (satu) orang telah melakukan beberapa tindak pidana,
timbullah kemungkinan-kemungkinan yaitu :
a). Gabungan, yaitu apabila dalam waktu antara dilakukannya 2 (dua)
tindak pidana tidak telah ditetapkan suatu hukuman karena tindak
pidana yang pertama diantara tindak pidana itu. Dalam hal
gabungan ini, maka praktis dialami (oleh yang terhukum) satu
peringanan hukuman, karena tidak selalu dapat ditetapkan jumlah
besar maksimum dari hukuman yang bersangkutan.
b). Pengulangan, yaitu apabila ada satu hukuman seperti yang
dimaksud pada poin a yang tidak lagi dapat ditiadakan. Disini
terdapatlah satu alasan untuk memperberat hukuman.
c). Telah ditetapkan hukuman yang dimaksud pada poin a, tetapi
hukuman itu bukanlah satu hukuman yang tidak lagi dapat
ditiadakan. Dalam hal demikian, tiada gabungan maupun
pengulangan dan tiap-tiap tindak pidana dapat dihukum dengan
maksimum yang telah ditentukan untuk masing-masingnya,
sehingga kemungkinan dapat dilakukan / diadakan kumulasi biasa
(Utrecht. E, 1965 : 196-197)
5
menyulitkan untuk mencari nafkah. Orang yang dalam keadaan demikian ini,
tidak jarang terpaksa melakukan tindak pidana kedua. Sedangkan Pompe
berpendapat lain, yaitu bahwa tindak pidana pengulangan itu justru
menimbulkan dugaan bahwa pembuat mempunyai satu mentalitet tertentu
yang sudah agak tetap, yaitu suatu kecendrungan yang lebih besar untuk
melakukan kejahatan (Utrecht. E, 1965 : 198).
D. Sistem Residive
Pada umumnya tentang sistem residive yang dikenal adalah :
1. Residive Umum ( Algemene Recidive / Generale Recidive )
6
terhadap tindak pidana itu, orang tersebut telah dijatuhi pidana oleh
hakim, setelah orang itu menjalani pidana dan kemudian dibebaskan,
kembali orang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
ditentukan oleh undang-undang melakukan tindak pidana dan tindak
pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang “ (Utrecht. E, 1965 : 200 – 201 dan I Made Widnyana,
1992 : 86).
7
undang dianggap sama macamnya, meskipun kejahatan itu
berlainan macamnya, tetapi dianggap sama, seperti halnya pasal-
pasal yang tersebut dalam Pasal 486 )
2. Diantara kejahatan yang satu dengan yang lainnya sudah ada yang
mendapat putusan hakim ( apabila satu diantaranya belum
diputuskan oleh hakim, perbuatan itu merupakan suatu gabungan
kejahatan dan bukan residive ).
4. Jarak waktu kejahatan itu dilakukan tidak lebih dari 5 (lima) tahun,
terhitung sejak yang bersalah menjalani hukuman yang telah
dijatuhkan ( sebagian atau seluruhnya )
Ketentuan Pasal 486 KUHP itu apabila kita amati, ternyata mengatur
dalam hal apa pidana maksimum dari beberapa kejahatan dapat ditambah
dengan 1/3 ( sepertiga ) karena pengulangan. Apabila kita lihat pasal-pasal
yang ditunjuk dalam Pasal 486 KUHP, kejahatan-kejahatan yang digolongkan
terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang dengan maksud
untuk mendapat keuntungan yang tidak halal ataupun yang dilakukan
seseorang dengan tipu muslihat. Hal-hal itulah yang dipakai sebagai dasar
untuk memperberat pidananya dengan 1/3 bagi pengulangan ( residive ),
dengan syarat :
(1). Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana
dengan keputusan hakim yang tidak dapat dirubah lagi dan hanya
dengan pidana penjara dan
(2). Harus dalan jangka waktu 5 ( lima ) tahun terhitung dengan saat
selesainya menjadi pidana penjara dengan saat ia melakukan
tindak pidana untuk kedua kalinya (I Made Widnyana, 1992 : 88)
8
348, 351, 353 – 355, 438 – 443, 459 dan 460, begitupun pidana
penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104,
105, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 399,
340, 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang bersalah ketika
melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya,
baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal
itu maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam
Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat
kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang
menyertainya menyebabkan luka- luka atau mati, Pasal 131 ayat
kedua dan ketiga, 137 dan 138 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tentara atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan, atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan
menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa “. (Moeljatno, 2014 : 175)
Apabila kita cermati isi rumusan Pasal 487 KUHP, yang menyebabkan
ancaman pidananya ditambah dengan sepertiga, oleh karena didalam pasal
ini menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, misalnya
dengan menggunakan kekerasan terhadap orang, tentang pembunuhan atau
penganiayaan.
Apabila dilihat dan dicermati isi rumusan Pasal 488 KUHP ini, suatu
hal yang wajar penjatuhan pidananya diperberat dan ditambah dengan
sepertiganya dari tindak pidana yang dilakukan. Oleh karena, tindak pidana
yang dilakukan dapat menimbulkan perasaan tidak enak atau tidak
menyenangkan bagi yang terkena kejahatannya, seperti “ penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden ( Pasal 134 KUHP ) , penghinaan
terhadap raja dari negara sahabat ( Pasal 142 KUHP ), penghinaan terhadap
suatu kekuasaan pemerintahan ( Pasal 207 KUHP ), penyerangan
9
terhadap kehormatan seseorang ( Pasal 310 KUHP ) dan menerbitkan suatu
tulisan atau gambar yang sifatnya dapat dipidana “.
Syarat-syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena
residive / pengulangan dalam Pasaal 488 KUHP adalah : “ Syarat-syarat
pertama ini berbeda dengan syarat pertama yang ditentukan dalam Pasal 486
dan Pasal 487 KUHP. Dalam Pasal 488 KKUHP ditentukan penjatuhan
pidana penjara yang belum lewat 5 tahun, sejak menjalani pidana untuk
seluruhnya atau sebagian sehubungan dengan perbuatan kejahatan yang
dilakukan pertama atau pidana yang diterimanya telah dihapuskan dan ketika
menjalani pidana belum daluarsa “
F. Syarat Residive
Ada 2 (dua) syarat esensial yang harus dipenuhi dalam pemberatan
pidana pada Pasal 486, 487, dan 488 KUHP :
1) Terpidana telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah
dijatuhkan, atau ia dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia
melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak negara untuk menjalankan
pidananya belum daluwarsa.
2) Melakukan kejahatan pengulangan masih dalam waktu belum lewat
dari 5 (lima) tahun sejak terpidana menjalani pidana. (Masruchin Ruba’i 2014
: 229-230).
10
Selain pengulangan pada Pasal 486, 487, dan 488 KUHP, bentuk
pengulangan yang diluar pasal tersebut juga tersebar dalam beberapa
pasal diantaranya : Pasal 216 ayat (3), 492 ayat (2), 495 Ayat (2), 501
Ayat (2), Pasal 512 Ayat (3), dan Pasal 512 Ayat (2). Dalam hal ini, syarat
pengulangannya tidak sama, jangka waktu tenggang daluwarsanya lebih
pendek dari 5 (lima) tahun, dengan pemberata yang lain dari ditambah
sepertiga. Misalnya, dengan merubah jenis pidananya dari denda menjadi
kurungan atau meruba ancaman pidana dengan pidana yang lebih berat
yang sama jenisnya (Masruchin Ruba’i 2014 : 229-232).
Daftar Bacaan
Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
11
4.2 DELIK ADUAN
A. Pengertian Delik Aduan
Bila dilihat pengertian dari delik aduan sebauiknya dilihat terlebih dulu
kata atau peristilahan “delik” itu sendiri. Delik adalah terjemahan dari kata
Strafbaar feit. Perkataan feit berasal dari bahasa Belanda yang berarti
sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijiheid,
sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum. Dengan demikian secara harfiah
perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum(P.A.F. Lamintang,2011: 181). Terjemahan
lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana,
tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Tidak
hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan
yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan
membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan. Secara
umum, pengertian delik, , dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang
yang melanggar hukum dan terhadap perbuatan itu sebagai konsekuensi
dapat dikenakan sanksi.
Delik aduan (klacht delict) adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika
diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang
dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan/klach delict
merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau
tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang
dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini
membicarakan mengenai kepentingan korban. Pada delik aduan, jaksa
hanya akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang
yang menderita, atau dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik
aduan tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar
di dalam Buku ke II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang
dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam
ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang berhak
mengajukan pengaduan tersebut.
12
Kalau diperhatikan banyak pendapat yang dikemukakan oleh para
pakar hukum terhadap delik aduan diantaranya, sebagai berikut:
a. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang
diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan
mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan
melakukan penuntutan.
b. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya
kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari
orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini
disebut delik aduan.
c. Adami Chazawi, Dalam hal kejahatan aduan (delik aduan), prinsip
umum dalam penuntutan perkara pidana dikecualikan dalam delik
aduan ini, karena Negara tidak berwenag menuntut pidana apabila
korban kejahatan (yang berhak mengadu) tidak mengadukan (Adami
Chazawi,2005: 89).
d. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini
disebut Klacht Delicten. (http://repository.usu.ac.id)
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa, suatu delik aduan, di
samping delik tersebut memiliki unsur yang lazim dimiliki oleh tiap delik, maka
delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau
pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Delik aduan (Klacht
Delicten) ini merupakan suatu delik, pada umumnya kejahatan biasa, di mana
untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau
pihak yang dirugikan, dalam hal ini tentu dengan pertimbangan sepanjang
penuntut umum berpendapat bahwa kepentingan umum tidak terganggu
dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.
13
penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum ke sidang pengadilan. Namun
sebelum Jaksa PU dapat mengajukan tuntutan, haruslah terlebih dahulu
dilakukan penyidikan mengenai tindak pidana itu beserta segala sesuatu
yang bersangkut paut baik dengan si pembuat maupun perbuatannya,
penyidikan mana ditujukan selain untuk memberkas perkara juga ditujukan
untuk menentukkan apakah perkara itu cukup bukti dan alas an untuk dapat
diajukkan penuntutan pidana oleh Jaksa PU ataukah tidak. Bahkan kadang-
kadang sebelum tindakan penyidikan dilakukan, diperlukan tindakan
penyelidikan terlebih dahulu, untuk menentukan apakah suatu peristiwa itu
dapat dilakukan penyidikan atau tidak.
Nyatalah bahwa inisiatif untuk beracara dalam perkara pidana
bukanlah pada pihak orang yang terlanggar kepentingan hukumnya atau
korban tindak pidana,melainkan pada pihak Negara in casu dimulai oleh
pejabat penyelidik atau pejabat penyidik yakni Kepolisian. Namun pejabat
penyelidik atau penyidik tidak menentukan untuk melakukan penuntutan.
Penuntutan hanya dilakukan oleh pejabat Penuntut Umum dan Institusi
Kejaksaan. Penuntutan (vervolging) ialah berupa tidnakan melimpahklan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya
perkara itu diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang pengadilan( Pasal
1 angka 7 KUHAP). Jadi ada dua unsur esensial dari tindakan penuntutan
pidana, yaitu:
Perbuatan melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri;
Disertai permintaan agar perkara itu diperiksa dan diputus.
Tindakan penuntutan pidana (vervolging) tidaklah sama dengan
tindakan mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 182 KUHAP atau dulu Pasal 290 HIR. Tuntutan
pidana (requisitoir) dimuat dalam sebuah surat yang disebut Surat Tuntutan
(requisitoir), yang dibuat dan dibacakan/ diucapkan oleh Jaksa PU dalam
sidang setelah acara pembuktian selesai, dimana Majelis Hakim
memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut untuk mengajukan
tuntutannya. Surat tuntutan ini berisi tentang pendapat Jaksa Penuntut ( hal
terbukti tidaknya dakwaan) mengenai perkara yang diperiksa dan
14
permintaan kepada hakim mengenai putusan apa yang dijatuhkan pada
Terdakwa (pemidanaan, pelepasan dari tuntutan hukum, pembebasab, atau
tindakan). Jika Jaksa Penuntut umum meminta untuk menjatuhkan pidana
maka harus tegas jenis dan berat ringan pidana yang dimintanya.
Sedangkan tindakan penuntutan pidana, adalah pekerjaan penuntutan
sebagaimana yang diatur dalam Bab XV (137 s/d 144) KUHAP atau dulu
Bagian Pertama Titel X HIR (Pasal 246 s/d 251).
Jadi jelaslah bahwa untuk lahirnya perkara pidana atau beracara
dalam perkara pidana adalah atas inisiatif Negara yang in casu diwakili
pejabat penyidik yakni Kepolisian, dan dilanjutkan penuntutan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Berbeda halnya dengan perkara perdata, dimana untuk
beracara tidak dimulai atas inisiatif Negara, melainkan oleh pihak yang
merasa kepentingan hukumnya dirugikan atau terlanggar oleh orang atau
pihak lain. Sedangkan Negara sifatnya pasif, sekedar menunggu dan
berbuat (pengadilan memeriksa) sepanjang diminta oleh salah satu pihak
(penggugat).
Untuk beracara dalam hal perkara pidana tidak diperlukan permintaan
oleh pihak yang dirugikan/ dilanggar kepentingan hukumnya semacam itu.
Perinsip Umum dalam perkara pidana tindak pidana apda dasarnya adalah
kepentingan hukum public atau bercorak public (walaupun pada
kenyataannya juga melanggar kepentingan hukum orang gperorangan,
misalnya orang ditipu), maka inisiatif untuk beracara dalam hal
mempertahankan dan menegakkan kepentingan hukum yang terlanggar
tadi adalah Negara, bukan korban. Sedangkan subjek hukum korban tindak
pidana yang didakwakan serta menentukan kadar kesalahan si pembuat
oleh Majelis Hakim.
Berdasarkan pada perinsip umum itu, maka tidak penting tentang apa
yang diminta oleh korban dalam perkara pidana. Diminta ataukah tidak
Negara akan melakukan penuntutan atas perkara pidana. Namun perinsip
umum itu dikecualikan dalam hal kejahatan aduan. Dalam hal kejahatan
aduan Negara tidak berwenang menuntut pidana apabila korban kejahatan
(yang ebrhak menagdu) tidak meminta (mengadu) agar perkara pidana yang
diadukan itu diperiksa, diajukan ke sidang pengadilan dan diputus. Dalam
hal kejahatan aduan pengaduan itu menajdi syarat mutlak untuk
15
dapatnya Negara (in casu Jaksa PU) melakukan penuntutan pidana, kecuali
dalam hal penghinaan terhadap pejabat (pegawai negeri) pada waktu atau
karena menjalankan tugas yang sah (316 jo 319). Peranan korban pad
akejahatan aduan adalah menentukkan untuk dapat tidaknya dilakukan
penuntutan pidana (vervolging). Tetapi bukan menentukan untuk dapatnya
dilakukan penyidikan (opsporing). Dalam hal penyidikan tidaklah penting
ada pengaduan ataukah tidak. Penyidikan boleh dilakukan terhadap
sipembuat kejahatan aduan tanpa digantungkan adanya pengaduan dari
yang ebrhak menagdu. Hanya saja pekerjaan ini akan menajdi sia-sia jika
ditolak oleh Jaksa PU lantaran pejabat penuntut ini tidak dapat mengajukan
tuntutan pidana ke sidang pengadilan, yang jika dilakukan juga, Majelis
Hakim akan memutus tentang tuntutan itu yang isinya ialah “menyatakan
dakwaan tidak dapat diterima” nerhubung Penuntu Umum tidak berwenang
menuntut pidana.
Akan tetapi sesungguhnya bagi penyidik yang melakukan juga
penyidikan terhadap tindak pidana aduan tanpa danya pengaduan yang
berhak menagdu, dalam bebrapa hal kadang-kadang sangat bermanfaat,
yaitu:
Apabila kemudian korban atau yang berhak mengadu pada akhirnya
benar-benar memasukkan penagduannya. Dalam praktik hal
semacam ini seringkali terjadi, dimana pada mulanya korban tidak
segera memasukkan pengaduannya, namum kemudian berubah
pikiran, yang pad akhirnya mengajukan pengaduannya.
Setelah dilakukan penyidikan ternyata ada orang lain yang ikut terlibat
(pelaksana, penyuruh, peserta, penganjur, atau pembantu) dalam
melakukan kejahatan yang tidak diadukan itu, yang penuntutan pidana
terhadap keterlibatannya dalam kejahatan itu tidak diisyaratkan
adanya pengaduan, maka mengenai keterlibatannya ini dapat
dilakukan penuntutan pidana, sedangkan bagi orang yang tunduk pada
syarat pengaduan untuk dilakukan penuntutan pidana distatuskan
menjadi saksi belaka.
Setelah dilakukan penyidikan ternyata adal tindak pidana lain yang
bukan kejahatan aduan. Bagi kepentingan hukum public sangat
16
pentung untuk melakukan penuntutan pidana terhadap si pembuat
tindak pidana bukan aduan ini.
Menjadi penting ialah dalam hal untuk menyelamatkan barang bukti.
Dengan segera dilakukan penyidikan, penyidik dapat melakukan
penyitaan barang-barang bukti, yang kadang-kadang barang bukti ini
sangat berguna dalam upaya menghindari kerugian yang lebih besar
yang diderita korban. Misalnya anak mencuri ratusan juta rupiah- uang
milik orang tuanya. Bila segera dilakukan penyidikan uang itu dapat
disita, dan walaupun terhadap anak itu tidak dapat dituntut pidana
karena tanpa pengaduan, tetapi sebagian atau seluruh uang itu dapat
diselamatkan dengan dikembalikan pada orang tuanya.
Apakah yang dimaksud dengann pengaduan (klacht)? Pengaduan
didefinisikan ialah suatu pernyataan tegas (lisan atau tertulis atau dituliskan)
dari seseorang yang berhak (mengadu) yang disampaikan kepada pejabat
penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisian RI) tentang telah diperbuatnya
suatu tindak pidana (in casu kejahatan aduan) oleh seseroang dengan
disertai permintaan agar dilakukan pemerikasaan untuk selanjutnya
dilakukan penuntutan kepengadilan yang berwenang. Jadi ada dia unsure
esensial pengaduan adalah:
a. Pernyatan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh
seseorang, dan disertai
b. Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk
dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan.
Walaupun ada persamaan sifat dengan laporan, karena laporan juga
merupakan pernyataan mengenai telah diperbuatnya tindak pidana, namun
perbedaan yang mendasar dengan penagduan. Perbedaan itu adalah:
a. Pada pelaporan cukup sekedar menyampaikan (berisi) keterangan
atau informasi tenatang adanya peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana. Sedangkan pada pengaduan disamping berupa
informasi tenatng diperbuatnya tindak pidana, juga harus disertai
permintaan yang tegas kepada pejabat penerima pengaduan agar
tindak pidana itu diusut dan kemudian dilakukan penuntutan
pidana ke sidang pengadilan.
17
b. Pelaporan (aangifte) dapat dilakukan oleh siapa saja, baik korban
maupun bukan, baik orang dewasa maupun anak yang belum
cukup umurnya (belum dewasa). Sedangkan pengaduan (klacht)
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak saja (korban,
kuasanya, walinya dan lain-lain, lihat 72 dan 73).
c. Pelaporan dapat diajukan mengenai semua tindak pidana
(kejahatan maupun pelanggaran). Sedangkan pengaduan hanya
dapat dilakukan oleh kejahatan-kejahatan (aduan) saja.
d. Pelaporan tidak merupakan syarat dapatnya dilakukan penuntutan
pidana terhadap si pembuatnya. Sebaliknya pengaduan adalah
merupakan syarat esensial untuk dapatnya Negara melakukan
penuntutan pidana.
Apakah hak oportunitas tidak berlaku pada kejahatan aduan, mengingat
dalam kejahatan aduan ini peranan permintaan dari korban kejahatan untuk
melakukan penuntutan pidana adalah menentukan?. Dalam persoalan ini,
hak Penuntut Umum untuk mendeponer (deponeren) suatu kasus perkara
pidana berdasarkan kepentingan umum (asas opportunitas, Pasal 32 huruf c
UU no 5 Tahun 1991) tidak dipengaruhi oleh adanya pengaduan ( permintaan
agar menuntut) oleh pengadu (Utrecht, 1965:246). Walaupun ada pengaduan
pad kejahatan aduan, toh Jaksa PU (atas nama Jaksa Agung) tetap dapat
melakukan deponering (memtieskan atau menyampingkan) sesuatu perkara,
demi untuk ke[entingan umum. Arti kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan Negara dan /atau kepentingan amsyarakat luas (Penjelasan pasa
32 huruf b). asas opportunitas berdasarkan atas pandangan bahwa akan
lebih besar hanyanya daripada manfaatnya dengan adanya penuntutan
pidana, maka Jaksa PU atas nama Jaksa Agung boleh tidak melakukan
penuntutan (mendeponir) perkara pidana(Adami Chazawi, 2005: 99).
18
perkara itu dituntut adalah lebih besar dari pada pentingnya bagi Negara
apabila perkara itu dilakukan penuntutan pidana. Dalam hal kejahatan
aduan, terdapat dua hukum yang saling bertentangan, yaitu disatu pihak
perlunya hukim ditegakkan, artinya penting bagi Negara untuk dilakukkan
penuntutan, dan dilain pihak bagi korban ada kepentingan agar perkara
kejahatan aduan untuk tidak dilakukan penuntutan, misalnya pembuatnya
ada hubungan keluarga, atau kepentingan hukum yang dilanggar adalah
bersifat pribadi (misalnya zina atau penghinaan). Dalam hal ini kepentingan
korban untuk tidak dilakukan penuntutan pidana lebih diutamakan daripada
kepentingan Negara dalam hal menegakkan hukum. Sehingga peranan
korban menjadi sangat dominan (diutamakan) dalam hal Negara untuk
melakukan penuntutan pidana.
Kejahatan aduan itu tidak terkumpul didalam satu Bab, akan tetapi
tersebar dalam pasal-pasal mengenai beberapa jenis kejahatan di Buku II.
Tetapi ektentuan tentang pengaduan itu sendiri (mengajukan dan menarik
pengaduan), dan bukan mengenai kejahatan-kejahatan aduan, termuat
dalam satu Bab, yaitu pada Bab VII buku I yang berjudul “Mengajukan dan
Menarik Kembali Pengaduan Dalam Hal Kejahatan- Kejahatan yang Hanya
Dituntut Atas Pengaduan”, terdiri dari Pasal 72 sampai dengan Pasal 75.(
Kejahatan- kejahatan aduan yang tersebar dalam pasal-pasal
Buku II, antara lain:
284: kejahatan zina;
287 : bersetubuh dengan perempuan luar akwin yang umurnya
belum 15tahun atau belum waktunya untuk dikawinkan;
293: menggerakkan seseorang yang baik tingkahlakunya untuk
,melakukan perbuatan cabul dengan dia;
319 (jo 310-318) : segala bentuk penghinaan kecuali pasal 316
320: pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal
321: menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka
umum tulisan atau gambar yang isinya menghina orang yang
sudah meninggal.
19
322: membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau
pencarian;
323: memberutahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan
dimana dia bekerja atau dulu bekerja yang harus dirahasiakannya.
332: melarikan perempuan belum dewasa atas persetujuanya
tanpa dikehendaki orang tuanya.
367( jo 362,363,364, atau 365): segala bentuk pencurian dalam
kalangan keluarga;
369: kejahatan pengancaman;
370: (jo 372-375): semua bentuk penggelapan dalam kalangan
keluarga;
394(jo 378-393 bis): semua bentuk penipuan (bedrog) dalam
kalangan keluarga, kecuali 393 bis ayat (2).
20
Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatan-
kejahatan tertentu yang menjadi kejahatan aduan relative bilamana
dilakukan dalam kalangan keluarga, yaitu:
a. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan
orang-orang satu terhadap yang lain yang amsih ada hubungan
yang sangat erat dan dalam sidang penagdilan;
b. Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya didalam suatu
keluarga antara pasangan suami dan istri ada semacam
condominium (Utrecht,ibid:249).
Siapakah yang berhak mengajukan pengaduan dalam hal
kejahatan aduan?. Pada dasarnya orang yang berhalk mengajukan
pengaduan adalah orang yang etrkena kejahatan (korban). Namun (72 ayat
1) apabila korban kejahatan itu:
a. Masih anak-anak yang kriterianya ialah umurnya belum 16 (enam
belas) tahun dan belum dewasa, (perkawinan menyebabkan
kedewasaan walaupun umurnya belum 16 tahun); atau
b. Korban berada dibawah pengampuan selain karena sifat boros,
Maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam
perkara perdata. Wakilnya yang sah dalam perkara perdata dalam hal
kebelum dewasaan adalah walinya (voogd) yaitu orang tua kandung
(ayahnya), jika ayahnya tiada: ibunya, jika ayah dan ibu tiada ialah siapa
yang menurut hukum yang berlaku bagi anak itu (BW atau adat) menurut
cara tertentu menjadi wali. Dalam hukum adat bias pamannya, kakak dan
lain- lain orang yang menurut hukum menjadi wali dari anak itu.
Terhadap orang - orang yang diletakkan dibawah pengampuan
(curatele, Pasal 433 BW), ialah terhadap orang dewasa yang karena dalam
keadaan atau sifat-sifat pribadi tertentu, ialah; dungu, sakit ingatan, mata
gelap/pemarah berlebih-lebihan tanpa alas an rasional, pemboros. Keadaan
kecanduan narkotika dapat pula dipakai sebagai alas an peletakan
seseorang dibawah pengampuan (anologi). Orang dalam keadaan atau
memiliki sifat pribadi seperti itu dianggap tidak mampu secara pribadi
melakukan perbuatan hukum, oleh karena itu harus ditunjuk seorang
pengampu (curator) untuk mengurus segala kepentingan hukum orang itu
(curandus), termasuk didalamnya melakukan perbuatan
21
mengajukan aduan dalam hal kejahatan aduan. Tetapi curator tidak berhak
mewakili curandus dalam hal diletakkannya dibawah pengampuan itu oleh
sebab sifat boros untuk mengajukan pengaduan. Curandus yang karena
alas an boros tetap mampu untuk mengajukan pengaduan dalam perkara
kejahatan aduan. Peletakkan seseorang di bawah pengampuan beserta
menunjuk curatornya haruslah melalui penetapan hakim perdata
Pengadilan Negeri di ana curansud berdiam (Pasal 436 BW).
d. Istrinya, atau
e. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu
tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh
22
Nyatalah dari norma Pasal 73, orang yang terlanggar kepentingan
hukumnya oleh kejahatan aduan, meskipun kemudian meninggal, maka hak
menghajukan pengaduan itu tetap berlangsung selama tenggang waktu hak
mengadu masih ada (masih berlangsung) sesuai dengan Pasal 74. Hak
pengaduan itu beralih pada para ahli warisnya sebagaimana disebutkan
secara limitative pada Pasal 73. Hak pengaduan oleh ahli waris dari korban
kejahatan aduan yang dimaksud oleh Pasal 73 ini tidak berlaku dalam hal
kejahatan aduan perzinaan (284 ayat 3).
23
orang yang sudah meninggal, bukan yang dialihkan sebagaimana Pasal
73.
24
Bagi pengaduan oleh korban kejahatan yang amsih dalam
yenggang waktu 6(enam) atau 9(Sembilan) bulan kemudian menjadi berhak
untuk mengajukan pengaduan, maka pengaduan tersebut boleh dilakukan
dalam sisa tenggang waktu yang amsih ada (74 ayat 2).
D. Menarik Pengaduan
25
Mengenai kejahatan aduan perzinaan, pengaduan dapat ditarik
kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belumlah dimulai
(284 ayat 4), jadi tidak tunduk pada tenggang waktu tiga bulan menurut
Pasal 75. Dalam praktik selama ini tentang perkara perzinaan, pad hari
sidang pertama, sebelum Hakim Ketua Sidang meminta kepada Jaksa PU
untuk membacakan surat dakwaannya, seringkali Ketua Majelis
menanyakan terlebih dahulu kepada saksi pengadu apakah dia tetap pada
permintaannya dalam penagduan. Apabila pengadu tetap pada
permintaannya dalam pengaduan, maka sidang diteruskan dengan
pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa PU.
26
khusus (untuk kejahatan aduan). Dengan adanya penarikan pengaduan,
maka hak penuntutan menajdi hapus. Dengan hapusnya hak penuntutan
pidana, maka penuntutan yang sedang berjalan menjadi gugur. Keadaan ini
tidak berbeda dengan sebab meninggalnya terdakwa yang mengahpuskan
hak menuntut pidana.( Adami Chazawi,2005: 119).
DAFTAR BACAAN
http://repository.usu.ac.id
4.3 Penutup
1. Rangkuman Materi
27
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak
yang dirugikan.
5. Delik aduan juga digolongkan dalam dua jenis delik aduan absolut
(absolute klacht delict) dan delik aduan relatif (relatieve klacht delict).
28