Anda di halaman 1dari 28

BAB VI

PENGULANGAN (RECIDIVE) DAN DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)

A. Pendahuluan
Recidive terjadi jika seseorang yang telah melakukan tindak pidana dan
telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim dimana telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Sedangkan Delik aduan (klacht delict) merupakan delik yang hanya dapat
dituntut, apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan
sifatnya pribadi/privat, dengan syarat adanya suatu aduan dari pihak yang
dirugikan. Delik aduan/klach delict juga diartikan sebagai pembatasan inisiatif
jaksa untuk melakukan penuntutan. Delik ini membahas tentang kepentingan
korban. Pengaturan delik aduan dijumpai secara tersebar di dalam Buku ke II
KUHP.
Setelah mempelajari materi dalam pengulangan (recidive) dan delik
aduan (klachtdelict), Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah
mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Recidive, meliputi :
pengertian, Pemberatan Pidana Dalam Residive, Residive Dalam KUHP,
Sistem Residive, Sanksi Pidana (Pemberatan Dalam recidive), Syarat
Residive, dan mengenai Delik aduan (klachtdelict) meliputi : pengertian, Hak
Mengajukan Pengaduan, Jenis Delik Aduan, Menarik Pengaduan.
Pengulangan (recidive) dan delik aduan (klachtdelict), perlu dipelajari lebih
mendalam untuk bisa memahami materi dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis dengan
baik.

1
4.1 PERKULIAHAN PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)
A. Pengertian
Jonkers, Hazewinkel-Suringa, Vos, Van Hattum menganggap sesuatu
yang tidak tepat jika membahas masalah gabungan/perbarengan/ samenloop
dengan pengulangan/residive dalam satu bab, karena pengulangan/residive
berbeda prinsip dari gabungan/perbarengan/ samenloop. Oleh karena
pengulangan/residive itu menjadi suatu alasan yang memperberat
pemidanaan terhadap para pelaku kejahatan/pelanggaran. Pompe
mengatakan bahwa, baik dalam gabungan maupun pengulangan adalah satu
orang yang telah melakukan berturut- turut beberapa peristiwa pidana. Tetapi
dalam gabungan, dalam waktu antara dilakukannya dua peristiwa pidana,
tetapi pembuat itu tidak dijatuhi pidana karena peristiwa pidana itu,
sedangkan dalam pengulangan pembuat tersebut telah dijatuhi pidana
karena peristiwa pidana yang telah dilakukan pertama diantara peristiwa
pidana yang kedua itu (Utrecht E, 1965 : 195 - 196).
Arti residive menurut masyarakat adalah : “setiap orang yang telah
melakukan tindak pidana dan tindak pidana itu telah dijatuhi suatu pidana,
setelah menjalani pembinaan, bimbingan dan pendidikan tertentu didalam
lembaga pemasyarakatan, agar menjadi orang yang baik dan berguna dan
kembali menjadi anggota masyarakat, tetapi beberapa saat kemudian
kembali melakukan suatu tindak pidana”. Sehingga dalam hal ini telah terjadi
pengulangan suatu tindak pidana, tanpa memperhatikan syarat- syarat
lainnya sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang. Sedangkan arti
menurut hukum pidana adalah : “setiap orang yang telah melakukan suatu
tindak pidana dan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan itu telah
dijatuhi pidana, kemudian menjalani pembinaan, bimbingan dan pendidikan
tertentu didalam lembaga pemasyarakatan agar menjadi orang yang baik dan
berguna dan bila selesai menjalani pidana serta kembali menjadi anggota
masyarakat, beberapa waktu kemudian kembali melakukan suatu tindak
pidana”. Hal inilah yang menjadi ratio atau dasar pemberatan pidana bagi
pelaku suatu tindak pidana, karena kembali melakukan pengulangan suatu
tindak pidana yang dihubungkan dengan syarat-syarat tertentu yang
ditetapkan di dalam undang-undang.

2
Masruchin Ruba’i menegaskan bahwa, residive adalah salah satu dasar
pemberatan pidana (Masruchin Ruba’i, 2014 : 228). Hal yang perlu diingat dan
merupakan salah satu dasar pembeda antara pengulangan/residive dengan
gabungan/perbarengan/samenloop adalah bahwa dalam
pengulangan/residive perkara yang sebelumnya sudah diadili, sudah diputus
oleh hakim sehingga memiliki kekuatan hukum tetap/telah dijatuhi pidana
kemudian melakukan tindak pidana lagi. Mengenai hal ini Teguh Prasetyo
menyatakan bahwa, “Pengulangan/residive terdapat dalam hal seseorang
telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak
pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan mana satu atau lebih telah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan” (Teguh Prasetyo, 2011 : 191).

B. Pemberatan Pidana Dalam Residive


3 faktor Dasar Filosofi pemberatan pidana pada Residive :
1. Lebih dari satu kali melakukan tindak pidana.
2. Telah dijatuhi pidana terhadap si pembuat atas tindak pidana yang
pertama.
3. Pidana telah dijalankan pada yang bersangkutan.
Penjatuhan hukuman yang pertama dapat dianggap sebagai peringatan dari
negara. Dengan mengulang lagi (melakukan tindak pidana kedua kalinya),
maka dianggap tidak mengindahkan peringatan tersebut (Masruchin Ruba’i, 2014 :
228). Seseorang yang dijatuhi hukuman dan mengulang lagi melakukan
kejahatan membuktikan bahwa ia memiliki tabiat buruk. Jahat, sehingga
dianggap membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat ( Teguh
Prasetyo, 2011 : 191).

C. Residive Dalam KUHP


KUHP kita tidak mengenal apa yang disebut residive umum (generale
recidive). Sistem residive umum itu dianut oleh Code Penal. Dalam sistem itu
berlaku ketentuan bahwa seseorang yang telah dipidana karena tindak
pidana, yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, maka delik yang
dilakukan sebelumnya (delik apapun juga) akan menjadi alasan pemberatan
pemidanaan untuk delik kedua tersebut. Kesamaan jenis delik dan lamanya
waktu terjadinya delik yang terdahulu tidak menjadi pertimbangan. Disini
3
tidak ada lewat waktu dan lagi pula hakim wajib memberikan pemberatan
dalam pemidanaan delik kedua.
KUHP tidak mengatur mengenai pengulangan umum (general recidive).
Pengulangan umum adalah sebagai dasar pemberatan pidana dengan
berlaku terhadap semua tindak pidana. KUHP menggunakan sistem Spesial
Residive (Residive Khusus). Masruchin Ruba’i mengemukakan bahwa,
dasar pemberat pidana dalam KUHP merupakan pengulangan khusus, yang
berarti bahwa, pemberatan pidana dari suatu pengulangan tidak berlaku pada
semua pengulangan tindak pidana, namun hanya pengulangan tindak pidana
tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, tidak semua
pengulangan merupakan dasar pemberatan pidana. Oleh karena itu,
pengulangan dalam KUHP disebut “Pengulangan Khusus” (Masruchin Ruba’i 2014 :
228).

Pengulangan yang diatur dalam KUHP (sebagai pengulangan khusus):


a. Pengulangan hanya terjadi pada kejahatan-kejahatan tertentu dengan
syarat-syarat tertentu. Pengulangan terbatas pada tindak pidana yang
disebutkan dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP saja.
b. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP itu,
KUHP juga ada beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat
terjadi pengulangan. Misalnya : tindak pidana Pasal 216 Ayat (3), 489
Ayat (2), 495 Ayat (2), 501 Ayat (2), 512 Ayat (3).
Tindak pidana lain yang tidak termasuk pada huruf a dan b diatas, maka tidak
dapat terjadi pengulangan (Masruchin Ruba’i 2014 : 228).

Residive diatur dalam Buku II KUHP, BAB XXXI dari Pasal 486, 487 dan
488, ini berarti bahwa ketentuan yang menyangkut residive itu tidak berlaku
umum, akan tetapi hanya untuk delik-delik yang disebutkan dalam ketiga ( ke
– 3 ) pasal tersebut. Dimana ketiga pasal tersebut masing- masing
menyebutkan kelompok kejahatan yang memberi pemberatan tentang
pemidanaan jika terjadi pengulangan tindak pidana.
Dalam KUHP, pengulangan tindak pidana ditentukan secara khusus,
yakni termasuk dalam jenis-jenis kelompok tindak pidana yang sama.
Misalnya :
486 : berkaitan dengan kej. Harta benda (pencurian, penggelapan, dll).

4
487 : berkaitan dengan nyawa (penyerangan presiden atau wakil presiden,
pembunuhan, pengguguran kandungan dll)
488 : berkaitan dengan kehormatan/nama baik dan harga diri orang
(penghinaan presiden atau wakil presiden, penghinaan, dll)
Apabila 1 (satu) orang telah melakukan beberapa tindak pidana,
timbullah kemungkinan-kemungkinan yaitu :
a). Gabungan, yaitu apabila dalam waktu antara dilakukannya 2 (dua)
tindak pidana tidak telah ditetapkan suatu hukuman karena tindak
pidana yang pertama diantara tindak pidana itu. Dalam hal
gabungan ini, maka praktis dialami (oleh yang terhukum) satu
peringanan hukuman, karena tidak selalu dapat ditetapkan jumlah
besar maksimum dari hukuman yang bersangkutan.
b). Pengulangan, yaitu apabila ada satu hukuman seperti yang
dimaksud pada poin a yang tidak lagi dapat ditiadakan. Disini
terdapatlah satu alasan untuk memperberat hukuman.
c). Telah ditetapkan hukuman yang dimaksud pada poin a, tetapi
hukuman itu bukanlah satu hukuman yang tidak lagi dapat
ditiadakan. Dalam hal demikian, tiada gabungan maupun
pengulangan dan tiap-tiap tindak pidana dapat dihukum dengan
maksimum yang telah ditentukan untuk masing-masingnya,
sehingga kemungkinan dapat dilakukan / diadakan kumulasi biasa
(Utrecht. E, 1965 : 196-197)

Jika pemberian pemberatan hukuman / pidana terhadap residive, VOS


mengatakan bahwa hal ini bertentangan dengan teori-teori hukuman /
pemidanaan, terutama teori pembalasan / absolut. VOS beralasan bahwa
belum tentu tindak pidana yang kedua, yang dilakukan oleh seseorang
memperlihatkan suatu mentalitet jahat pada pembuatnya yang lebih besar.
Melainkan seringkali ternyata bahwa tanggung jawab atas tindak pidana
kedua yang dilakukan, kemudian tidak begitu besar seperti tanggung jawab
atas tindak pidana pertama yang dilakukan terlebih dahulu oleh seseorang.
Oleh karena seringkali tindak pidana pertama membawa akibat yang sangat
buruk bagi pembuat tindak pidana, seperti namanya cacat dimata orang
(stigma), kehilangan pekerjaan dan ditempatkan dalam keadaan sosial yang

5
menyulitkan untuk mencari nafkah. Orang yang dalam keadaan demikian ini,
tidak jarang terpaksa melakukan tindak pidana kedua. Sedangkan Pompe
berpendapat lain, yaitu bahwa tindak pidana pengulangan itu justru
menimbulkan dugaan bahwa pembuat mempunyai satu mentalitet tertentu
yang sudah agak tetap, yaitu suatu kecendrungan yang lebih besar untuk
melakukan kejahatan (Utrecht. E, 1965 : 198).

D. Sistem Residive
Pada umumnya tentang sistem residive yang dikenal adalah :
1. Residive Umum ( Algemene Recidive / Generale Recidive )

2. Residive Khusus ( Speciale Recidive / Bijzondere Recidive )

3. Tussen Stelsel ( tempatnya diantara pertama dan kedua )

(I Made Widnyana, 1992 : 85)

Ad 1). Residive Umum ( Algemene Recidive / Generale Recidive ) : “


terjadi apabila seseorang telah melah melakukan delik / tindak pidana
/ perbuatan pidana dan terhadap tindak pidana itu telah dijatuhi pidana
oleh hakim, akan tetapi setelah orang itu menjalankan pidananya dan
kemudian setelah bebas dan kembali kedalam masyarakat, dalam
jangka waktu tetentu yang ditetapkan oleh undang-undang, orang itu
kembali melakukan tindak pidana dan tindak pidana itu tidak harus
sejenis “. ( T.P. Pencurian setelah melakukan Perampokan )
Ad 2). Residive Khusus ( Speciale Recidive / Bijzondere Recidive ) : “
apabila seseorang melakukan delik / tindak pidana / perbuatan pidana
dan terhadap tindak pidana itu telah dijatuhi pidana oleh hakim, setelah
dijatuhi pidana dan pidana itu telah dijalankan, kemudian kembali
kedalam masyarakat, dalam jangka waktu tertentu yang telah
ditetapkan oleh undang-undang, kembali melakukan tindak pidana
yang sejenis dengan tindak pidana terdahulu”.
Ad 3). Tussen Stelsel / Tussen Systeem ( satu sistem peralihan /
pengulangan pengelompokkan / groups recideive ) : “ apabila
seseorang melakukan delik / tindak pidana / perbuatan pidana dan

6
terhadap tindak pidana itu, orang tersebut telah dijatuhi pidana oleh
hakim, setelah orang itu menjalani pidana dan kemudian dibebaskan,
kembali orang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
ditentukan oleh undang-undang melakukan tindak pidana dan tindak
pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang “ (Utrecht. E, 1965 : 200 – 201 dan I Made Widnyana,
1992 : 86).

Maksud “ tindak pidana menurut penggolongan undang-undang “


adalah : “ undang-undang menentukan dulu sejumlah tindak pidana dan
dibaginya dalam golongan-golongan yang menurut sifatnya dianggap sama.
Semua tindak pidana yang sifatnya sama itu dimaksudkan dalam satu
golongan “ ( tindak pidana 1 adalah “ pencurian “, tindak pidana 2 adalah “
penggelapan “ dan tindak pidana 3 adalah “ perampasan “ )
Pasal 486 KUHP :
Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama,
244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266–268, 274, 362, 363, 365 ayat
pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang
disitu ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga Pasal 365, Pasal 369,
372, 374, 375, 378, 380, 381–383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415,
417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun
pidana penjara selama waktu tertentu yang akan dijatuhkan menurut
Pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat, dan 368 ayat kedua,
sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat ke empat Pasal 365, dapat
ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan
kejahatan, belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya
atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik
karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu,
maunpun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah
satu dari pasal 104 – 143, 145 dan 149 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali
dihapuskan (kwijtgescholden) atau jika pada waktu melakukan
kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum
daluwarsa “ (Moeljatno, 2014 : 174)
Jika terjadi pengulangan peristiwa / perbuatan / tindak pidana
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 486 KUHP, maka ancaman
pidananya diperberat atau ditambah dengan 1/3 ( sepertiga ) apabila :
1. Mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang-undang
dianggap sama macamnya ( sama macamnya, misalnya hari ini
mencuri, kemudian pada lain hari mencuri lagi. Oleh undang-

7
undang dianggap sama macamnya, meskipun kejahatan itu
berlainan macamnya, tetapi dianggap sama, seperti halnya pasal-
pasal yang tersebut dalam Pasal 486 )

2. Diantara kejahatan yang satu dengan yang lainnya sudah ada yang
mendapat putusan hakim ( apabila satu diantaranya belum
diputuskan oleh hakim, perbuatan itu merupakan suatu gabungan
kejahatan dan bukan residive ).

3. Hukuman yang dapat dimasukkan dalam peraturan residive umum


ialah hukuman penjara, bukan hukuman kurungan atau denda

4. Jarak waktu kejahatan itu dilakukan tidak lebih dari 5 (lima) tahun,
terhitung sejak yang bersalah menjalani hukuman yang telah
dijatuhkan ( sebagian atau seluruhnya )

Ketentuan Pasal 486 KUHP itu apabila kita amati, ternyata mengatur
dalam hal apa pidana maksimum dari beberapa kejahatan dapat ditambah
dengan 1/3 ( sepertiga ) karena pengulangan. Apabila kita lihat pasal-pasal
yang ditunjuk dalam Pasal 486 KUHP, kejahatan-kejahatan yang digolongkan
terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang dengan maksud
untuk mendapat keuntungan yang tidak halal ataupun yang dilakukan
seseorang dengan tipu muslihat. Hal-hal itulah yang dipakai sebagai dasar
untuk memperberat pidananya dengan 1/3 bagi pengulangan ( residive ),
dengan syarat :
(1). Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana
dengan keputusan hakim yang tidak dapat dirubah lagi dan hanya
dengan pidana penjara dan
(2). Harus dalan jangka waktu 5 ( lima ) tahun terhitung dengan saat
selesainya menjadi pidana penjara dengan saat ia melakukan
tindak pidana untuk kedua kalinya (I Made Widnyana, 1992 : 88)

Pasal 487 KUHP :


Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131,
133, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347,

8
348, 351, 353 – 355, 438 – 443, 459 dan 460, begitupun pidana
penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104,
105, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 399,
340, 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang bersalah ketika
melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya,
baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal
itu maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam
Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat
kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang
menyertainya menyebabkan luka- luka atau mati, Pasal 131 ayat
kedua dan ketiga, 137 dan 138 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tentara atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan, atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan
menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa “. (Moeljatno, 2014 : 175)

Apabila kita cermati isi rumusan Pasal 487 KUHP, yang menyebabkan
ancaman pidananya ditambah dengan sepertiga, oleh karena didalam pasal
ini menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, misalnya
dengan menggunakan kekerasan terhadap orang, tentang pembunuhan atau
penganiayaan.

Pasal 488 KUHP :


Pidana yang ditentukan pada Pasal 134 – 138, 142 – 144, 207, 208,
310 – 321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah
ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani
untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal
itu, atau sejak pidana yersebut baginya sama sekali telah dihapuskan
atau jika pada waktu melakukan kejahatan kewenangan menjalankan
pidana tersebut belum daluwarsa “. (Moeljatno, 2014 : 176-177)

Apabila dilihat dan dicermati isi rumusan Pasal 488 KUHP ini, suatu
hal yang wajar penjatuhan pidananya diperberat dan ditambah dengan
sepertiganya dari tindak pidana yang dilakukan. Oleh karena, tindak pidana
yang dilakukan dapat menimbulkan perasaan tidak enak atau tidak
menyenangkan bagi yang terkena kejahatannya, seperti “ penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden ( Pasal 134 KUHP ) , penghinaan
terhadap raja dari negara sahabat ( Pasal 142 KUHP ), penghinaan terhadap
suatu kekuasaan pemerintahan ( Pasal 207 KUHP ), penyerangan

9
terhadap kehormatan seseorang ( Pasal 310 KUHP ) dan menerbitkan suatu
tulisan atau gambar yang sifatnya dapat dipidana “.
Syarat-syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena
residive / pengulangan dalam Pasaal 488 KUHP adalah : “ Syarat-syarat
pertama ini berbeda dengan syarat pertama yang ditentukan dalam Pasal 486
dan Pasal 487 KUHP. Dalam Pasal 488 KKUHP ditentukan penjatuhan
pidana penjara yang belum lewat 5 tahun, sejak menjalani pidana untuk
seluruhnya atau sebagian sehubungan dengan perbuatan kejahatan yang
dilakukan pertama atau pidana yang diterimanya telah dihapuskan dan ketika
menjalani pidana belum daluarsa “

E. Sanksi Pidana (Pemberatan Dalam recidive)


Menurut Pasal 486, 487, dan 488 KUHP, pemberatan pidana dapat
ditambah sepertiga dari ancaman maksimum pidana. Menurut Pasal 486 dan
487 KUHP yang dapat diperberat hanya pidana penjara saja. Sedangkan,
menurut Pasal 488 KUHP dapat diperberat semua jenis pidana. Sementara,
pada residive lainnya diluar kelompok tindak pidana, yang masuk kelompok
kedua diatas, dapat ditambah dengan sepertiga dari ancaman maksimum.
Juga dapat diperberat dengan tidak menyebutkan angka sepertiga, namun
dapat dengan menambah lamanya saja. Misalnya
: Pasal 492 Ayat (2) KUHP : dari 6 (enam) hari kurungan menjadi 2 (dua)
minggu kurungan, atau pada Pasal 495 Ayat (2) KUHP yang merubah jenis
pidana dari denda menjadi kurungan.(Masruchin Ruba’i 2014 : 228).

F. Syarat Residive
Ada 2 (dua) syarat esensial yang harus dipenuhi dalam pemberatan
pidana pada Pasal 486, 487, dan 488 KUHP :
1) Terpidana telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah
dijatuhkan, atau ia dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia
melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak negara untuk menjalankan
pidananya belum daluwarsa.
2) Melakukan kejahatan pengulangan masih dalam waktu belum lewat
dari 5 (lima) tahun sejak terpidana menjalani pidana. (Masruchin Ruba’i 2014
: 229-230).

10
Selain pengulangan pada Pasal 486, 487, dan 488 KUHP, bentuk
pengulangan yang diluar pasal tersebut juga tersebar dalam beberapa
pasal diantaranya : Pasal 216 ayat (3), 492 ayat (2), 495 Ayat (2), 501
Ayat (2), Pasal 512 Ayat (3), dan Pasal 512 Ayat (2). Dalam hal ini, syarat
pengulangannya tidak sama, jangka waktu tenggang daluwarsanya lebih
pendek dari 5 (lima) tahun, dengan pemberata yang lain dari ditambah
sepertiga. Misalnya, dengan merubah jenis pidananya dari denda menjadi
kurungan atau meruba ancaman pidana dengan pidana yang lebih berat
yang sama jenisnya (Masruchin Ruba’i 2014 : 229-232).

Daftar Bacaan

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

Chazawi, Adami (2), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 2014 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Prastyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ruba’i, Masruchin, 2014 : Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia


Publishing, Malang.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

11
4.2 DELIK ADUAN
A. Pengertian Delik Aduan
Bila dilihat pengertian dari delik aduan sebauiknya dilihat terlebih dulu
kata atau peristilahan “delik” itu sendiri. Delik adalah terjemahan dari kata
Strafbaar feit. Perkataan feit berasal dari bahasa Belanda yang berarti
sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijiheid,
sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum. Dengan demikian secara harfiah
perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum(P.A.F. Lamintang,2011: 181). Terjemahan
lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana,
tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Tidak
hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan
yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan
membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan. Secara
umum, pengertian delik, , dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang
yang melanggar hukum dan terhadap perbuatan itu sebagai konsekuensi
dapat dikenakan sanksi.
Delik aduan (klacht delict) adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika
diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang
dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan/klach delict
merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau
tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang
dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini
membicarakan mengenai kepentingan korban. Pada delik aduan, jaksa
hanya akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang
yang menderita, atau dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik
aduan tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar
di dalam Buku ke II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang
dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam
ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang berhak
mengajukan pengaduan tersebut.

12
Kalau diperhatikan banyak pendapat yang dikemukakan oleh para
pakar hukum terhadap delik aduan diantaranya, sebagai berikut:

a. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang
diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan
mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan
melakukan penuntutan.
b. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya
kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari
orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini
disebut delik aduan.
c. Adami Chazawi, Dalam hal kejahatan aduan (delik aduan), prinsip
umum dalam penuntutan perkara pidana dikecualikan dalam delik
aduan ini, karena Negara tidak berwenag menuntut pidana apabila
korban kejahatan (yang berhak mengadu) tidak mengadukan (Adami
Chazawi,2005: 89).
d. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini
disebut Klacht Delicten. (http://repository.usu.ac.id)
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa, suatu delik aduan, di
samping delik tersebut memiliki unsur yang lazim dimiliki oleh tiap delik, maka
delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau
pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Delik aduan (Klacht
Delicten) ini merupakan suatu delik, pada umumnya kejahatan biasa, di mana
untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau
pihak yang dirugikan, dalam hal ini tentu dengan pertimbangan sepanjang
penuntut umum berpendapat bahwa kepentingan umum tidak terganggu
dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.

B. Hak Mengajukan Pengaduan


Diperbuatnya tindak pidana oleh subyek hukum tindak pidana, tidak
akan menjadi suatu perkara pidana dan diperiksa disidang pengadilan yang
pada akhirnya diputus, apabila sebelumnya tidak dilakukan

13
penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum ke sidang pengadilan. Namun
sebelum Jaksa PU dapat mengajukan tuntutan, haruslah terlebih dahulu
dilakukan penyidikan mengenai tindak pidana itu beserta segala sesuatu
yang bersangkut paut baik dengan si pembuat maupun perbuatannya,
penyidikan mana ditujukan selain untuk memberkas perkara juga ditujukan
untuk menentukkan apakah perkara itu cukup bukti dan alas an untuk dapat
diajukkan penuntutan pidana oleh Jaksa PU ataukah tidak. Bahkan kadang-
kadang sebelum tindakan penyidikan dilakukan, diperlukan tindakan
penyelidikan terlebih dahulu, untuk menentukan apakah suatu peristiwa itu
dapat dilakukan penyidikan atau tidak.
Nyatalah bahwa inisiatif untuk beracara dalam perkara pidana
bukanlah pada pihak orang yang terlanggar kepentingan hukumnya atau
korban tindak pidana,melainkan pada pihak Negara in casu dimulai oleh
pejabat penyelidik atau pejabat penyidik yakni Kepolisian. Namun pejabat
penyelidik atau penyidik tidak menentukan untuk melakukan penuntutan.
Penuntutan hanya dilakukan oleh pejabat Penuntut Umum dan Institusi
Kejaksaan. Penuntutan (vervolging) ialah berupa tidnakan melimpahklan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya
perkara itu diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang pengadilan( Pasal
1 angka 7 KUHAP). Jadi ada dua unsur esensial dari tindakan penuntutan
pidana, yaitu:
 Perbuatan melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri;
 Disertai permintaan agar perkara itu diperiksa dan diputus.
Tindakan penuntutan pidana (vervolging) tidaklah sama dengan
tindakan mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 182 KUHAP atau dulu Pasal 290 HIR. Tuntutan
pidana (requisitoir) dimuat dalam sebuah surat yang disebut Surat Tuntutan
(requisitoir), yang dibuat dan dibacakan/ diucapkan oleh Jaksa PU dalam
sidang setelah acara pembuktian selesai, dimana Majelis Hakim
memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut untuk mengajukan
tuntutannya. Surat tuntutan ini berisi tentang pendapat Jaksa Penuntut ( hal
terbukti tidaknya dakwaan) mengenai perkara yang diperiksa dan

14
permintaan kepada hakim mengenai putusan apa yang dijatuhkan pada
Terdakwa (pemidanaan, pelepasan dari tuntutan hukum, pembebasab, atau
tindakan). Jika Jaksa Penuntut umum meminta untuk menjatuhkan pidana
maka harus tegas jenis dan berat ringan pidana yang dimintanya.
Sedangkan tindakan penuntutan pidana, adalah pekerjaan penuntutan
sebagaimana yang diatur dalam Bab XV (137 s/d 144) KUHAP atau dulu
Bagian Pertama Titel X HIR (Pasal 246 s/d 251).
Jadi jelaslah bahwa untuk lahirnya perkara pidana atau beracara
dalam perkara pidana adalah atas inisiatif Negara yang in casu diwakili
pejabat penyidik yakni Kepolisian, dan dilanjutkan penuntutan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Berbeda halnya dengan perkara perdata, dimana untuk
beracara tidak dimulai atas inisiatif Negara, melainkan oleh pihak yang
merasa kepentingan hukumnya dirugikan atau terlanggar oleh orang atau
pihak lain. Sedangkan Negara sifatnya pasif, sekedar menunggu dan
berbuat (pengadilan memeriksa) sepanjang diminta oleh salah satu pihak
(penggugat).
Untuk beracara dalam hal perkara pidana tidak diperlukan permintaan
oleh pihak yang dirugikan/ dilanggar kepentingan hukumnya semacam itu.
Perinsip Umum dalam perkara pidana tindak pidana apda dasarnya adalah
kepentingan hukum public atau bercorak public (walaupun pada
kenyataannya juga melanggar kepentingan hukum orang gperorangan,
misalnya orang ditipu), maka inisiatif untuk beracara dalam hal
mempertahankan dan menegakkan kepentingan hukum yang terlanggar
tadi adalah Negara, bukan korban. Sedangkan subjek hukum korban tindak
pidana yang didakwakan serta menentukan kadar kesalahan si pembuat
oleh Majelis Hakim.
Berdasarkan pada perinsip umum itu, maka tidak penting tentang apa
yang diminta oleh korban dalam perkara pidana. Diminta ataukah tidak
Negara akan melakukan penuntutan atas perkara pidana. Namun perinsip
umum itu dikecualikan dalam hal kejahatan aduan. Dalam hal kejahatan
aduan Negara tidak berwenang menuntut pidana apabila korban kejahatan
(yang ebrhak menagdu) tidak meminta (mengadu) agar perkara pidana yang
diadukan itu diperiksa, diajukan ke sidang pengadilan dan diputus. Dalam
hal kejahatan aduan pengaduan itu menajdi syarat mutlak untuk
15
dapatnya Negara (in casu Jaksa PU) melakukan penuntutan pidana, kecuali
dalam hal penghinaan terhadap pejabat (pegawai negeri) pada waktu atau
karena menjalankan tugas yang sah (316 jo 319). Peranan korban pad
akejahatan aduan adalah menentukkan untuk dapat tidaknya dilakukan
penuntutan pidana (vervolging). Tetapi bukan menentukan untuk dapatnya
dilakukan penyidikan (opsporing). Dalam hal penyidikan tidaklah penting
ada pengaduan ataukah tidak. Penyidikan boleh dilakukan terhadap
sipembuat kejahatan aduan tanpa digantungkan adanya pengaduan dari
yang ebrhak menagdu. Hanya saja pekerjaan ini akan menajdi sia-sia jika
ditolak oleh Jaksa PU lantaran pejabat penuntut ini tidak dapat mengajukan
tuntutan pidana ke sidang pengadilan, yang jika dilakukan juga, Majelis
Hakim akan memutus tentang tuntutan itu yang isinya ialah “menyatakan
dakwaan tidak dapat diterima” nerhubung Penuntu Umum tidak berwenang
menuntut pidana.
Akan tetapi sesungguhnya bagi penyidik yang melakukan juga
penyidikan terhadap tindak pidana aduan tanpa danya pengaduan yang
berhak menagdu, dalam bebrapa hal kadang-kadang sangat bermanfaat,
yaitu:
 Apabila kemudian korban atau yang berhak mengadu pada akhirnya
benar-benar memasukkan penagduannya. Dalam praktik hal
semacam ini seringkali terjadi, dimana pada mulanya korban tidak
segera memasukkan pengaduannya, namum kemudian berubah
pikiran, yang pad akhirnya mengajukan pengaduannya.
 Setelah dilakukan penyidikan ternyata ada orang lain yang ikut terlibat
(pelaksana, penyuruh, peserta, penganjur, atau pembantu) dalam
melakukan kejahatan yang tidak diadukan itu, yang penuntutan pidana
terhadap keterlibatannya dalam kejahatan itu tidak diisyaratkan
adanya pengaduan, maka mengenai keterlibatannya ini dapat
dilakukan penuntutan pidana, sedangkan bagi orang yang tunduk pada
syarat pengaduan untuk dilakukan penuntutan pidana distatuskan
menjadi saksi belaka.
 Setelah dilakukan penyidikan ternyata adal tindak pidana lain yang
bukan kejahatan aduan. Bagi kepentingan hukum public sangat

16
pentung untuk melakukan penuntutan pidana terhadap si pembuat
tindak pidana bukan aduan ini.
 Menjadi penting ialah dalam hal untuk menyelamatkan barang bukti.
Dengan segera dilakukan penyidikan, penyidik dapat melakukan
penyitaan barang-barang bukti, yang kadang-kadang barang bukti ini
sangat berguna dalam upaya menghindari kerugian yang lebih besar
yang diderita korban. Misalnya anak mencuri ratusan juta rupiah- uang
milik orang tuanya. Bila segera dilakukan penyidikan uang itu dapat
disita, dan walaupun terhadap anak itu tidak dapat dituntut pidana
karena tanpa pengaduan, tetapi sebagian atau seluruh uang itu dapat
diselamatkan dengan dikembalikan pada orang tuanya.
Apakah yang dimaksud dengann pengaduan (klacht)? Pengaduan
didefinisikan ialah suatu pernyataan tegas (lisan atau tertulis atau dituliskan)
dari seseorang yang berhak (mengadu) yang disampaikan kepada pejabat
penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisian RI) tentang telah diperbuatnya
suatu tindak pidana (in casu kejahatan aduan) oleh seseroang dengan
disertai permintaan agar dilakukan pemerikasaan untuk selanjutnya
dilakukan penuntutan kepengadilan yang berwenang. Jadi ada dia unsure
esensial pengaduan adalah:
a. Pernyatan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh
seseorang, dan disertai
b. Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk
dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan.
Walaupun ada persamaan sifat dengan laporan, karena laporan juga
merupakan pernyataan mengenai telah diperbuatnya tindak pidana, namun
perbedaan yang mendasar dengan penagduan. Perbedaan itu adalah:
a. Pada pelaporan cukup sekedar menyampaikan (berisi) keterangan
atau informasi tenatang adanya peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana. Sedangkan pada pengaduan disamping berupa
informasi tenatng diperbuatnya tindak pidana, juga harus disertai
permintaan yang tegas kepada pejabat penerima pengaduan agar
tindak pidana itu diusut dan kemudian dilakukan penuntutan
pidana ke sidang pengadilan.

17
b. Pelaporan (aangifte) dapat dilakukan oleh siapa saja, baik korban
maupun bukan, baik orang dewasa maupun anak yang belum
cukup umurnya (belum dewasa). Sedangkan pengaduan (klacht)
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak saja (korban,
kuasanya, walinya dan lain-lain, lihat 72 dan 73).
c. Pelaporan dapat diajukan mengenai semua tindak pidana
(kejahatan maupun pelanggaran). Sedangkan pengaduan hanya
dapat dilakukan oleh kejahatan-kejahatan (aduan) saja.
d. Pelaporan tidak merupakan syarat dapatnya dilakukan penuntutan
pidana terhadap si pembuatnya. Sebaliknya pengaduan adalah
merupakan syarat esensial untuk dapatnya Negara melakukan
penuntutan pidana.
Apakah hak oportunitas tidak berlaku pada kejahatan aduan, mengingat
dalam kejahatan aduan ini peranan permintaan dari korban kejahatan untuk
melakukan penuntutan pidana adalah menentukan?. Dalam persoalan ini,
hak Penuntut Umum untuk mendeponer (deponeren) suatu kasus perkara
pidana berdasarkan kepentingan umum (asas opportunitas, Pasal 32 huruf c
UU no 5 Tahun 1991) tidak dipengaruhi oleh adanya pengaduan ( permintaan
agar menuntut) oleh pengadu (Utrecht, 1965:246). Walaupun ada pengaduan
pad kejahatan aduan, toh Jaksa PU (atas nama Jaksa Agung) tetap dapat
melakukan deponering (memtieskan atau menyampingkan) sesuatu perkara,
demi untuk ke[entingan umum. Arti kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan Negara dan /atau kepentingan amsyarakat luas (Penjelasan pasa
32 huruf b). asas opportunitas berdasarkan atas pandangan bahwa akan
lebih besar hanyanya daripada manfaatnya dengan adanya penuntutan
pidana, maka Jaksa PU atas nama Jaksa Agung boleh tidak melakukan
penuntutan (mendeponir) perkara pidana(Adami Chazawi, 2005: 99).

Ada pertimbangan yang dipakai dasar bagi Pembentuk Undang-


Undang (KUHAP) untuk menetapkan pengaduan sebagai syarat untuk
dapatnya dituntut pidana terhadap si pembuat kejahatan aduan.
Pertimbangan itu ialah bahwa dalam hal kejahatan aduan pentinya bagi
yang berhak mengadu atau yang kepentingan hukumnya dilanggar apabila

18
perkara itu dituntut adalah lebih besar dari pada pentingnya bagi Negara
apabila perkara itu dilakukan penuntutan pidana. Dalam hal kejahatan
aduan, terdapat dua hukum yang saling bertentangan, yaitu disatu pihak
perlunya hukim ditegakkan, artinya penting bagi Negara untuk dilakukkan
penuntutan, dan dilain pihak bagi korban ada kepentingan agar perkara
kejahatan aduan untuk tidak dilakukan penuntutan, misalnya pembuatnya
ada hubungan keluarga, atau kepentingan hukum yang dilanggar adalah
bersifat pribadi (misalnya zina atau penghinaan). Dalam hal ini kepentingan
korban untuk tidak dilakukan penuntutan pidana lebih diutamakan daripada
kepentingan Negara dalam hal menegakkan hukum. Sehingga peranan
korban menjadi sangat dominan (diutamakan) dalam hal Negara untuk
melakukan penuntutan pidana.
Kejahatan aduan itu tidak terkumpul didalam satu Bab, akan tetapi
tersebar dalam pasal-pasal mengenai beberapa jenis kejahatan di Buku II.
Tetapi ektentuan tentang pengaduan itu sendiri (mengajukan dan menarik
pengaduan), dan bukan mengenai kejahatan-kejahatan aduan, termuat
dalam satu Bab, yaitu pada Bab VII buku I yang berjudul “Mengajukan dan
Menarik Kembali Pengaduan Dalam Hal Kejahatan- Kejahatan yang Hanya
Dituntut Atas Pengaduan”, terdiri dari Pasal 72 sampai dengan Pasal 75.(
Kejahatan- kejahatan aduan yang tersebar dalam pasal-pasal
Buku II, antara lain:
 284: kejahatan zina;
 287 : bersetubuh dengan perempuan luar akwin yang umurnya
belum 15tahun atau belum waktunya untuk dikawinkan;
 293: menggerakkan seseorang yang baik tingkahlakunya untuk
,melakukan perbuatan cabul dengan dia;
 319 (jo 310-318) : segala bentuk penghinaan kecuali pasal 316
 320: pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal
 321: menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka
umum tulisan atau gambar yang isinya menghina orang yang
sudah meninggal.

19
 322: membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau
pencarian;
 323: memberutahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan
dimana dia bekerja atau dulu bekerja yang harus dirahasiakannya.
 332: melarikan perempuan belum dewasa atas persetujuanya
tanpa dikehendaki orang tuanya.
 367( jo 362,363,364, atau 365): segala bentuk pencurian dalam
kalangan keluarga;
 369: kejahatan pengancaman;
 370: (jo 372-375): semua bentuk penggelapan dalam kalangan
keluarga;
 394(jo 378-393 bis): semua bentuk penipuan (bedrog) dalam
kalangan keluarga, kecuali 393 bis ayat (2).

C. JENIS DELIK ADUAN


Menilik dari sifatnya, kejahatan aduan dapat dibedakan antara
kejahatan aduan mutlak (absolute) dan kejahatan aduan relative (nisbi).
Kejahatan aduan absolute adalah kejahatan yang pada dasarnya adalah
berupa kejahatan aduan, artinya untuk segala hal dan atau kejadian
diperlukan syarat pengaduan untuk dapatnya Negara melakukan
penuntutan mengenai perkara itu. Contohnya ialah kejahatan pada pasal-
pasal: 284, 287, 293, 319 (jo 310-318a0, 322, 332. Sedangkan kejahatan
aduan relative, ialah kejahatan yang pada dasarnya bukan berupa kejahatan
aduan, melainkan hanya dalam hal-hal atau keadaan tertentu saja kejahatan
itu menjadi kejahatan aduan. Hanya karena adanya unsure- unsur tertentu,
syarat pengaduan tidak diperlukan untuk melakukan penuntutan. Contohnya
pencurian dalam segala bentuknya (362-365) pada dasarnya bukan
kejahatan aduan, akan tetapi bila ada unsure dalam kalangan keluarga atau
kejahatan itu dilakukan dalam kalangan keluarga, maka menajdi kejahatan
aduan (relative). Contoh lainnya al. Pasal-pasal: 370 (jo 368,369), 376 (jo
372-375), 394(jo 378-393).

20
Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatan-
kejahatan tertentu yang menjadi kejahatan aduan relative bilamana
dilakukan dalam kalangan keluarga, yaitu:
a. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan
orang-orang satu terhadap yang lain yang amsih ada hubungan
yang sangat erat dan dalam sidang penagdilan;
b. Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya didalam suatu
keluarga antara pasangan suami dan istri ada semacam
condominium (Utrecht,ibid:249).
Siapakah yang berhak mengajukan pengaduan dalam hal
kejahatan aduan?. Pada dasarnya orang yang berhalk mengajukan
pengaduan adalah orang yang etrkena kejahatan (korban). Namun (72 ayat
1) apabila korban kejahatan itu:
a. Masih anak-anak yang kriterianya ialah umurnya belum 16 (enam
belas) tahun dan belum dewasa, (perkawinan menyebabkan
kedewasaan walaupun umurnya belum 16 tahun); atau
b. Korban berada dibawah pengampuan selain karena sifat boros,
Maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam
perkara perdata. Wakilnya yang sah dalam perkara perdata dalam hal
kebelum dewasaan adalah walinya (voogd) yaitu orang tua kandung
(ayahnya), jika ayahnya tiada: ibunya, jika ayah dan ibu tiada ialah siapa
yang menurut hukum yang berlaku bagi anak itu (BW atau adat) menurut
cara tertentu menjadi wali. Dalam hukum adat bias pamannya, kakak dan
lain- lain orang yang menurut hukum menjadi wali dari anak itu.
Terhadap orang - orang yang diletakkan dibawah pengampuan
(curatele, Pasal 433 BW), ialah terhadap orang dewasa yang karena dalam
keadaan atau sifat-sifat pribadi tertentu, ialah; dungu, sakit ingatan, mata
gelap/pemarah berlebih-lebihan tanpa alas an rasional, pemboros. Keadaan
kecanduan narkotika dapat pula dipakai sebagai alas an peletakan
seseorang dibawah pengampuan (anologi). Orang dalam keadaan atau
memiliki sifat pribadi seperti itu dianggap tidak mampu secara pribadi
melakukan perbuatan hukum, oleh karena itu harus ditunjuk seorang
pengampu (curator) untuk mengurus segala kepentingan hukum orang itu
(curandus), termasuk didalamnya melakukan perbuatan
21
mengajukan aduan dalam hal kejahatan aduan. Tetapi curator tidak berhak
mewakili curandus dalam hal diletakkannya dibawah pengampuan itu oleh
sebab sifat boros untuk mengajukan pengaduan. Curandus yang karena
alas an boros tetap mampu untuk mengajukan pengaduan dalam perkara
kejahatan aduan. Peletakkan seseorang di bawah pengampuan beserta
menunjuk curatornya haruslah melalui penetapan hakim perdata
Pengadilan Negeri di ana curansud berdiam (Pasal 436 BW).

Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal


72 Ayat (1), atau wakilnya itu sendiri adalah di pembuat yang harus
diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu adalah :

a. Wali Pengawas (toeziende voogd, 366 jo 370 BW); atau

b. Pengampun Pengawas (toexinde curator, Pasal 499 BW); atau

c. Majelis yang menjadi Wali Pengawas atau menjadi Pengampu


Pengawas; atau juga

d. Istrinya, atau

e. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu
tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh

f. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang


sampai derajat ketiga (Pasal 72 Ayat 2).

Bagaimana dengan korban yang berhak mengadu kemudian


meninggal dunia, apakah dengan demikian hak pengaduan dalam hal
perkara itu menjadi hapus?. Mengenai persoalan ini, diterangkan dalam
Pasal 73 yang menyatakan bahwa”Jika yang terkena kejahatan meninggal
dunia di dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut maka
tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan
orang tuanya, anaknya, istrinya, atau suaminya yang amsih hidup kecuali
kalau ternyata bahwa yang meninggal dunia itu tidak mengkhendaki
penuntutan”.

22
Nyatalah dari norma Pasal 73, orang yang terlanggar kepentingan
hukumnya oleh kejahatan aduan, meskipun kemudian meninggal, maka hak
menghajukan pengaduan itu tetap berlangsung selama tenggang waktu hak
mengadu masih ada (masih berlangsung) sesuai dengan Pasal 74. Hak
pengaduan itu beralih pada para ahli warisnya sebagaimana disebutkan
secara limitative pada Pasal 73. Hak pengaduan oleh ahli waris dari korban
kejahatan aduan yang dimaksud oleh Pasal 73 ini tidak berlaku dalam hal
kejahatan aduan perzinaan (284 ayat 3).

Tenggang waktu hak mengajukan pengaduan yang dimaksud


Pasal 73 ialah dalam waktu 6 (enam) bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahatan aduan, jika ia bertempat tinggal di
Indonesia, atau dalam waktu 9(Sembilan) bulan apabila dia bertempat
tinggal di luar Indonesia. Mengenai tenggang waktu 6(enam) dan 9
(Sembilan) bulan disini dikecualikan dalam hal kejahatan aduan Pasal 293
Ayat (3) ialah kejahatan pembujukan terhadap orang belum dewasa yang
baik tingkah lakunya untuk berbuat cabul atau membiarkan diri untuk
dilakukan perbuatan cabul, yang tenggang waktu hak mengadu adalah
9(Sembilan) bulan dan 12(dua belas) bulan.

Sehubungan dengan ketentuan siapa yang berhak mengajukan


pengaduan dalam hal korban meninggal dunia, perlulah diperhatikan
kejahatan aduan yang dirumuskan dalam Pasal 320 dan 321, di mana hak
mengadu juga da pada ahli warisnya, yakni pada “salah seorang keluarga
sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai
derajat kedua dari yang meninggal dunia, dan jika karena lembaga
matriarchal kekuasaan bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas
pengaduan orang itu” (320 jo 321). Hak menagdu pada ahli waris menurut
Pasal 320 dan 321 berbeda dengan hak mengadu pada Pasal 73.
Perbedaannya ialah hak mengadu menurut Pasal 73 adalah hak mengadu
yang dialihkan, tetapi hak mengadu yang diatur dalam Pasal 320 dan 321
adalah hak mengadu asli yang langsung diletakkan pada ahli waris dari

23
orang yang sudah meninggal, bukan yang dialihkan sebagaimana Pasal
73.

Bilamanakah pengaduan itu dapat dilakukan? Sebagaimana yang


sudah ditrangkan diatas, Pasal 74 Ayat (1) menentukan bahwa “pengaduan
hanya boleh dilakukan dalam waktu 6(enam) bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di
Indonesia, atau dalam waktu 9(Sembilan) bulan jika bertempat tinggal di luar
Indonesia”. Perkecualian dari waktu enam dan Sembilan bulan itu adalah
9(Sembilan) bulan untuk yang tinggal di Indonesia, atau 12(sua belas) bulan
bagi yang tinggal di luar Indonesia bagi kejahatan pada Pasal 293. Menurut
Jonkers, jangka waktu Sembilan dan dua belas bulan ini disesuaikan
dengan jangka waktu kehamilan seorang perempuan (Jonkers , 1987: 250).

Berhubung dengan cara atau bentuknya pengaduan, ada dua


macam, yakni pengaduan lisan dan pengaduan dengan tulisan atau tertulis,
maka waktu penagjuan pengaduan itu ada perbedaan. Pada pengaduan
lisan, pengaduan ini telah terjadi pada saat diucapkan atau dinyatakan
secara lisan, apabila pengaduan diajukan secara tertulis, maka penagduan
itu terjadi ialah pada waktu surat pengaduan itu dikirim, dan bukan pada saat
pengaduan itu diterima oleh Pejabat Penyelidik atau Pejabat Penyidik yakni
Kepolisian. Dalam praktik selama ini, apabila pengadu datang ke Kantor
Kepolisian untuk mengajukan pengaduan lisan, kemudian oleh Pejabat
Kepolisian yang menrima pengaduan itu dibuat tanda penerimaan
pengaduan (tertulis) dimana didalamnya dimuat tanggal pengajuan
pengaduan dan informasi atau keterangan tentang trjadinya tindak pidana
dan informasi untuk dilakukan pemeriksaan/ penyidikan dan penuntutan
pidana. Lalu pengadu menandatanganinya, berikut juga pejabat Kepolisian
penerima pengaduan itu. Dengan demikian pengaduan lisan itu apda
dasarnya telah menjadi pengaduan tertulis atau dituliskan. Waktu
melakukan pengaduan adalah pada hari dan tanggal pengajuan pengaduan
yang dituliskan dalam tanda penerima pengaduan itu.

24
Bagi pengaduan oleh korban kejahatan yang amsih dalam
yenggang waktu 6(enam) atau 9(Sembilan) bulan kemudian menjadi berhak
untuk mengajukan pengaduan, maka pengaduan tersebut boleh dilakukan
dalam sisa tenggang waktu yang amsih ada (74 ayat 2).

Perlu juga diperhatikan bahwa pengaduan dalam hal kejahatan


aduan absolute tidak boleh dipecah atau dipisah (onsplitbaar), misalnya
pada perzinaan (284). Tidak dibenarkan pengadu memajukan pengaduan
terhadap pelaku pesertanya saja, sedang pelaku pelaksananya tidak atau
sebaliknya, misalnya karena dia adalah istri/ suami pengadu. Dalam hal ini
pejabat Penuntut tetap akan menuntut pidana dengan mengajukan ke
pengadilan terhadap kedua-duanya. Bagaimana jika Jaksa PU hanya
menuntut pelaku pelaksananya saja berhubung pelaku pesertanya (gadis
atau janda) melarikan diri atau karena alasan demi kepentingan umum (asas
opportunitas), sehingga tidak dituntut dengan tidak dimasukkan dalam
dakwaan? Dalam hal ini Majelis hakim hanya akan menjatuhkan pidana
terhadap siapa yang dituntut dan mengenai apa yang didakwakan saja, dan
tidak terhadap pelaku peserta gadis yang tidak dituntu dengan tidak
mencantumkannya dalam surat dakwaan sebagai pelaku peserta zina. Hal
ini sesuai dengan prinsip hukum acara pidana yang melarang Hakim
memutus orang dan sesuatu diluar yang dituntut dan apa yang didakwakan.

D. Menarik Pengaduan

Pengaduan yang telah diajukan dapat ditarik kembali bilamana masih


dalam tenggang waktu 3(tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (Pasal 75).
Dalam hal berlakunya tenggang waktu tiga bulan itu dihitung mulai keesokan
ahri dari pengajuan pengaduan. Ketentuan boleh ditariknya pengaduan ini
memberikan kemungkinan apabila setelah pengaduan diajukan, si pengadu
berubah pikiran karena misalnya si pembuat telah meminta maaf dan
menyatakan penyesalannya atau istilah dalam praktik “telah berdamai”,
maka pengadu dapat menarik kembali pengaduannya selama masih dalam
waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Setelah pengaduan ditarik,
maka tidak dapat diajukan lagi.

25
Mengenai kejahatan aduan perzinaan, pengaduan dapat ditarik
kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belumlah dimulai
(284 ayat 4), jadi tidak tunduk pada tenggang waktu tiga bulan menurut
Pasal 75. Dalam praktik selama ini tentang perkara perzinaan, pad hari
sidang pertama, sebelum Hakim Ketua Sidang meminta kepada Jaksa PU
untuk membacakan surat dakwaannya, seringkali Ketua Majelis
menanyakan terlebih dahulu kepada saksi pengadu apakah dia tetap pada
permintaannya dalam penagduan. Apabila pengadu tetap pada
permintaannya dalam pengaduan, maka sidang diteruskan dengan
pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa PU.

Andai kata terjadi, setelah surat dakwaan dibacakan, kemudian dia


menarik pengaduannya. Apakah dalam hal ini dibenarkan penarikan
pengaduannya itu? Untuk perkara zina, tidaklah mungkin, karena
bertentangan dengan Pasal 284 ayat (4). Pembacaan surat dakwaan dalam
praktik adalah dianggap permilaan pemeriksaan perkara pidana.
Bagaimana dengan perkara bukan zina, jika penarikan pengaduannya
masih dalam tenggang tiga bulan sejak dimasukannya pengaduan, tetapi
dilakukan setelah surat dakwaan dibacakan? Apakah penarikan pengaduan
ini dibenarkan? Dalam persoalan ini undang-undang tidak secara jelas
melarang. Jika semata-mata melihat bunyi rumusan Pasal 75, yang
menerangkan semata-mata perihal tenggang waktu untuk menarik
pengaduannya (tiga bulan). Begitu juga tidak secara tegas dilarang oleh
Pasal 284 Ayat (4) berhubung pokok perkaranya bukan zina. Maka boleh
menarik pengaduan dalam hal perkara selain zina yang dilakukan setelah
surat dakraan dibacakan dan sebelum putusan diucapkan. Alasannya ialah
dapat dibenarkan melakukan segala sesuatu perbuatan yang secara tegas
tidak dilarang. Melarang menarik pengaduan setelah pemeriksaan dalam
perkara kejahatan aduan zina, tidak berarti melarang penarikan pengaduan
setelah pemeriksaan dalam perkara kejahatan aduan yang lain.

Alasan ini juga dibenarkan apabila dipandang bahwa penarikan itu


apda dasarnya adaklah merupakan alas an peniadaan penuntutan pidana

26
khusus (untuk kejahatan aduan). Dengan adanya penarikan pengaduan,
maka hak penuntutan menajdi hapus. Dengan hapusnya hak penuntutan
pidana, maka penuntutan yang sedang berjalan menjadi gugur. Keadaan ini
tidak berbeda dengan sebab meninggalnya terdakwa yang mengahpuskan
hak menuntut pidana.( Adami Chazawi,2005: 119).

DAFTAR BACAAN

Adami Chazawi, (2005), Pelajaran Hukum Pidana (Penafsiran Hukum


Pidana, Dasar-dasar Pemidanaan, Pemberantasan dan
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran
Kausalitas), Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

P.A.F. Lamintang, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra


aditya Bakti, Bandung.

http://repository.usu.ac.id

4.3 Penutup
1. Rangkuman Materi

1. Recidive adalah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh


seseorang yang telah melakukan tindak pidana pertama dimana telah
dijatuhi suatu putusan hakim berkekuatan hukum tetap, kemudian
melakukan suatu tindak pidana lagi.
2. Syarat Recidive yaitu ada keputusan hakim, dan merupakan
keputusan yang tidak dapat dirubah lagi, hukuman dijalankan atau
baru sebagian.
3. Sistem Recidive ada dua yaitu Recidive umum dan Recidive khusus.
Sedangkan jenis-jenis Recidive yaitu Recidive kejahatan dan
pelanggaran
4. Delik aduan merupakan delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan
oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan bersifat

27
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak
yang dirugikan.
5. Delik aduan juga digolongkan dalam dua jenis delik aduan absolut
(absolute klacht delict) dan delik aduan relatif (relatieve klacht delict).

28

Anda mungkin juga menyukai