NIM : D1A020561
SOAL :
1. Jelaskan pertanggungjawaban pidana strict liability dalam tindak pidana lingkungan
hidup, dan bagaimana kaitannya dengan ajaran kesalahan dalam pidana umum.
2. Sebutkan penyimpangan / perbedaan hukum pidana lingkungan hidup dalam hal
pemidanaan yang meliputi : tujuan pidana, sanksi pidana, proses peradilan pidana,
aparat penegak hukum, dan alat bukti.
JAWABAN :
1. Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di hukumonline berjudul Penerapan
Tanggung Jawab Pidana Mutlak Pada Perkara Pencemaran Lingkungan,konsep strict
liability atau tanggung jawab mutlak ini berbeda dengan sistem tanggung jawab pidana
umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam sistem tanggung
jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa.
Artinya, dalam melakukan perbuatan tersebut, apabila si terdakwa mengetahui atau
menyadari tentang potensi kerugian bagi pihak lain, maka kedaan ini cukup untuk
menuntut pertanggungjawaban pidana. Jadi, tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau
alpa dari terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang telah mengakibatkan
pencemaran (Frances Russell & Christine Locke, “English Law and Language, Cassed,
1992).
Konsep strict liability pertama kali diintrodusir dalam hukum Indonesia antara
lain melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang
selanjutnya diubah dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”). Dalam Pasal 88 UU PPLH ini
disebutkan secara tegas mengenai konsep strict liability:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”
Penjelasan pasal ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan “bertanggung
jawab mutlak” atau strict liability yaitu berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan
oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan dalam pasal ini
dijelaskan merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Hukum pidana Indonesia yaitu KUHP menganut asas pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan (geen straft zonder schuld). Pengaturan mengenai kesalahan
kesalahan tersebut tidak tercantum dalam suatu pasal-pasal dalam KUHP namun, tidak
mutlak kesalahan tersebut berlaku mutlak dalam KUHP. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur
kesalahan dalam pasal 88 dimana pengaturan dalam pasal 88 tersebut menentukan
bahwa seseorang bertanggung jawab mutlak tanpa perlu membuktikan
kesalahan.Ketentuan dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 inilah
yang menjadikan pertanggungjawaban pidana lingkungan berbeda dengan
pertanggungjawaban pidana menurut KUHP.
Konsep strict liability atau tanggung jawab mutlak ini berbeda dengan sistem
tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan.
Dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan
perbuatan dari terdakwa. Artinya, dalam melakukan perbuatan tersebut, apabila si
terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian bagi pihak lain, maka
kedaan ini cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana. Jadi, tidak diperlukan
adanya unsur sengaja atau alpa dari terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang
telah mengakibatkan pencemaran (Frances Russell & Christine Locke, “English Law
and Language, Cassed, 1992).
Pada Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa Kepolisian
mempunyai peran aktif selaku penyidik dalam proses penyelesaian tindak pidana lingkungan
hidup. Walaupun asas subsidiaritas, penyelesaian pidana ditempatkan pada posisi apabila sanksi
bidang lain tidak berjalan serta kesalahan pelaku relative besar dan atau akibat perbuatannya
menimbulkan keresahan masyarakat. Kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang diberikan
wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-
undangan harus mampu memahami berbagai permasalahan yang terkandung dalam UU PPLH.
Dan, sebelum melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara menyangkut
perusakan atau pencemaran lingkungan hidup.
Ketentuan pada Pasal 94 ayat (1) seharusnya memberi batasan secara jelas tentang pihak yang
berwenang untuk melakukan penyidikan sengketa lingkung-an hidup, sehingga tidak
menimbulkan sengketa kewenangan diantara Polri dan PPNS. Hal ini juga bisa dalam
penjelasan ketentuan tersebut, dimana dalam pen-jelasannya di katakan cukup jelas. Tetapi
justru ketentuan yang ada dalam Pasal 94 ayat (1) menimbulkan multitafsir (tidak jelas).
E) Alat bukti
Majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara mencari dan meletakkan kebenaran yang
akan di jatuhkan, harus berdasarkan pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-
undang sebagaimana dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, macam-macam alat terbukti itu
adalah sebagai berikut:
a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi yang di atur dalam KUHAP Pasal 185 Ayat (1) terdapat berbagai macam
ketentuan yaitu sebagai berikut:
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang di dakwakan kepadanya.
c. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah laiannya.
d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat di gunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
e. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi.
f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-
sungguh memperhatikan :
• Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.
• Persesuaian antara keterangan saksi dengan bukti lain.
• Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan yang tertentu.
• Cara hidup kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
g. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain.