Anda di halaman 1dari 19

N A M A A N G G O TA

SALMAN ALKAMILI 010119312


KRISTIAN RIO AJI PERMANA 010119060
A L E X M A X E R PAT T I P E I L O H Y 010119063
P R ATA M A A G U N G Y U S U F S U T R I S N O 010119131
MARLUGA MUNGKUR 010119042
ASPEK-ASPEK

PENYELESAIAN

SENGKETA

PERDATA
PERTANGGUNJAWABAN
GANTI RUGI
MENURUT Menurut ilmu hukum perdata, setiap
HUKUM PERDATA perbuatan yang bertentangan dengan hukum
harus dipertanggungjawabkan atas sejumlah
kerugian yang diderita pihak Iain.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH


Perdata) di mana Pasal 1365 mengatakan:

“Setiap perbuatan melanggar hukum yang


membawa kerugian kepada orang Iain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menimbulkan
kerugian itu, harus mengganti kerugian tersebut.”

3
Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum
(onrechtsmatigedaad) menurut pasal 1365 KUH perdata
adalah sebagai berikut:

1) Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum

2) Terdapatnya kesalahan pada pelaku

3) Timbul kerugian

4) Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan


dengan kerugian

4
TA N G G U N G J AWA B P E N C E M A R A N L I N G K U N G A N

Polluter Pays Principle

Dalam Undang-Undang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH NO. 23 Tahun 1997);
ketentuan pertanggungjawaban atas pencemaran lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 34 ayat 1 dan 35 ayat
1. Kedua pasal ini menganut dua sifat pertanggungjawaban, yakni yang bersifat biasa dan khusus.

“Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Jika kita simak penjelasan pasal 34 ayat (1) yang mengatakan bahwa ayat ini merupakan realisasi asas yang
ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar maka dapat disimpulkan bahwa
rumusan ketentuan pasal ini merupakan bagian dari polluter pays principle (PPP) yang ternyata dapat
diartikan sebagai asas pencemar membayar (polluter pays principle) tidak hanya menyangkut aspek preventif,
tetapi dapat pula dikaitkan dengan aspek represif

5
P E R TA N G G U N G J AWA B A N B I A S A D A N K H U S U S

Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban, pada pasal 34 ayar (I) dan Pasal 35 ayat (1) di atas disebut biasa
atau bersifat umum, karena tidak menunjuk secara spesifik unsur.unsur tertentu. Sementara untuk bentuk
pertanggungjawaban yang disebut terakhir, telah secara jelas bersifat khusus karena unsur-unsurnya telah
secara khusus menunjuk kepada hal atau syarat tertentu. bersfat khusus yang mencirikan kepada jenis
pertangggungjawaban khusuis itu adalah strict liability, yang ciri utamanya antara lain timbulnya tanggung
jawab langsung dan seketika pada saat terjadinya perbuatan, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan unsur
kesaıahan

Membuktikan adanya kesalahan tidaklah mudah karena sebelumnya harus terlebih dahulu dibuktikan adanya
hubungan sebab akibat. Dengan demikian sistem pertanggungjawaban biasa dirasa tidak dapat memberikan
keadilan dalam masalah lingkungan.

6
Unsur-unsur Pasal 35 strict liability

STRICT 1. Suatu perbuatan atau kegiatan


LIABILITY 2. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hiduo

3. Menggunakan atau menghasilkan bahan/limbah


berbahaya dan beracun

4. Tanggung jawab timbul secara mutlak

5. Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada


saat pencemaran/perusak lingkungan

Pada intinya, dengan adanya asas strict liability ini maka


tergugat tidak perlu membuktikan adanya unsur
kesalahan atau tidak dalam gugatan yang ia buat.

7
L I M I TA S I D A N P E N G E C U A L I A N TA N G G U N G J AWA B

Sistem strict liabiIity diterapkan secara limitatif yang berarti kepada jenis-jenis kegiatan tertentu
diberlakukan strict liability. Menurut Pasal 35 UUPLH 1997, kegiatan-kegiatan tersebut adalah
kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan, menggunakan bahan berbahaya
dan beracun,. menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun;

kemudian menurut penjelasan Pasal 35 ketentuan strict liability merupakan lex specialis dalam
gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya. Dengan demikian, terhadap
kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan kepada hal di atas diberlakukan sistem tanggung
jawab yang menyimpang dari ketentuan hukum pertanggungjawaban sebagaimana ditentukan
dalam KUHPerdata.

8
KONVENSI INTERNASIONAL
Berikut beberapa konvensi sebagai perangkat hukum
HUKUM INTERNASIONAL internasional yang di dalamnya mengatur tentang strict liability
T E N TAN G TA N G G UN G
1. Konvensi tentang pertanggungjawaban pihak ketiga di
J AWA B P E R D ATA S E C A R A bidang nuklir

STRICT LIABILITY 2. Konvensi pertanggungjawaban sipil atas kerugian yang


diakibatkan oleh nuklir
3. Konvensi internasional tentang pertanggungjawaban sipil
atas kerugian pencemaran minyak
4. Konvensi tentang pertanggungjawaban internasional atas
kerugian yang disebabkan oleh obyek ruang angkasa
5. Konvensi pergerakan lintas batas limbah bahan berbahaya
dan beracun
6. Konvensi tentang pertanggungjawaban sipil terhadap
kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas yang
membahayakan lingkungan)
7. Rancangan protokol keamanan hayati sebagai pelaksanaan
dari konvensi keanekaragaman hayati

9
TA N G G U N G J AWA B ATA S
P E N C E M A R A N M I N YA K D I L A U T

Dalam sebauh konferensi IMCO, organisasi khusus PBB yang mengurus


masalah pelayaran di laut telah menghasilkan beberapa perangkat
konvensi internasional the international convention on civil liability for
oil pollution damage, 1969. Konvensi ini biasa disebut dengan civil
liability convention atau CLC 1969. Konvensi ini memperkenalkan
sistem tanggung jawab perdata baru, yaitu sistem atau asas Strict
Liability.

Dalam CLC 1969 dikenal sistem pembuktian terbalik yang berarti


kewajiban atau beban pembuktian bukan berada di pihak penggugat
sebagaimana lazim ditemui selama ini secara konvensional, akan tetapi
justru tergugat. Penggugat sudah cukup dengan menunjuka fakta saja
atau dalam hukum Jerman dan Prancis disebut juga sebagai presunption
of fault

10
KATEGORI KEGIATAN DIKAITKAN
DENGAN STRICT LIABILITY
Pasal 35 UUPLH 1998 di dalamnya menunjuk beberapa
aktibitas dan sifat aktivitas yang membawa dampak
lingkungan. Jika dikategorikan maka dapat ditemui 3
kategori makro yang dapat dikaitkan dengan pola
pertanggungjawaban strict liability yakni:

1. Aktivitas yang menimbulkan dampak besar dan


penting

2. Aktivitas yang menggunakan bahan berbahaya dan


beracun

3. Aktivitas yang menghasilkan bahan berbahaya dan


beracun (B3)

11
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM


LINGKUNGAN DI BANYAK NEGARA, TERMASUK
INDONESIAM KINI TELAH BERKEMBANG KHUSUSNYA DI
BIDANG KEPERDATAAN. PERKEMBANGAN YANG
DIMAKSUD DI SINI IALAH PENYELESAIAN SENGKETA
TIDAK LAGI HANYA DITANGANI OEH LEMBAGA-LEMBAGA
TRADISIONAL YANG DITUNJUK OLEH PEMERINTAH
SEPERTI PENGADILAN ATAU SEMACAMNYA. DI LUAR
PENGADILANKECENDERUNGAN DEMIKIAN TELAH
MENGARA KEPADA SEBUAH SISTEM, DAN
PERKEMBANGAN DEMIKIAN TELAH SEMAKIN
DIBUTUHKAN DAN TIDAK DAPAT TERELAKKAN. PADA
UMUMNYA, TERDAPAT 4 MODEL ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA:

1. ARBITRASE

12
KEBERLAKUAN CLC1969 DALAM HUKUM
NASIONAL

Kedua konvensi internasional yaitu Civil Liability Convention 1969 dan


Munds Convention 1971 oleh Pemerintah Indonesia telah diratifikasi ke
dalam tata hukum nasional, masing-masing berdasarkan Keputusan
Presiden (KEPPRES) No. 18 Tahun 1978 dan No. 19 Tahun 1978.

Dengan diratifikasinya kedua konvensi ini, terbukti bahwa sistem hukum


kita sejak tahun 1978 telah mengenal sistem Strict Liability. Berarti,
UUPLH 1982 bukanlah produk hukum yang pertama memperkenalkan
sistem demikian ke dalam tata hukum nasional.

13
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Mekanisme penyelesaian sengketa dalam hukum lingkungan di


banyak negara, termasuk indonesiam kini telah berkembang
khususnya di bidang keperdataan. Perkembangan yang dimaksud
di sini ialah penyelesaian sengketa tidak lagi hanya ditangani oeh
lembaga-lembaga tradisional yang ditunjuk oleh pemerintah
seperti pengadilan atau semacamnya. Di luar
pengadilankecenderungan demikian telah mengara kepada sebuah
sistem, dan perkembangan demikian telah semakin dibutuhkan
dan tidak dapat terelakkan. Pada umumnya, terdapat 4 model
alternatif penyelesaian sengketa:

1. Arbitrase
2. Negosiasi
3. Mediasi
4. Konsiliasi

14
CLASS ACTION
Dalam pasai 37 ayat (1) UUPLH ditentukan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan yang merugikan masyarakat. Mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan ini
disebut class action, yakni sekelompok korban mewakili sejumlah korban lainnya untuk bertindak
mengajukan gugatan ke pengadilan atas kerugian yang diderita; yang memiliki sifat kesamaan
masalah, fakta hukum, dan tuntutan.

Terdapat keuntungan praktis lainnya yakni biaya relatif kecil daripada mengajukan gugatan secara
pribadi, tercegahnya putusan hakim yang berbeda-beda atas kasus-kasus yang bersifat sama,
sementara bagi pihak pengadilan, gugatan semacam ini akan mengurangi beban kerja yang
diakibatkan penumpukan perkara

15
S TA N D I N G L I M I TAT I F D A N T E RT U T U P

Hal ini tidak berarti semua organisasi lingkungan hidup dapat melakukan fungsi hak gugat, karena
sistem hak gugat organisasi yang dikenal dalam UUPLH menganut asas scara limitatif, berikut
syarat hak gugat organisasi tersebut:

1. Organisasi itu berbentuk badan hukum atau yayasan

2. Di dalam anggaran dasarnya disebutkan secara tegas bahwa tujuan pendiriannya adalah dalam
rangka kepentingan pembinaan lingkunga

3. Organsisasi itu telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya

16
LANJUTAN
Salah satu ciri legal standung adalah tidak diperkenankannya
mengajukan gugatan ganti rugi, namun tuntutan uang atau biaya
pengeluaran riil dapat diajuka. Biaya pengeluaran riil adalah biaya
yang nyata-nyata telah dikeluarkan organsisasi. Tuntutan yang dapat
diajukan kepada pengadilan berupa:

1. Tuntutan melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan


dengan keserasian lingkungan

2. Menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melawan


hukum dengan mencemarkan atau merusak lingkungan

3. Memerintahkan supaya melakukan tindakan berupa memperbaiki


atau membuat unit pengolah limbah
DEMIKIAN PRESENTASI KELOMPOK KAMI.
ADA YANG INGIN MENGAJUKAN PERTANYAAN?

18
TERIMAKASIH
ATAS
PERHATIANNYA

PRESENTATION TITLE
19

Anda mungkin juga menyukai