Anda di halaman 1dari 4

Nama: Muhammad Nur Ramadhan T

NPM: 110110170163
UAS HUKUM INTERNASIONAL
KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA ATAS KEBAKARAN HUTAN
DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
1. Latar Belakang
Di ranah hukum Internasional setiap negara berinteraksi dengan subjek internasional
lainnya. Interaksi tersebut dapat menimbulkan akibat-akibat yang harus ditanggung oleh
negara. Hal ini dapat dikenal dengan konsep pertanggungjawaban negara (State’s
responsibility). Terdapat dua istilah yang sering disangkutkan dengan pertanggungjawaban
yaitu responsibility dan liability.1 Responsibility mengandung makna yakni berupa apa yang
secara hukum harus dipertanggungjawabkan kepada satu pihak, sedangkan liability adalah
kewajiban untuk mengganti kerugian atau perbaikan kerusakan yang terjadi.2
Shaw mengatakan bahwa karakteristik dari tanggung jawab negara tergantung pada
faktor-faktor, yaitu adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antar dua
negara, adanya suatu perbuatan/kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional
tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara, dan adanya kerusakan/ kerugian sebagai
akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian. Tujuan dari tanggung jawab
negara ini adalah untuk menimbulkan kesadaran negara akan akibat yang ditimbulkan dari
aktivitas baik oleh kegiatan kenegaraannya maupun kegiatan subjek yang ada di dalam
negaranya.3
Tanggung jawab negara sering pula dikaitkan dengan perbuatan pelanggaran hukum
internasional atau internationally wrongful acts. Terdapat perangkat hukum internasional yang
khusus mengatur hal ini, yaitu Articles on The Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts 2001 (ARSIWA).4 ARSIWA ini bukanlah merupakan traktat atau pun bentuk
perjanjian internasional lainnya, melainkan sebuah resolusi yang dibuatkan oleh Majelis
Umum PBB. ARSIWA berisi tentang apa yang dimaksud dengan sebuah pelanggaran hukum
internasional, bagaimana tanggung jawab negara bagi masyarakat maupun badan hukum/
perusahaan yang ada di dalam negaranya, apa-apa saja yang dapat mengecualikan
pertanggungjawaban, serta konsekuensi-konsekuensi dari pelanggaran tersebut.5
Selain itu, terdapat prinsip hukum internasional sic utere tuo ut alienum non laedas
yang menyatakan bahwa negara harus menjamin hal-hal yang ada di wilayah yurisdiksinya
untuk tidak merugikan negara lain.6 Hal ini timbul agar setiap negara memiliki perhatian
kepada apa pun yang ada di dalam negaranya untuk tidak mengganggu negara lain. Pada
awalnya, prinsip ini berkembang di dalam hukum lingkungan internasional. Namun, kini
prinsip tersebut juga diterima dalam bidang apa pun yang menyangkut kegiatan di dalam

1
Heribertus U. Setyardi, Pertanggungjawaban Negara terhadap Pencemaran Udara akibat Kebakaran Hutan
di Indonesia Tahun 1997, 2001, hal. 46.
2
Widya Krulinasari, Tanggung Jawab Negara dalam Upaya Pencegahan Global Warming Akibat Dari
Pencemaran Udara Lintas Batas Negara, 2011, hal. 238.
3
Malcolm Shaw, International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2008, hal. 778-791.
4
Widya Krulinasari, supra n. 2, hal 237.
5
Ibid.
6
Asdar, Transboundary Haze Pollution Di Malaysia Dan Singapura Akibat Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau
Ditinjau Dari Hukum Lingkungan Internasional, Jurnal Untad, 2015, hal. 7.
negara yang dapat menganggu negara lain. Prinsip ini penting dewasa ini diakibatkan semakin
kompleks nya aktivitas manusia, yang dapat pula mendorong kerusakan lingkungan.
2. Kasus/ Permasalahan
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan terbanyak di dunia. Ironisnya,
salah satu faktor kerusakan hutan di Indoensia adalah kebakaran hutan. Menurut data Global
Forest Watch, Indonesia pernah menjadi negara yang paling kaya akan hutan. Namun hal ini
semakin berkurang 50 tahun kemudian, dengan jumlah sebesar 40%.7 Pada tahun 1997-1998
Indonesia pernah mengalami kebakaran hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan. Kedua
kebakaran hutan tersebut merupakan kebakaran hutan yang paling bersifat merusak, dan
sampai mengganggu negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Kemudian, kebakaran
hutan terjadi lagi di tahun 2016 yang sampai mengakibatkan gangguan kesehatan di Singapura.
Malaysia sebagai negara tetangga Indonesia juga harus menunda penerbangan mereka karena
kabut asap dari Indonesia. Pada tahun 2016, Singapura sampai mendorong pemerintah
Indonesia untuk mencari perusahaan yang menyebabkan kebakaran hutan tersebut, yang
beberapa di antaranya dilaporkan tercatat di dalam bursa saham Singapura.8
Hal ini tentu saja menuai kritik baik dari dalam negeri, maupun negara lain. Akibat yang
ditimbulkan tidak hanya mencemari udara, namun juga dapat menyebabkan penyakit paru-paru
dan mata, menganggu aktivitas, sampai menyebabkan kerugian berupa uang bagi perusahaan-
perusahaan yang melaksanakan bisnisnya.
3. Pembahasan
Istilah yang digunakan untuk pencemaran lintas batas nasional adalah Transfrontier
pollution, yaitu “pollution of which the physical is wholly or in part situated within the territory
of one state and which has deleterious effects in the territory of another state” yang jika
diartikan adalah polusi yang seluruhnya atau sebagian berada di teritori negara lain dan
memiliki efek merusak di teritori negara lain tersebut.9 PBB sendiri mempunyai perhatian besar
terhadap hal tersebut, dibuktikan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dilaksanakan
sebanyak tiga kali di Stockholm tahun 1972, Rio de Janeiro pada tahun 1992, dan di
Johannesburg pada tahun 2002.10
Pencemaran lingkungan tersebut tentunya bertentangan dengan prinsip sic utere tuo ut
alienum non laedas, yang menimbulkan kewajiban pada negara untuk menjaga kegiatan di
dalam negaranya untuk tidak merugikan negara lain. Prinsip ini sejalan pula dengan prinsip
good neighboorliness yaitu prinsip “tetangga yang baik” yang mengatakan bahwa setiap negara
harus menghargai kedaulatan negara lain dalam mengeksploitasi kekayaan alam negaranya.11
Pada awalnya, prinsip ini berkembang pada kasus Trail Smelter di Kanada. Bermula dari
kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan Trail Smelter, yaitu
perusahan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada,
dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun
1920 produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung sulfur
7
Global Forest Watch, “Global Forest Watch of Indonesia”,
https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN.
8
Novi Christiastuti, Kebakaran Hutan Indonesia Picu Kabut Asap Parah di Singapura, 2016,
https://news.detik.com/internasional/3284582/kebakaran-hutan-indonesia-picu-kabut-asap-parah-di-singapura
9
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.Alumni,
Bandung, 2001, hal.187.
10
Supriadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 21.
11
Lembang Palipadang.Hukum Internasional Dan Nasional Tentang Perlindungan Keaneka Ragaman Hayati,
Bandung: Unpad Press, 2010, hal.27.
dioksida, menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun 1930 jumlah
emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi tersebut, karena terbawa
angin, bergerak ke arah wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan
berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air dan udara, kesehatan serta berbagai kepentingan
penduduk Washington lainnya. Warga negara AS juga menerima kerugian panen atas asap
tersebut. AS kemudian melakukan klaim terhadap Kanada dan meminta Kanada bertanggung
jawab terhadap kerugian yang diderita AS. Setelah melakukan negosiasi, kedua negara sepakat
untuk menyelesaikan kasus itu melalui International Joint Commision, suatu badan
adminsitratif yang dibentuk berdasarkan Boundary Waters Treaty 1907.12
Kasus tersebut menjadi tonggak lahirnya konsep pertanggungjawaban negara terhadap
kerusakan lingkungan, maupun tindakan lainnya seperti terorisme, yang dapat mengancam
kedaulatan negara lain. Prinsip ini sudah diterapkan pula pada kasus-kasus di Mahkamah
Internasional seperti Gabčíkovo-Nagymaros Case (Hungary/Slovakia) dan Advisory Opinion
on the Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons 1996.13
Prinsip pertanggungjawaban tersebut menunjukkan bahwa penempatan lingkungan hidup
adalah sebagai objek kekuasaan dan hukum suatu negara, oleh karna itu lingkungan hidup
tunduk kepada hukum nasional negara tertentu, terutama dengan ketentuan bahwa hak
demikian diimbangi oleh kewajiban bagi setiap negara untuk memenfaatkan lingkungan hidup
yang menjadi bagian wilayahnya yang secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara
atau pihak lain.14 Hal ini juga sesuai dengan pasal 1 ARSIWA sebagai hukum kebiasaan
internasional yang berbunyi bahwa dalam setiap tindakan atau kelalaian yang salah oleh hukum
internasional memunculkan pertanggungjawaban internasional kepada negara tersebut.
Mengenai hukum nasional, Indonesia memiliki Undang-undang nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Undang-undang ini mengatur bahwa hutan siapa pun yang memanfaatkan
hutan, baik individu maupun perusahaan, harus berhati-hati agar tidak menyebabkan kebakaran
hutan. Dan siapa pun yang menyebabkan kebakaran tersebut haruslah bertanggungjawab atas
perbuatannya. Selain itu, mandat untuk menjaga lingkungan telah tertanam di dalam Undang-
undang Dasar Republik Indonesia pasal 28H ayat 1, bahwa menikmati kekayaan adalah hak
setiap warga negara, dan pasal 33 ayat 4 yang mewajibkan segala aktivitas ekonomi di
Indonesia agar sejalan dengan perlindungan lingkungan. Maka teranglah bahwa Indonesia
mempunyai tanggungjawab untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Pada dasarnya, melihat kerusakan lingkungan yang telah berdampak kepada negara
tetangga Indonesia, Indonesia dapat diminta pertanggungjawaban internasional. Peristiwa
kabut asap Indonesia ini sangatlah mirip dengan kasus Trail Smelter yang memunculkan
pertanggungjawaban negara akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan sektor privat. Akan
tetapi, belum ada sejauh ini negara yang meminta pertanggungjawaban Indonesia ke
Mahkamah Internasional. Hanya saja, tindakan yang dilakukan negara tetangga adalah
mendorong pemerintahan Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan kabut asap
pada saat itu.
Hal yang dapat dilakukan pemerintahan Indonesia adalah dengan melakukan penyuluhan
tentang lingkungan kepada masyarakat. Selain itu pemerintah juga harus lebih tegas dalam
menjalankan tugasnya yaitu dengan memperketat perizinan yang akan berdampak pada

12
Yulie Monaliza Saragih, Prinsip Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas
Akibat Kebakaran Hutan Indonesia Menurut Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution), Junal Unnes,
2016, hal. 7.
13
Jutta Brunnee, “Sic utere tuo ut Alienum non Laedas”, Oxford Public International Law, 2010, hal. 5.
14
Ibid.
lingkungan, dan menerapkan sanksi yang tegas dan tanpa pandang bulu pada perusahaan
maupun individu yang menyebabkan kerusakan tersebut. Salah satu cara memperketat
perizinan usaha adalah dengan Environmental Impact Assessment (EIA) atau Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang diwajibkan kepada setiap perusahaan yang ingin melaksanakan
program yang menyangkut tentang lingkungan agar terjadinya keberlangsungan dalam
pemakaiannya.15
D. Kesimpulan dan Saran
Melihat perkembangan aktivitas di dalam suatu negara, tidak jarang terjadi pencemaran
lingkungan. Pencemaran tersebut tidak hanya merugikan suatu negara, tetapi juga negara yang
lainnya. Hal ini bukanlah hal yang baru, sebab di dunia internasional telah dikenal konsep
pertanggungjawaban negara terhadap kerusakan lingkungan. Kebakaran hutan yang terjadi di
Indonesia menjadi salah satu masalah yang wajib diperhatikan oleh Indonesia, karena
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah hutan terbanyak di dunia. Oleh
karena itu, adalah suatu kewajban bagi Indonesia untuk bertanggungjawab atas kebakaran
hutan yang telah merugikan negara lain, dan segera menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini
juga diperhatikan bagi setiap individu dan sektor privat yang memanfaatkan lingkungan, agar
lebih berhati-hati serta bertanggungjawab atas penggunaan lingkungan.

Referensi
4. Asdar, Transboundary Haze Pollution Di Malaysia Dan Singapura Akibat Kebakaran
Hutan Di Provinsi Riau Ditinjau Dari Hukum Lingkungan Internasional, Jurnal Untad,
2015.
5. Global Forest Watch, “Global Forest Watch of Indonesia”, diakses pada:
https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDNKebakaran Hutan di
Indonesia Tahun 1997, 2001.
6. Heribertus U. Setyardi, Pertanggungjawaban Negara terhadap Pencemaran Udara akibat
H.J.Mukono, Kedudukan Amdaldalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan Yang
Berkelanjutan (Sustainable Development), Jurnal Kesehatan Lingkungan, Volume 2,
Nomor 1, 2005.
7. Jutta Brunnee, “Sic utere tuo ut Alienum non Laedas”, Oxford Public International Law,
2010.
8. Lembang Palipadang, Hukum Internasional Dan Nasional Tentang Perlindungan Keaneka
Ragaman Hayati, Bandung: Unpad Press, 2010.
9. M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 2001.Malcolm Shaw, International Law,
Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
10. Novi Christiastuti, Kebakaran Hutan Indonesia Picu Kabut Asap Parah di Singapura, 2016,
https://news.detik.com/internasional/3284582/kebakaran-hutan-indonesia-picu-kabut-
asap-parah-di-singapura.
11. Supriadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
12. Widya Krulinasari, Tanggung Jawab Negara dalam Upaya Pencegahan Global Warming
Akibat Dari Pencemaran Udara Lintas Batas Negara, 2011.
13. Yulie Monaliza Saragih, Prinsip Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Udara
Lintas Batas Akibat Kebakaran Hutan Indonesia Menurut Asean Agreement On
Transboundary Haze Pollution, Jurnal Unnes, 2016.
15
H.J.Mukono, Kedudukan Amdaldalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan Yang Berkelanjutan
(Sustainable Development), Jurnal Kesehatan Lingkungan, Volume 2, Nomor 1, 2005, hal. 20.

Anda mungkin juga menyukai