Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH QUALITY AND SAFETY

IDENTIFIKASI, PENILAIAN, DAN PENGENDALIAN RISIKO


BAHAYA POTENSIAL BAGI OPERATOR DI UNIT PELAYANAN
BEDAH TERPADU RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO

Rezania Khairani Mochtar B.Plastik 1806272903


Aflah Dhea Bariz Yasta BTKV 1806273036

Ameru Ulfalian BTKV 1806273042


Ankri Hakam BTKV 1806273055

Bela Dirk BTKV 1806273061


Chaisari Maria M. Turnip BTKV 1806273074

Muhammad Satyagraha Pradipto BTKV 1806273080


Rafles Partogi Hadameon Simbolon BTKV 1806273093

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


PROGRAM STUDI BEDAH PLASTIK DAN
PROGRAM STUDI BEDAH TORAKS KARDIOVASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
APRIL 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatannya dalam


melakukan pekerjaan dan setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja terjamin pula
keselamatannya.1 Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja.

Secara global, setiap tahun sekitar 2 juta orang meninggal karena masalah akibat
kerja. Data dari ILO memperkirakan bahwa setiap tahunnya terdapat 270 juta perkerja yang
mengalami kecelakaan kerja dan 160 juta pekerja yang mengalami penyakit akibat kerja.
Kerugian yang terjadi karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja diperkirakan mencapat
US$1.25 triliun.2 Besarnya dampak yang ditimbulkan selayaknya membuat Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) menjadi kepentingan bersama pemerintah, pengusaha, dan pekerja.

Bidang kesehatan, khususnya rumah sakit, merupakan salah satu area yang menyerap
banyak tenaga kerja dan memiliki potensi bahaya tersendiri yang dapat memengaruhi
pekerjanya dan pasien maupun pengunjung rumah sakit lainnya. Di rumah sakit, potensi
bahaya tidak hanya hal yang berhubungan dengan penyakit (seperti infeksi, radiasi, bahan
kimia, gas anestesi, ergonomi), tetapi juga potensi kebakaran, kecelakaan yang berhubungan
dengan instalasi listrik, dan lainnya.3

Data yang ada menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS hingga 41% lebih
besar dari pekerja di industri lain. Beberapa kasus kecelakaan yang terjadi berhubungan
dengan trauma tajam (tertusuk jarum, tergores, terpotong), ergonomi, infeksi, dan lainnya. Di
Indonesia, terbatasnya laporan, data, dan studi yang dilakukan belum mampu
menggambarkan dengan jelas beban kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang timbul di
rumah sakit.3

Hal yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan kerja antara lain adalah perilaku K3
di tempat kerja yang belum baik serta pengawasan dan pelaksanaan K3 yang belum optimal.
Di tahun 2015 hingga 2018 terdapat kecenderungan turunnya jumlah kasus kecelakaan kerja.
Untuk itu, perlu upaya dan komitmen berkesinambungan untuk terus menurunkan jumlah
kecelakaan kerja tersebut. Di rumah sakit, perlu upaya mengendalikan, meminimalisasi, dan
bila mungkin meniadakan berbagai potensi bahaya. Oleh karena itu, K3 di rumah sakit perlu
dikelola dengan baik.3,4

Tim bedah terdiri dari dokter bedah, perawat asisten, perawat instrument, round nurse
atau perawat sirkuler bedah dan dokter penata anastesi. Ruang operasi rumah sakit merupakan
salah satu faktor yang sangat penting dalam penyelenggaraan pelayanan medis di sarana
pelayanan kesehatan. Dalam rangka mendukung Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, maka perlu disusun persyaratan teknis fasilitas ruang operasi rumah sakit yang
memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja.3

Banyak penyakit yang timbul berhubungan dengan pekerjaan, baik karena kondisi
lingkungan tempat kerja maupun jenis aktifitas dalam pekerjaan. Oleh karena itu dengan
adanya UU No.36 tahun 2009 bab XII yang merupakan upaya kesehatan kerja, ditujukan
untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta
pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Dengan demikian dapat meminimalkan
risiko yang akan terjadi.4

Tulisan ini dibuat untuk melakukan identifikasi, penilaian, dan pengendalian risiko
bahaya potensial bagi operator di ruang operasi. Hal ini adalah salah satu usaha meningkatkan
kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit, khususnya bagi dokter ahli bedah yang
sehari-harinya bertindak sebagai operator di ruangan operasi.
BAB II
PROFIL UNIT PELAYANAN BEDAH TERPADU
RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO

Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo adalah rumah sakit pusat
rujukan nasional yang berada di Jakarta Pusat. RSUPN Cipto Mangunkusumo didirikan pada
tahun 1919 dengan nama awal Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ). Nama CBZ diganti
menjadi Rumah Sakit Oemoem Negeri (RSOM) di tahun 1945. Nama RSOM berubah lagi
menjadi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) pada tahun 1950. Pada tahun 1964, Menteri
Kesehatan Prof. Dr. Satrio meresmikan RSUP menjadi Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo
(RSTM) yang kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perkembangaan ejaan baru
menjadi RSCM. Nama RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo ditetapkan pada tanggal 13 Juni
1994 sesuai SK Menkes nomor 553/Menkes/SK/VI/1994. Saat ini, RSUPN Cipto
Mangunkusumo telah lulus akreditasi sebagai rumah sakit pusat pendidikan oleh Joint
Commission International (JCI).

Salah satu layanan unggulan RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah unit pelayanan
bedah terpadu. Pelayanan bedah tersedia untuk kasus- kasus emergensi maupun elektif, antara
lain kasus trauma, infeksi, keganasan, kelainan degeneratif dan kelainan kongenital. Sebagai
rumah sakit pusat rujukan nasional, pelayanan bedah terpadu RSUPN Cipto Mangunkusumo
diwarnai kasus- kasus sulit dan kasus lanjut sehingga merupakan bentuk layanan tersier yang
memerlukan penanganan multimodalitas dengan pendekatan multidisipliner.

Pelayanan bedah terpadu di RSUPN Cipto Mangunkusumo dibagi berdasarkan


disiplin (cabang) keilmuan. Disiplin keilmuan yang dicakup antara lain sebagai berikut.
a. Bedah Anak
b. Bedah Onkologi
c. Bedah Digestif
d. Bedah Orthopedi & Traumatologi
e. Bedah Plastik
f. Bedah Toraks
g. Bedah Jantung
h. Bedah Vaskular
i. Bedah Saraf
j. Bedah Urologi
Pelayanan bedah yang tersedia di RSUPN Cipto Mangunkusumo dapat diuraikan sebagai
berikut.
1. Pelayanan Bedah emergensi 24 jam di Instalasi Gawat Darurat RSCM
2. Poliklinik Bedah sepanjang hari kerja dalam jam kerja, tersedia berdasarkan disiplin
(cabang) keilmuan bedah
3. Pelayanan Bedah Rawat Inap, di ruang rawat (Gedung A), ruang emergensi dan ICU,
Bangsal Bedah Anak (BCH) dan Unit Luka Bakar
4. Ruang Operasi, tersedia berdasarkan disiplin (cabang) keilmuan
5. Bentuk layanan di atas tersedia dalam betuk layanan public dan privat

Beberapa ruang operasi yang tersedia di RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah


sebagai berikut.
1. Ruang Operasi Instalasi Bedah Pusat (IBP)
2. Ruang Operasi Kencana
3. Ruang Operasi Bedah Rawat Jalan (One Day Care, ODC)
4. Ruang Operasi Bedah Sumbing dan Kraniofasial (Cleft and Craniofacial Center,
CCC) di CMU3
5. Ruang Operasi Bedah Luka Bakar di CMU3
6. Ruang Operasi Bedah Jantung di Pusat Jantung Terpadu (PJT)
BAB III

ALUR KERJA OPERATOR DI UNIT PELAYANAN BEDAH TERPADU

RSUPN CIPTO MANGUNKUSOMO

Operator masuk ke dalam ruang ganti

Operator melakukan cuci tangan bedah

Operator melakukan aseptik dan antiseptik

Operator memulai prosedur operasi

Operator melakukan cuci tangan steril


Gambar 1. Alur kerja operator di Unit Pelayanan Bedah Terpadu RSUPN Cipto
Mangunkusumo

Alur kerja operator di ruang operasi RSUPN Cipto Mangunkusumo terdiri dari
beberapa tahap, tahap pertama operator masuk ke dalam ruang ganti pakaian untuk mengganti
pakaian luar menjadi pakaian OK. Setelah itu operator masuk ke dalam selasar ruang OK dan
kemudian melakukan cuci tangan bedah pada keran khusus yang telah disediakan. Kemudian
operator masuk ke dalam ruang OK dan memakai alat APD beruba gown, handscoen,
kacamata pelindung dan kemudian melakukan proses aseptik dan antiseptik. Setelah itu,
operator bersiap melanjutkan prosedur operasi terhadap pasien. Setelah prosedur selesai,
operator kemudian membuka gown, dan kemudian melakukan cuci tangan steril dan
kemudian keluar dari ruang operasi.

BAB V

MANAJEMEN RISIKO DAN TINDAKAN

YANG SUDAH DILAKUKAN DI TEMPAT KERJA

5.1 Faktor Pencahayaan

Pengaturan intensitas penyinaran di ruang operasi diperlukan untuk melaksanakan


aktivitas secara produktif dan efektif ketika operasi berlangsung. Penyinaran yang baik dapat
memperjelas medan operasi dimana dapat memberikan kontras terhadap kedalaman dan
hubungan struktur anatomis organ pasien yang dilakukan tindakan operasi. Pengukuran
kualitas pencahayaan dilakukan setiap satu tahun sekali dengan melihat parameter yang telah
ditentukan, antara lain :

1. lampu dapat mengeluarkan cahaya secara intensif dengan rentang 10.000 lux hingga
20.000 lux yang dapat disinarkan ke luka sayat di medan operasi tanpa menimbulkan silau
di medan operasi tersebut,

2. fokus kedalaman 25-30 cm dengan memberikan intensitas relatif sama dengan permukaan
dimana luka sayat operasi berada dan daerah dalam luka operasi,

3. cahaya berwarna biru atau putih dengan energi spectral dari 1800 hingga 6500 Kelvin (K),

4. suhu kira-kira 5000 K,

5. lampu ruang operasi menghasilkan kurang dari 25.000 microwatt per cm2 energo
penyinaran,

6. pencahayaan ruangan digunakan parameter minimal 200 footcandle (2.000 Lux).

Beberapa ketentuan tesebut mengacu pada pedoman teknis kamar operasi


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang disesuaikan dengan :

1. SNI 03 – 2396 – 2001, tata cara perancangan sistem pencahayaan alami pada bangunan
gedung,

2. SNI 03 – 6575 – 2001, tata cara perancangan sistem pencahayaan buatan pada bangunan
gedung,

3. SNI 03 – 6574 – 2001, tata cara perancangan sistem pencahayaan darurat, tanda arah dan
tanda peringatan.

5.2 Suhu dan Kelembaban Ruangan

Pengaturan suhu dan kelembaban ruangan diperlukan agar tidak mengganggu dan
membahayakan kesehatan. Pemantauan rutin dilakukan setiap 2 bulan sekali dengan cara
mengukur suhu dan kelembaban ruangan dimana parameter suhu ruangan mampu mencapai
suhu 200 sampai 240C, kelembaban udara ruangan harus dijaga antara 50% - 60%, tekanan
udara di ruangan harus yang berhubungan dengan ruang disebelahnya dipastikan positif
dengan memasok udara lebih dari 15%, semua udara harus di alirkan dari langit-langit dan
dibuang pada minimal 2 lokasi dekat dengan lantai. Bagian bawah dari outlet pembuangan 75
mm berada di atas lantai. Sistem aliran laminar ke bawah dengan hembusan udara dari
plenum (8 sampai 9 m2 ). Hal diatas mengacu pada pedoman teknis kamar operasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang disesuaikan dengan SNI 03 – 6572 – 2001
tentang tata cara perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan
gedung.

5.3 Gas dari Kontaminasi Mesin Anestesi

Pengaturan mesin anestesi diperlukan agar mesin dapat bekerja optimal sesuai
dengan yang diharapkan. Mesin anestesi memerlukan gas oksigen (O2), nitros oksida (N2O)
dan zat anestesi dimana dapat menimbulkan kontaminasi dari gas tersebut. Idelanya mesin
anestesi memiliki vakum, udara tekan dan sistem pembuangan gas anestesi. Apabila terjadi
kebocoran dari mesin anestesi, maka akan menyebabkan keluarnya gas-gas tersebut dari
mesin menuju ruangan operasi dan dapat mengakibatkan intoksikasi bagi individu yang
berada di dalam ruang operasi. Pemeliharaan (kalibrasi) mesin anestesi dilakukan 1 tahun
sekali sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) pemeliharaan alat di rumah sakit.
Ketidaktepatan penggunaan mesin anestesi dapat pula menyebabkan kontaminasi. Berbeda
tipe mesin makan akan berbeda pula cara penggunaannya. Rumah sakit dalam hal ini
membuat standar operasional prosedur (SOP) terhadap masing-masing tipe mesin anestesi
guna menghindari kesalahan yang dilakukan oleh operator mesin anestesi.

5.4 Faktor Biologis


Di kamar operasi, bahaya potensial biologis dapat diperoleh dari faktor-faktor
biologis yang ada. Hal ini terutama bersumber dari kontaminasi bagian tubuh petugas
kesehatan yang diperoleh dari luar ruangan operasi serta kontaminasi bagian tubuh pasien.
Bahaya ini dicegah dengan melakukan tindakan cuci tangan bedah yang terdiri atas tujuh
langkah. Cuci tangan bedah dilakukan sebelum dan setelah melakukan tindakan pembedahan.
Selain cuci tangan bedah yang dilakukan oleh para petugas kesehatan yang akan steril, cuci
tangan secara universal juga dilakukan oleh seluruh petugas/keluarga pasien yang masuk ke
dalam ruang operasi yang sifatnya semi steril. Tempat khusus cuci tangan beserta sabun, hand
towel, dan hand sanitizer disiapkan di ruang operasi.
Sebagaiman faktor biologis dapat diperoleh dari pasien, maka sebelum memasuki ruang
operasi, kebersihan fisik pasien juga harus diperhatikan. Sebelum menjalani prosedur di ruang
operasi, pasien biasanya diwajibkan untuk mandi dengan sabun desinfektan khsus yang sudah
terstandarisasi. Hal ini untuk membunuh kuman-kuman yang berpotensi menyebabkan hazard
biologi.
Selain tindakan antisepsis yang telah disebutkan, tindakan asepsis juga harus
dilaksanakan. Hal ini dilakukan dengan mewajibkan pemakaian alat pelindung diri (APD)
sesuai dengan lingkup kerja masing-masing individu. APD digunakan untuk mencegah diri
dari biological hazard seperti cairan tubuh. APD terdiri atas masker, sarung tangan, penutup
kepala, surgical gown, kacamata, apron, duk, dan sepatu boots.
5.5 Faktor Ergonomis
Pencegahahan ergnomical hazard di lingkungan kerja, dicegah dengan berbagai
peralatan yang menunjang kenyamanan posisi bekerja. Alat-alat yang menunjang hal tersebut
antara lain adalah meja operasi yang adjustable sehingga bisa disesuaikan dengan posisi
kerja. Ditinggikan saat mau berdiri, dan diturunkan saat ingin duduk. Bed pasien juga dibuat
transportable sehingga mudah untuk digunakan para petugas kesehatan yang memindahkan
pasien. Terdapat pula pelatihan dan peraturan yang mengatur tata cara pemindahan pasien
sehingga selalu mendukung kaidah ergonomi. Dokter spesialis bedah toraks dan bedah plastik
memiliki tuntutan untuk menjalani operasi lama, dengan mengutamakan faktor ergonomi,
maka akan menghindari penyakit akibat faktor ergonomi.

5.6 Faktor Psikologis


Faktor psikologis dihindari dengan peraturan jam kerja sistem shift. Setiap orang
maksimal bekerja selama 8-10 jam dalam sehari, kecuali shift malam. Selain itu, pegawai juga
memiliki hak untuk mengambil cuti selama maksimal 12 hari dalam setahun. Hal mengenai
cuti ini diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Peraturan
yang disebut di atas mencegah terjadinya stress akibat kerja.

Adapun fakto-faktor ketidaksengajaan yang dapat menyebabkan paparan terhadap


potential hazard juga dicegah dengan adanya berbagai prosedur operasional standar (SOP)
yang disusun berdasarkan bukti ilmiah dan masalah yang sering timbul. Dengan melakukan
prosedur bedah sesuai SOP, maka faktor-faktor utama yang dapat menyebabkan kecelakaan
kerja dapat dihindari.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.


2. Markkanen PK. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. International Labour
Organization - Subregional Office for Southeast Asia and Pacific. Manila. 2004.
[accessed on: 24 April 2019] Available from: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/
public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_120561.pdf
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 432/MENKES/SK/IV/2007
tentang Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Menaker Hanif Canangkan Peringatan
Bulan K3 Nasional 2018. Published on: 22 January 2018. [accessed on: 24 April 2019]
Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/18012200004/menaker-hanif-
canangkan-peringatan-bulan-k3-nasional-2018.html

Anda mungkin juga menyukai