Anda di halaman 1dari 258

Jeffrie Geovanie

Copyright © 2016 Jeffrie Geovanie

All rights reserved


Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian
dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Penyunting: Abd. Rohim Ghazali


Desainer buku: design651@gmail.com

ISBN: 978-602-60378-0-0
Cetakan I: November 2016

PT. Mediabaca Mandiri


Jl. Ir. H. Juanda No. 101 Ciputat Timur
Tangerang Selatan 15412
penerbitmediabaca@gmail.com
ISI BUKU

Pendakian Ahok —1
Ahok dan Hal-Hal yang Belum Selesai—7

Bagian 1: Mengenal Ahok—17


1. Siapakah Ahok?—19
2. Apa Adanya dan Hitam-Putih—24
3. Mewarisi Keberanian Orangtua—27
4. Motivasi Menjadi Pejabat—31
5. Berpolitik dengan Kebenaran—35
6. Politik Keteladanan—39
7. Membangun Politik Akal Sehat—42

Bagian 2: Bersama Jokowi—47


1. Fenomena Jokowi-Ahok—49
2. Pilkada Jakarta dan Pilpres 2014—55
3. Pemimpin Baru Jakarta—60
4. Pelajaran dari Jakarta (1)—64
5. Pelajaran dari Jakarta (2)—68
6. Angin Segar dari Pemilukada Jakarta —72
7. Fenomena Kemenangan Jokowi-Ahok—76

v
JEFFRIE GEOVANIE

Bagian 3: Ahok sebagai Pemimpin—83


1. Modal Sosial Pemimpin—85
2. Fenomena Ahok—89
3. Anomali Ahok—94
4. “Kekejaman” Ahok—98
5. Mencermati Gaya Komunikasi Ahok—102
6. Menggusur ala Basuki—107
7. Cara Pemimpin Menjawab Ujian—112
8. Ahok sebagai Simbol Pemimpin—116
9. Nyali Seorang Pemimpin—120
10. Panutan Ahok sebagai Pemimpin—124
11. Kekuasaan Konstitusional Basuki —128
12. Menempatkan Basuki Pada Tempatnya—133
13. Hentikan Glorifikasi Basuki—138

Bagian 4: Ujian Berat Ahok—143


1. Perlawanan Ahok—145
2. Basuki, Banjir, dan Kemacetan—149
3. Pelajaran untuk Basuki—154
4. Serangan Bertubi pada Basuki—159
5. Diskredit Basuki—164
6. Ujian Berat Basuki—169
7. Salah Sangka pada Basuki—174
8. Para Penantang Basuki—178
9. Ujian Independensi Basuki—182

vi
ISI BUKU

10. Menilai Kinerja Basuki—187


11. Menjaga Popularitas dan Elektabilitas
Basuki—191

Bagian 5: Impian Ahok—197


1. Menyelamatkan Demokrasi —199
2. Keberagamaan Basuki—204
3. Eksperimen Politik Basuki—208
4. Nalar Anomali Basuki—213
5. Anomali Dukungan Terhadap Basuki—217
6. Impian Basuki—222
7. Hidup Bersih Ala Basuki—227
8. Komitmen Seorang Basuki—231
9. Pilihan “Tiket” Basuki—235
10. Menghormati Pilihan Basuki—240
11. Menyelamatkan Demokrasi dari
Demoralisasi—245
12. Membangun Masyarakat Berkemajuan—244

Daftar Bacaan—249
Indeks—253
Tentang Penulis—259

vii
PENDAKIAN AHOK
Pengantar Penulis

“Kites rise highest against the wind— not with it”


—Winston Churchill

Layang-layang bisa terbang paling tinggi karena menantang


angin, bukan mengikutinya. Ini rumus sederhana yang
disampaikan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill
pada masa-masa sulit, terutama menghadapi Perang Dunia
Kedua. Ia memerintah tahun 1940-1945, dan 1951-1955.
Terpaan dan hambatan harus dihadapi, bukan diikuti,
apalagi dihindari.
Hidup seseorang dari lahir hingga dewasa, secara
proporsional akan terus menanjak, ibarat masuk sekolah dari
kelas satu dan seterusnya hingga kelas yang paling tinggi.
Untuk bisa naik kelas harus lulus ujian, dari yang ringan
hingga yang amat berat. Makin tinggi kelasnya, makin berat
ujiannya. Seperti pepatah, semakin tinggi pohon semakin
kencang terpaan anginnya.
Pada saat buku ini ditulis, Gubernur DKI Jakarta,
Basuki Tjahaja Purnama yang lebih populer disapa Ahok,
belum menjadi Gubernur “yang sebenarnya” karena dia
hanya mewarisi, atau lebih tepatnya kelimpahan tahta, yang

1
JEFFRIE GEOVANIE

sebelumnya diduduki Joko Widodo (Jokowi). Andaikan


Jokowi tidak terpilih menjadi Presiden RI pada Pilpres 2014,
Ahok akan tetap menjadi Wakil Gubernur.
Ahok akan benar-benar menjadi Gubernur pada saat
terpilih pada Pilgub DKI 2017. Pada saat itulah orang benar-
benar memilih Ahok, tentu ada juga pengaruh dari Djarot
Saiful Hidayat yang menjadi pendampingnya. Tapi sebelum
sampai pada derajat itu, pasti akan banyak ujian yang harus
dihadapi Ahok.
Ada lima ujian—yang menonjol—yang dihadapi Ahok.
Pertama, kasus pengelolaan sampah di Bantar Gebang.
Komisi A DPRD Kota Bekasi menganggap Pemprov DKI
melanggar sejumlah kesepakatan dalam mengelola Tempat
Pengelolaan Sampah Terpadu (TPSP) Bantar Gebang. Bahkan
dua operator TPSP, PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat
Organic Energy Indonesia, menyewa pengacara Yusril Ihza
Mahendra menggugat Pemprov DKI.
Kedua, soal kontroversi Peraturan Gubernur (Pergub)
Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan
Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka
atau yang lebih populer dengan Pergub Demonstrasi. Dengan
mengeluarkan Pergub ini Ahok dikecam banyak kalangan,
dianggap melanggar konstitusi yang memberikan kebebasan
pada setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Ketiga, kasus pembangunan Rumah Sakit Sumber Waras
(RSSW) yang proses pembelian lahannya diduga merugikan
keuangan daerah hingga 191 miliar rupiah. Dugaan kerugian

2
PENDAKIAN AHOK

yang bermula dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa


Keuangan (BPK) DKI Jakarta ini sudah dilaporkan ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keempat, Selain kasus RSSW—pasca operasi tangkap
tangan (OTT) KPK terhadap Muhammad Sanusi—yang
juga diarahkan pada Ahok adalah kasus reklamasi pantai
utara Jakarta. Kasus inilah yang mengantarkan Sanusi ke
rutan KPK, yang juga menyeret Presiden Direktur PT Agung
Podomoro Land, Ariesman Widjaja, dan menyebabkan Bos
Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, dan
orang dekat Ahok, Sunny Tanuwijaya, dicekal (dicegah)
KPK ke luar negeri.
Kelima, soal independensi. Ujian—atau lebih tepatnya
tantangan—yang dihadapi Ahok adalah bagaimana bisa
bersikap independen dari kepentingan partai politik. Selama
ini mungkin publik sudah melihat bagaimana kemampuan
Ahok bisa terbebas dari kepentingan partai politik, tapi
apakah setelah maju dalam Pilkada melalui partai politik,
Ahok masih bisa terbebas dari jeratan partai politik? Belajar
dari kasus Partai Gerindra yang ditinggalkan Ahok, bukan
tidak mungkin partai-partai yang mendukungnya dalam
Pilkada 2017 sudah menyiapkan beragam taktik untuk
“menundukkan” Ahok.
Sebagian dari ujian-ujian ini sudah berhasil dilewati
dengan baik, dan sebagian lain masih diuji sejalan dengan
berjalannya waktu. Apakah ujian-ujian ini bisa berpengaruh
pada popularitas dan elektabilitas Ahok dalam Pilkada?

3
JEFFRIE GEOVANIE

Akan tergantung pada tiga hal. Pertama, apakah mampu


menghadapinya dengan elegan, tidak sekadar menantang
balik pihak-pihak yang melontarkan tuduhan padanya.
Melawan tuduhan dengan kata-kata keras tidak ada gunanya.
Hanya memperpanjang perkara dan berujung pada debat
kusir yang tidak ada manfaatnya.
Cara yang paling elegan adalah dengan membuktikan
bahwa dirinya tidak seperti yang dituduhkan. Cara
pembuktian itu, misalnya untuk kasus Sumber Waras dan
reklamasi pantai utara Jakarta, Ahok harus terus mendorong
KPK untuk menanganinya secara transparan, tanpa ada yang
ditutup-tutupi sampai tuntas.
Masyarakat sekarang sangat kritis. Jika ada masalah
yang ditutup-tutupi, pasti akan menimbulkan kecurigaan,
menjadi polemik berkepanjangan, yang kemudian berujung
pada kesimpulan yang didasarkan pada asumsi-asumsi
negatif sebagaimana tuduhan awalnya. Jika tuduhannya
korupsi, jika ditutup-tutupi, kesimpulannya sudah pasti
korup. Padahal tuduhan itu belum tentu benar. Tapi karena
kasusnya ditutup-tutupi, berkelindan dengan isu politik,
asumsi-asumsi negatif sudah cukup untuk menjatuhkan
seseorang.
Kedua, konsistensi dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan serupa. Penyakit umumnya para politisi adalah
esuk dele, sore tempe, pagi kedelai sorenya sudah menjadi
tempe. Inkonsisten dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan

4
PENDAKIAN AHOK

yang seharusnya membutuhkan jawaban yang sama bisa


dianggap modus untuk menutup-nutupi kesalahan.
Ketiga, yang paling penting adalah bagaimana
membangun opini positif yang rasional dan objektif. Hasil
survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) pertengahan Oktober 2016 menunjukkan bahwa
Ahok dianggap sukses memimpin DKI Jakarta, mayoritas
publik merasa puas dengan kinerjanya. Ini merupakan modal
yang bagus untuk membangun opini positif. Akan tetapi,
hasil survei saja belum cukup untuk meyakinkan publik,
masih dibutuhkan fakta-fakta objektif untuk mendukung
hasil survei itu. Jika tidak ada fakta-fakta, survei akan
dituduh sekadar alat untuk menaikkan citra.
Ini merupakan ujian awal, jika Ahok gagal menjawab
ujian ini dengan baik maka semua upaya untuk menggalang
dukungan pada dirinya akan sia-sia, karena di depan pasti
akan muncul ujian-ujian lain yang mungkin jauh lebih berat.
Semakin mendaki akan semakin terjal jalan yang harus
ditempuh Ahok.
Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan bagian
dari perjalanan hidup Ahok yang penuh liku. Isinya saya
bagi dalam lima bagian: Bagian pertama mengenalkan siapa
Ahok dan bagaimana liku-liku perjuangannya sebelum dan
sesudah berkiprah di dunia politik.
Kedua, tentang Ahok saat berpasangan dengan Joko
Widodo (Jokowi) yang kemudian terpilih menjadi Presiden
RI ketujuh. Selama dengan Jokowi saya kira menjadi bagian

5
JEFFRIE GEOVANIE

penting dari perjalanan kedua tokoh ini yang tentunya bisa


menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang (akan)
berkiprah di dunia politik praktis.
Ketiga, mengulas berbagai sikap dan kebijakan-ke-
bijakan Ahok sebagai pemimpin, yang memiliki perbedaan
dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Ada sejumlah ungkap-
an dan tindakan yang kontroversial dan dianggap menyalahi
“pakem” dari seorang pemimpin.
Keempat, memaparkan sejumlah tantangan dan ujian
yang dihadapi Ahok pada saat menjadi Gubernur DKI Jakarta
menggantikan Jokowi, dan terutama pada saat memutuskan
untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta.
Kelima, tentang impian Ahok dan jalan-jalan yang telah
dan akan ditempuhnya, terutama untuk memajukan Jakarta.
Khusus untuk bagian kedua hingga kelima, semua
tulisan sudah pernah dipublikasikan dalam berbagai media
baik cetak maupun on-line.

Harapan penulis, semoga buku ini bisa memberi inspirasi


dan sejumlah manfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Jakarta, Oktober 2016


JG

6
AHOK DAN HAL-HAL YANG BELUM
SELESAI

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

“The presidency is more than a popularity contest. It’s a day-


to-day fight for people. Sometimes you have to choose what’s
difficult or unpopular.”
—Gore,2000

Ahok tidak sekadar melaksanakan transparansi anggaran tetapi


juga memainkan peran yang terbalik: Ia justru mengawasi
potensi modus patgulipat dalam penyusunan anggaran.

Memenangkan pemilu adalah satu hal. Memerintah adalah


satu masalah yang lain lagi.
Ketika memerintah, pemenang pemilu dihadapkan
situasi yang kompleks, terkadang tak terpikirkan sebelumnya.
Dalam situasi seperti ini, cara amannya adalah mengambil
strategi sebagai pengikut. Memilih strategi ini berarti
mengarahkan kebijakan berdasarkan keinginan dan juga
suasana hati publik. Survei dan diskusi kelompok terarah
bakal jadi instrumen penting, selain menyerap pendapat dari
sumber-sumber lain, termasuk media massa.
Tapi, memerintah melibatkan banyak pihak.

7
JEFFRIE GEOVANIE

Apa yang menjadi keinginan publik pun belum tentu


bisa direalisasi. Ada soal dengan parlemen, ada soal dengan
kemampuan finansial, ada soal dengan birokrasi. Pun, ada
soal tentang regulasi.
Singkat kata, setiap pemerintah selalu punya potensi
mengalami defisit janji. Ada kesenjangan antara janji politik
dengan kemampuan merealisasikannya. Tingkat kekecewaan
pemilih berbanding lurus dengan besarnya tingkat ekspektasi
pemilih.
Kesenjangan itu akan tambah melebar ketika variabel
preferensi dari pemimpin politik atau parpol pengusung ikut
dipertimbangkan. Dalam kasus Indonesia, juga ada faktor
wakil yang kadang-kadang punya inisiatif tinggi dan juga
punya angan-angan sendiri.
Pemimpin politik yang dedikatif terhadap mandatnya,
umumnya punya visi yang jelas tentang ke arah mana
wilayah yang dipimpinnya akan dibawa. Karena itu, ia akan
bersikukuh agar visinya itu terimplementasikan, meski bakal
menuai protes yang galak.
Perlu ditegaskan, preferensi pemimpin politik ketika
sudah memerintah belum tentu (harus) sama dengan apa
yang dilantangkannya ketika berkampanye. Pergeseran
bisa terjadi karena berbagai faktor sekaligus. Tentu saja,
pergeseran ini sifatnya gradual. Artinya, ada kebijakan yang
bergeser/berubah/baru, tetapi juga ada yang sesuai dengan
janji politik saat kampanye.

8
AHOK DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI

Seperti pesan Al Gore yang dikutip di awal tulisan ini,


pemimpin politik yang bernas sudah seharusnya berani
membuat kebijakan yang tidak populer.
Ketika preferensi pemimpin politik yang dikedepankan,
ia mengambil strategi memimpin. Untuk mengelola risiko
dan juga akuntabilitas politik, pemimpin politik biasanya
memadukannya dengan menyerap aspirasi dari pemangku
kepentingan utama (stakeholders) wilayahnya. Dalam hal
ini, hasil survei atau FGD hanyalah bahan mentah. Temuan
ini perlu diolah lebih lanjut.
Ketika pemimpin politik menjalankan aksi politiknya,
reaksi pun segera bermunculan. Tak terkecuali dari para
(calon) kompetitornya atau juga petahana yang digantikannya.
Sebagian pihak akan gelisah, meradang, memaki dan
juga menyerang balik. Sebagian lainnya terkesiap, dan ketika
ada hasil-hasil sementara yang cukup memuaskan, dukungan
pun mengalir. Ini normal dalam politik.
Karena itu, tantangan berikutnya bagi pemimpin politik
adalah menghadirkan stabilitas dalam artian menjadikan apa
yang dilakukannya menjadi visi atau nilai-nilai bersama. Ini
jelas, soal yang lain lagi. Lebih pelik, pastinya.
Dan, itulah yang kini kurang lebih dialami Basuki Tjahaja
Purnama atau lebih populer dengan panggilan Ahok di
Jakarta. Ia berani mengambil risiko. Ia membongkar hal-hal
yang selama ini tak tersentuh atau terabaikan atau menjadi
tabu politik. Jeffrie Geovanie, penulis buku ini, memberi
sebuah contoh menarik dalam kasus anggaran.

9
JEFFRIE GEOVANIE

Menurut dia, Ahok tidak sekadar melaksanakan


transparansi anggaran tetapi juga memainkan peran yang
terbalik: Ia justru mengawasi potensi modus patgulipat
dalam penyusunan anggaran. DPRD-lah yang justru ia awasi.
Meminjam ungkapan anak muda zaman sekarang, apa
yang dilakukan Ahok ini jleb sekali. Tapi, bersamaan itu,
ini mengonfirmasi satu hal: Ahok sedang memilih rute yang
sulit.

***

Di era politik yang tepersonalisasi, Ahok adalah cerita tentang


yang terbelah.
Personalisasi politik berlangsung pada dua tingkatan.
Pada aras individualisasi, Ahok langsung menjadi sentral
cerita. Ini menjadi kelaziman di berbagai tempat. Meski begitu,
cerita Ahok lebih banyak diwarnai soal pertentangannya
dengan parpol dan juga anggota institusinya sendiri (baca:
para pejabat Pemprov DKI).
Yang kemudian mengemuka adalah kecenderungan yang
dipolarisasikan. Jika dipadatkan, temanya begitu sederhana:
Ahok vs bukan Ahok. Sederhana, tapi tidak dalam hal
konsekuensinya.
Polarisasi ini bagai tutup ketemu botolnya. Soalnya,
sebagian pihak juga sejak dini menyorongkan hal yang sejenis
meski berbeda dalam konteksnya. Polarisasi menghilangkan

10
AHOK DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI

kemungkinan lain, menghilangkan warna-warni dan juga


kompleksitas yang ada.
Dari sisi tindak komunikasi politik, sentralitas pada
Ahok makin menguat karena ia tak punya cukup tim untuk
berbagi tugas. Menghadapi, (calon) kompetitor, umpamanya,
Ahoklah yang lebih banyak memberi reaksi. Dalam politik
pemerintahan, tugas-tugas seperti ini biasanya didelegasikan
kepada anggota atau pengurus parpol (pendukung). Bahkan,
ketua umum parpol yang bukan pejabat publik pun jarang
mau memainkan peran ini.
Pembagian tugas seperti itu ada bagusnya. Pilihan seperti
memungkinkan proses mediasi lebih mudah dilakukan.
Aktor utama dapat berperan sebagai konsolidator karena
tidak terlibat pun berlarut dalam polemik yang berkembang.
Dan, Ahok, sialnya, tidak memiliki kemewahan melakukan
hal itu. Mungkin juga karena ia memang tak merasa perlu.
Akibatnya, tercipta situasi yang mengesankan tidak ada jalan
mundur bagi semua pihak.
Pada tahap privatisasi, cara tutur Ahok jadi perbin-
cangan utama. Bagi (calon) kompetitor, ini turut menebal-
kan polarisasi yang sudah terbentuk. Temanya pun solid:
santun vs tidak santun.
Yang menarik, perbincangan yang terbentuk tak (belum?)
terlalu jauh menyusup ke ruang privat. Ahok sendiri tidak
terlihat berupaya memanfaatkan dahaga media dan publik
dengan mengumbar aktivitas personalnya di luar urusan

11
JEFFRIE GEOVANIE

pekerjaan. Tapi, bukan tak ada, tentunya. Cerita Ahok yang


mudik ke Belitung, menjadi salah satu contohnya.
Personalisasi politik seperti ini pada akhirnya kerap
mengorbankan kebijakan publik. Semua mengambil
posisinya masing-masing. Saling bersikukuh sembari saling
bernegasi.
Ironisnya, banjir informasi, terutama dari media sosial,
justru menjadi pembatas terhadap kebebasan individu dalam
mengelola informasi. Ini terjadi karena pesan-pesan telah
dikemas sedemikian rupa, bahkan tak jarang dimanipulasi
untuk menggiring publik mengambil rute pendek dalam
mencerna informasi. Tidak saja konten yang diseleksi, tapi
sumbernya.
Hasilnya, semua berbicara sendiri-sendiri.
Sebagai catatan, Ahok bukannya tidak ada tim pen-
dukung. Faktanya, pilihan Ahok menempuh rute sulit
mendulang simpati. Soalnya, ia menyuarakan dan melak-
sanakan apa yang menjadi harapan terpendam dari mereka
yang dikategorikan sebagai mayoritas yang diam.
Mereka diam karena sudah mual dengan birokrasi,
putus asa terhadap parpol. Mungkin juga terhadap politik
itu sendiri. Tapi sejatinya mereka tidak alergi pada politik.
Mereka hanya kehilangan harapan.
Singkatnya, Ahok menjadi ‘bahasa pergaulan’,
menyatukan mereka yang dulunya saling tak kenal dan
selalu diabaikan oleh para politisi. Merekalah yang kemudian
menjadi bagian pendengung dan atau pencerita soal Ahok.

12
AHOK DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI

Tentu, dengan pesan-pesan yang positif dari sudut pandang


mereka.
Tapi, prosesnya, tidak berhenti di sini.
Cerita tentang Ahok di tangan sebagian para
pendukungnya ini mengalami modifikasi. Bahkan,
pengerasan di sana-sini. Mungkin terlalu berlebihan kalau
disebut sudah dibajak. Masalahnya, mereka tak dipandu dan
malah menihilkan logika politik. Yang berlaku adalah logika
kelompok: kami vs mereka. Ini tentu saja mengundang reaksi
balik. Tambah runyam, jadinya.
Dan, Ahok pun makin mudah disalahpahami.

***

Buku yang sedang Anda baca ini merupakan kumpulan tulisan.


Benang merahnya adalah (aksi politik) Ahok. Dalam hal ini,
penulis memberi interpretasi dan juga konteks serta membedahnya
dengan beragam cara pandang, dari mulai demokrasi, budaya
hingga wawasan keislaman.
Karena berasal dari kumpulan tulisan, di beberapa
tempat, tak terelak ada semacam perulangan. Tapi, ini tak
mengurangi kerenyahan dalam membacanya.
Harus diakui, buku seperti ini mudah untuk disalah-
pahami.
Interpretasi yang diberikan penulis terkait penggusuran
dan penilaian Ahok sebagai figur yang kejam sebagaimana
ditulis pada bagian tiga, umpamanya, mudah mengarahkan

13
JEFFRIE GEOVANIE

kesimpulan buku ini hanya sekadar promosi tentang dan


untuk Ahok.
Tapi, kesimpulan seperti itu niscaya luntur karena penulis
nyatanya juga secara jelas menyampaikan kritik-kritiknya.
Misalnya, soal glorifikasi para Ahokers yang dinilainya justru
merugikan Ahok. Kritik lainnya menyangkut cara pandang
terkait relasi dengan parpol dan gaya bicara Ahok.
Buku ini bisa jadi bacaan menarik bagi publik yang
selama ini tidak mengikuti lika-liku pergulatan Ahok di
Jakarta atau mereka yang sekadar menyerap informasi dari
judul berita atau pesan-pesan agitasi yang banyak beredar
di media sosial.
Tak terelakan, ada pembaca yang mau muntah ketika
membaca buku ini karena ia sebelumnya sudah kadung
mual dengan Ahok. Tapi ada pula yang menjadi lebih
paham duduk perkaranya. Ini juga lumrah. Biasa saja, dalam
kehidupan kewargaan.
Sebagian individu cenderung ingin meneguhkan apa
yang sudah diketahuinya. Jika pun terlalu senjang dengan
pemahaman dia sebelumnya, ia akan merasionalisasi. Yang
terbuka hatinya niscaya mengubah preposisi awalnya.
Lebih daripada itu, buku ini juga perlu dibaca kem-
bali oleh para Ahokers. Menjadi semacam refleksi diri dan
sekaligus panduan untuk menyelaraskan langkah.
Seperti sudah disebut di atas, jalan Ahok ke depan
masih berliku. Perangkap ada di mana-mana. Karena itu,
pesan implisit dari penulis buku ini perlu digarisbawahi:

14
AHOK DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI

bersegeralah menemukan keseimbangan baru agar semangat


perubahan juga disertai semangat menghadirkan stabilitas.

Jakarta, 7 September 2016

15
Bagian Satu

MENGENAL AHOK
Dalam bekerja, ia menerapkan prinsip Bersih, Trans-
paran, dan Profesional yang disingkat BTP. Ini bukan
kebetulan, BTP juga singkatan dari Basuki Tjahaja
Purnama.
1. SIAPAKAH AHOK?
Ahok adalah petarung yang tidak akan mundur karena cacian,
atau jumawa karena pujian.

Banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Setiap orang dan


setiap komunitas masing-masing memiliki jawaban yang
bisa berbeda satu sama lain. Yang jelas semua jawaban
membuktikan betapa Basuki Tjahaja Purnama yang populer
disapa Ahok itu telah menyita perhatian banyak orang.
Sebagian menyukainya, sebagian lain membencinya, dan
tidak sedikit juga yang bersikap “masa bodoh” atau lebih
tepatnya netral, tidak membenci tapi juga tidak menyukai.
Jika pertanyaan siapakah Ahok diajukan pada man-
tan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien
Rais, maka, tokoh yang pernah populer sebagai lokomotif
reformasi ini punya jawaban yang sangat sumir, atau bahkan
sangat negatif.
Menurut Amien, Ahok adalah Dajal. “Ahok ini som-
bongnya menyundul langit. Jadi, jangan sampai nanti si Dajal
ini menang,” kata Amien saat berpidato di acara Rapat Akbar:
“Memilih Pemimpin yang Santun dan Pro Rakyat” di Pasar
Permai, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (18/9/2016).
Tapi jika pertanyaan yang sama diajukan pada Goenawan
Mohamad, wartawan senior yang juga teman Amien Rais,
jawabannya bertolak belakang. Menurutnya, Ahok adalah

19
JEFFRIE GEOVANIE

orang yang banyak jasanya. “Daerah di sekitar rumah saya


tidak banjir lagi. Banyak perbaikan di sungai-sungai; tak
lagi mampet oleh sampah.” Demikian kata Goenawan yang
akrab disapa GM. Oleh karenanya, budayawan yang pernah
bersama Amien mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN)
ini tetap mendukung Ahok dalam Pemilu Kepala Daerah
(Pilkada) DKI Jakarta 2017.
Selain Amien, tokoh yang juga bicara negatif tentang
Ahok adalah Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib
Rizieq yang dalam ceramah-ceramahnya kerap menyebut
Ahok goblok dan kafir yang haram dipilih dalam Pilkada
DKI Jakarta.
Tapi, berbeda dengan Rizieq, tokoh yang disebut-sebut
ikut berperan dalam mendirikan FPI, Wiranto, sejak jauh
sebelum Pilkada DKI dilaksanakan, sudah memberikan
dukungan pada Ahok dengan gerbong partai yang
dipimpinnya, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Wiranto
menyebutkan ada sembilan poin utama mengapa Hanura
mencolonkan Ahok untuk kembali memimpin Jakarta.
Pertama, Ahok memiliki keunggulan kreativitas guna
memecahkan masalah kompleks.
Kedua, memiliki keberanian, ketegasan, dan kecepatan
dalam mengambil keputusan.
Ketiga, Tidak memiliki agenda pribadi guna memperoleh
keuntungan.
Keempat, mampu bertindak tegas terhadap aparat di
bawahnya yang menyeleweng.

20
AHOK DAN HAL-HAL YANG BELUM SELESAI

Kelima, tidak terombang-ambing oleh isu dan berani


membuat keputusan yang terkadang melawan arus dengan
keyakinan menguntungkan rakyat.
Keenam, memiliki pandangan jauh ke depan serta
mampu membuat keputusan yang tidak lazim (out of the
box) yang dilakukannya semata-mata guna kemaslahatan
masyarakat DKI Jakarta.
Ketujuh, menguasai benar-benar kondisi DKI Jakarta
yang sangat kompleks, sehingga tidak selalu percaya pada
masukan yang tidak benar.
Kedelapan, mampu menempatkan dirinya sebagai
pengayom bagi masyarakat DKI Jakarta yang sangat pluralis.
Kesembilan, menghormati kebijakan pemerintah pusat.
“DKI Jakarta merupakan barometer, atau etalase, atau
pintu masuk Indonesia yang memiliki ciri khas berbeda,
maka gubernurnya harus memiliki kemampuan khusus.
Tidak boleh asal-asalan, untung-untungan, atau beratkan
sentimentil. Pak Ahok sudah buktikan sejauh ini dia bekerja,”
demikian kata Wiranto dalam konferensi pers di Kantor DPP
Hanura, Jakarta Pusat, Kamis (23/6/2016).
Semakin dekat dengan Pilkada, semakin banyak kalangan
yang tampak mencaci atau memuji Ahok. Untungnya Ahok
bukan tipe penghiba atau perajuk. Ahok adalah petarung
yang tidak akan mundur karena cacian, atau jumawa
karena pujian. Caci maki Amien Rais pun ia jawab dengan

21
JEFFRIE GEOVANIE

permakluman. “Enggak apa-apa lah, namanya juga orang


tua,” kata Ahok.
Namun Ahok juga menyinggung nazar Amien Rais
pada saat Pilpres 2014, yang berjanji akan jalan kaki dari
Yogyakarta ke Jakarta, jika Jokowi menang atas Prabowo
Subiyanto yang didukung Amien Rais. Nyatanya, nazar itu
omong kosong. “Paling disuruh jalan ke Monas saja sudah
pingsan, apalagi ke Yogya,” sindir Ahok.
Terhadap Habib Rizieq yang rasis dan kerap menye-
but dirinya kafir, Ahok mengatakan, negara ini sudah lebih
maju dari pola pikir Rizieq. Kemerdekaan Indonesia diraih
dengan semangat Pancasila yang sarat dengan nilai toleransi
beragama. Fondasi Indonesia dengan Pancasila itu sudah
terbentuk. Apa yang sering dilontarkan Rizieq, kata Ahok,
berlawanan dengan semua itu.
Terhadap upaya habib Rizieq untuk menjaring gubernur
Muslim dan menolak gubernur kafir, Ahok justru merasa
kasihan dengan pria yang pernah berseteru dengan pengelola
Majalah Playboy itu. “Kasihan dia enggak mengerti bahwa
negara ini sudah tumpahkan darah, dan fondasi bangsa ini
sudah selesai dibangun. Sudah saatnya membangun tembok
dan atapnya, bukan membuat lagi fondasinya,” kata Ahok.
Bagi Ahok, Pancasila dan UUD 1945 yang ada sekarang
sudah sangat bagus dan tidak perlu diungkit-ungkit lagi soal
sejarah masa lalu seperti Piagam Jakarta, atau keinginan-
keinginan lain yang bertentangan dengan Pancasila dan

22
SIAPAKAH AHOK?

konstitusi. Dan, Ahok sudah bertekad siap mati untuk


membela konstitusi.

23
2. APA ADANYA DAN HITAM-PUTIH
Pada saat lawan-lawan politiknya sibuk mengatur mimik muka,
tutur kata, dan gerak langkah agar tidak terlihat buruk, atau
tidak dipersepsi secara negatif oleh publik, Ahok tidak ambil
pusing dengan itu semua.

Di antara sedikit politikus di Indonesia yang tampil apa


adanya adalah Ahok. Dia tidak peduli dengan pencitraan,
bahkan pada masa-masa kritis menjelang Pilkada DKI
Jakarta. Kondisi ini mengingatkan kita pada sosok Joko
Widodo (Jokowi) pada saat menjelang Pilkada DKI Jakarta
2012 yang tampak cuek bahkan terkesan ogah-ogahan maju
dalam Pilkada. Atau pada menjelang Pemilihan Presiden
(Pilpres) yang dikesankan publik Jokowi sama sekali tidak
menginginkan jabatan orang nomor satu di Indonesia.
Memang banyak yang mencibir bahwa kecuekan Jokowi
itu justru bentuk pencitraan yang khas, sesuai dengan profil
dirinya yang tampak “kampungan”. Jika dipoles dengan
macam-macam atribut yang sesuai perkembangan zaman
malah akan terkesan norak dan dipaksakan. Maka “tampil
apa adanya” menjadi pilihan terbaik bagi Jokowi.
Berbeda dengan Jokowi, meskipun sama-sama berasal
dari kampung, penampilan Ahok tidak kampungan walaupun
urusan bagaimana tampil di muka publik apa adanya, Ahok
mirip dengan Jokowi. Pada saat lawan-lawan politiknya sibuk

24
APA ADANYA DAN HITAM-PUTIH

mengatur mimik muka, tutur kata, dan gerak langkah agar


tidak terlihat buruk, atau tidak dipersepsi secara negatif oleh
publik, Ahok tidak ambil pusing dengan itu semua.
Contoh yang paling nyata ketidakpedulian Ahok pada
citra dan persepsi publik adalah pada saat hendak melakukan
relokasi—khalayak lebih suka me nye butnya dengan
penggusuran—warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan,
Rabu (28/9/2016). Banyak di antara pendukungnya yang
menyarankan agar rencana relokasi ditunda hingga selesai
Pilkada. Mereka khawatir, popularitas Ahok akan anjlok.
Tapi, Ahok bergeming. Ia tidak peduli dengan
popularitas. Yang penting baginya bekerja untuk mengatasi
banjir, dan itu sesuai dengan janjinya (bersama Jokowi) pada
saat kampanye Pilkada 2012. “Saya sudah bilang. Saya tidak
ada pilihan. Bagi saya masyarakat Jakarta harus menilai.
Kalian dulu pilih saya jadi wakil Gubernur bersama Pak
Jokowi kenapa? Karena kalian percaya saya bisa mengatasi
banjir,” tandas Ahok.
Pria yang lahir di Manggar, Belitung Timur, 29 Juni
1966, tidak mau menunda-nunda pekerjaan hanya gara-
gara ingin mengutamakan popularitas, hanya gara-gara ingin
terpilih dalam Pilkada. Yang ia inginkan bukan menjulangnya
pamor, tapi bagaimana warga Jakarta hidup nyaman, tidak
tinggal di bantaran kali Ciliwung yang kumuh dan setiap
saat diancam bencana banjir.
Bahkan Ahok yang memiliki nama Tionghoa, Zhong
Wan Xie, tidak peduli apakah dalam Pilkada dipilih oleh

25
JEFFRIE GEOVANIE

warga Jakarta atau tidak. Putra pertama dari pasangan Indra


Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam) dan Buniarti Ningsih
(Boen Nen Tjauw) berkali-kali mengatakan, jika ada yang
lebih baik dari dirinya, maka pilihlah orang yang lebih baik
itu.
Pada saat menjadi anggota DPR RI, Ahok dikenal oleh
teman-temannya sebagai politikus yang terlalu hitam-
putih dalam menghadapi setiap persoalan. Terutama yang
menyangkut transparansi dan kejujuran. Sikap yang—
dalam batas-batas tertentu—membuat Ahok tidak banyak
mempunyai kawan. Sangat kontras misalnya dengan
koleganya yang sama-sama dari Partai Golkar waktu itu,
Setya Novanto. Politikus yang sekarang menjadi Ketua
Umum Partai Golkar itu terkenal fleksibel, royal, dan banyak
kawan.
Sementara Ahok, dengan sikapnya yang hitam-putih
dan blak-blakan, banyak membuat politikus yang lain
tidak nyaman. Ahok tidak peduli, baginya transparansi dan
kejujuran merupakan hal yang mutlak bagi seorang wakil
rakyat. Karena itulah rakyat mempercayakan dirinya duduk
di lembaga legislatif. Tanpa memegang teguh transparansi
dan kejujuran, sama artinya dengan mengkhianati amanat
rakyat. Dan Ahok tidak mau menjadi menjadi pengkhianat.

26
3. MEWARISI KEBERANIAN ORANGTUA
Sepanjang berada di pihak yang benar, Ahok memiliki nyali
yang besar untuk menghadapi siapa pun yang dianggapnya
salah.

Sepak terjang Ahok yang pemberani. Bicara apa adanya.


Tidak pantang menyerah. Semua itu tidak lepas dari didikan
Kim Nam, ayahnya. Meskipun hidup dalam kecukupan,
karena kadang situasi tidak menentu, tak jarang keluarga
Kim Nam menghadapi masa-masa sulit, terutama disebabkan
karena perlakuan yang tidak adil (diskriminatif) dari para
pejabat, baik ada di pemerintahan maupun di PN Tambang
Timah (Persero).
Kim Nam merupakan pemilik PT Panda di bidang
pertambangan yang bekerja sama dengan PN Tambang
Timah. Dalam proses kerja sama, tidak jarang PT Panda
mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Orang-orang PN
Tambang Timah sering bertindak sok kuasa dan berlaku
sewenang-wenang, bukan hanya pada keluarga Kim Nam,
tapi juga pada masyarakat sekitar.
Namun pada saat mereka bertindak sewenang-wenang
pada PT Panda, Kim Nam tidak tinggal diam, ia berontak
dan melawan.
Suatu hari Kim Nam terlibat pertengkaran sengit dengan
orang-orang PN Tambang Timah. Ia sangat marah lantaran

27
JEFFRIE GEOVANIE

sopir yang menjadi karyawannya pulang dengan wajah lebam


dan bibir berdarah. Penyebabnya sepele, karyawan Kim Nam
yang membawa mobil pick up (bak terbuka) menyalip truk
milik PN Tambang Timah. Sopir truk tidak terima dan naik
pitam. Ia dan kawan-kawannya yang ada di truk itu mengejar
dan menghajar sopir karyawan Kim Nam.
Kim Nam geram dan menantang siapa pun yang telah
menganiaya karyawannya untuk datang dan berduel satu
lawan satu, tidak main keroyokan. “Kalau memang Anda
laki-laki, orang yang memukul sopir saya suruh kemari!
Silakan kemari kalau berani! Sekarang saya tunggu! Jangan
cuma bisa main keroyok,” demikian ancam Kim Nam melalui
telepon ke resepsionis PN Tambang Timah.
Tak lama kemudian dua orang dari PN Tambang Timah
datang dengan sepeda motor. Tanpa ba bi bu Kim Nam
dan beberapa karyawannya menyerang kedua orang itu
hingga ketakutan dan lari terbirit-birit. Namun beberapa saat
kemudian, mereka kembali dengan membawa bala bantuan
dengan jumlah yang cukup banyak, lengkap dengan senjata
api di tangan.
Pada saat itu, orang-orang sipil masih diperbolehkan
memiliki senjata api, sebelum ditertibkan tahun 1984 dalam
Operasi Sapu Jagat yang digelar Panglima Komando Pasukan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana
Sudomo. Kim Nam juga memiliki pistol, melihat gelagat yang
tidak baik itu, ia segera masuk rumah mencari pistolnya,

28
MEWARISI KEBERANIAN ORANGTUA

tapi tidak ada karena sedang dipinjam salah seorang teman


baiknya.
Di depan rumah, orang-orang PN Tambang Timah
berteriak-teriak mengancam penuh amarah meminta Kim
Nam keluar. Meskipun tanpa pistol di tangan, Kim Nam
nekat keluar demi membela harga diri karyawan dan
terutama keluarganya. Dia tidak mau menjadi pengecut
di hadapan istri dan anak-anaknya yang waktu itu sangat
ketakutan. Tapi sebelum keluar rumah, ia masih sempat
meminta istrinya, Ahok beserta adik-adiknya mencari tempat
berlindung, masuk ke dalam kamar. Ahok memiliki tiga
adik, Basuri Tjahaja Purnama, Fifi Lety, dan Harry Basuki.
Pada saat keluar rumah dengan tangan kosong, Kim Nam
sudah siap mati ditembak orang-orang PN Tambang Timah
yang penuh amarah. Tapi sebelum orang-orang beringas
itu menembak, tiba-tiba datang serombongan truk yang
mengangkut karyawan Kim Nam yang baru pulang dari
proyek. Begitu melihat bosnya dalam ancaman, mereka turun
berhamburan menyerbu orang-orang PN Tambang Timah.
Karena kalah jumlah mereka pun lari tunggang langgang dan
tidak pernah kembali lagi.
Ini merupakan salah satu episode dalam hidup Kim Nam
yang sangat membekas di benak anak-anaknya, terutama
Ahok yang waktu itu sudah beranjak remaja. Keberanian
ayahnya begitu membekas sehingga Ahok pun mewarisinya.
Ahok tumbuh menjadi laki-laki pemberani seperti ayahnya.
Sepanjang berada di pihak yang benar, Ahok memiliki nyali

29
JEFFRIE GEOVANIE

yang besar untuk menghadapi siapa pun yang dianggapnya


salah.
Bagi Ahok, ayahnya adalah motivator ulung, andai-
kan saat itu sudah ada Mario Teguh, di mata Ahok, Kim
Nam tetap lebih hebat dari mativator mana pun. Kim Nam
sangat piawai memotivasi anak-anaknya untuk menjadi
pemberani. Suatu ketika, Kim Nam mengajak Ahok nonton
film koboi yang sejatinya tidak sesuai untuk tontonan anak-
anak, tapi Kim Nam ingin mengajarkan pada Ahok bukan
soal kekerasan yang ada dalam film itu, tapi soal keberanian
memenangkan pertarungan.
“Film koboi itu mengajarkan, kamu mati atau aku mati!,”
kata Kim Nam pada Ahok. Dalam persaingan, hanya ada
dua pilihan kalah atau menang. Meskipun terkadang sangat
keras dan nyawa yang jadi taruhan, kita harus berada di
pihak yang menang.

30
4. MOTIVASI MENJADI PEJABAT
Ahok ingin memiliki jabatan dan kekuasaan untuk memberi
pelajaran pada para pejabat dan penguasa yang korup.

Ahok kecil tidak pernah bercita-cita menjadi pejabat


pemerintah. Yang ada di benak Ahok, jika besar, ia ingin
menjadi insinyur pertambangan. Untuk apa? Supaya bisa
menjadi kepala produksi di PN Tambang Timah. Perlakuan
orang-orang PN Tambang Timah dari sopir, satpam, hingga
para pejabat yang kerap bertindak sewenang-wenang pada
masyarakat sekitar sangat membekas di benak Ahok, dan ia
pun ingin sekali “mengalahkan” mereka.
Karena itulah, pada saat ayahnya memasukkan Ahok di
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI), ia
hanya bisa bertahan satu minggu. Tanpa diketahui sang ayah,
Ahok pindah kuliah ke Fakultas Teknik Geologi Universitas
Trisakti.
Kim Nam memasukkan Ahok di Fakultas Kedokteran
karena ia sangat menginginkan anaknya menjadi dokter.
Masyarakat Belitung sangat membutuhkan dokter. Karena
itu, ia sangat kecewa dan marah setelah tahu anaknya kabur
dari Fakultas Kedokteran. Kemarahan dan kekecewaan Kim
Nam ditumpahkan dalam sepucuk surat yang dikirimkan
ke anaknya. Dalam surat balasan, Ahok berkilah bahwa
jika dirinya menjadi dokter, pasien yang ditanganinya akan

31
JEFFRIE GEOVANIE

lebih cepat meninggal karena dokternya koboi. Oleh karena


itu, ia lebih memilih menjadi insinyur yang bisa bekerja di
pertambangan.
Tapi, di luar keinginan agar anaknya menjadi dokter,
Kim Nam pernah menyampaikan pada teman-temannya
bahwa ia menyekolahkan anaknya ke Jakarta agar kelak
pulang bisa menjadi Bupati. Niat ayahnya ini juga terngiang
di benak Ahok, meskipun ia sendiri tidak mau jadi pejabat.
Untuk apa jadi pejabat? Menurut Kim Nam, dengan jadi
pejabat, Ahok bisa membantu lebih banyak orang. Berapa
pun kekayaan yang kita miliki, tak akan banyak yang bisa
kita bantu, tapi dengan jabatan, kita bisa membantu seluruh
rakyat, tanpa harus mengeluarkan uang. Inilah motivasi
terkuat mengapa Kim Nam menginginkan Ahok jadi Bupati.
Tapi di mata Ahok, pejabat pada umumnya bertindak
sewenang-wenang pada rakyat dan korup, maka jika suatu
saat menjadi pejabat, ia akan gunakan jabatan itu untuk
mengalahkan mereka yang sewenang-wenang dan korup.
Kim Nam pernah berujar, “Orang kaya saja tidak bisa
menantang pejabat, jadi kalau mau melawan oknum pejabat
yang korup jadilah pejabat.” Ahok ingin memiliki jabatan
dan kekuasaan untuk memberi pelajaran pada para pejabat
dan penguasa yang korup.
Selain pemberani, Kim Nam juga terkenal suka
membantu rakyat miskin. Ia tidak tega melihat orang-orang
yang tak bisa berobat manakala sakit. Jangankan untuk
berobat, bahkan banyak di antara masyarakat Belitung yang

32
MOTIVASI MENJADI PEJABAT

untuk makan sehari-hari saja sulit. Bisa berobat ke rumah


sakit merupakan kemewahan yang hanya sedikit orang yang
bisa melakukannya.
Sifat belas kasih Kim Nam juga menurun pada Ahok.
Perasaannya terenyuh pada saat menyaksikan banyak
orang sakit tak bisa membeli obat. Kalau pun bisa beli
obat, paling hanya seperempat dari dosis yang dianjurkan
dokter. Bagaimana bisa sembuh. Kalau pun sembuh,
pasti hanya sementara saja karena virus atau bakteri yang
menyebabkannya sakit masih bersemayam dalam tubuhnya.
Motivasi untuk menolong lebih banyak orang juga menjadi
motivasi Ahok untuk menjadi pejabat.
Ada pepatah Tiongkok yang melekat di benak Ahok,
“Seribu keluarga kaya pun tidak mungkin bisa memelihara
satu keluarga miskin.” Tapi di mata Ahok, pepatah ini terlalu
ekstrem. Ia lantas membaliknya dengan mengatakan, “Satu
keluarga kaya tidak bisa memelihara seribu keluarga miskin.”
Ahok sadar sesadar-sadarnya bahwa dirinya tidak
mungkin bisa menolong orang miskin yang begitu banyak
jumlahnya. Meskipun keinginan untuk menolong itu sangat
menggebu-gebu, tetap saja sulit dilakukan. “Kalau tidak
membantu, kasihan mereka, tapi kalau kita mau bantu, kita
juga yang kasihan, bisa habis modal kita,” kata Ahok.
Pada saat itulah, kata-kata ayahnya terngiang kembali.
Untuk bisa menolong lebih banyak orang, harus menjadi
pejabat. Pejabat, dengan kewenangan yang dimilikinya, bisa
mengalokasikan anggaran untuk mengentaskan kemiskinan,

33
JEFFRIE GEOVANIE

untuk membantu anak-anak miskin mendapatkan


pendidikan yang layak. Jabatan sangat banyak manfaatnya
pada saat dijalankan dengan benar.

34
5. BERPOLITIK DENGAN KEBENARAN
Ahok mengambil jalan lain, tidak melalui jalan transaksional,
tapi melalui jalan kebenaran.

Ahok berusaha menegakkan kebenaran pada saat para politisi


lain sibuk melakukan pembenaran.

Selama kuliah di Fakultas Teknik, Ahok sudah terbiasa


dengan hitung-hitungan yang cermat. Kalau tidak cermat,
akibatnya akan sangat fatal. Bayangkan kita membangun
melakukan pengeboran minyak, gas, atau apa pun yang
kita ambil dari perut bumi. Jika hitung-hitungannya salah,
bisa mengakibatkan kebocoran yang sangat membahayakan
kehidupan dan lingkungan. Bahkan yang sudah dihitung
dengan cermat pun masih sering terjadi kecelakaan yang
berakibat fatal. Apa yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur,
yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal
karena tenggelam dalam lumpur merupakan salah satu
contoh dari salah hitung dalam proses pengeboran tambang.
Enam tahun setelah kepergian “sang motivator” Kim
Nam, Ahok memutuskan untuk berkiprah di dunia politik.
Virus politik yang sudah ditanamkan sang ayah ingin ia
realisasikan. Meskipun awalnya ragu-ragu, Ahok menerima
lamaran Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat
itu membutuhkan seseorang yang bisa menjadi Ketua Dewan

35
JEFFRIE GEOVANIE

Pimpinan Cabang di Belitung Timur, Kabupaten yang baru


berdiri 25 Februari 2003, hasil pemekaran dari Kabupaten
Belitung.
PPIB adalah partai yang didirikan Dr. Syahrir, salah
satu ekonom yang memiliki visi besar untuk memajukan
perekonomian Indonesia. PPIB didirikan oleh aktivis Malari
1974 itu dengan cita-cita besar untuk “Membangun Indonesia
Baru”. Cita-cita besar inilah yang membuat Ahok tertarik,
meskipun ia sadar PPIB merupakan partai kecil. Melalui PPIB
inilah, pada Pemilu 2004 Ahok terpilih menjadi anggota
DPRD Belitung Timur, tentu dengan perjuangan yang tidak
gampang.
Pada saat terpilih menjadi anggota DPRD, Ahok mulai
menyadari bahwa dalam politik, ada rasionalitas yang tak
selamanya diukur dengan hitung-hitungan angka statistik.
Justru karena secara matematis tidak mungkin akan menang,
Ahok termotivasi untuk melintasi batas-batas etnis dan
agama. Secara matematis, Ahok sadar betul, sangat sulit bagi
orang Tionghoa dengan agama Kristen pula, bisa memang
di Belitung Timur yang menurut data statistik 93 persen
penduduknya Muslim, dan yang Kristen hanya 0,8 persen.
Dari segi etnis, orang Tionghoa hanya sekitar enam persen.
70 persen etnis Melayu, dan sisanya Bugis, Jawa, Sunda,
dan Madura.
Melihat demografi politik seperti itu, rasanya mustahil
akan menang jika jalan yang ditempuh sama seperti umumnya

36
BERPOLITIK DENGAN KEBENARAN

politikus. Ahok mengambil jalan lain, tidak melalui jalan


transaksional, tapi melalui jalan kebenaran.
Politik transaksional merupakan politik dagang. Untuk
mendapatkan suara pemilih, ada sejumlah uang yang
harus dikeluarkan. Contoh, jika satu suara dihargai 10.000
rupiah, maka dibutuhkan uang 10.000.000 rupiah untuk
mendapatkan 1000 suara. Jika untuk mendapatkan satu
kursi DPRD dibutuhkan minimal 10.000-15.000 suara,
maka tinggal dikalikan saja. Tapi itu pun belum cukup
karena ada biaya kampanye, misalnya untuk cetak brosur,
spanduk, baliho, dan bagi-bagi kaos yang jumlahnya bisa
lebih besar lagi.
Politik transaksional ini, selain membutuhkan dana besar,
juga tidak mendidik. Politik semacam inilah yang mendorong
para politisi untuk korupsi, mencari uang yang yang tidak
seharusnya diterima sebagai pejabat negara. Karena gaji yang
mereka dapatkan jauh lebih sedikit dari dana yang mereka
keluarkan pada saat kampanye maka dengan berbagai cara
mereka mencari uang tambahan untuk menutup defisit dana
kampanye yang telah mereka keluarkan.
Ahok harus keluar dari tradisi politik yang buruk itu,
dengan cara berkampanye melalui jalur kebenaran. Mungkin
bisa disebut transaksional juga, tapi yang ditransaksikan
adalah visi misi dan program yang akan dijalankan pada
saat terpilih. Transaksi semacam ini biasanya disebut
dengan kontrak politik. Misalnya, jika terpilih, Ahok akan
memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan.

37
JEFFRIE GEOVANIE

Selain jauh lebih murah jika dibandingkan dengan


transaksi politik uang, keadilan dan kesejahteraan adalah
jalan kebenaran yang dibutuhkan semua orang, tanpa
pandang etnis dan agama. Warga Belitung Timur, semuanya
membutuhkan kesejahteraan dan keadilan. Dan, bagi Ahok,
jalan ini sudah biasa ia tempuh, bersama ayahnya, jauh
sebelum masuk dunia politik. Jadi, yang ia perjuangkan
bukan janji-janji kosong melainkan bagian dari rekam jejak
yang sudah dirasakan oleh sebagian warga yang ada di sekitar
lingkungan tempat tinggalnya.
Selama menjadi anggota DPRD, Ahok bisa membuktikan
komitmen dan janji-janji politiknya pada saat kampanye.
Dalam bekerja, ia menerapkan prinsip Bersih, Transparan,
dan Profesional yang disingkat BTP. Ini bukan kebetulan,
BTP juga singkatan dari Basuki Tjahaja Purnama.
Karena kerja-kerja politiknya yang bisa dirasakan
manfaatnya bagi masyarakat Belitung Timur, maka pada
saat dilaksanakan Pilkada untuk memilih Bupati, Ahok
diminta oleh para pendukungnya untuk maju, padahal, pada
saat itu ia menduduki kursi DPRD kurang lebih baru satu
tahun. Artinya, baru seperlima jalan dari yang seharusnya
lima tahun (2004-2009). Dukungan yang memang layak
diberikan untuk prestasi politik yang mengesankan. Ahok
berusaha menegakkan kebenaran pada saat para politisi lain
sibuk melakukan pembenaran.

38
6. POLITIK KETELADANAN
Sebagai pejabat negara, Ahok memberikan contoh para aparat
di bawahnya.

Untuk ukuran seorang politikus, mobilitas vertikal Ahok


tergolong paling cepat jika dibandingkan dengan umumnya
politikus yang berkiprah di partai politik. Kurang dari satu
tahun bergabung dalam partai politik, langsung terpilih
menjadi anggota parlemen (DPRD). Dan baru kira-kira
satu tahun berkhidmat di parlemen, ia sudah terpilih
menjadi Bupati Belitung Timur. Kursi bupati pun hanya ia
duduki kurang lebih satu tahun, karena tahun berikutnya
ia didukung untuk menjadi Gubernur Bangka Belitung,
meskipun belum berhasil karena diduga kuat, ia dicurangi
lawan-lawan politiknya.
Selain mobilitas yang cepat, Ahok juga berhasil menembus
batas-batas kelaziman dunia politik yang tersegmentasi
dalam sekat-sekat agama dan etnis. Jangankan di Indonesia,
bahkan di negara-negara maju yang demokrasinya sudah
mapan pun, faktor etnis dan agama masih memiliki peran
yang signifikan dalam mempengaruhi keterpilihan seorang
kandidat. Rakyat Amerika membutuhkan waktu ratusan
tahun untuk menyadari persamaan derajat antara kulit hitam
dan kulit putih. Tapi, itu pun masih berupaya ditarik kembali

39
JEFFRIE GEOVANIE

oleh Donald Trump, miliarder yang menjadi kandidat


presiden dari Partai Republik.
Ahok memiliki minoritas ganda yang bagi orang lain
menjadi hambatan berat dalam berpolitik tapi bagi dirinya
merupakan tantangan yang harus ia lalui dengan prestasi.
Minoritas ganda yang dimaksud adalah Tionghoa dan
Kristen. Kesuksesan Ahok, selain ditopang dengan prestasi,
juga karena keteladanan. Selain berprinsip BTP (bersih,
transparan, profesional), ia juga berpegang pada paradigma
kepemimpinan yang sulit dicari padanannya. Jika kepalanya
lurus, yang di bawahnya tidak berani tidak lurus. Inilah
prinsip walk the talk, melaksanakan apa yang dikatakan.
Sebagai pejabat negara, Ahok memberikan contoh para
aparat di bawahnya.
Untuk saat ini, politik keteladanan merupakan fenomena
yang langka di tengah perpolitikan bangsa kita. Hampir setiap
hari kita disuguhi berita-berita tindakan asusila, korupsi,
dan manipulasi yang dilakukan para penguasa, dari tingkat
kepala desa hingga pejabat tinggi negara. Dan, tragisnya,
para koruptor yang mukanya tertangkap kamera, pada
umumnya tidak menunjukkan mimik muka penyesalan.
Hampir semuanya tersenyum, seolah apa yang dilakukannya
merupakan tindakan biasa-biasa saja, sehingga tidak ada lagi
rasa malu.
Banyak kalangan (terutama lawan-lawan politiknya) yang
menuduh Ahok sebagai pejabat yang tidak patut diteladani,
hanya karena tindakan dan kata-katanya yang kerap terlontar

40
POLITIK KETELADANAN

begitu saja. Dianggap kasar dan tidak mendidik. Tapi, bagi


Ahok dan para pendukungnya, tindakan dan ungkapan
yang kasar itu memang layak untuk mereka yang hobinya
menipu rakyat. Ahok tidak mau menunjukkan kemunafikan,
bermanis-manis di hadapan orang yang sesungguhnya tidak
layak dihormati. Ahok hanya menaruh hormat pada orang-
orang yang memang layak dihormati, seperti kepada Buya
Syafii Maarif, kepada Jokowi, dan kepada rakyat yang taat,
yang ikut membantu program-program pemerintah.
Ahok ingin menunjukkan kepada rakyat, atau kepada
siapa pun bahwa kehormatan hanya diberikan kepada
mereka yang berhak dihormati. Menghormati koruptor sama
artinya dengan menganjurkan rakyat untuk korupsi. Sama
dengan mengatakan, marilah korupsi karena korupsi kita
tetap dihormati. Betapa rusaknya panggung politik pada saat
kehormatan diberikan pada mereka yang telah berkhianat
pada rakyat.
Bagi Ahok, marah kepada koruptor sama artinya dengan
membantu program pemberantasan korupsi. Para koruptor
harus dibuat malu di depan umum. Harus dimarahi bersama-
sama agar jera. Keteladanan tidak harus ditunjukkan dengan
kesantunan kepada siapa pun. Kesantunan dan kemarahan
harus diberikan secara proporsional, kepada mereka yang
memang layak untuk menerimanya.

41
7. MEMBANGUN POLITIK AKAL SEHAT
Ahok ingin membangun politik akal sehat, yang bisa dikontrol
oleh siapa pun. Ia punya prinsip, akal sehat tidak boleh kalah,
bahkan terhadap ancaman pembunuhan sekali pun ia tak
bergeming.

Dalam berpolitik, Ahok menjalankan prinsip-prinsip yang


menurut sebagian kalangan aneh dan tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin, pada saat orang lain berupaya menjalin
hubungan yang baik dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), Ahok justru “memusuhi”-nya.
Pada saat politikus lain yang menduduki jabatan
eksekutif berusaha menjalin hubungan baik dengan para
pejabat legislatif agar terhindar dari impeachment, Ahok
justru membuka “front” dengan legislatif.
Pada saat orang lain marah besar disebut kafir, Ahok
justru mengatakan, “memang saya kafir, mau apa lagi.”
Dan, bahkan tak merasa canggung menyebut dirinya “muka
minyak babi”.
Ahok tidak suka menghiasi diri dengan kebaikan-
kebaikan semu untuk menutup-nutupi fakta yang sebe-
narnya. Bagi Ahok, fakta mewakili kejujuran. Jika kita
berlari dari fakta maka sama artinya dengan mengumumkan
ketidakjujuran pada orang lain. Bahwa dirinya “kafir” dan
bermuka “minyak babi” itu fakta yang harus ia akui.

42
MEMBANGUN POLITIK AKAL SEHAT

Soal mengapa dirinya “memusuhi” LSM, Ahok ber-


alasan bahwa dirinya manusia biasa. “Kita kan manusia.
Nggak ada manusia yang kuat, kita bukan Tuhan, bukan
malaikat.” Sebagai manusia biasa, Ahok bisa jatuh kapan
saja. Dengan “dimusuhi” banyak orang, artinya banyak yang
mengontrol tingkah lakunya, dan banyak yang menunggu
kejatuhannya. Dengan begitu Ahok menjadi waspada,
tidak mau terjerumus pada hal-hal yang membuat musuh-
musuhnya bisa menjatuhkan dia.
Dengan “memusuhi” LSM, Ahok merasa mendapatkan
banyak konsultan gratis. LSM-LSM getol mengawasi kinerja
para pejabat yang ada di bawahnya. Orang lain menganggap
itu gangguan, Ahok melihat itu sebagai tantangan untuk
tetap konsisten berada di jalur yang benar. Dengan begitu,
ia tidak perlu menyewa konsultan untuk terus-menerus
mengawasi kinerjanya. Kalau ada konsultan yang gratis,
untuk apa menyewa konsultan yang mahal. Mempekerjakan
auditor butuh uang banyak, tapi dengan “memusuhi” LSM,
bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun ia musuhi,
Ahok mendapatkan auditor-auditor gratis.
Sedangkan “memusuhi” legislatif, tujuannya agar lembaga
wakil rakyat itu benar-benar terbebas dari korupsi. Ahok
mempunyai pengalaman sebagai anggota DPRD dan DPR RI
yang membidangi legislasi dan panitia anggaran. Ahok hafal
betul dengan modus-modus para “oknum” anggota legislatif
dalam menyiasati anggaran belanja daerah/negara.

43
JEFFRIE GEOVANIE

APBD DKI Jakarta jumlahnya tidak main-main, 65,7


triliun. Ini untuk tahun 2015. Yang mem buat Ahok
bersitegang dengan DPRD, karena mata anggaran yang telah
disepakati dalam Rapat Paripurna, dan sudah dimasukkan ke
sistem oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), banyak
yang diubah, ditinggikan harganya, dengan memasukkan
hal-hal yang tidak perlu. Ahok tidak marah pada SKPD
karena mereka tidak mungkin melakukannya tanpa ada
perintah dari DPRD. SKPD tidak akan berani menolak karena
DPRD adalah atasan mereka.
Ahok menerapkan sistem e-budgeting. Dengan sistem
ini, DPRD tak bisa lagi menyuruh SKPD untuk mengubah
data. Semua SKPD mengisi sendiri keperluan mereka, lalu
dimasukkan ke dalam e-budgeting, lalu dikunci sistemnya.
Kalau ada SKPD yang main-main, pasti ada buktinya di
Bappeda. Tapi rupanya masih ada anggota DPRD yang nekat
mengubah anggaran dan mengisinya sendiri, lalu diberikan
ke pemprov untuk kemudian dikirimkan ke Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri).
Ahok tidak mau mengirimkan APBD yang sudah di-
manipulasi itu, yang ia kirimkan ke Kemendagri adalah
APBD yang sudah disahkan dalam Rapat Paripurna. Kepada
wartawan, Ahok menjelaskan dengan panjang lebar apa
yang terjadi, lengkap dengan kronologinya. Ahok diancam
akan dijatuhkan, dia tidak takut. “Saya tidak tega makan
duit rakyat seperti itu. Sekali pun bukan saya yang makan.
Saya disumpah untuk mempertahankan uang rakyat. Kalau

44
MEMBANGUN POLITIK AKAL SEHAT

saya harus terjungkal, tidak jadi gubernur pun saya puas.


Dalam hidup saya, saya tidak akan menghancurkan nurani
saya.” Demikian Ahok bersikeras, bahkan saran orang-
orang dekatnya—termasuk dari ibunya sendiri—untuk
berkompromi dengan DPRD dia tolak.
Bahkan pada saat istri dan ibu mertuanya menyarankan
agar Ahok memakai rompi anti peluru pun ia tolak. Ahok
benar-benar siap mati. Dan ia berpesan kepada keluarganya,
kalau dirinya mati karena mempertahankan prinsip, ia
meminta agar keluarganya membawa mayatnya ke Belitung,
dengan tulisan di nisannya, “Sudah Mati dengan Baik”.
Karena prinsipnya itu, Ahok bersitegang dengan para
pimpinan DPRD seperti Abraham Lunggana (Lulung) dan
Muhammad Taufik. Merasa berada di pihak yang benar,
pada saat diadakan mediasi dengan DPRD DKI Jakarta, Ahok
terlihat sangat tenang. “Demi kebenaran, saya nggak peduli,”
kata Ahok. “Saya untuk apa dapatin posisi, dapatin jabatan
banyak karena nipu? Sudah dapat terus kompromi, untuk
apa?”
Karena dianggap merugikan banyak kalangan (yang
biasanya nyaman mengatur dan menggunakan anggaran
sesuai kehendak hatinya), tak jarang Ahok dibilang anjing.
Alih-alih marah, Ahok malah mengatakan, “ya saya memang
anjing. Saya ini anjing penjaga yang jagain harta tuannya.
Saya emang anjing dan saya akan jaga harta majikan saya
sampai mati.”

45
JEFFRIE GEOVANIE

Kalau kita cermati, di balik sikap Ahok yang teguh,


tidak mau kompromi dengan DPRD atau siapa pun yang
dinilainya tidak benar, sebenarnya bukan sekadar mengajak
bermusuhan. Ahok ingin mendobrak sistem yang korup,
yang mencabik-cabik akal sehat siapa pun yang masih waras.
Ahok ingin membangun politik akal sehat, yang bisa
dikontrol oleh siapa pun. Ahok punya prinsip, akal sehat
tidak boleh kalah, bahkan terhadap ancaman pembunuhan
sekali pun Ahok tak bergeming.
Bagi Ahok, ancaman pembunuhan lantaran memper-
tahankan prinsip bukan kali pertama terjadi. Pada saat masih
di Belitung, Ahok beberapa kali diancam akan dibunuh,
dengan cara disantet. Ahok tidak gentar, dan ia benar-benar
bersyukur karena masih tetap hidup sampai sekarang.
Keberanian Ahok inilah—selain karena kedermawanan—
yang membuat dirinya sangat populer di Belitung. Ahok
dianggap sakti karena tidak mempan disantet.

46
Bagian Dua

BERSAMA
JOKOWI
Jokowi-Ahok merupakan pasangan figur yang
otentik. Keduanya banyak diberitakan media karena
ide-ide kreatifnya, bukan karena proses mobilisasi
isu yang ada transaksi keuangan di baliknya. Selain
melibatkan tim sukses yang secara formal terdaftar
di KPUD, pasangan ini juga didukung oleh barisan
relawan yang menginginkan perubahan dan
perbaikan kota Jakarta tanpa pamrih.
1. FENOMENA JOKOWI-AHOK
Pasangan Jokowi-Ahok adalah perpaduan antara profesionalitas,
kreativitas, dan integritas.

Dari enam pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil


Gubernur yang akan berlaga dalam pemilihan kepala daerah
(Pilkada) di DKI Jakarta, Juli 2012, yang paling fenomenal
adalah pasangan Joko Widodo alias Jokowi dan Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok.
Mengapa paling fenomenal? Pertama, pasangan ini
merupakan perpaduan dua tokoh lokal yang unik dengan
prestasinya yang fenomenal. Jokowi adalah Wali Kota Solo
yang terpilih untuk kedua kalinya dengan 91% suara,
tertinggi sepanjang sejarah Pilkada di tanah air. Meskipun
“hanya” Walikota, popularitas Jokowi di Jawa Tengah
melebihi Gubernur. Terbukti, pada saat terjadi sengketa
antara keduanya, Jokowi tampil menjadi pemenang.
Pasangan Jokowi, Ahok, juga istimewa karena ia pernah
terpilih menjadi Bupati Belitung Timur yang berpenduduk
mayoritas Muslim fanatik dan dalam pemilu legislatif
merupakan basis pendukung Partai Bulan Bintang (PBB)
yang jelas-jelas mengusung asas Islam. Padahal Ahok sendiri
non-Muslim.
Kedua, pasangan Jokowi-Ahok paling “merakyat” pada
saat mendaftarkan diri menjadi bakal calon Gubernur-Wakil

49
JEFFRIE GEOVANIE

Gubernur DKI Jakarta. Keduanya diarak ramai-ramai oleh


rakyat dengan kendaraan rakyat (Metro Mini) ke kantor
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta.
Ketiga, meskipun baru muncul di permukaan—bila
dibandingkan dengan calon-calon yang lain—pasangan ini
memiliki popularitas yang—diduga—bisa mengalahkan
Fauzi Bowo alias Foke yang dalam setiap polling selalu paling
unggul.

Prestasi Jokowi
Jokowi lahir di Surakarta, 21 Juni 1961. Menjadi
Walikota Kota Surakarta (Solo) selama dua periode 2005–
2015. Pada saat pertama kali mencalonkan diri, banyak
yang meragukan kemampuan insinyur kehutanan lulusan
Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta ini. Karena
di samping penampilannya yang kurang meyakinkan,
profesinya juga “hanya” pedagang furnitur rumah dan taman
yang relatif jauh dari hiruk pikuk dunia politik praktis.
Tapi, setelah ia terpilih, lambat laun publik semakin
kagum dengan terobosan-terobosan langkahnya. Di bawah
kepemimpinannya, Solo mengalami perkembangan pesat.
Tanpa didahului studi banding sebagaimana yang sering
dilakukan anggota DPR, Jokowi membangun kota Solo
dengan mencontoh kemajuan kota-kota di Eropa.
Dengan slogan “Solo: The Spirit of Java” Jokowi mampu
membersihkan taman-taman kota—dari para pedagang yang

50
FENOMENA JOKOWI-AHOK

kerap mengotori dan mengalih fungsi taman—dengan tanpa


gejolak yang berarti. Karena pendekatan yang dilakukannya
sangat manusiawi, yakni dengan cara menyapa mereka secara
langsung dan berbicara dari hati ke hati.
Untuk “menjual” kota Solo/Surakarta ke pentas dunia,
pada tahun 2006, Jokowi mendaftarkan Solo menjadi anggota
Organisasi Kota-kota Warisan Dunia. Dua tahun kemudian
(25-28 Oktober 2008), Solo sudah menjadi tuan rumah
Konferensi Internasional Organisasi Kota-Kota Warisan
Dunia (International Conference of World Heritage Cities).
Benteng Vestenburg yang pada pemerintahan sebelum-
nya terancam digusur untuk disulap menjadi pusat bisnis
dan perbelanjaan, oleh Jokowi justru dijadikan tempat
Festival Musik Dunia (FMD) pada tahun 2007. Dan pada
tahun berikutnya (2008), FMD digelar di kompleks Istana
Mangkunegaran.
Karena prestasi-prestasinya yang fenomenal, dalam
polling Majalah Tempo, Jokowi terpilih menjadi salah satu
dari “10 Tokoh 2008”. Dan popularitas Jokowi melejit karena
pembelaannya terhadap mobil ciptaan anak bangsa sendiri
yakni, “Esemka-Kiat” yang kemudian dijadikannya sebagai
mobil dinas walikota. Padahal mobil ini belum lulus uji emisi.

Integritas Ahok
Zhong Wan Xie alias Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
yang menjadi calon wakil gubernur mendampingi Jokowi

51
JEFFRIE GEOVANIE

merupakan sosok yang unik. Mengapa unik, karena Ahok


pada mulanya, seperti juga Jokowi, bukan politikus. Tetapi
pada saat masuk dunia politik kariernya langsung melejit.
Tahun 2003 masuk Partai Perhimpunan Indonesia Baru
(PPIB) yang saat itu dipimpin oleh Dr. Sjahrir (alm). Pada
pemilu 2004 ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Meskipun dengan uang yang sangat terbatas, ia terpilih
menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode
2004-2009. Baru tujuh bulan menjadi wakil rakyat, berkat
dorongan dari berbagai kalangan, tahun 2005 Ahok maju
menjadi calon Bupati Belitung Timur.
Sekali lagi, hanya dengan modal uang yang terbatas,
secara mengejutkan Ahok berhasil mengantongi 37,13
persen suara dan menjadi Bupati Belitung Timur periode
2005-2010. Pada tahun 2007, Ahok mencoba peruntungan
maju dalam Pilkada Provinsi Bangka Belitung, belum berhasil
karena dicurangi dari berbagai segi. Tapi pada tahun 2009
ia berhasil menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar
dengan raihan suara yang signifikan, padahal sebagai orang
daerah ia hanya ditempatkan di nomor urut “tidak jadi”.
Ahok tertolong oleh keputusan MK yang menetapkan suara
terbanyak yang berhak menjadi anggota legislatif terpilih.
Apa kunci keberhasilan Ahok dalam politik? Kuncinya
pada integritas. Dalam kampanye ia menghindari politik
uang. Caranya sederhana, ia rajin berkeliling, dan berdialog
langsung dengan rakyat. Untuk menindaklanjuti dialognya,
ia bagikan nomor telepon yang juga ia pakai sehari-hari.

52
FENOMENA JOKOWI-AHOK

Selama menjadi anggota DPRD ia berhasil menunjukkan


integritasnya dengan menolak ikut dalam praktik KKN,
menolak mengambil uang SPPD fiktif, dan menjadi dikenal
masyarakat karena ia satu-satunya pejabat yang berani secara
langsung dan sering bertemu dengan masyarakat untuk
mendengar keluhan mereka, sementara yang lain lebih sering
“mangkir”.
Cara yang sama ia terapkan ketika menjadi Bupati dan
DPR RI. Selama di Senayan, Ahok dikenal sebagai figur
apa adanya, vokal, dan mudah diakses oleh masyarakat
banyak. Untuk menjaga integritasnya ia menetapkan standar
antikorupsi, transparansi dan profesionalisme dengan cara
memberi laporan secara rutin pada rakyat melalui website
pribadinya yang bisa diakses oleh siapa pun.
Karena integritasnya, pada tahun 2007 Gerakan Tiga
Pilar Kemitraan yang terdiri dari Masyarakat Transparansi
Indonesia, KADIN dan Kementerian Negara Pemberdayaan
Aparatur Negara memberikan Ahok penghargaan sebagai
tokoh anti korupsi dari unsur penyelenggara negara. Dan,
Tempo pun menobatkan Ahok sebagai satu dari “10 tokoh”
yang mengubah Indonesia.

Tantangan
Pasangan Jokowi-Ahok adalah perpaduan antara
profesionalitas, kreativitas, dan integritas. Dengan ketiga
hal inilah baik Jokowi maupun Ahok sudah mendulang

53
JEFFRIE GEOVANIE

prestasi di daerahnya masing-masing. Akankah prestasi itu


bisa ditransfer ke Jakarta dengan sejuta problematikanya? Ini
pertanyaan penting yang tidak perlu dijawab. Jika segenap
warga Jakarta memilihnya pada Pilkada, biarlah Jokowi-Ahok
yang akan membuktikannya.
Tantangan terberat bagi Jokowi-Ahok untuk meme-
nangkan Pilkada DKI adalah pragmatisme dan fanatisme.
Warga Jakarta sudah terbiasa tergerak karena uang dan
kepentingan. Dan warga Jakarta juga sebagian masih berkutat
pada masalah-masalah yang sepele yang tak ada kaitan dengan
profesionalisme, yakni soal perbedaan suku, keyakinan, dan
agama. Jika kedua tantangan ini bisa diatasi, saya kira akan
mudah bagi Jokowi-Ahok untuk memenangkan Pilkada.
(Seputar Indonesia, 26 Maret 2012)

54
2. PILKADA JAKARTA DAN PILPRES
2014
Hasil Pilkada Jakarta pun bisa kita jadikan sebagai pantulan dari
cermin Pemilu 2014 mendatang

Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang


digelar pada Rabu, (11/7/2012), menurut hitung cepat
(quick count) dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-
Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Hasil ini surprised
karena dalam berbagai survei yang sudah dirilis sebelumnya,
pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang
diperkirakan akan unggul.
Mengapa pasangan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara
perolehan suaranya berbanding terbalik dengan yang
diperkirakan dalam sejumlah survei? Pertanyaan ini menarik
untuk dianalisis. Pertama, dalam exit poll yang ditampilkan
berbagai media edisi Kamis dan Jumat pasca Pilkada,
pasangan Jokowi-Ahok mendapatkan dukungan dari
mayoritas suara mengambang yang dalam sejumlah survei
belum menentukan pilihan (undecided voters). Padahal
jumlah undecided voters ini sangat signifikan, melebihi
perkiraan suara yang diperoleh pasangan mana pun.
Kedua, dari exit poll juga terlihat bahwa para pendukung
partai-partai tak sepenuhnya mendukung pasangan yang

55
JEFFRIE GEOVANIE

diusung partainya, kecuali para pendukung Partai Gerindra


yang mayoritas mendukung Jokowi-Ahok. Pendukung
Partai Golkar yang paling minim mendukung pasangan
yang diusung partainya (Alex Noerdin-Nono Sampono).
Artinya, jika PDIP dan Gerindra tidak mengajukan Jokowi-
Ahok, prioritas pilihan bukan pada pasangan Alex-Nono,
bisa jadi Faisal Basri-Biem Benyamin yang akan mendapatkan
limpahan suara karena karakteristik pemilih kedua pasangan
(Jokowi-Ahok dan Faisal-Biem) memiliki kecenderungan
yang relatif sama, yakni mereka yang menginginkan
perubahan.
Ketiga, kemenangan (sementara) Jokowi-Ahok membuk-
tikan bahwa dukungan terhadap perubahan sangat besar.
Jadi, faktor utama kekalahan Foke-Nara, bisa jadi faktor
utamanya bukan semata-mata karena Foke dianggap gagal
memimpin Jakarta, tapi juga karena kejenuhan publik pada
situasi politik yang ada sekarang. Kemarahan publik pada
para koruptor diekspresikan dengan tidak memilih pasangan
cagub-cawagub yang diajukan partai yang belakangan
teridentifikasi melahirkan banyak koruptor.
Keempat, pilihan pada Jokowi-Ahok bisa mencerminkan
pilihan pada harapan baru karena Jokowi dianggap sukses
memimpin Solo. Tapi Jakarta tentu saja berbeda dari Solo
yang segalanya masih “sederhana” jika dibandingkan dengan
ibu kota. Kalau referensinya semata-mata kesuksesan di
daerah, mungkin Alex Noerdin juga bisa menjadi pilihan.
Jokowi saya kira tak semata mencerminkan kesuksesan

56
PILKADA JAKARTA DAN PILPRES 2014

di daerah, tapi lebih karena profilnya yang merefleksikan


kesederhanaan, kejujuran (bahkan cenderung naif), dan sikap
apa adanya yang bertolak belakang dengan profil politikus
pada umumnya yang cenderung hedonistis, kamuflase, dan
pencitraan yang cenderung menipu rakyat.

Miniatur Indonesia
Jakarta merupakan miniatur Indonesia. Dari segi sebaran
etnis (selain Betawi yang menduduki urutan kedua terbesar
setelah Jawa) penduduk Jakarta benar-benar merefleksikan
kondisi etnis di Indonesia. Bukan karena di Jakarta ada
Taman Mini Indonesia Indah (TMII), tetapi secara faktual,
semua etnis dan produk budaya, politik, ekonomi, dan lain-
lain yang ada di Indonesia, tercerminkan di Jakarta.
Dengan demikian, hasil Pilkada Jakarta pun bisa kita
jadikan sebagai pantulan dari cermin Pemilu 2014 mendatang.
Mungkin benar apa yang diungkapkan budayawan Radhar
Panca Dahana, Sindo (13/7/2012) bahwa Gerindra dan
Prabowo Subianto tengah melakukan testing the water
dengan sangat getol mengajukan pasangan Jokowi-Ahok
mengingat PDIP dan Megawati sendiri pada awalnya tak
begitu berminat. Keseriusan Gerindra dan kekurangseriusan
PDIP tergambar dengan jelas dalam exit poll.
Tapi dengan kemenangan Jokowi-Ahok apakah Gerindra
dan Prabowo benar-benar berhasil? Menurut saya tidak.
Sekali lagi, pilihan pada Jokowi-Ahok lebih karena pilihan

57
JEFFRIE GEOVANIE

pada perubahan dan harapan baru. Partai mana pun yang


mengusung pasangan ini, saya kira hasilnya akan sama.
Karena pilihan publik bukan karena apa dan siapa yang
mengusungnya, tapi karena siapa yang diusungnya.
Oleh karena itu bagaimana mengajak partai-partai lain
di luar pendukung Foke-Nara seyogianya bukan jadi pilihan
strategi Jokowi-Ahok untuk memenangkan pemilihan pada
tahap kedua September nanti. Cukup dengan konsisten
mengusung tema perubahan, tetap tampil apa adanya (tanpa
polesan pencitraan yang tak perlu), tetap bersahaja, saya
yakin pasangan ini akan menang.
Kepada partai-partai, yang penting bagi Jokowi-Ahok
adalah tidak menunjukkan kebencian, tetap bersahabat
karena walaupun rakyat cenderung membenci, bersahabat
dengan partai-partai tetap penting agar pada saat menjalankan
roda pemerintahan kelak tidak dibajak oleh DPRD yang nota
bene merefleksikan kekuatan partai-partai.

Pemilu 2014
Seperti pada Pilkada Jakarta, pada Pemilu 2014 juga
rakyat menginginkan perubahan dan tampilnya pemimpin
baru yang memberikan harapan. Gambaran ini misalnya
tercermin dengan jelas dalam survei yang dilakukan Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 20 hingga
30 Juni 2012 lalu. Menurut survei SMRC, 60 persen dari
1,219 responden belum menentukan siapa dari nama-nama

58
PILKADA JAKARTA DAN PILPRES 2014

capres yang sudah bermunculan saat ini. Jadi walaupun


sudah banyak tokoh yang diusung partainya, dan sudah
melakukan sosialisasi (kampanye terselubung) secara masif,
mereka tetap bukan pilihan utama di mata rakyat.
Rakyat tampaknya mendambakan tampilnya pemimpin
yang benar-benar baru, bukan pemimpin baru dalam arti
semata-mata belum pernah menjadi Presiden atau Wakil
Presiden. Yang sudah bermunculan sekarang ini,meskipun
banyak yang belum pernah menjadi Presiden atau Wakil
Presiden, pada umumnya sudah pernah menjadi capres atau
cawapres pada Pemilu 2004 dan 2009.
Saya kira, ini pelajaran penting bagi partai-partai. Selagi
masih ada waktu (kurang lebih dua tahun lagi), ada baiknya
untuk segera mencari alternatif capres-cawapres yang benar-
benar sesuai kehendak rakyat. Dari capres-cawapres yang
sudah bermunculan, meskipun popularitasnya ada yang
sudah di atas 90 persen, elektabilitasnya masih sangat rendah,
rata-rata hanya 10 persen ke bawah. (Seputar Indonesia, 16
Juli 2012)

59
3. PEMIMPIN BARU JAKARTA
Warga Jakarta menginginkan sesuatu yang baru, yang lebih dari
sekadar janji-janji.

Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada


Rabu, (11/7/2012) berjalan relatif mulus, tanpa gejolak yang
berarti, kecuali protes-protes soal daftar pemilih dan hal-hal
teknis lain yang memang senantiasa muncul dalam setiap
Pilkada. Tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan
hak pilih (golput) juga biasa. Ini isyarat yang baik bagi
Indonesia karena Jakarta merupakan etalase bagi republik
ini.
Yang tampak tidak biasa adalah hasilnya. Sejumlah
prediksi dari lembaga-lembaga survei yang dirilis menjelang
pelaksanaan Pilkada semuanya meleset. Pasangan nomor
urut 1, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang
diperkirakan unggul ternyata kalah oleh pasangan nomor
urut 3, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-
Ahok), dengan selisih yang cukup signifikan, berbanding
terbalik dengan prediksi lembaga-lembaga survei tersebut.
Menurut exit poll, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok
terutama karena kontribusi para pemilih yang sebelumnya
masih ragu-ragu (undecided voters). Mereka pada umumnya
menentukan pilihan di bilik suara, membuat pasangan

60
PEMIMPIN BARU JAKARTA

Jokowi-Ahok bagaikan tim sepak bola yang memenangkan


laga di detik-detik akhir.
Keunggulan (sementara) Jokowi-Ahok atas pasangan
Foke-Nara menunjukkan dua hal: pertama, dengan asumsi—
tanpa mengabaikan posisi Nara sebagai wakil—selain pemilih
Foke, warga Jakarta menginginkan pemimpin baru.
Kedua, menunjukkan keunggulan rasionalitas dan hati
nurani atas politik uang dan mobilisasi birokrasi. Menurut
investigasi Metro Realitas yang ditayangkan malam hari
setelah Pilkada berlangsung, ada satu triliun lebih dana hibah
dari APBD yang sudah atau akan dikucurkan Foke ke berbagai
kalangan yang akuntabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan.
Manuver politik incumbent di Jakarta agak mirip dengan
yang terjadi di Provinsi Banten yang diduga memanfaatkan
dana hibah plus birokrasi sebagai alat untuk memenangkan
(mempertahankan) jabatan. Yang patut diapresiasi, dalam
memilih pemimpin, warga Jakarta tampaknya jauh lebih
rasional ketimbang warga Banten.
Warga Jakarta menginginkan pemimpin baru karena yang
ada sekarang dianggap gagal atau sudah amat jenuh dengan
program-programnya yang biasa-biasa saja, yang tidak punya
gagasan-gagasan baru, apalagi lompatan kuantum yang bisa
membuat segenap warga Jakarta optimistis menghadapi masa
depan.
Kondisi Jakarta saat ini masuk kategori luar biasa, harus
ditangani dengan lompatan yang luar biasa. Kalau tidak,
sama artinya dengan menyerahkan nasib pada apa pun yang

61
JEFFRIE GEOVANIE

terjadi pada esok hari. Hanya warga yang apatis yang tidak
menginginkan pergantian pemimpin di Jakarta.
Jika kondisi lalu lintas di Jakarta pada 2014 diprediksi
akan mengalami macet total tanpa bisa bergerak, maka
itulah nasib yang harus dihadapi warga Jakarta. Jika sebagian
wilayah Jakarta akan terus terkena banjir maka memang
seperti itulah kondisinya karena sebagian besar wilayahnya
memang berada di bawah permukaan laut. Jadi mau diapakan
lagi, memang sudah begitulah nasibnya sejak jaman dahulu
kala.
Tentu saja, warga Jakarta tidak mau menyerahkan
peruntungan pada nasib buruk seperti itu. Pesan penting ini,
saya kira, tidak hanya ditujukan pada pemimpin yang (kalah)
sekarang, tapi juga untuk pemimpin yang akan terpilih kelak,
untuk berbuat lebih kreatif dalam menyiasati kondisi Jakarta
yang kian tidak nyaman bagi para penghuninya.
Pemimpin baru yang terpilih bukan sekadar alat
pelampiasan atas ketidaksukaan pada pemimpin lama, tapi
juga harus menjadi tumpuan harapan lahirnya Jakarta baru
yang benar-benar lebih baik dari Jakarta sebelumnya.
Jadi, kewajiban pemimpin baru bukan sekadar
merealisasikan janji-janji yang telah disampaikan dalam
kampanye, karena di antara janji-janji itu belum tentu
sepenuhnya sesuai dengan keinginan warga Jakarta. Warga
Jakarta menginginkan sesuatu yang baru, yang lebih dari
sekadar janji-janji.

62
PEMIMPIN BARU JAKARTA

Apakah pasangan Jokowi-Ahok akan mampu meme-


nuhi harapan itu? Kita lihat saja. Jika warga Jakarta benar-
benar akan memenangkan pasangan ini, tentu kemenangan
itu akan menjadi modal utama yang akan ikut mendorong
keberhasilan kepemimpinan mereka kelak. (Media Indonesia,
18 Juli 2012)

63
4. PELAJARAN DARI JAKARTA (1)
Bagi daerah-daerah lain yang akan menggelar Pilkada, ada
baiknya belajar pada Jakarta.

Ada pelajaran menarik dari perhelatan politik yang baru


saja terjadi di Ibu Kota Negara. Dalam Pemilihan umum
kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang digelar pada Rabu,
(11/7/2012), Fauzi Bowo sebagai gubernur incumbent gagal
memperoleh dukungan terbesar. Padahal, dalam berbagai
survei yang sudah dirilis sebelumnya, ia selalu berada di
urutan teratas dengan perbedaan persentasi yang cukup
signifikan.
Perolehan suara pasangan nomor urut 1, Fauzi Bowo-
Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang diperkirakan unggul
ternyata kalah oleh pasangan nomor urut 3, Joko Widodo-
Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Perolehan suara
kedua pasangan ini berbanding terbalik dengan prediksi
lembaga-lembaga survei.
Setidaknya, ada tiga pelajaran yang kita petik dari
kemenangan (sementara) Jokowi-Ahok. Pertama, apa
yang diprediksikan lembaga survei bukan jaminan untuk
menggambarkan yang sebenarnya. Bukan lembaga surveinya
yang salah, tapi karena ada dinamika politik yang terkadang
begitu fluktuatif dan bisa berubah dalam tempo singkat.

64
PELAJARAN DARI JAKARTA (1)

Ketidakakuratan lembaga survei di Jakarta sebenarnya


bukan kasus yang pertama kali terjadi. Jauh sebelum Pilkada
Jakarta, di provinsi Jawa Barat dan di Aceh juga pernah
terjadi hal yang sama. Pilkada dimenangkan oleh pasangan
yang tidak diunggulkan dalam survei. Penyebabnya, selain
karena dinamika politik, juga karena banyaknya massa
mengambang yang menentukan pilihan pada saat di bilik
suara.
Kedua, hasil Pilkada Jakarta juga menunjukkan
bahwa pejabat incumbent tidak mudah untuk memper-
tahankan kursinya. Bahkan—sebagaimana diduga banyak
pihak—dengan memobilisasi birokrasi dan mengefektifkan
penyaluran dana hibah pun tetap tak bisa membantu.
Ada independensi warga dalam menentukan pilihan-
pilihan politiknya. Ada sikap yang kuat untuk menolak setiap
upaya penggalangan suara. Dengan maraknya pemberitaan
di berbagai media, independensi serupa bisa menular ke
daerah-daerah lain yang hendak menggelar Pilkada.
Ketiga, pelajaran paling penting dari Pilkada Jakarta
adalah bahwa segenap rakyat menginginkan perubahan.
Warga Jakarta menginginkan pemimpin baru yang mampu
memberikan harapan-harapan baru. Di tengah kelesuan, atau
bahkan kejengkelan publik pada dunia politik akibat berbagai
kasus buruk yang menimpa para politisi, memunculkan
harapan baru punya makna yang sangat penting.
Kalau kita mau belajar pada alam. Para pemimpin
itu ibarat matahari, pada saat kemunculannya di pagi

65
JEFFRIE GEOVANIE

hari mampu memberikan kehangatan dan memompakan


semangat baru bagi penduduk bumi untuk bekerja keras.
Pada saat siang hari (di tengah perjalanan), mungkin karena
teriknya, atau karena sebab-sebab lain, antara yang menyukai
dan membencinya sudah berimbang. Dan pada saat sore
hari, meskipun kembali tampak indah seperti pada pagi hari,
karena segenap penduduk bumi sudah kelelahan, keindahan
matahari itu tetap direlakan pergi dengan harapan esok hari
akan terbit dengan membawa harapan baru kembali.
Para pemimpin incumbent ibarat matahari siang yang
membosankan, atau matahari sore yang meskipun tampak
indah tetap diharapkan kepergiannya untuk menyongsong
malam dan esok hari yang penuh harapan. Jadi, relakanlah
rakyat membutuhkan pemimpin baru, seperti membutuhkan
matahari pagi.
Tampaknya Jakarta benar-benar menjadi etalase
republik ini, karena keinginan tampilannya pemimpin
baru itu sebenarnya diinginkan pula oleh segenap rakyat
Indonesia. Keinginan itu tercermin dari berbagai survei
tentang siapa calon Presiden 2014 mendatang. Responden
yang menginginkan para pemimpin yang ada sekarang
hanya di pusaran angka sepuluh persen ke bawah. Jika
diakumulasi ada di angka 40 persen. Artinya, yang 60 persen
lagi menginginkan tampilnya pemimpin baru.
Bagi daerah-daerah lain yang akan menggelar Pilkada,
ada baiknya belajar pada Jakarta. Dari Jakarta, pemimpin baru
ditampilkan, harapan baru digemakan, gerakan perubahan

66
PELAJARAN DARI JAKARTA (1)

dipompakan ke seluruh nadi ibu pertiwi. (Padeks, 17 Juli


2012)

67
5. PELAJARAN DARI JAKARTA (2)
Pelajaran penting dari Pemilukada Jakarta adalah bahwa
siapa tokoh yang diajukan jauh lebih penting dari partai yang
mengajukannya.

Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) tahap


pertama yang memberikan kemenangan (sementara) pada
pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-
Ahok), saya sudah menulis dengan judul yang sama di kolom
ini (17/07/2012). Dan, kolom ini hanya melanjutkan dari
apa yang sudah saya tulis sebelumnya.
Meskipun tetap harus menunggu hasil akhir dari
perhitungan resmi yang dikeluarkan KPU DKI Jakarta,
kemenangan Jokowi-Ahok sudah tidak lagi kita sebut
sementara. Kemenangan ini sudah diprediksi sebelumnya,
karena warga Jakarta memang menginginkan perubahan.
Mandat perubahan Jakarta itu kini berada di pundak Jokowi-
Ahok.
Dari segi sosial budaya, keragaman agama dan etnis
Jakarta bisa disebut sebagai representasi Indonesia.
Sementara dari segi politik, sebagai ibukota negara, Jakarta
menjadi pusat pemerintahan. Jadi tak salah kiranya jika kita
sebut Jakarta sebagai barometer, atau setidaknya etalasenya
Indonesia secara keseluruhan.

68
PELAJARAN DARI JAKARTA (2)

Oleh karena itu, fenomena politik yang terjadi di


Jakarta, cepat atau lambat akan terjadi juga di kota-kota
lain di seluruh Indonesia. Bahwa perubahan merupakan
kata kunci. Dan perubahan itu, jika tak bisa dimulai dari
sistemnya disebabkan kerusakan yang terlampau akut,
toh bisa diawali dengan tampilnya tokoh-tokoh baru yang
properubahan. Jika kita ikuti sejarah orang-orang besar,
banyak di antara mereka yang mampu menggerakkan sistem
dan mengubahnya menjadi lebih baik.
Jokowi-Ahok mungkin bukan berasal dari trah orang-
orang besar, tapi bukan tak mungkin keduanya menjadi
orang besar yang mampu memajukan Indonesia yang dimulai
dari Jakarta. Abraham Lincoln yang banyak melakukan
perubahan besar dalam sistem politik di Amerika hanyalah
anak pasangan petani miskin yang pekerjaan sehari-harinya
sebagai tukang kayu.
Pelajaran penting dari Pemilukada Jakarta adalah bahwa
siapa tokoh yang diajukan jauh lebih penting dari partai
yang mengajukannya. Kalau kita tarik garis lurus antara
pendukung partai yang mendukung kedua pasangan,
seharusnya pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-
Nara) bisa menang mutlak pada putaran kedua. Nyatanya,
Jokowi-Ahok lebih unggul walau tidak mutlak.
Dengan demikian, tidak juga relevan sementara kalangan
yang menyimpulkan bahwa kemenangan Jokowi-Ahok
identik dengan kemenangan PDIP dan Gerindra—dua partai
pengusung Jokowi-Ahok—di Jakarta. Pun pula, belum tentu

69
JEFFRIE GEOVANIE

benar asumsi yang mengatakan bahwa kemenangan Jokowi-


Ahok mencerminkan kemenangan calon presiden Megawati
Soekarnoputeri atau Prabowo Subianto pada Pemilu 2014.
Dalam exit poll Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih Jokowi-
Ahok akan memilih Prabowo sebagai presiden. Bagi para
pendukung Prabowo tentu ini berita gembira. Tapi bagi yang
tidak mendukung tokoh yang kerap dikait-kaitkan dengan
pelanggaran HAM di tanah air ini tentu menjadi peringatan
keras.
Dukungan politik rakyat terhadap seorang tokoh bisa
berubah setiap saat, yang tidak berubah adalah dukungannya
pada perubahan. Pemilukada DKI menjadi pelajaran penting
bagi partai-partai untuk lebih jeli melihat siapa calon yang
layak diajukan baik dalam Pemilukada maupun untuk
Pemilu Presiden.
Dalam praktiknya, dukungan rakyat terhadap perubahan,
hampir selalu identik dengan dukungan pada tokoh-tokoh
baru yang dinilai punya potensi besar untuk menggerakkan
perubahan meskipun mungkin popularitasnya kalah jauh
dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang sudah tampil di
permukaan. Tokoh-tokoh yang sudah tampil itu bisa mantan
presiden dan wakil presiden, bisa juga mantan calon presiden
atau mantan calon wakil presiden.
Partai-partai yang jeli melihat fenomena ini, seyogianya
mencermati kembali calon-calon yang sudah atau hendak
ditetapkan menjadi calon presiden. Apakah tidak sebaiknya

70
PELAJARAN DARI JAKARTA (2)

mencari tokoh-tokoh baru yang lebih mampu mendorong


perubahan meskipun popularitas tokoh-tokoh baru itu
masing jauh tertinggal dibanding popularitas calon-calon
yang sudah diajukan. (Padeks, 25 September 2012)

71
6. ANGIN SEGAR DARI PEMILUKADA
JAKARTA
Pemilukada Jakarta menjadi bukti kematangan berdemokrasi
baik secara prosedural maupun substansial.

Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) di DKI Jakarta


yang berlangsung dua putaran dengan damai dan aman
namun tetap dinamis menjadi hembusan angin segar yang
menyejukkan di tengah polusi politik yang antara lain dipicu
oleh kebisingan kampanye negatif serta ancaman konflik baik
horizontal maupun vertikal.
Walau sempat diwarnai ketegangan-ketegangan kecil
antar pendukung dua kandidat, saling sindir, saling kritik,
bahkan sebagian ada yang menebar teror dan ancaman pada
etnis dan agama tertentu dengan menggunakan akun-akun
palsu di twitter dan facebook, namun semua hanya sebatas
di social media dan dunia maya, tak sampai mewujud di
dunia nyata.
Yang juga surprised, begitu hitung cepat selesai, kedua
pasangan calon menerima kemenangan sementara dari hitung
cepat (quick count) dari sejumlah lembaga survei dan saling
memberikan selamat dan meminta maaf. Keputusan Fauzi
Bowo (Foke) yang segera menyampaikan ucapan selamat
kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemenang patut

72
ANGIN SEGAR DARI PEMILUKADA JAKARTA

kita acungi jempol. Sikap elegan ini selain menunjukkan


kebesaran jiwa juga sekaligus sebagai pengunci atas
celotehan-celotehan para pendukungnya yang tampak belum
ikhlas menerima kekalahan.
Sementara itu,dengan prinsip “menang tanpa ngasorake”
(menang tanpa merendahkan), Jokowi-Ahok, selain meminta
maaf kepada rivalnya karena mungkin dalam kampanye
sering menyinggung perasaan, mereka juga menganggap
Foke-Nara bukan sebagai rival atau lawan politik melainkan
sebagai senior yang diharapkan masih bersedia memberikan
nasihat dan arahan untuk kemajuan kota Jakarta.
Pemilukada Jakarta menjadi bukti kematangan ber-
demokrasi baik secara prosedural maupun substansial.
Secara prosedural, proses pemilukada berjalan aman,
lancar, dengan tingkat partisipasi yang relatif tinggi. Meski-
pun masa kampanye berjalan panas, secara umum tidak ada
kerusuhan yang terjadi pada hari pemungutan suara. Dari
15.059 tempat pemungutan suara (TPS) tidak ada laporan
ancaman atau kecurangan yang fatal. Partisipasi publik pun
meningkat, dari 63,62 persen pada putaran pertama menjadi
65,5 persen pada putaran kedua.
Secara substansial, kemenangan Jokowi-Ahok mem-
buktikan banyak hal positif: pertama, publik lebih memilih
figur yang sederhana, merakyat, dan jujur. Kedua, politik
uang yang dikhawatirkan banyak kalangan juga tak terbukti.
Kalau pun ada, tidak sampai mempengaruhi pilihan politik.
Apakah ini bukti keberhasilan dari gencarnya kampanye

73
JEFFRIE GEOVANIE

politik uang? Wallahu a’lam, yang pasti warga Jakarta


sudah cukup dewasa untuk tidak terbawa arus upaya-upaya
yang merusak demokrasi. Ketiga, selain ancaman politik
uang, yang tak kalah berbahaya adalah penggunaan agama
dalam kampanye yang melibatkan tokoh-tokoh terkemuka.
Terpilihnya Jokowi-Ahok membuktikan kandasnya politisasi
agama.
Kedewasaan warga Jakarta dalam berdemokrasi juga
terbukti dengan tidak berpengaruhnya dukungan partai-
partai terhadap calon. Rakyat secara otonom mempunyai
pilihan sendiri. Bagi partai politik ini menjadi kabar baik
karena bisa menjadi proses pembelajaran agar lebih cermat
lagi dalam memilih figur, tidak semata-mata terbuai karena
popularitas, karena rakyat lebih cenderung memilih
otentisitas ketimbang popularitas.
Jokowi-Ahok merupakan pasangan figur yang otentik.
Keduanya banyak diberitakan media karena ide-ide
kreatifnya, bukan karena proses mobilisasi isu yang ada
transaksi keuangan di baliknya. Selain melibatkan tim
sukses yang secara formal terdaftar di KPUD, pasangan ini
juga didukung oleh barisan relawan yang menginginkan
perubahan dan perbaikan kota Jakarta tanpa pamrih.
Pemilukada Jakarta bisa menjadi miniatur perubahan
politik yang bisa mendorong terjadinya perubahan yang
lebih besar. Partai-partai yang cenderung apriori terhadap
perubahan seyogianya melihat bahwa tren perubahan itu

74
ANGIN SEGAR DARI PEMILUKADA JAKARTA

nyata adanya, dan tidak dapat dibendung walau dengan


menjalin kerja sama antar elite dan antar partai-partai politik.
Kegagalan partai-partai membaca tren bukan tidak
mungkin akan membuat mereka gagal pula menghadapi
Pemilu, terutama Pemilu Presiden, disebabkan karena capres-
capres yang mereka ajukan bukan berasal dari tokoh-tokoh
baru yang properubahan.
Harapan kita, segala aspek angin segar yang berhembus
di ibukota bisa berhembus pula di provinsi-provinsi lain,
karena bagaimana pun DKI Jakarta merupakan etalase
sekaligus barometer bagi daerah-daerah lain di seluruh
nusantara. (Haluan, 27 September 2012)

75
7. FENOMENA KEMENANGAN JOKOWI-
AHOK
Dengan rekam jejak sang pemenang yang biasa menyatu dengan
rakyat dan berbicara dengan bahasa rakyat, besar harapan kita,
Jakarta ke depan bisa menjadi kota milik bersama.

Di Seputar Indonesia, pasa saat proses pendaftaran calon


sudah ditutup, saya sudah menulis “Fenomona Jokowi-Ahok”.
Isinya memaparkan sebagian dari kelebihan-kelebihan Joko
Widodo alias Jokowi dan Zhong Wan Xie alias Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok. Di ujung tulisan saya memprediksi
bahwa jika keduanya mampu mengatasi dua tantangan,
yakni pragmatisme dan fanatisme (suku dan agama) warga
Jakarta, maka pasangan ini akan memenangkan Pemilukada
dengan mudah (Sindo, 26/03/2012).
Ternyata, seperti kita lihat, pasangan ini tidak cukup
mudah untuk bisa mengalahkan pasangan-pasangan lainnya.
Dalam bahasa Jokowi, untuk jadi pemenang tidak sulit
tapi amat sangat sangat sangat sulit karena banyak sekali
tantangan dan cobaan yang harus dihadapi. Secara kasat
mata, ketidakmudahan itu antara lain ditandai dengan
Pemilukada yang harus dilangsungkan dua putaran.
Bagaimana pun prosesnya, kemenangan pasangan
Jokowi-Ahok atas pasangan-pasangan lain—terutama
pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) pada

76
FENOMENA KEMENANGAN JOKOWI-AHOK

putaran kedua—menjadi fenomena yang menarik untuk


kita cermati. Pertama, kemenangan ini bisa menjadi
tamparan bagi umumnya partai-partai besar. Mereka yang
dengan penuh optimisme mendukung pencalonan Foke-
Nara—karena didasarkan pada hasil survei—seperti Partai
Demokrat, PAN, PKB, dan Hanura—atau karena sentimen
ideologis—Golkar, PKS, dan PPP—diakui atau tidak, telah
dipecundangi atau bahkan dipermalukan oleh warga Jakarta.
Kedua, apa pun yang melatari dukungan PDIP dan
Partai Gerindra terhadap pasangan Jokowi-Ahok patut
kita apresiasi karena secara tidak langsung kedua partai
ini telah memberikan pelajaran penting bagi partai-partai
lainnya agar dalam memilih kandidat tidak semata-mata
berpedoman pada hasil survei, apalagi karena sentimen
ideologis, tapi yang lebih penting adalah pada kepribadian
serta komitmennya pada perubahan dan pembaruan dari
figur-figur yang diajukan.
Ketiga, kemenangan Jokowi-Ahok mengonfirmasi
kebenaran asumsi yang menegaskan betapa partai-partai pada
umumnya tidak mampu memenuhi aspirasi rakyat. Secara
matematis, andaikan suara partai-partai kongruen dengan
suara rakyat maka Foke-Nara otomatis akan memenangkan
Pemilukada DKI Jakarta karena pasangan ini didukung
oleh mayoritas partai, termasuk partai pemenang Pemilu
di Jakarta.
Banyak faktor mengapa terjadi kesenjangan antara
(aspirasi) rakyat dengan partai-partai, salah satunya

77
JEFFRIE GEOVANIE

karena derasnya arus liberalisasi politik yang semata-


mata didasarkan pada kepentingan individual. Di dalam
partai politik tumbuh subur keinginan (ambisi) individu-
individu dengan mengatasnamakan hak-hak asasi yang
dalam praktiknya bisa mengalahkan platform atau ideologi
partai yang telah menjadi kesepakatan bersama. Fenomena
inilah yang kemudian berakibat pada semakin minusnya
keterikatan individu pada partai. Identitas kepartaian (party
ID) menjadi semakin berkurang dari waktu ke waktu.
Jika di kalangan aktivis partai sendiri tidak memiliki
party ID yang kuat, apalagi di kalangan rakyat secara
umum. Dalam menentukan pilihan-pilihan politik dalam
Pemilu, tidak lagi didasarkan pada kesamaan ideologi dan
persetujuan pada platform partai melainkan pada interes
pribadi masing-masing. Karena itu, kalaupun ada kesesuaian
antara kepentingan partai dan rakyat yang memilihnya, lebih
disebabkan karena kesamaan kepentingan pragmatis antara
individu tokoh/elite partai dengan rakyat sebagai pemilih.
Akibatnya, alasan memilih tokoh (individu) jauh lebih kuat
ketimbang karena alasan memilih partai (platform/ideologi).
Keempat, kemenangan Jokowi-Ahok juga membuktikan
betapa kuatnya dukungan rakyat terhadap perubahan
dan pembaruan. Pilihan terhadap petahana (Foke-Nara)
disamakan dengan dukungan terhadap status quo, sedangkan
pilihan pada penantangnya (Jokowi-Ahok) diidentikkan
dengan dukungan terhadap perubahan dan pembaruan.

78
FENOMENA KEMENANGAN JOKOWI-AHOK

Nuansa perubahan dan pembaruan itu semakin kuat


karena dalam sejarahnya Jakarta merupakan kota (provinsi)
yang paling dinamis secara politik bila dibandingkan dengan
provinsi-provinsi lain di Indonesia. Partai-partai yang pernah
memenangkan Pemilu di Jakarta tak ada yang bisa bertahan
hingga dua kali berturut-turut kecuali yang dialami Golkar
pada era Orde Baru, itu pun pernah tergusur oleh PPP
pada Pemilu 1977. Sementara pada tiga kali Pemilu di era
reformasi, partai pemenang di Jakarta senantiasa berubah
dari PDIP pada Pemilu 1999, menjadi PKS pada Pemilu
2004, dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009.

Para Ksatria
Selain faktor dukungan rakyat kepada para figur
kandidat, faktor kedewasaan sikap para kandidat pun patut
kita cermati pada Pemilukada Jakarta kali ini. Pasangan
Foke-Nara sebagai pihak yang kalah secara elegan mengakui
kredibilitas metode hitung cepat (quick count) dengan cara
mengucapkan selamat kepada lawan yang mengunggulinya.
Jarang terjadi, pihak yang kalah dalam quick count langsung
mengucapkan selamat kepada pihak yang menang sebelum
perhitungan resmi versi penyelenggara pemilu (KPUD)
diumumkan.
Sementara itu, pasangan Jokowi-Ahok juga tidak tampak
jumawa dengan kemenangan yang diraihnya. Keduanya
meminta maaf kepada pasangan Foke-Nara karena mungkin

79
JEFFRIE GEOVANIE

dalam masa kampanye banyak kata dan ungkapan yang


kurang berkenan dan menyinggung perasaan keduanya.
Selain itu, Jokowi-Ahok juga tetap menganggap Foke sebagai
senior tempat mereka belajar dan meminta nasihat dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Maka, meskipun pada masa kampanye sempat terjadi
ketegangan, terutama antar pendukung kedua kandidat,
Pemilukada DKI Jakarta kali ini layak disebut sebagai
fenomena pertarungan para ksatria, karena antara pihak yang
kalah dengan yang menang sama-sama saling menghormati.

Menatap ke Depan
Setelah “pesta” Pemilukada usai, sudah waktunya
kita menatap ke depan. Pertama, dengan cara mening-
galkan hal-hal buruk yang menjadi residu Pemilukada
seperti pemanfaatan isu SARA (suku, agama, ras, dan antar
golongan) dalam kampanye, cara-cara mobilisasi suara yang
tidak elegan seperti melalui tempat ibadah, pemanfaatan
birokrasi, dan praktik politik uang (money politics), serta
nuansa saling mengancam antar pendukung kedua kandidat.
Kedua, dengan memelihara hal-hal yang baik dalam
proses Pemilukada seperti antusiasme masyarakat dalam
menyongsong perubahan; keniscayaan partai politik dalam
menangkap tanda-tanda zaman; sikap ksatria para kandidat;
dan yang lebih penting adalah suasana pra dan pasca
pencoblosan yang aman dan damai. Harapan kita semoga

80
FENOMENA KEMENANGAN JOKOWI-AHOK

hal-hal yang baik di Jakarta ini akan menular ke daerah-


daerah lain yang hendak menggelar Pemilukada.
Ketiga, yang tidak kalah penting adalah dengan
mendorong sang pemenang agar merealisasikan janji-
janjinya untuk melahirkan Jakarta baru yang terhindar dari
kemacetan, bencana banjir, dan kemiskinan warganya;
Jakarta baru dengan pedestrian yang nyaman buat para
pejalan kaki, dengan taman-taman yang hijau dan indah di
setiap sudut kota; dengan sarana dan prasarana olahraga yang
memadai; serta dengan melestarikan dan mengembangkan
setiap hasil seni dan budaya.
Dengan rekam jejak sang pemenang yang biasa menyatu
dengan rakyat dan berbicara dengan bahasa rakyat, besar
harapan kita, Jakarta ke depan bisa menjadi kota milik
bersama. Menjadi kota yang bersahabat dan nyaman untuk
semua orang, dengan segenap warganya yang bisa menjaga
hubungan erat satu sama lain walaupun dibedakan oleh
suku/ras, agama, dan golongan. (Seputar Indonesia, 02
Oktober 2012)

81
Bagian Tiga

AHOK SEBAGAI
PEMIMPIN
Basuki Tjahaja Purnama yang populer disapa
Ahok adalah sosok yang dibutuhkan bangsa ini.
Kemampuannya bersikap independen, tanpa
kompromi, terutama saat berhadapan dengan
kepentingan partai politik yang cenderung me-
nyandera, membuat Ahok memiliki kualitas yang
berbeda dari pemimpin-pemimpin lainnya.
1. MODAL SOSIAL PEMIMPIN
Dalam masyarakat demokratis, modal sosial menjadi sangat
penting karena demokrasi meniscayakan adanya hubungan
relasional yang rasional dalam suatu masyarakat.

Jika suatu kota memiliki infrastruktur sosial yang menjadi


syarat untuk bisa berkembang maju, maka individu memiliki
modal sosial untuk bisa sukses, bisa dipercaya, dan bahkan
bisa dipilih menjadi pemimpin.
Modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari
kepercayaan umum di dalam suatu masyarakat atau aspek-
aspek tertentu dari masyarakat tersebut. Atau bisa juga
dimaknai sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang
dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang
memungkinkan terjadinya kerja sama. Bagi individu, modal
sosial bisa menjadi syarat untuk bisa mengantarkannya
menjadi pemimpin.
Rekam jejak, relasi, suku, agama, merupakan kom-
ponen-komponen modal sosial yang saling berkaitan, saling
menunjang satu sama lain. Begitu pun modal sosial dalam
suatu kelompok masyarakat, tidak terbentuk karena satu
faktor, melainkan berbagai faktor dan kecenderungan yang
tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai
bagian penting dari nilai-nilai yang melekat.

85
JEFFRIE GEOVANIE

Dalam masyarakat demokratis, modal sosial menjadi


sangat penting karena demokrasi meniscayakan adanya
hubungan relasional yang rasional dalam suatu masyarakat.
Unsur-unsur modal sosial hanya bisa diaktualisasikan
secara transparan dan akuntabel dalam masyarakat yang
menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Antara modal sosial
dan demokrasi terdapat simbiosis mutualistis. Maka pada
saat ada pihak-pihak yang mempersoalkan unsur-unsur
modal sosial dalam ukuran-ukuran yang tidak rasional
sesungguhnya mereka tengah merusak unsur-unsur
demokrasi.
Menyuarakan pentingnya membangun dan menjaga
modal sosial pada saat ini sungguh strategis karena ada
kebutuhan mendesak, yakni pada saat kita menghadapi
Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), pesta demokrasi lokal yang
diselenggarakan secara nasional (serentak). Dalam proses
pengajuan calon kepala daerah, baik untuk Bupati, Walikota,
maupun Gubernur, faktor etnisitas dan agama dianggap
masih menjadi penentu dan mengabaikan faktor-faktor lain
yang lebih substantif.
Menurut para elite parpol yang masih percaya sepenuhnya
pada referensi politik nonrasional, faktor suku dan agama
masih dianggap signifikan untuk memenangkan calon kepala
daerah. Kepercayaan semacam ini akan memakan korban
kader-kader potensial yang secara etnis dan agama berbeda
dengan suku dan agama mayoritas. Dengan demikian,
fenomena menguatnya sektarianisme, baik suku maupun

86
MODAL SOSIAL PEMIMPIN

agama, bisa menjadi hambatan serius bagi berjalannya proses


demokratisasi. Tokoh-tokoh berkualitas dan potensial bisa
gagal mendapatkan tiket untuk maju lantaran ia berasal
dari etnis atau agama minoritas. Tidak hanya dalam kasus
Pilkada, dalam Pemilu Presiden (Pilpres) mendatang pun
sangat mungkin akan terjadi.
Untuk menghindari kemungkinan buruk ini, keniscayaan
demokrasi multikultural perlu menjadi perhatian kita semua.
Yaitu demokrasi yang menghormati dan memperlakukan
secara adil setiap etnik, agama, dan kelompok-kelompok
sosial—betapapun kecilnya jumlah kelompok itu—yang
berada dalam suatu negara. Hak-hak asasi mereka pun tak
hanya diperhatikan, tapi harus dijunjung tinggi.
Maka para tokoh politik, cendekiawan, atau para
profesional yang berasal dari etnis atau agama minoritas tidak
perlu khawatir, apalagi takut, untuk ikut berkiprah dalam
gelanggang politik praktis. Bahwa dalam politik ada kalanya
menang dan kalah bukan persoalan yang perlu dihindari,
karena demokrasi memang meniscayakan itu. Menang kalah
tak selamanya disebabkan karena faktor etnis atau agama.
Dalam masyarakat politik yang belum rasional, demokrasi
berkembang atas dasar kepentingan primordialisme, yang
kemudian melahirkan, antara lain pola kepemimpinan
politik dinasti. Semakin maju suatu masyarakat, akan
semakin sadar bahwa yang dibutuhkan demokrasi bukan
kepentingan primordialisme melainkan profesionalisme yang

87
JEFFRIE GEOVANIE

mengacu pada kualitas (keahlian), juga pada sejauh mana


mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan.
Siapa pun yang memiliki hubungan relasional yang baik
di tengah-tengah masyarakat maka ia akan memiliki banyak
teman dan pendukung, walau dirinya berasal dari etnis atau
agama minoritas. Contoh paling nyata dalam kasus ini adalah
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang lekat dengan status
minoritas ganda, agama dan etnis. Tapi karena ia memiliki
modal sosial yang baik, ia terpilih menjadi pemimpin di
tengah-tengah masyarakat yang sejatinya secara emosional
kurang menyukai dua status yang melekat pada Ahok.
Sistem demokrasi yang telah mengantarkan Ahok menjadi
pemimpin. Pertimbangan-pertimbangan rasional telah
mematahkan hubungan-hubungan emosional. Kesuksesan
Ahok menjadi contoh yang terus dicari untuk mendapatkan
“ilmu” yang tepat bagaimana caranya menjadi pemimpin.
Modal sosial yang dimiliki Ahok telah meruntuhkan batasan-
batasan emosional yang jika tidak diruntuhkan akan menjadi
penghalang utama demokratisasi.
Akankah modal sosial yang dimiliki Ahok bisa
mengantarkannya pada jenjang kepemimpinan yang lebih
tinggi seperti kursi Presiden RI? Wallahu’alam. Yang pasti
sejauh ia tetap konsisten mengimplemantasikan nilai-nilai
kemanusiaan maka sejauh itu pulalah ia akan tetap memiliki
banyak pengikut dan pendukung. (GeoTIMES, 02-09
September 2015)

88
2. FENOMENA AHOK
Dalam kasus Ahok, justru lembaga eksekutif berfungsi menjadi
pengontrol lembaga legislatif.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok


bisa menjadi fenomena politik baru di tanah air. Bukan
sekadar menjadi tokoh yang mampu menerobos sekat-
sekat perbedaan ras dan agama sejak masih menjadi
Bupati Belitung Timur, Bangka Belitung, tapi juga menjadi
pelopor pencegahan korupsi yang menurut Presiden Joko
Widodo (Jokowi) harus banyak diperankan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tentu, kepeloporan Ahok ini baru bisa diakui jika
berhasil “mengalahkan” Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dalam kasus dugaan upaya penyalahgunaan anggaran
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI
Jakarta tahun 2015 yang nilainya diduga bisa mencapai 12
triliun rupiah lebih atau lebih banyak dua kali lipat dari
kasus penyalahgunaan bail out Bank Century yang berhasil
mengguncang perpolitikan di negeri ini.
Selama ini, kepala daerah relatif tunduk di hadapan
DPRD, atau setidaknya selalu bekerja sama dalam banyak
hal, termasuk dalam dugaan kongkalikong penyalahgunaan
APBD. Ahok tampaknya ingin keluar dari pola hubungan
kepala daerah-DPRD yang cenderung koruptif ini.

89
JEFFRIE GEOVANIE

Langkah Ahok ini menarik karena ia bukanlah kepala


daerah yang memiliki dukungan politik besar. Sebagai kepala
daerah, Ahok sudah melepaskan diri dari Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) yang mendukungnya pada saat
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bersama Jokowi.
Sebagai kepala daerah yang tak memiliki dukungan
politik dari DPRD, sangat mungkin ia akan kalah telak jika
berkonflik dengan DPRD. Tapi karena ia mampu meyakinkan
publik dengan langkahnya yang berusaha menghapus
penyalahgunaan uang negara, Ahok pun berhasil meraih
simpati rakyat yang kemudian secara suka rela mendukung
langkah-langkahnya. Tidak mendapatkan dukungan politik
di DPRD, Ahok mendapat dukungan kuat dari rakyat.

Anomali
Fenomena Ahok bisa menjadi anomali karena dalam
tataran politik yang normal, lembaga legislatiflah yang
berperan mengontrol lembaga eksekutif agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang, jabatan, dan kekuasaan untuk
kepentingan-kepentingan yang tidak ada kaitan dengan
kepentingan rakyat. Dalam kasus Ahok, justru lembaga
eksekutif berfungsi menjadi pengontrol lembaga legislatif.
Jika Ahok berhasil, ia akan menjadi preseden yang baik
dalam perpolitikan di tanah air. Bahwa upaya pemberantasan
korupsi bisa dilakukan siapa pun, termasuk oleh lembaga yang
selama ini dipersepsi justru menjadi objek pemberantasan

90
FENOMENA AHOK

korupsi. Ini bisa menjadi pola baru yang konstruktif dalam


relasi hubungan legislatif-eksekutif.
Selain itu, Ahok juga bisa menghadirkan anomali jika
ia benar-benar berhasil menghadirkan tata cara pengelolaan
dana (anggaran) pemerintah secara transparan dan akuntabel
melalui e-budgeting yang digagasnya sejak masih sebagai
Wakil Gubernur berpasangan dengan Jokowi.
Akuntabilitas penggunaan anggaran dana sudah biasa
dilakukan Ahok pada saat menjadi anggota DPR RI dan
beberapa anggota DPR RI yang lain pun sudah ada yang
melakukannya, tapi sebagai Gubernur yang mengelola
birokrasi berskala besar, akuntabilitas pengelolaan anggaran
menjadi langkah yang masih relatif langka di negeri ini. Jika
berhasil, bisa menjadi pola baku bagi kepala daerah yang
lain.

Rakyat vs Wakil Rakyat


Antara rakyat dan wakil rakyat seharusnya punya
aspirasi politik yang sama, karena siapa pun tak bisa
menduduki jabatan sebagai wakil rakyat tanpa dukungan
rakyat. Sayangnya, dalam praktik, wakil rakyat sering
kali mengkhianati aspirasi rakyat. Pada saat wakil rakyat
mengkhianati aspirasi rakyat, kepada siapa lagi rakyat akan
memberikan dukungan agar aspirasinya bisa tersalurkan?
Di DKI Jakarta, Ahok berhasil menjadi “wakil rakyat”
dalam menghadapi wakil rakyat yang mengkhianati aspirasi

91
JEFFRIE GEOVANIE

rakyat. Maka pada saat ada upaya DPRD untuk melengserkan


dirinya melalui pengajuan Hak Angket, rakyat—terutama
warga Jakarta—bahu membahu untuk membelanya dengan
cara melakukan perlawanan pada DPRD.
Petisi agar Ahok membongkar dan menghabisi mafia
anggaran DKI Jakarta mendapat dukungan luar biasa.
Jumlahnya sudah ribuan dan tak hanya dari warga Jakarta.
Jika Petisi ini berhasil direalisasikan, tentu akan menjadi
sejarah baru, seorang Gubernur bisa berhadapan/melawan
seluruh anggota DPRD.
Implikasi positifnya, kepala daerah (baik gubernur,
bupati, atau walikota) jika merasa benar, tidak perlu takut
menghadapi segala kemungkinan yang berupaya menjatuhkan
dirinya, baik melalui hak angket, hak interpelasi, atau cara-
cara lain yang bisa ditempuh anggota DPRD atau pihak lain
yang tidak menyukai langkah-langkah kepala daerah.
Secara politik, kepala daerah dan DPRD mempunyai
legitimasi yang sama karena masing-masing sama-sama
dipilih langsung oleh rakyat melalui proses Pemilu yang sah.
Legitimasi politik kepala daerah ini penting diketengahkan
karena banyak anggota DPRD yang melupakannya, seolah-
olah hanya dirinyalah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Karena legitimasi politiknya sama kuat, masing-masing
harus mempunyai keberanian untuk saling mengoreksi
dan mengontrol agar semuanya berjalan di jalur yang benar
sesuai aspirasi rakyat. Meskipun secara formal kelembagaan
kewenangan mengontrol ada di tangan legislatif, namun jika

92
FENOMENA AHOK

ternyata legislatif yang melakukan penyimpangan, eksekutif


pun bisa mengontrol legislatif.
Jadi yang bisa mewakili rakyat bukan hanya wakil rakyat,
kepala daerah pun bisa berfungsi menjadi wakil rakyat untuk
mengontrol lembaga legislatif yang bertentangan dengan
aspirasi rakyat. Inilah dampak positif dari fenomena Ahok
berhadapan dengan DPRD DKI Jakarta. (Sinar Harapan, 06
Maret 2015)

93
3. ANOMALI AHOK
selama menjadi pejabat negara, Ahok tidak pernah mau
menerima imbalan dari pihak mana pun kecuali gaji yang ia
terima secara resmi.

Secara etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia


(KBBI), anomali berarti ketidaknormalan; penyimpangan
dari yang normal. Secara terminologis, anomali diartikan
sebagai suatu keganjilan, keanehan atau penyimpangan
dari yang biasa atau dari keadaan normal yang berbeda dari
kondisi mayoritas.
Anomali merupakan fenomena yang bisa terjadi dalam
banyak kasus (cabang ilmu pengetahuan), misalnya dalam
kondisi cuaca, suhu udara dan arah angin (meteorologi
dan geofisika), dalam kondisi fisik dan kejiwaan seseorang
(psikologi), dalam penyimpangan harga-harga (ekonomi),
dalam perubahan sosial dan masyarakat (sosiologi), dan
dalam prilaku politik seseorang (politik).
Contoh, kondisi cuaca disebut anomali jika banyak
turun hujan pada bulan-bulan musim kemarau (di daerah
tropis seperti Indonesia biasanya antara April-September);
atau seseorang yang karena serangan penyakit tertentu secara
medis usianya diperkirakan kurang dari setahun ternyata bisa
survive hingga puluhan tahun; dan sebagainya.

94
ANOMALI AHOK

Secara politik bisa disebut anomali ketika terdapat


penyimpangan dari kelaziman dan aksioma atau norma
politik yang sudah berlaku secara umum. Misalnya, jika
terdapat pemimpin yang memiliki kekuasaan absolut
tapi bersih dari korupsi maka ia disebut anomali karena
secara umum terdapat aksioma politik bahwa kekuasaan
itu cenderung korup, tetapi kekuasaan yang absolut akan
korup secara absolut (power tends to corrupt but absolute
power corrupts absolutely). Karena aksioma yang berasal
dari negarawan Inggris Lord Acton (1834-1902) ini sudah
dipercaya kebenarannya maka penyimpangan atas aksioma
ini bisa disebut anomali.
Kalau kita cermati, prilaku politik Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara umum bisa kita
sebut sebagai anomali karena ia “menyimpang” dalam banyak
hal. Misalnya, sebelum menjadi populer seperti sekarang,
Ahok pernah terpilih menjadi Bupati di Belitung Timur, salah
satu Kabupaten di Provinsi Bangka Belitung yang mayoritas
penduduknya Muslim.
Keterpilihan Ahok menjadi anomali karena pada
umumnya penduduk akan memilih pemimpin yang seagama
dengan dirinya, apalagi masih terdapat pula keyakinan bahwa
bagi seorang Muslim haram hukumnya memilih pemimpin
non-Muslim. Ahok adalah pemimpin non-Muslim yang
terpilih beberapa kali (satu kali untuk mengisi kursi DPRD,
satu kali untuk kursi Bupati, dan satu kali untuk kursi DPR

95
JEFFRIE GEOVANIE

DRI) dalam masyarakat (daerah pemilihan) yang mayoritas


Muslim.
Selama menjadi anggota DPR RI, Ahok tidak pernah
memanfaatkan uang negara seperti uang reses di luar
peruntukannya. Jika terdapat sisa dari uang yang diterima
(karena tidak ada lagi kegiatan yang harus dibiayai dari uang
negara) maka uang itu akan ia kembalikan ke kas negara.
Selain itu, selama menjadi pejabat negara, Ahok tidak pernah
mau menerima imbalan dari pihak mana pun kecuali gaji
yang ia terima secara resmi. Kebiasaan yang “tidak biasa”
ini sudah ia lakoni sejak belum ada undang-undang yang
melarang gratifikasi.
Ketika memimpin provinsi DKI Jakarta (baik sebagai
Wakil Gubernur yang mendampingi Joko Widodo, atau
sebagai Gubernur), anomali Ahok kian banyak diketahui
publik karena selain ia selalu merekam dan mengunggahnya
ke media sosial youtube setiap rapat yang ia lakukan bersama
jajaran dan staf-stafnya—terutama rapat-rapat yang akan
memutuskan hal-hal krusial—ia juga selalu menjadi sorotan
media. Apa pun yang Ahok lakukan saat ini, tidak pernah
luput dari incaran mata kamera dan liputan media.
Di antara anomali Ahok yang banyak menjadi sorotan
publik adalah kebiasaannya mengumbar kemarahan di
muka umum. Ada norma yang berlaku secara umum bahwa
pemimpin adalah teladan bagi masyarakatnya. Karena
itu, pemimpin pada umumnya akan selalu menunjukkan

96
ANOMALI AHOK

kesantunan dalam bertutur kata dan berprilaku terutama


pada saat berada di muka umum.
Norma (pemimpin harus santun) tidak berlaku bagi
Ahok. Baginya, tidak ada kesantunan yang harus ia tunjukkan
di hadapan orang-orang yang dianggapnya koruptor dan
perampok uang rakyat. Menurut Ahok, kemarahan adalah
“kesantunan” bagi orang-orang yang dianggapnya jahat.
Dan anomali Ahok yang sekarang sedang happening
atau sedang in di belantara perpolitikan nasional adalah
kontrolnya terhadap lembaga legislatif (DPRD DKI). Dalam
norma yang umum, yang memiliki fungsi kontrol (fungsi
pengawasan) adalah lembaga legislatif, dan yang dikontrol
adalah lembaga eksekutif sebagaimana diatur dalam
konstitusi negara (UUD 1945).
Ahok membalik fungsi itu, sebagai Gubernur (pejabat
eksekutif) ia mengontrol legislatif (DPRD DKI) dengan cara
mengoreksi total APBD yang diajukan DPRD dan menandai
satu per satu mata anggaran yang diduga kuat menjadi lahan
korupsi. APBD yang ia koreksi itu tidak ia kembalikan ke
DPRD untuk disahkan, malah ia setorkan langsung ke
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan melaporkan
kemungkinan terjadinya korupsi ke Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Secara prosedural, Ahok dianggap salah, tetapi ia
sengaja melakukan itu karena tidak mau berkompromi atau
bernegosiasi dengan DPRD yang dianggapnya menjadi sarang
korupsi. (Padeks, 10 Maret 2015)

97
4. “KEKEJAMAN” AHOK
Ia kejam terhadap siapa pun yang dianggap tidak bisa bekerja
dengan benar.

“Kekejaman” ditulis dalam tanda petik untuk menggam-


barkan bahwa kata “kejam” tak selamanya negatif. Kata
“kejam” di sini mirip dengan kata “killer” dalam “dosen
killer” untuk menggambarkan seorang pengajar di perguruan
tinggi yang memegang disiplin secara ketat dan menghukum
siapa pun dari mahasiswa yang berbuat kesalahan.
Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok
merupakan gubernur “kejam”. Ia kejam terhadap siapa pun
yang dianggap tidak bisa bekerja dengan benar. Untuk para
pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemerintah daerah
(Pemda) DKI Jakarta yang mengabaikan tugas-tugasnya,
yang mempermainkan aturan main sehingga menelantarkan
warganya, maka Ahok tidak segan-segan mengeluarkan
sanksi hukuman atau bahkan pemecatan.
Karena seringnya mengeluarkan kata-kata ancaman maka
tak ayal Ahok dianggap kejam. Kekejaman Ahok terkenal
karena ia tak segan-segan meluapkan kemarahan di depan
umum, termasuk membentak stafnya yang salah memberikan
informasi pada saat berlangsung rapat rekonsiliasi Pemda dan
DPRD yang difasilitasi Kementerian Dalam Negeri belum
lama ini.

98
“KEKEJAMAN” AHOK

Tapi perlu dicatat, sebagai pimpinan, pada dasarnya


Ahok tetap bersikap proporsional. Artinya ia bersikap kejam
untuk yang nakal dan tidak becus bekerja, tapi ia juga
pemurah untuk PNS yang taat aturan main dan bisa bekerja
dengan baik. Sebagai penghargaan pada mereka yang mampu
bekerja dengan baik, maka secara umum Ahok menetapkan
remunerasi yang relatif tinggi untuk PNS DKI Jakarta.
Perilaku Ahok mengingatkan kita pada kata-kata salah
seorang motivator terkemuka di negeri ini, Mario Teguh,
yang mengatakan, “lebih baik dikira kejam saat memajukan
kebaikan, daripada dikira penyayang tapi menyembunyikan
ketidakjujuran.” Artinya, kekejaman bisa konstruktif ketika
diterapkan sesuai kebutuhannya.
Kekejaman bisa positif, sebaliknya rasa sayang bisa sangat
negatif. Kekejaman yang positif adalah yang digunakan
untuk menjaga kedisiplinan, untuk menegakkan keadilan.
Penerapan hukuman mati adalah salah satu contoh yang
kini tengah banyak menjadi sorotan. Hukuman ini dinilai
kejam, tak berperikemanusiaan, dan melanggar hak-hak
asasi manusia (HAM) karena tidak memberikan hak hidup
pada seseorang pelanggar hukum.
Karena melanggar HAM itulah, ada sejumlah negara yang
sudah menghapus hukuman mati dan menggantinya dengan
hukuman seumur hidup atau yang setara dengannya. Tapi
masih banyak juga negara-negara yang tetap memberlakukan
hukuman mati termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.

99
JEFFRIE GEOVANIE

Jika kekejaman bisa bernilai positif maka rasa kasih sayang


pun bisa bernilai negatif, misalnya pada saat memberikan
rasa kasih sayang pada orang yang tidak tepat. Kepada para
pelanggar hukum, penerapan kasih sayang bukanlah solusi
yang tepat, malah sebaliknya menjadi negatif karena bisa
mengenakkan mereka yang melanggar hukum. Pemberian
hukuman kepada para pelanggar hukum dinilai kejam tidak
apa-apa. Bahkan bisa menjadi keharusan karena kekejaman
bisa menimbulkan efek jera kepada para pelanggar hukum.
Kekejaman Ahok, jika bisa dikatakan demikian, adalah
sebagai upaya untuk menegakkan aturan main, dan cara
ini dinilai tepat untuk diterapkan di Jakarta, wilayah yang
sudah terkenal sebagai tempat berkumpulnya para bandit
dan preman. Jika memerintah Jakarta bisa dilakukan dengan
penuh kelembutan dan kasih sayang, tentu Ahok akan
melakukannya, tapi nyatanya Jakarta butuh ketegasan sikap,
butuh nyali besar karena yang dihadapi adalah para preman,
para bandit yang siap merampok uang rakyat kapan saja.
Menghadapi para bandit, Ahok tidak butuh basa basi, ia
harus tegas. Dan untuk ketegasan sikapnya itu Ahok tidak
takut dibenci orang. “Dibenci orang karena kita melanggar
aturan, baru kita takut. Kalau kita dibenci orang karena
menegakkan aturan, berarti orang yang membenci kita
adalah orang yang melanggar aturan.”
Itulah Ahok, cara berpikirnya rasional. Ia menyadari betul
bahwa setiap sikap yang ia tunjukkan di hadapan publik ada
risikonya. Sering tampak marah-marah, risikonya pasti ada

100
“KEKEJAMAN” AHOK

yang membenci. Tapi biarlah publik tahu kenapa dia marah-


marah. Kemarahan yang timbul karena ia menyaksikan
pelanggaran hukum di depan mata, maka itulah kemarahan
yang sudah seharusnya.
Rakyat harus mendapatkan pelayanan yang baik,
itulah prinsipnya. Maka ia akan marah kepada dokter yang
menelantarkan pasien hanya karena tidak mampu membayar;
dan ia juga akan marah pada para staf Pemda yang tak bisa
melayani warganya dengan biak.
Ahok ingin membuktikan anggapan banyak orang
bahwa pejabat pasti korup, pejabat tidak pernah bekerja
benar-benar untuk rakyat, itu salah. Stigma itulah yang akan
dilawan Ahok, dan dia siap diuji bahwa sikapnya yang keras,
tampak “kejam” kepada staf, merupakan sikap yang benar,
karena hanya dengan cara itulah ia ingin menerapkan terapi
yang tepat untuk birokrasi Jakarta yang sarat korupsi dan
bertele-tele dalam melayani kebutuhan masyarakat. (Padeks,
17 Maret 2015)

101
5. MENCERMATI GAYA KOMUNIKASI
AHOK
Dalam suasana politik yang sangat longgar di mana etika dan
moral agama lebih banyak dibuang ke tempat sampah, gaya
komunikasi Ahok menemukan tempat yang tepat.

Secara garis besar ada dua karakteristik politisi yang


tampil di hadapan publik: pertama, politisi yang memiliki
karakter yang khas sehingga mudah dibedakan dari yang
lain; dan kedua politisi pengikut arus, tidak punya ciri khas,
karakternya sulit dibedakan dengan yang lain.
Untuk politisi karakter pertama, tanpa harus melihat
sosoknya secara langsung, hanya dari caranya bertutur baik
dengan bahasa lisan maupun tulisan, kita bisa menebaknya
dengan tepat. Sebaliknya untuk karakter kedua, jika yang
ditampilkan hanya gaya bahasanya (baik lisan maupun
tulisan) tanpa melihat langsung sosoknya, maka kita bisa
terkecoh dan salah tebak.
Di antara contoh politisi berkarakter adalah Soekarno.
Sebagai orator, presiden pertama RI ini punya gaya yang
khas yang tidak dimiliki oleh tokoh politik mana pun.
Maka pada saat kita menyimak pidato-pidatonya, meskipun
dengan suara yang disamarkan dan tanpa melihat langsung
orangnya, kita akan mudah menebak bahwa itulah Soekarno.

102
MENCERMATI GAYA KOMUNIKASI AHOK

Dalam rentang sejarah yang kita miliki, semua pemim-


pin puncak (Presiden), dari Soekarno hingga Joko Widodo
(Jokowi), memiliki karakter yang khas, terutama dari gaya
komunikasinya. Semuanya bisa diidentifikasi dan mudah
ditiru gayanya. Semua punya ciri khas sehingga segenap
rakyat bisa dengan mudah membedakan antara yang satu
dengan yang lain.
Selain contoh para presiden, Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, merupakan politisi yang
bisa dikategorikan memiliki ciri khas, terutama dari gaya
komunikasinya dengan bahasa yang ceplas-ceplos, lugas, dan
bahkan kerap menggunakan kata-kata yang dianggap kasar.
Dalam acara interview yang disiarkan secara langsung (live)
oleh salah satu televisi swasta baru-baru ini misalnya, Ahok
beberapa kali melontarkan kata-kata yang mungkin untuk
sebagian orang dinilai kurang layak ucap, misalnya dengan
menyebut kata (maaf) “tai”, “bego”, dan “goblog”.
Jika kita melihat kata-kata itu an sich (secara otonom),
maka akan lahir kesimpulan bahwa kata-kata Ahok itu sangat
kasar dan tidak layak diucapkan oleh seorang pemimpin.
Namun jika dikaitkan dengan konteks budaya yang mengitari
dan mempengaruhinya, kita mungkin akan bisa menilainya
secara lebih proporsional.
Untuk mencermati gaya komunikasi dan maknanya
secara lebih tepat, ada baiknya kita merujuk salah satu
antropolog terkemuka berkebangsaan Amerika, Edward
Twitchell Hall, Jr (1914-2009) yang banyak meneliti

103
JEFFRIE GEOVANIE

tentang gaya komunikasi yang berkembang di tengah-tengah


masyarakat baik secara verbal maupun nonverbal.
Menurut Hall, sebagaimana diurai Tjipta Lesmana (2009),
kebudayaan manusia secara global dibagi dalam dua ketegori,
yaitu kebudayaan konteks tinggi (high context culture)
dan konteks rendah (low context culture). Kebudayaan
konteks tinggi menghasilkan komunikasi konteks tinggi,
dan kebudayaan konteks rendah menghasilkan komunikasi
konteks rendah.
Komunikasi dikatakan konteks tinggi pada saat
disampaikan dengan kata-kata bersayap, tidak mudah
ditebak maknanya kecuali dengan memahami terlebih
dahulu budaya dari orang yang menyampaikan kata-kata
itu (komunikator). Sebaliknya dalam komunikasi konteks
rendah, komunikan (audience) tidak mengalami kesulitan
memahami pesan yang disampaikan komunikator karena
kata-katanya jelas, terang, lugas, dan to the point.
Di antara contoh tokoh politik yang secara umum
memiliki gaya komunikasi konteks tinggi adalah Soeharto,
Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Megawati Soekarnoputeri.
Dalam banyak kesempatan, ketika ketiga pemimpin ini
berbicara di hadapan publik, biasanya menggunakan
istilah dan ungkapan yang bersayap, kerap dirangkai dalam
kalimat yang terstruktur, tertib, dan berdisiplin tinggi dalam
penggunaan tata bahasa.
Di tengah-tengah masyarakat, ungkapan-ungkapan
berkonteks tinggi hanya bisa dipahami secara tepat melalui

104
MENCERMATI GAYA KOMUNIKASI AHOK

penafsiran akademis dengan memperhatikan konteks di


mana dan pada saat apa ketiganya berbicara yang kemudian
dikaitkan dengan budaya Jawa (tempat ketiga tokoh ini
berasal).
Sementara contoh tokoh politik yang cenderung
memiliki gaya komunikasi konteks rendah adalah Soekarno,
Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Jokowi.
dan Jusuf Kalla. Tokoh-tokoh ini gaya bahasanya lugas,
mudah dipahami, dan blak-blakan. Untuk memahami kata-
kata para pemimpin ini, tidak diperlukan penafsiran yang
kompleks.
Lantas, di manakah posisi Ahok? Menurut saya, mantan
Bupati Belitung Timur ini memiliki gaya komunikasi konteks
rendah “paling ujung”, atau dalam bahasa lain bisa dikatakan
berada pada titik ekstrem komunikasi konteks rendah.
Tokoh lain yang memiliki gaya bahasa agak mirip dengan
Ahok adalah Ali Sadikin yang dalam berkomunikasi juga
kerap mengeluarkan kata-kata yang kalau dibaca secara
leterlek bisa kurang senonoh, seperti dengan menyertakan
“penghuni kebun binatang” (monyet).
Dalam suasana politik yang sangat longgar di mana
etika dan moral agama lebih banyak dibuang ke tempat
sampah, gaya komunikasi Ahok menemukan tempat yang
tepat. Pada saat kejahatan korupsi sudah merasuk ke semua
lini kehidupan (terutama birokrasi), dan para begal sudah
terang-terangan beraksi di keramaian, gaya komunikasi yang
lugas dan bahkan cenderung kasar sangat dibutuhkan.

105
JEFFRIE GEOVANIE

Ada dua alasan pokok pentingnya gaya komunikasi


Ahok, pertama, tampilnya para koruptor “muka tembok”
yang bisa tersenyum ceria dalam balutan busana “tahanan
KPK”. Di hadapan mereka, yang mungkin masih banyak
berkeliaran di sekeliling kita, nasihat dengan kata-kata santun
tidak ada gunanya, apalagi dengan bahasa konteks tinggi
yang bersayap. Yang mereka butuhkan hanyalah ungkapan
yang lugas dan langsung menohok.
Kedua, tampilnya banyak pengamat, terutama dari
kalangan ahli hukum yang bisa menafsirkan secara canggih
setiap aturan main sesuai dengan kepentingannya sehingga
mampu menyamarkan atau bahkan menyembunyikan
fakta-fakta pelanggaran (kejahatan) di balik penafsiran yang
terkesan akademis. Untuk mengimbangi mereka inilah,
dibutuhkan ungkapan yang terang benderang, yang tidak
bisa ditutup-tutupi dengan isu moralitas, ras, agama, dan
sopan santun.
Ada ungkapan bijak mengatakan, setiap tempat memiliki
kata-kata yang tepat dan setiap kata-kata memiliki tempat
yang tepat. Gaya komunikasi Ahok, yang mungkin untuk
sebagian orang dinilai kasar dan tidak sopan, barangkali
sangat tepat untuk menghadapi realitas politik yang memang
sudah tidak beradab. Wallahu a’lam! (Sinar Harapan, 20
Maret 2015)

106
6. MENGGUSUR ALA BASUKI
Seperti kemoterapi yang belum tentu bisa menyembuhkan
penyakit kanker secara total, relokasi warga juga belum tentu
bisa mengatasi masalah secara menyeluruh.

Kata “gusur” pernah menimbulkan trauma bagi Presiden


Joko Widodo. Pasalnya, saat masih kanak-kanak, rumah
orang tuanya yang berada di pinggir kali digusur hingga
memaksa Jokowi kecil dan kedua orang tuanya pindah ke
kontrakan lain. Pada era rezim Orde Baru, menggusur sudah
identik dengan tindakan sewenang-wenang penguasa yang
menyengsarakan rakyat kecil.
Pengalaman masa kecil itulah antara lain yang membuat
Jokowi sangat berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan
yang berimplikasi pada upaya “memindahkan penduduk”
dari satu tempat ke tempat lainnya, termasuk pada saat
memindahkan pedagang kaki lima (PKL) baik pada saat
menjadi Walikota Kota Solo maupun pada saat menjadi
Gubernur DKI Jakarta.
Dalam merelokasi penduduk, Jokowi menggunakan
filosofi “memangku”. Siapa pun, pada saat dipangku, pasti
merasa nyaman. Tapi, cara-cara yang dilakukan Jokowi di
DKI Jakarta, tidak dipakai oleh suksesornya, Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok. Maklum, Ahok bukan orang Jawa yang

107
JEFFRIE GEOVANIE

lemah lembut. Ahok lahir dan besar di Gantung, Belitung,


dengan budaya yang sama sekali berbeda dengan Jawa.
Untuk sebagian kalangan, cara-cara yang ditempuh Ahok
cenderung kasar, seolah-olah seperti menyengaja mencari
musuh. Maka pada saat melanjutkan kebijakan Jokowi untuk
merelokasi penduduk yang berada di sekitar bantaran Kali
Ciliwung, Ahok tak segan-segan melakukan penggusuran.
Setelah warga Kampung Pulo, Jakarta Timur, yang menjadi
korban penggusuran ala Ahok berikutnya adalah warga
Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Banyak protes keras ditujukan pada Ahok. Gubernur
DKI Jakarta yang juga mantan Bupati Belitung Timur ini
dianggap bertindak layaknya penjajah yang mengusir warga
dari kampung yang ditinggalinya secara turun-temurun. Yang
melakukan protes tidak hanya warga yang tergusur, tapi juga
warga dari tempat lain yang ikut berempati, dan (terutama)
para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
memang sudah terbiasa mengadvokasi warga (masyarakat
sipil) yang menjadi korban kebijakan pemerintah.
Tapi bukan Ahok kalau mundur saat diprotes. Ia tetap
bergeming walau kebijakannya digugat ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Ahok merasa yakin tindakannya
sudah benar. Keyakinannya bukan tanpa alasan. Sejak warga
Kampung Pulo direlokasi ke Rumah Susun Jatinegara Timur,
sudah tidak ada lagi keluhan tentang banjir, juga peringatan
dini, pada saat air di Bendungan Katulampa naik tinggi.

108
MENGGUSUR ALA BASUKI

Jajak Pendapat melalui telepon yang dilakukan Litbang


Kompas 14-15 November 2015 terhadap 461 responden yang
dipilih secara acak dari pemilik telepon yang berdomisili di
DKI Jakarta menunjukkan bahwa warga kota Jakarta sekarang
dinilai lebih siap menghadapi banjir dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Artinya, kebijakan-kebijakan
Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi bencana banjir dinilai
sudah tepat walaupun masih menyisakan sejumlah masalah.
Setiap kebijakan pemerintah sudah tentu hampir selalu
ada efek negatifnya, apalagi kebijakan penggusuran rumah-
rumah warga yang bisa menyebabkan penderitaan seketika
bagi para korbannya. Namun, ibarat meminum obat, rasa pahit
seketika itu sama sekali tidak sebanding dengan kesembuhan
yang menjadi efek positifnya. Penggusuran mungkin bisa
diibaratkan seperti kemoterapi yang sangat menyakitkan
tapi tetap harus dilakukan untuk menyembuhkan, atau
setidaknya bisa menumbuhkan harapan untuk sembuh.
Seperti kemoterapi yang belum tentu bisa menyem-
buhkan penyakit kanker secara total, relokasi warga juga
belum tentu bisa mengatasi masalah secara menyeluruh.
Warga yang sudah pindah ke tempat baru, mungkin saja
di antaranya masih tetap menghadapi masalah. Begitu
juga dengan ancaman banjir yang tentu akan tetap ada
meskipun bantaran kali Ciliwung sudah dibersihkan dari
pemukiman warga. Tapi yakinlah, meskipun caranya
mungkin menyakitkan, jika tujuannya untuk kebaikan yang
lebih luas, kebijakan relokasi tidak ada salahnya dilakukan.

109
JEFFRIE GEOVANIE

Penggusuran, atau bahasa yang lebih halus, relokasi,


mutlak harus ditentang pada saat tidak bertujuan untuk
kemaslahatan (kebaikan), misalnya dilakukan untuk tujuan
membangun mal, hotel, apartemen mewah, atau resort, yang
sama sekali tidak bisa dinikmati oleh warga yang tergusur.
Zaman boleh saja berganti, cara-cara penggusuran ala
Orde Baru ini masih tetap ada hingga saat ini, terutama
di daerah-daerah yang kepala daerahnya berambisi meng-
ejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa
memedulikan nasib warganya.
Apakah penggusuran ala Ahok bisa disamakan dengan
penggusuran ala Orde Baru? Semua orang bebas menilai.
Ada kalangan yang menganggapnya lebih buruk dari cara-
cara yang ditempuh Orde Baru, tapi ada juga yang menilai
jauh lebih baik atau bahkan tidak bisa dibandingkan karena
tujuannya yang berbeda.
Yang pasti, dalam sejumlah jajak pendapat mengenai
kinerja Ahok, secara umum nilainya bagus. Bahkan, jika
Pilkada DKI Jakarta dilakukan saat ini, Ahok tetap jauh
mengungguli lawan-lawan politiknya seperti Abraham
Lunggana (Lulung) yang merasa yakin bisa mengalahkan
Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang. Bahkan
kepala-kepala daerah lain yang memiliki popularitas tinggi
seperti Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) dan Ridwan
Kamil (Walikota Bandung) diprediksi tidak akan mampu
mengalahkan Ahok di DKI Jakarta. (geotimes.co.id, 15
Januari 2016)

110
7. CARA PEMIMPIN MENJAWAB UJIAN
Jika ada orang yang mengeluh karena merasa tidak mampu
menghadapi ujian, sesungguhnya ia tengah menihilkan dirinya
sebagai makhluk Tuhan.

Manusia, secara alami, merupakan makhluk yang punya


kecenderungan suka mengeluh. Hanya orang-orang tertentu
saja, yang apabila dihadapkan pada suatu masalah, mampu
menghadapinya dengan tegar, dengan sikap optimistis.
Mereka itulah para pemimpin.
Tidak ada satu pun tokoh-tokoh besar yang menjadi
pemimpin dunia yang lepas dari ujian. Mahatma Gandhi,
Nelson Mandela, Soekarno, dan lain-lain, se pan jang
hidupnya penuh dengan ujian. Bahkan Nabi Muhammad
SAW—pemimpin yang menurut Michael H Hart paling
berpengaruh di dunia—sejak usia yang sangat dini, sudah
sarat dengan ujian, dari yang ringan hingga yang amat berat.
Sejarah hidup pemimpin merupakan rangkaian episode
penuh ujian. Tapi hanya pemimpin sejati yang menganggap
ujian sebagai tantangan untuk meraih kesuksesan. Siapa pun
baru bisa disebut sukses setelah lulus dari ujian. Yang tidak
lulus ujian disebut orang gagal. Jika dia seorang pemimpin,
sudah pasti bukan pemimpin yang sesungguhnya.
Untunglah Tuhan maha pengasih. Dalam kitab suci
(al-Quran) Dia berjanji tidak akan pernah memberi ujian

111
JEFFRIE GEOVANIE

pada makhluk-Nya kecuali sebatas kemampuan. Maka jika


ada orang yang mengeluh karena merasa tidak mampu
menghadapi ujian, sesungguhnya ia tengah menihilkan
dirinya sebagai makhluk Tuhan.
Oleh sebab itu, ibarat pepatah, semakin tinggi pohon,
semakin kencang pula tiupan angin yang menerpanya.
Ujian yang diberikan Tuhan pada manusia sudah pasti
sesuai kadarnya. Pemimpin biasa diberi ujian yang biasa,
dan pemimpin luar biasa akan diberi ujian yang luar biasa.
Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), dan Gubernur DKI
Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), adalah contoh di
antara sejumlah pemimpin kekinian yang sarat ujian. Sejak
masa kampanye hingga saat ini, Jokowi dan Ahok tak pernah
lepas dari ujian.
Pada masa kampanye, ujian terberat Jokowi adalah
penyebaran fitnah yang dilancarkan lawan-lawan politiknya.
Setelah menjadi Presiden, ujian yang dihadapinya jauh lebih
berat dan kompleks, bukan hanya fitnah, tapi juga tantangan
real di arena birokrasi yang korup dan penuh mafia.
Ujian Jokowi yang tidak kalah berat berupa tan-
tangan dari parlemen yang kerap menghadang program-
program yang telah dicanangkannya. Jika program berhasil
dihambat, Jokowi tak sekadar terancam gagal, tapi juga bisa
dicap pendusta karena ia tak bisa merealisasikan janji-janji
kampanyenya.
Mantan mitra Jokowi di Jakarta, Ahok, juga menghadapi
ujian yang sama. Birokrasi pemerintahan yang koruptif,

112
CARA PEMIMPIN MENJAWAB UJIAN

parlemen (DPRD DKI Jakarta) yang siap menghadang


program-programnya, dan tindakan rasis dari sejumlah
tokoh yang tak segan memperalat agama untuk kepentingan
politiknya. Belum lagi aktivis-aktivis lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang hanya melihat kulit luarnya dari
langkah-langkah Ahok dalam menertibkan bantaran kali
Ciliwung sehingga begitu mudahnya menuduh melanggar
kemanusiaan dan HAM.
Tuduhan serius inilah yang kemudian dikapitalisasi
untuk menolak kepemimpinan Basuki. Tagar #TolakAhok
pun dijadikan alat kampanye secara masif dan terus-menerus
direproduksi di jagat maya dan alam nyata. Kampanye
#TolakAhok dilakukan dengan melibatkan banyak kalangan,
bahkan termasuk mereka yang tak mengerti apa-apa.
Apakah kampanye yang mengandung banyak
kebohongan itu bisa berhasil? Sangat mungkin, jika publik
tidak segera menyadari kebohongan-kebohongan yang
ditampilkannya. Untuk membangkitkan kesadaran publik
itulah diperlukan langkah-langkah cerdas dan strategis.
Tidak perlu mengcounter dengan cara serupa, cukup dengan
langkah-langkah nyata.
Pertama, publik yang merasakan manfaat nyata dari
kebijakan-kebijakan Ahok selama memimpin Jakarta
seyogianya dibiarkan bersuara, memberi kesaksian,
menyodorkan fakta-fakta. Itulah salah satu cara jitu agar
Ahok bisa menghalau kebohongan-kebohongan yang terus
dikampanyekan lawan-lawan politiknya.

113
JEFFRIE GEOVANIE

Kedua, dengan bersilaturahim, menjalin hubungan baik


dengan banyak kalangan, para tokoh dan pemangku adat yang
masih memiliki integritas moral tinggi di mata masyarakat.
Pada saat kepercayaan sudah tertanam di sanubari tokoh-
tokoh ini, niscaya gempuran kebohongan yang dilontarkan
bertubi-tubi pun tidak akan mampu menggoyahkan posisi
Ahok.
Ketiga, dengan tetap berpegang teguh pada konstitusi,
pada prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Melenceng
sedikit saja dari prinsip-prinsip ini, akan terjerembab pada
aksioma sosiologis, sekali lancung ke ujian, seumur hidup
orang tak percaya. Kelemahan utama para penantang dan
penyerang Ahok adalah mereka yang pada umumnya sudah
lancung ke ujian.
Jika ketiga cara ini bisa dilakukan dengan baik, niscaya
antara loyang dan emas akan terlihat dengan jelas. Siapa
pemimpin sesungguhnya, Basuki atau mereka yang terus-
menerus menistanya? Publik pasti bisa menjawabnya secara
objektif. (GeoTIMES, 04-20 September 2015)

114
8. AHOK SEBAGAI SIMBOL PEMIMPIN
Kemampuannya bersikap independen, tanpa kompromi,
terutama saat berhadapan dengan kepentingan partai politik
yang cenderung menyandera, membuat Ahok memiliki kualitas
yang berbeda dari pemimpin-pemimpin lainnya.

Seorang pemimpin bisa lahir kapan saja, tanpa diduga-duga.


Siapa yang bisa menduga, misalnya, Joko Widodo tiba-tiba
terpilih menjadi Presiden RI, sementara banyak tokoh lain
yang jauh lebih populer karena sudah bertahun-tahun
mengampanyekan diri ternyata tidak kunjung terpilih.
Tapi sosok pemimpin seperti apa yang sebenarnya
lebih dibutuhkan bangsa ini? Menurut saya, Gubernur
DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang populer disapa
Ahok adalah (salah satu) sosok yang dibutuhkan bangsa ini.
Kemampuannya bersikap independen, tanpa kompromi,
terutama saat berhadapan dengan kepentingan partai politik
yang cenderung menyandera, membuat Ahok memiliki
kualitas yang berbeda dari pemimpin-pemimpin lainnya.
Sejak Presiden Soeharto lengser hingga saat ini, belum
ada sosok Presiden RI yang benar-benar independen dan
terbebas dari kepentingan partai politik. Bahkan Presiden
Joko Widodo yang pada awalnya berkomitmen untuk tidak
berkompromi dengan partai-partai akhirnya toh “menyerah”

115
JEFFRIE GEOVANIE

dan mengakomodasi kepentingan partai-partai yang


tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Barangkali hanya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) yang sedikit independen meskipun ia sendiri berasal dari
partai politik. Gus Dur mampu melawan kepentingan partai-
partai yang tidak sejalan dengan dirinya. Tapi sayangnya,
perlawanan Gus Dur itu berujung pada pemakzulan dirinya.
Mungkin karena belajar dari kasus Gus Dur itulah,
presiden-presiden berikutnya lantas melakukan banyak
kompromi. Koalisi digalang sebesar-besarnya di parlemen
untuk memberikan dukungan penuh pada presiden. Tak
peduli apakah partai yang diajak berkoalisi memiliki visi
dan misi yang sama atau tidak. Bahkan yang memiliki
kecenderungan ideologi yang berbeda pun tetap diajak
dalam satu koalisi.
Hasilnya apa? Presiden tersandera kepentingan partai-
partai. Pada saat hendak mengambil keputusan, termasuk
yang sangat krusial dan berkaitan langsung dengan
kepentingan rakyat, presiden selalu ragu-ragu. Pertimbangan
politik selalu dikedepankan dan dianggap lebih penting dari
aspirasi dan kepentingan rakyat.
Akibat dari pembentukan koalisi kompromistis itulah,
selain menyandera presiden, juga ada partai yang bersikap
mendua. Kakinya berpijak di ranah koalisi pemerintah,
namun pandangan-pandangan politiknya bertentangan
dengan pemerintah (oposisi). Karena itulah, muncul istilah
yang sangat populer, “koalisi rasa oposisi”. Artinya memang

116
AHOK SEBAGAI SIMBOL PEMIMPIN

ada partai yang “menikmati” kursi kabinet namun kader-


kadernya yang ada di parlemen hampir selalu tidak sejalan
dengan pemerintah.
Praktik politik dua kaki ini merupakan preseden buruk,
baik bagi partai politik yang bersangkutan maupun bagi
pemerintah. Secara sistemik, sikap partai semacam itu bisa
menghambat proses demokratisasi. Sikapnya tidak elegan.
Ibarat kata pepatah, hanya mau makan nangka (manisnya)
tanpa mau terkena getahnya (pahitnya). Secara etis, sikap
seperti ini tidak bisa dibenarkan.
Akibat dari sikap para presiden yang kompromistis
itulah, negeri ini sulit melakukan akselerasi pembangunan.
Penyebabnya karena kebijakan-kebijakan pembangunan
dari pemerintah selalu mendapatkan kritikan atau bahkan
penolakan dari parlemen, termasuk dari kader-kader partai
koalisi.
Karena itulah kita butuh sosok pemimpin seperti Ahok
yang pemberani dan tidak mau kompromi. Dalam banyak
kesempatan, Ahok selalu menegaskan akan tetap membela
Pancasila dan UUD 1945 walaupun risikonya harus mati.
Banyak partai politik berkomitmen menjunjung tinggi
Pancasila dan UUD 1945. Namun dalam praktiknya, boleh
dikatakan masih nol. Pada saat terjadi kasus penistaan agama
atau penistaan madzhab suatu agama, partai-partai diam
seribu bahasa. Partai-partai mencari selamat dan cenderung
memberi dukungan pada penistaan itu. Komitmen

117
JEFFRIE GEOVANIE

menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 hanya jadi


komoditas politik dari partai-partai.
Kita butuh sosok pemimpin seperti Ahok yang selalu
bicara terus terang, yang bisa marah seketika pada saat
melihat ketidakberesan. Ahok menjadi simbol pemimpin
dengan karakteristik yang khas, yang sangat dibutuhkan
Indonesia saat ini.
Keanekaragaman suku, bahasa, budaya, dan agama satu
sisi membawa berkah karena Indonesia menjadi negara yang
kaya budaya, kaya nuansa, dan warna-warni yang indah. Tapi
di sisi lain, keragaman itu kerap menjadi pemicu gesekan,
baik berupa gesekan fisik hingga politik.
Banyak kasus warga negara terusir dari kampungnya
sendiri. Ia dinistakan, semata-mata karena memiliki
keyakinan yang berbeda dengan mayoritas penduduk
yang ada di kampung itu. Suatu sikap yang disadari atau
tidak telah mengoyak keutuhan bhineka tunggal ika, dan
mencampakkan Pancasila dan UUD 1945 yang memberi hak
pada setiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan.
Terlalu banyak masalah yang dihadapi negeri ini. Untuk
membenahinya dibutuhkan presiden yang benar-benar tanpa
kompromi seperti Ahok. Memiliki komitmen tinggi menjaga
konstitusi, pemberani, dan bersih dari korupsi. Siapa dia?
Bisa Ahok sendiri, bisa juga orang lain yang memiliki sifat
dan sikap yang sama seperti Ahok. (GeoTIMES, 08-14 Juni
2015)

118
9. NYALI SEORANG PEMIMPIN
Penyebab utama tidak adanya nyali para pejabat adalah
karena takut kehilangan popularitas, terutama di mata para
pemilihnya, sehingga berujung pada hilangnya jabatan.

Syarat mutlak menjadi pemimpin, selain memiliki


kemampuan kongnitif (ilmu yang memadai), yang tidak
kalah penting adalah memiliki keberanian yang berada di atas
rata-rata, karena pada saat memimpin akan ada tantangan
yang harus dihadapi, dari yang ringan hingga yang paling
berat. Para pengecut tidak akan mampu menghadapinya.
Pada saat warga di sekitar jalan Fatmawati, Jakarta
Selatan, menolak keras pembangunan Mass Rapid Transit
(MRT) yang dianggap menciptakan kawasan kumuh, Basuki
Tjahaja Purnama tetap bersikukuh dengan mengatakan:
“Sekarang saya mau pentingkan seluruh DKI bukan
sekelompok yang memilih saya. Anda tidak mau memilih
saya silakan. Sumpahin saja tujuh turunan tidak usah pilih
saya. Saya juga rela.”
Menurut Ahok, ada dua tantangan untuk mengurus
Jakarta, pertama adalah mempunyai nyali untuk mengambil
keputusan, mengeksekusi masalah yang terjadi seperti dalam
mengatasi kemacetan atau dalam mengatasi banjir, dan
(kedua) tak tergoda suap.
Mengambil keputusan bukan perkara mudah, apalagi bagi
seorang pemimpin dengan jutaan rakyat yang dipimpinnya.

119
JEFFRIE GEOVANIE

Keputusan apa pun yang akan diambil seorang pemimpin


akan berdampak—baik langsung maupun tidak langsung—
terhadap kehidupan sehari-hari rakyat yang dipimpinnya.
Dampak itulah yang akan menjadi pertimbangan utama
sebelum kebijakan diputuskan. Idealnya, setiap keputusan
berdampak positif. Dalam praktik, tak selamanya begitu,
termasuk keputusan-keputusan yang dianggap baik. Yang
dianggap baik di atas kertas, bisa jadi buruk saat dieksekusi
di lapangan.
Contoh yang paling gamblang, selain dalam kasus
mengatasi kemacetan dan banjir, adalah keputusan untuk
mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM), di atas kertas
sangat baik karena pertama, untuk mencegah subsidi salah
sasaran, yang seharusnya diberikan pada kaum miskin yang
benar-benar membutuhkannya, bukan kepada para pemilik
kendaraan bermotor yang pasti bukan dari kelompok miskin.
Kedua, untuk memberi ruang fiskal yang cukup agar
rencana pembangunan yang sudah diputuskan bisa dijalankan
sehingga pada saat pembangunan sudah rampung, misalnya
pembangunan jalan, pelabuhan, bandar udara, dan fasilitas-
fasilitas umum lainnya, dampak positifnya bisa dinikmati
masyarakat dalam jangka waktu yang panjang.
Tapi dalam praktik, karena kebijakan ini membuat
harga-harga kebutuhan pokok melambung, rakyat menjerit,
kemiskinan bertambah karena makin banyak yang tidak
mampu membeli kebutuhan pokok. Artinya, dalam jangka
pendek pengurangan subsidi BBM berdampak buruk, tapi

120
NYALI SEORANG PEMIMPIN

dalam jangka panjang berdampak positif karena alih fungsi


subsidi bisa membuat pembangunan berjalan lebih baik.
Dalam lingkup ibukota Jakarta, keputusan untuk
menertibkan bantaran sungai dari pemukiman liar dan
kumuh, di atas kertas sangat baik karena dengan begitu,
bahaya banjir bisa diatasi, lingkungan di pinggiran sungai
menjadi bersih dan nyaman, enak dipandang dan bahkan
bisa dijadikan tempat rekreasi.
Tapi dalam praktik, karena banyak kaum miskin tergusur
dari rumah-rumah yang mereka huni bertahun-tahun,
menimbulkan masalah sosial baru di ibukota, pemerintah
terbebani untuk membangun hunian baru yang layak bagi
mereka. Sementara itu, untuk menempati hunian baru
dibutuhkan biaya yang cukup dan ternyata tidak semua
yang tergusur mampu membayarnya.
Dampak positif penertiban bantaran sungai tidak bisa
dirasakan seketika tapi membutuhkan jangka waktu yang
panjang, sementara dampak negatifnya langsung dirasakan
seketika. Inilah tantangan yang dihadapi siapa pun yang
memimpin kota Jakarta.
Maka, keberanian mengambil keputusan untuk
mendapatkan keuntungan jangka panjang dengan harus
melewati kerugian-kerugian jangka pendek hanya bisa
dilakukan oleh para pemimpin bernyali. Banyak pemimpin,
atau lebih tepatnya pejabat, yang tidak berani mengambil
risiko dengan semata-mata mengambil keuntungan jangka
pendek.

121
JEFFRIE GEOVANIE

Para pejabat yang memerintah dengan semata-mata


untuk “menyenangkan” rakyatnya, dengan mengambil
keputusan-keputusan yang menguntungkan seketika,
inilah pejabat yang tidak punya nyali sebagai pemimpin.
Dia tidak memimpin melainkan terpimpin karena terbawa
arus kenikmatan sesaat. Penyebab utama tidak adanya nyali
para pejabat adalah karena takut kehilangan popularitas,
terutama di mata para pemilihnya, sehingga berujung pada
hilangnya jabatan.
Nyali Presiden Jokowi pada saat memutuskan
mengurangi subsidi BBM, dan nyali Ahok saat mengambil
sejumlah keputusan untuk mengatasi kemacetan dan banjir
di DKI Jakarta yang lebih mengutamakan kepentingan lebih
luas dan jangka panjang, adalah nyali pemimpin yang patut
dicontoh. (GeoTIMES, 27 Juli— 02 Agustus 2015)

122
10. PANUTAN AHOK SEBAGAI
PEMIMPIN
Jika seorang pemimpin tidak bisa menegakkan keadilan maka
gugurlah kewajiban warga negara untuk menaati pemimpinnya.

Dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di


Jakarta, Minggu (18/01/2015), Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok mengaku punya
panutan dalam memerintah sebagai gubernur DKI Jakarta.
Siapa panutan Ahok? Yaitu Rasulullah, Nabi Muhammad
SAW, yang memiliki sifat-sifat shiddiq (jujur), amanah
(dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan
fathanah (cerdas).
Ahok mengaku sudah mengagumi Nabi Muhammad
sejak kecil. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Ahok bersekolah di
sekolah yang mengajarkan pendidikan agama Islam. Di
situlah ia mempelajari ajaran-ajaran Islam. Al-Quran surat Al-
Maidah ayat 51 yang melarang memilih Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin, menurut Ahok tidak terbukti karena
banyak kaum muslimin yang memilihnya sebagai gubernur
karena mereka percaya dirinya memiliki sifat-sifat yang baik.
Agama bukan penghalang untuk menjadi orang baik.

123
JEFFRIE GEOVANIE

Pengakuan Ahok ini patut kita garis bawahi karena


masih banyak di antara kita yang berpikir sempit, menilai
pemimpin bukan dari sifat-sifatnya, tapi dari agama yang
dianutnya. Padahal sifat-sifat seseorang tidak dengan serta-
merta (identik) dengan ajaran agama yang dipeluknya. Semua
agama mengajarkan kebenaran, mengharuskan bersikap adil
kepada yang dipimpinnya. Tapi karena sifat buruknya, bisa
saja seseorang tidak taat pada ajaran agamanya. Dan ketidak-
taatan pada agama bisa berlaku atau dialami oleh siapa pun
dan apa pun agamanya.
Oleh karena itulah, dalam demokrasi, agama tidak
dijadikan faktor determinan dalam memilih calon pemimpin.
Pemimpin yang baik bukan yang menunjukkan ketaatan pada
agama secara ritual-formalistik, melainkan yang menunjukkan
sikap dan perilaku yang baik, yang menjunjung tinggi hak-
hak setiap warga negara, yang menegakkan keadilan, yang
memiliki kemampuan menyejahterakan seluruh rakyat.
Di antara hak-hak warga negara yang harus dipenuhi
pemimpin, dalam konteks Indonesia, tertuang dalam
konstitusi negara (UUD 1945), terutama pasal 28 dan 30,
antara lain hak untuk hidup aman, memeluk agama dan
keyakinan, mendapatkan pendidikan, dan pekerjaan yang
layak. Hak-hak warga negara harus dipenuhi dengan adil
tanpa pandang bulu, karena menegakkan keadilan menjadi
syarat mutlak bagi setiap pemimpin. Jika seorang pemimpin
tidak bisa menegakkan keadilan maka gugurlah kewajiban
warga negara untuk menaati pemimpinnya.

124
PANUTAN AHOK SEBAGAI PEMIMPIN

Selain itu, yang juga wajib dimiliki seorang pemimpin


adalah kemampuan untuk menyejahterakan rakyat.
Bahkan bisa dikatakan inilah di antara tugas pokok siapa
pun yang menjadi pemimpin. Bagaimana menyejahterakan
rakyat bisa ditempuh dengan berbagai cara, yang paling
pokok adalah dengan menetapkan kebijakan-kebijakan
yang mendorong tumbuhnya kesejahteraan itu, misalnya
dengan menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang
memungkinkan semua orang, termasuk yang paling miskin
sekalipun, untuk terlibat dan bisa mendapatkan manfaat
untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Jika dengan cara menggerakkan kegiatan ekonomi
masih ada yang tidak mampu maka kewajiban pemerintah
adalah memberikan pembinaan, memberi bantuan secara
fisik baik berbentuk uang tunai atau yang lainnya, yang
menjadikan penerimanya bisa hidup lebih layak. Sejauh
mana pemimpin bisa bertahan dalam kursi kepemimpinan
akan sangat tergantung pada kemampuannya menjadikan
segenap rakyat mampu menyejahterakan dirinya. Semakin
minim kesejahteraan rakyat, semakin tinggi tingkat kegagalan
pemimpin.
Pengakuan Ahok yang menjadikan Nabi Muhammad
sebagai panutan menjadi penting karena dalam sejarahnya
Rasulullah tidak pernah mengabaikan siapa pun yang
membutuhkan bantuan. Bahkan terhadap orang kafir
buta yang terus-menerus menghinanya, Rasulullah tetap
memperlakukannya dengan baik dengan memberikan

125
JEFFRIE GEOVANIE

bantuan setiap saat. Maka pada saat orang buta yang


selalu menghina itu jatuh sakit, Rasulullah rutin datang
membesuknya hingga beliau wafat.
Sifat-sifat Rasulullah seyogianya menjadi panutan setiap
pemimpin. Jujur, dapat dipercaya, menyampaikan kebenaran,
dan memiliki kecerdasan adalah sifat-sifat terpuji yang
asalkan ada kemauan pasti ada jalan untuk menjalankannya.
Bagi pemimpin formal seperti Gubernur atau Presiden,
tentu memiliki aparat, juga anggaran yang cukup, untuk
merealisasikan sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
Hanya political will (kemauan politik) untuk
menggerakkan sifat-sifat baik itulah yang belum dimiliki oleh
semua pemimpin. Gerakan rakyat menjadi penting untuk
“memaksa” pemimpin merealisasikan sifat-sifat baik dan
political will, dengan berbagai cara, misalnya demonstrasi,
penandatanganan petisi, dan lain-lain. Apa pun bentuknya,
sepanjang dilakukan secara proporsional, tidak melanggar
hukum,
Demokrasi menyediakan ruang terbuka bagi siapa pun
untuk mengkritik pemimpin yang dinilainya kurang baik.
Pemimpin harus membuka diri untuk dikritik. Perlu diingat
bahwa tingkat penerimaan pemimpin terhadap kritik bisa
menjadi ukuran apakah pemimpin bisa dipertahankan
(dipilih kembali) atau tidak pada saat terjadi suksesi
kepemimpinan. (Padeks, 20 Januari 2015)

126
11. KEKUASAAN KONSTITUSIONAL
BASUKI
Pada situasi seperti sekarang ini, kekuasaan konstitusional
menjadi opsi penting karena bisa menjadi satu-satunya
pegangan (landasan) di tengah ketidakpastian.

Pada saat kolom ini ditulis, Gubernur DKI Jakarta, Basuki


Tjahaja Purnama (Ahok) tengah menjadi pembicaraan publik
karena baru saja melakukan eksekusi penertiban penduduk
Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, yang
setiap musim penghujan menjadi langganan banjir. Karena
langkahnya itu, Ahok muncul dalam berbagai meme di
media sosial, yang secara umum mendiskreditkan dirinya.
Sejarawan muda yang banyak bertutur tentang sejarah
Betawi, JJ Rizal, menuduh Ahok inkonsisten, bertindak tidak
adil kepada rakyat kecil. Kalau mau konsisten, kalau mau
bertindak adil, seharusnya yang digusur bukan hanya warga
Kampung Pulo, tapi juga warga Pluit, Jakarta Utara, tempat
tinggal Ahok, yang menurut Rizal juga daerah resapan air
yang seharusnya dibebaskan dari pemukiman penduduk.
Tapi bukan Ahok kalau menerima tuduhan begitu saja,
mantan Bupati Belitung Timur ini balik menyerang. Dan
seperti biasa, ungkapan yang ia gunakan, menurut standar
etika ketimuran dianggap tidak pantas.

127
JEFFRIE GEOVANIE

Ahok adalah manusia penuh kontroversi. Sebagai


pemimpin ia dinilai tidak layak diteladani karena kerap
mengumbar kata-kata kasar terutama untuk menyerang
lawan-lawannya. Karena caranya yang dinilai tidak tepat,
substansi yang ia sampaikan terkadang kabur, gagal menjadi
perhatian karena publik lebih fokus pada gaya bicaranya
ketimbang isinya. Uniknya, sudah tahu seperti itu, Ahok
tetap bergeming mempertahankan gayanya, meskipun sudah
dihujani saran, kritik, atau bahkan kecaman.
Begitulah trade mark Ahok saat ini, kontroversial,
pemarah, dan tidak sensitif. Ia, misalnya, tidak segan-segan
mengancam akan memecat bawahannya yang dianggap
tidak becus bekerja. Ungkapan-ungkapan yang menurut
skala umum sangat sensitif, ia sampaikan di muka umum
dengan suara lantang. Tujuan dari tindakannya bagus, tapi
karena dianggap sudah melampaui batas kewajaran, menjadi
dianggap kurang patut.
Tapi, di luar itu semua, ada sisi lain yang kurang
mendapat perhatian publik, yaitu Ahok bertumpu pada
kekuasaan konstitusional. Mungkin akan banyak kalangan
tidak setuju dengan ungkapan ini, tapi mari kita lihat. Dalam
banyak kesempatan, Ahok menegaskan bahwa dirinya rela
mati demi (menegakkan) konstitusi.
Ada dua ciri utama pemimpin yang berpijak pada
kekuasaan konstitusional, pertama, lebih mementingkan
kepentingan jangka panjang. Ia rela dibenci atau bahkan
dicaci maki oleh sebagian kecil rakyat untuk membela yang

128
KEKUASAAN KONSTITUSIONAL BASUKI

lebih besar. Ia rela mengorbankan kepentingan jangka


pendek (dipilih dalam Pemilu) untuk kepentingan jangka
panjang.
Pejabat yang mengutamakan kepentingan jangka pendek
akan berpikir seribu kali untuk melakukan penggusuran
yang memunculkan caci maki publik. Pejabat yang ingin
dipilih kembali dalam Pemilu berikutnya, pasti akan
berusaha menyenangkan semua pendukungnya, bahkan
lawan-lawan politiknya. Popularitas dan elektabilitas akan
lebih dipertimbangkan ketimbang hasil pembangunan
jangka panjang yang mungkin baru bisa dinikmati publik
pada saat dirinya sudah tidak lagi menjabat, atau bahkan
sesudah dirinya meninggal dunia.
Para elite politik saat ini, meminjam istilah Buya Syafii
Maarif, banyak yang menderita rabun ayam. Hanya mampu
melihat benda-benda pada jarak dekat dan tidak bisa melihat
sesuatu yang jauh kecuali fatamorgana. Jika kegelapan
datang (pada malam hari), ia tidak bisa melihat apa-apa dan
berbuat apa-apa kecuali melangkah mengikuti kegelapan.
Para politisi rabun ayam, jika berada di tengah-tengah para
koruptor, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti
langkah mereka.
Ciri yang kedua, lebih memilih dukungan rakyat
ketimbang elite. Ahok, setidaknya untuk saat ini, menjadi
satu-satunya kepala daerah yang berani bercerai dengan
partai-partai pendukungnya untuk menjadi pemimpin
yang benar-benar independen. Ahok tidak ingin disandera

129
JEFFRIE GEOVANIE

oleh kepentingan (sekelompok elite) partai yang tidak bisa


dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat.
Saya yakin banyak kalangan yang tidak tahu bahwa
lebih memilih dukungan rakyat ketimbang dukungan elite
adalah salah satu butir nasihat Niccolo Machiavelli (1469-
1527) yang lebih dikenal sebagai penganjur paham politik
menghalalkan segala cara. Kata Machiavelli, orang yang
menjadi penguasa karena dukungan para bangsawan (para
elite) akan menghadapi kesulitan yang lebih besar daripada
orang yang diangkat menjadi penguasa oleh dukungan rakyat,
karena ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang merasa
sama derajatnya dan karenanya ia tak dapat memerintah
atau mengatur menurut keinginannya.
Mengapa nasib Presiden Jokowi seperti sekarang ini,
tidak bisa menerapkan hak prerogatifnya secara independen,
karena ia “berhutang budi” pada para elite (partai politik),
dan mereka selalu mengelilinginya, memaksakan keinginan-
keinginannya, sehingga ketentuan-ketentuan yang seharusnya
dijalankan sesuai konstitusi tidak bisa dieksekusi. Maka wajar
jika publik menuntut Jokowi agar tampil sebagai Presiden,
bukan sebagai “petugas partai”. Kekuasaan presiden diatur
dalam konstitusi, sedangkan petugas partai bisa bertentangan
dengan konstitusi.
Pada situasi seperti sekarang ini, kekuasaan konsti-
tusional menjadi opsi penting karena bisa menjadi satu-
satunya pegangan (landasan) di tengah ketidakpastian.
Tanpa berpegang pada kekuasaan konstitusional, pemimpin

130
KEKUASAAN KONSTITUSIONAL BASUKI

(pada level mana pun) akan terombang-ambing oleh beragam


kepentingan, terutama kepentingan mereka yang merasa
berjasa mengantarkannya pada kursi kekuasaan. Kalaulah
harus berpegang pada kepentingan itu, maka satu-satunya
kepentingan yang harus diutamakan adalah kepentingan
rakyat, karena pada kepentingan rakyat itulah kekuasaan
konstitusional berpihak. (GeoTIMES, 31 Agustus–06
September 2015)

131
12. MENEMPATKAN BASUKI PADA
TEMPATNYA
Secara psikologis mungkin akan sedikit bermasalah jika Ibukota
dipimpin oleh orang yang selama ini menentang kebijakan-
kebijakan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mengapa banyak kalangan berusaha mendorong Walikota


Bandung, Ridwan Kamil, untuk maju dalam Pilkada DKI
Jakarta? Mengapa tidak ada satu pun orang berpikir untuk
mendorong Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), misalnya, maju
dalam Pilkada Banten?
Jawaban atas dua pertanyaan ini cukup satu, karena
Ahok sudah berhasil memimpin DKI Jakarta. Keberhasilan
ini bukan kata saya, tapi menurut berbagai survei yang secara
khusus melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah
DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok. Tapi rupanya
banyak yang tidak rela dengan keberhasilan mantan Bupati
Belitung Timur ini, dan ingin menggantinya dengan
pemimpin lain yang dianggap akan mampu mengalahkannya,
dan ketemulah nama Ridwan Kamil atau yang lebih populer
dengan panggilan Kang Emil.
Menurut survei Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) baru-baru ini, Kang Emil merupakan tokoh
yang berada di urutan nomor dua setelah Ahok dalam “top

132
MENEMPATKAN BASUKI PADA TEMPATNYA

of mind” pilihan warga Jakarta untuk menjadi Gubernur


DKI Jakarta.
Sementara Kang Emil sendiri masih belum memutuskan
untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Ada dua alasan yang
membuatnya ragu, pertama, sesuai mandat para pemilihnya,
ia harus memimpin Kota Bandung hingga 2018. Kedua,
ia tengah mengalkulasi—dalam bahasa dia, manfaat dan
mudaratnya—yang dalam bahasa yang lugas, menang-
kalahnya. Jika menang tentu saja bermanfaat, tapi jika kalah
pasti mudarat karena tak bisa lagi kembali memimpin Kota
Bandung.
Jika berpedoman pada tuntunan agama yang selama
ini menjadi pegangan Kang Emil, meninggalkan keragu-
raguan jauh lebih baik. Artinya ia tetap konsisten memimpin
Kota Bandung sesuai amanat yang diberikan kepadanya, dan
setelah itu barulah ia melangkah ke jenjang kepemimpinan
selanjutnya, misalnya maju dalam Pilkada Jawa Barat. Tapi,
mau konsisten atau tidak, pilihan sepenuhnya ada pada Kang
Emil. Mau maju dalam Pilkada DKI Jakarta juga tidak ada
salahnya, atau mungkin akan bagus karena ada penantang
yang relatif sepadan—dari segi prestasi dan integritas—
dengan Ahok.
Selain Kang Emil, yang muncul digadang-gadang untuk
menantang Ahok adalah potitikus senior, Ketua Umum
Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra. Mantan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (1999-2001), Menteri
Hukum dan Perundang-undangan (2001-2004), dan Menteri

133
JEFFRIE GEOVANIE

Sekretaris Negara (2004-2007) ini sudah menyatakan siap


memimpin DKI Jakarta.
Ada yang mencoba menghubungkan kesediaan Yusril
menantang Ahok dengan kemenangan kakaknya, Yuslih Ihza
Mahendra, atas adik Ahok, Basuri Tjahaja Purnama, dalam
Pilkada Kabupaten Belitung Timur, Desember 2015. Seperti
kita tahu, Basuri adalah petahana yang dikalahkan Yuslih,
dan karenanya muncul pula perkiraan, sebagai petahana,
Ahok juga bisa dikalahkan oleh Yusril.
Pertanyaannya, apakah Belitung Timur bisa disamakan
dengan DKI Jakarta? Di Belitung Timur, klan Ihza Mahendra
sangat populer dan kuat sehingga secara sosiokultural sangat
masuk akal jika mampu mengalahkan petahana. Sementara
DKI Jakarta tentu sangat berbeda dengan Belitung Timur.
Jakarta merupakan metropolitan yang penduduknya sangat
beragam baik dari suku, ras, agama, maupun kepentingan
politik.
Secara politik, Jakarta bukan saja menarik tapi juga
menggiurkan. Semua partai politik punya kepentingan untuk
memenangkan Pilkada DKI Jakarta yang menjadi barometer
kekuatan politik di Indonesia. Dan bagi tokoh politik yang
berambisi menjadi Presiden seperti Yusril atau siapa pun,
kursi Gubernur DKI Jakarta bisa menjadi batu loncatan yang
paling menarik dibandingkan jabatan-jabatan politik yang
lain.
Tapi, saya kira bukan karena alasan itu (ingin menjadi
Presiden), jika banyak kalangan menginginkan Ahok tetap

134
MENEMPATKAN BASUKI PADA TEMPATNYA

pada tempatnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ibu kota


membutuhkan pemimpin yang berani dan berintegritas
seperti Ahok. Karena ibukota adalah cermin, atau bahkan
etalase, dari Indonesia. Secara umum, masyarakat dunia akan
melihat suasana politik Indonesia dari etalasenya.
Selain itu, ibukota juga akan lebih baik dipimpin sosok
yang bisa bersinergi dan bekerja sama dengan Kepala Negara
karena antara pusat pemerintahan DKI Jakarta (Balai kota)
dan Istana Negara berada dalam satu “blok” Medan Merdeka
yang jaraknya berdekatan. Antara Balai kota dan Istana
Wapres malah berhimpitan. Secara psikologis mungkin akan
sedikit bermasalah jika ibukota dipimpin oleh orang yang
selama ini menentang kebijakan-kebijakan politik Presiden
Joko Widodo (Jokowi).
Antara Ahok dan Jokowi sudah bersinergi sejak bersama-
sama memimpin DKI Jakarta. Kerja sama keduanya tetap
terjaga hingga saat ini. Kebijakan Jokowi selalu didukung
Ahok, begitu pun sebaliknya. Mempertahankan Ahok
untuk tetap memimpin ibukota sama artinya dengan
mempertahankan sinergitas antara pemimpin Jakarta dan
Kepala Negara. Dalam memimpin, sinergitas menjadi faktor
penting untuk menunjang keberhasilan, apalagi dalam suatu
negara yang secara politik belum mapan.
Meskipun begitu, kita tetap mengapresiasi siapa pun
yang akan maju menjadi penantang Ahok dalam Pilkada DKI
Jakarta. Dalam sistem demokrasi, sepanjang diperbolehkan
undang-undang, siapa pun punya hak untuk berpartisipasi

135
JEFFRIE GEOVANIE

aktif dalam politik, termasuk dalam berkompetisi


memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta.
Siapa yang akan memimpin DKI Jakarta untuk periode
2017-2022? Apakah Basuki Tjahaja Purnama, ataukah
salah satu dari penantang-penantangnya? Kita serahkan
sepenuhnya pada warga Jakarta yang punya hak untuk
memilih pemimpin di wilayahnya. (geotimes.co.id, 12
Februari 2016)

136
13. HENTIKAN GLORIFIKASI BASUKI
Glorifikasi, apalagi dengan menyebut-nyebut nama Tuhan,
bertolak belakang dengan prinsip politik Ahok yang rela mati
untuk membela konstitusi.

Glorifikasi, secara etimologis adalah meluhurkan atau


memuliakan. Secara terminologis adalah pekerjaan
menempatkan seseorang pada posisi yang mulia, tidak
punya salah, dan kalau pun ada kesalahan selalu ada alasan
atau justifikasi untuk membenarkan kesalahan itu—tanpa
mencermatinya terlebih dahulu.
Antonim dari glorifikasi adalah degradasi, pelecehan,
atau penistaan, yakni menempatkan seseorang pada posisi
yang selalu disalahkan walaupun tindakan atau ucapannya
secara prinsip tidak mengandung kesalahan—selalu ada
alasan untuk menyalahkannya.
Glorifikasi adalah bagian dari metode kampanye politik
yang dalam teknik propaganda disebut glittering generalities,
yakni menggunakan “kata-kata baik” untuk melukiskan
gagasan, orang, atau objek, tanpa mencermati lebih lanjut
apakah kata-kata baik itu sesuai fakta atau tidak.
Kebalikan dari glittering generalities adalah name calling
yakni memberi label buruk pada gagasan, orang, objek,
atau tujuan agar publik menolak sesuatu tanpa menguji
kenyataannya. Sejumlah name calling yang populer saat

137
JEFFRIE GEOVANIE

ini adalah ungkapan-ungkapan seperti “gedibal”, “koppig”,


“pasukan nasi bungkus”, “cebongers”, dan lain-lain.
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI
Jakarta, glorifikasi dan degradasi bertebaran di time line
media sosial. Masing-masing pendukung melakukan
glorifikasi terhadap kandidat yang menjadi idolanya, dan
pada saat yang sama melakukan degradasi terhadap kandidat
yang potensial menjadi pesaing idolanya.
Yang membuat saya prihatin, kandidat petahana, Basuki
Tjahaja Purnama atau Ahok, yang popularitasnya sudah
menjulang, dengan tingkat elektabilitas yang jauh di atas
pesaing-pesaingnya, juga tak luput dari grorifikasi.
Glorifikasi terhadap Ahok misalnya ia disebut sebagai
“anak Tuhan” atau “titisan Yesus” yang seolah-olah semua
tindakannya bisa dibenarkan dan dianggap mencerminkan
firman-firman Tuhan dalam kitab suci. Tindakan yang
sebenarnya tidak dibutuhkan.
Mengapa glorifikasi tidak dibutuhkan bagi Ahok?
Pertama, tidak cocok dengan karakteristiknya. Ahok adalah
sosok yang suka blak-blakan, apa adanya. Kalau dia mau
marah ya marah saja, tidak perlu ditutup-tutupi. Bahkan
menyampaikan kata-kata kasar pun biasa ia lakukan, terutama
untuk ditujukan kepada para koruptor yang memang sama
sekali tidak layak mendapat pujian.
Untuk sosok Ahok seperti itu, glorifikasi menjadi tidak
produktif karena bertolak belakang dengan kepribadiannya
yang mencerminkan manusia biasa, yang biasa bertutur kata

138
HENTIKAN GLORIFIKASI BASUKI

dan bertindak apa adanya. Ahok tidak memakai topeng


seperti umumnya para politikus.
Kedua, glorifikasi, apalagi dengan menyebut-nyebut
nama Tuhan, bertolak belakang dengan prinsip politik Ahok
yang rela mati untuk membela konstitusi. Berpolitik dengan
membawa-bawa—apalagi terkesan menjual—nama Tuhan,
bertentangan dengan semangat konstitusi yang meniscayakan
kebhinekaan dan keadilan bagi semua warga negara, tanpa
memandang suku, ras, dan agama.
Ketiga, glorifikasi mencerminkan inferioritas, underdog.
Pada hakikatnya glorifikasi, diakui atau tidak, merupakan
upaya untuk menaikkan nama dan derajat. Untuk kalangan
masyarakat bawah, grorifikasi terbukti sangat efektif untuk
menaikkan popularitas seseorang.
Bagi kandidat yang popularitas dan elektabilitasnya
sudah tinggi, apalagi bagi petahana, yang lebih diperlukan
adalah pembuktian yang bisa menimbulkan efek yang
mengesankan bagi rakyat. Kesan keberhasilan jauh lebih
nyaring bunyinya di telinga rakyat ketimbang glorifikasi.
Keempat, glorifikasi merupakan proses pembodohan
yang tidak mendidik. Yang dibutuhkan rakyat adalah hadirnya
realitas konstruktif yang secara objektif bisa dirasakan oleh
semua orang. Pemimpin yang tindakan-tindakannya sudah
baik pasti akan dirasakan baik pula oleh segenap rakyat yang
dipimpinnya. Namun jika kebaikan pemimpin hanya bisa
dirasakan sebagian kalangan dan tidak bagi sebagian yang
lain, itulah cermin dari ketiak-adilan dan diskriminasi.

139
JEFFRIE GEOVANIE

Untuk para pendukung Ahok, saya sarankan, ber-


hentilah melakukan glorifikasi, dan berhenti pula melakukan
degradasi bagi lawan-lawan politik. Ada prinsip Jawa yang
saya kira sangat baik untuk dijadikan pegangan, yakni
“menang tanpa ngasorake” yang maknanya kira-kira me-
menangkan kompetisi tanpa harus melecehkan lawan-
lawannya.
Dalam kompetisi politik, lawan adalah kawan juga.
Pada saat memenangkan kompetisi, siapa pun dia, akan
menjadi pemimpin bagi semunya. Bukan pemimpin yang
hanya diakui oleh pendukung-pendukungnya. Pemimpin
yang hanya diakui oleh pendukungnya, hanyalah politikus
partisan yang tidak mencerminkan jiwa Pancasila dan UUD
1945.
Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin yang
telah terpilih akan berlaku bagi semuanya. Siapa pun, tanpa
pandang bulu, akan mendapat reward pada saat menaati
kebijakan itu, dan mendapatkan punishment (sanksi) bagi
siapa pun yang melanggarnya. (geotimes.co.id, 25 Maret
2016)

140
Bagian Empat

UJIAN BERAT
AHOK
Hidup seseorang dari lahir hingga dewasa, secara
proporsional akan terus menanjak, ibarat masuk
sekolah dari kelas satu dan seterusnya hingga kelas
yang paling tinggi. Untuk bisa naik kelas harus lulus
ujian, dari yang ringan hingga yang amat berat.
Makin tinggi kelasnya, makin berat ujiannya. Seperti
pepatah, semakin tinggi pohon semakin kencang
terpaan anginnya.
1. PERLAWANAN AHOK
Jika kepala daerah yang mau dimakzulkan memang benar-
benar terbukti korupsi, pemakzulan harus didukung, tapi jika
yang terjadi sebaliknya, jelas harus ditolak.

Upaya untuk melengserkan Gubernur DKI Jakarta Basuki


Tjahaja Purnama alias Ahok terus digerakkan oleh lawan-
lawan politiknya. Setelah sejumlah komponen masyarakat
yang mengatasnamakan umat Islam gagal mencegah Ahok
menjadi gubernur definitif yang kemudian dilanjutkan
dengan “melantik” gubernur tandingan, kini muncul
pengajuan hak angket yang disetujui (ditandatangani)
hampir semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) DKI Jakarta.
Tapi bukan Ahok kalau menyerah kalah. Diancam begitu
rupa, Ahok tidak gentar. Dengan tegas dia mengatakan,
mari buktikan siapa yang benar dan siapa yang merampok
uang rakyat. Dan dalam proses pembuktian itu, Ahok
meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Pusat Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ikut
dilibatkan sehingga menjadi terang.
Pangkal masalah ada pada Rancangan Anggaran Pen-
dapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang diajukan DPRD
untuk tahun 2015. Karena di dalamnya berisi banyak potensi
korupsi luar biasa, Ahok menolak keras untuk ikut serta

143
JEFFRIE GEOVANIE

mengesahkan. Dikatakan terdapat potensi korupsi luar biasa


karena kalau dihitung semuanya, jumlahnya bisa mencapai
12 triliun, hampir dua kali lipat dari jumlah korupsi dalam
kasus Bank Century.
Potensi korupsi itu antara lain tercermin dalam mata
anggaran Dinas Pendidikan yang terdapat item pengadaan
UPS (Uninterrupted Power Supply) di setiap sekolah dan
kelurahan. Setiap sekolah dianggarkan enam miliar, padahal
menurut mereka yang mengerti betul dengan UPS, harganya
perunit—dengan kualitas terbaik—tak lebih dari 50 juta
rupiah dengan kemampuan menyuplai daya setara 12-16
unit server. Mark up anggarannya terlalu besar. Bayangkan,
jika ada 55 sekolah di Jakarta yang mendapat bantuan UPS,
berapa besar korupsinya.
Penolakan Ahok membuat DPRD DKI Jakarta mera-
dang sehingga terbitlah hak angket itu, yang didukung 102
dari 106 anggota DPRD yang hadir dalam Rapat Paripurna
yang digelar pekan lalu. Jika tidak dilawan, hak angket yang
dipelopori Koalisi Merah Putih (KMP) dan didukung Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) ini bisa berujung pada pemakzulan.
Ahok melawan dengan membawa masalah DPRD ke KPK.
Langkah Ahok sudah tepat. Jika kepala daerah tidak
mampu melawan dengan argumentasi yang bisa diterima
publik, upaya pemakzulan yang digalang DPRD sangat
mungkin menjatuhkan kepala daerah. Bupati Garut, Aceng
Fikri, adalah contoh kepala daerah yang dimakzulkan DPRD,
dan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, adalah contoh yang

144
PERLAWANAN AHOK

melawan upaya pemakzulan dengan argumentasi yang bisa


diterima publik sehingga mampu bertahan hingga sekarang.
Saya yakin, jika Ahok mampu berargumen dengan
menghadirkan bukti-bukti yang meyakinkan, pasti akan
mendapat dukungan publik, dan terbukti saat kolom ini
ditulis pun, melalui laman www.change.org sudah ada
yang menggalang petisi yang antara lain berisi permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan DPRD
DKI Jakarta, dan meminta kepada KPK dan Kejaksaan Agung
segera menginvestigasi masalah permainan anggaran dan
budget siluman yang terjadi di DPRD DKI dari tahun 2012
hingga saat ini.
Upaya memakzulkan Ahok, dalam waktu yang belum
lama menjadi Gubernur DKI, sudah beberapa kali digalang,
mungkin ada salahnya juga Ahok, misalnya dalam gaya
komunikasi yang terkesan ceplas-ceplos dan kasar. Tapi
untuk gaya komunikasi ini Ahok punya alasan, berbicara
di depan para perampok uang rakyat, tidak perlu cara yang
santun. Artinya, Ahok tidak selalu berbicara kasar, ia hanya
kasar di hadapan orang-orang yang menurutnya jahat.
Publik mendukung upaya Ahok melawan hak angket,
selain karena pentingnya kita berpihak pada kebenaran,
hak angket yang berujung pada pemakzulan, jika tidak
dilawan, akan terus digunakan secara semena-mena, bukan
untuk mengontrol jalannya pemerintahan melainkan untuk
dijadikan alat politik pelampiasan ketidaksukaan.

145
JEFFRIE GEOVANIE

Jika kepala daerah yang mau dimakzulkan memang


benar-benar terbukti korupsi, pemakzulan harus didukung,
tapi jika yang terjadi sebaliknya, jelas harus ditolak. Jangan
sampai terjadi preseden adanya pemakzulan kepala daerah
yang baik oleh DPRD yang kurang baik.
Hal yang sama juga bisa terjadi pada Presiden sebagai
kepala negara. Untuk semua upaya pemakzulan kepala negara
harus dilawan, kecuali jika kepala negara benar-benar terbukti
melakukan pelanggaran konstitusional, seperti korupsi
berskala besar, atau melakukan kejahatan kemanusiaan yang
tidak bisa dimaafkan.
Mari kita kembalikan fungsi lembaga-lembaga ne-
gara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sesuai fungsi yang
tertuang dalam konstitusi. Fungsi legislatif adalah sebagai
penyeimbang eksekutif agar check and balances bisa terus
terjaga. Fungsi legislatif bukan untuk mengambil alih fungsi
yudikatif yang bisa memberi hukuman kepada eksekutif.
(Padeks, 03 Maret 2015)

146
2. BASUKI, BANJIR, DAN KEMACETAN
Sebenarnya, ada banyak alasan untuk mengelak dari kedua
tantangan ini. Tapi, alangkah naifnya jika Ahok menyampaikan
alasan-alasan itu untuk menghindari kritik dan kecaman publik
terkait banjir dan kemacetan..

Memasuki musim penghujan, Gubernur DKI Jakarta Basuki


Tjahaja Purnama akan menghadapi tantangan baru, tantangan
yang juga dihadapi Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, yakni
banjir. Dan, jika banjir sudah melanda, Jakarta yang dalam
kondisi normal sudah macet, sudah pasti akan bertambah
macet.
Banjir dan macet menjadi dua sejoli penantang utama
Ahok. Jauh lebih menantang ketimbang tantangan para
kompetitornya dalam Pilkada yang digelar 2017. Untuk
menjawab tantangan para kompetitor, Ahok masih cukup
banyak jurus. Tapi untuk menjawab tantangan banjir dan
kemacetan, tidak ada jurus yang ampuh.
Sebenarnya, ada banyak alasan untuk mengelak dari
kedua tantangan ini, misalnya dengan mengatakan bahwa
banjir dan kemacetan merupakan keniscayaan bagi kota
besar seperti Jakarta. Bahkan konon, sejak jauh sebelum
Indonesia merdeka, ketika masih bernama Batavia, kota ini
sudah pernah dilanda banjir besar.
Selain itu bisa juga beralasan bahwa selain Jakarta, kota-
kota lain juga mengalami hal serupa. Pada hujan pertama,
Bogor sudah dilanda banjir, begitu juga dengan Bekasi dan

147
JEFFRIE GEOVANIE

Bandung. Kemacetan di tiga kota ini juga tidak kalah dengan


Jakarta, bahkan kadang jauh lebih macet.
Tapi, alangkah naifnya jika Ahok menyampaikan
alasan-alasan itu untuk menghindari kritik dan kecaman
publik terkait banjir dan kemacetan. Jika itu dilakukan, apa
bedanya Ahok dengan Fauzi Bowo yang pada saat memimpin
Jakarta lebih banyak ngeles saat ditanya tentang banjir dan
kemacetan.
Tanpa harus diberi alasan pun sebenarnya publik,
terutama warga Jakarta, menyadari sepenuhnya bahwa untuk
mengubah Jakarta menjadi kota yang tiba-tiba bebas banjir
dan kemacetan, mustahil bisa dilakukan.
Logikanya sederhana, bagaimana mungkin bisa
mengurangi banjir Jakarta sementara curah hujan tidak
berkurang (malah bertambah) sementara tanah-tanah
kosong yang seharusnya menjadi tempat resapan air semakin
menyempit. Bagaimana mungkin kemacetan di Jakarta akan
berkurang sementara penambahan jumlah kendaraan yang
memenuhi Jakarta tidak dibarengi secara proporsional
dengan penambahan ruas jalan.
Jadi, tidak perlu menyampaikan apologi, publik sudah
tahu apa yang sebenarnya terjadi di Jakarta, juga di kota-
kota besar lainnya yang ada di Indonesia. Semuanya tengah
menuju situasi yang lebih buruk, dalam hal banjir dan
kemacetan.
Yang perlu dilakukan Ahok adalah aksi-aksi nyata
yang mampu memberikan harapan. Harus ada langkah-

148
BASUKI, BANJIR, DAN KEMACETAN

langkah konkret yang tengah dan akan dilakukannya untuk


mengurangi banjir dan kemacetan. Tugas yang memang
sudah seharusnya dilakukan oleh siapa pun yang memimpin
Jakarta, ada atau tidak adanya kritik dan kecaman publik.
Penertiban dan pembersihan bantaran sungai, terutama
Ciliwung dan Pesanggrahan, harus lebih ditingkatkan.
Para pemilik tanah dan bangunan yang berada di sekitar
bantaran sungai harus terus menerus disadarkan agar mereka
berperan serta dalam program ini, sekurang-kurangnya tidak
menghambat jalannya proses penertiban dan pembersihan.
Sampah-sampah yang berserakan—bahkan menum-
puk—di pinggir dan di tengah-tengah sungai harus
dibersihkan. Publik juga harus terus-menerus disadarkan
agar tidak membuang sampah sembarangan. Dengan tertib
membuang sampah pada tempat yang tepat, publik sudah
cukup membantu mengatasi banjir.
Perbaikan saluran air, pembangunan drainase yang bisa
menampung debit air secara signifikan juga harus terus
diupayakan. Jika pemda DKI Jakarta merasa tidak cukup
punya dana, publik bisa digalakkan untuk membangun secara
sukarela (swadaya). Saya yakin tidak ada yang keberatan
karena semua dilakukan semata-mata untuk kepentingan
mereka.
Langkah-langkah yang konkret dan strategis juga harus
terus dilakukan untuk mengurangi kemacetan. Penambahan
ruas-ruas jalan dan penertiban para pengendara agar taat
aturan harus terus digalakkan. Publik harus sepenuhnya

149
JEFFRIE GEOVANIE

sadar bahwa upaya mengurangi kemacetan tidak akan


banyak membantu jika kesadaran disiplin para pengendara
tidak ditingkatkan.
Pembaruan dan penambahan moda transportasi massal
punya peranan penting untuk mengurangi kemacetan
Jakarta. Semakin baik dan nyaman sistem transportasi publik,
akan semakin banyak warga masyarakat yang akan beralih
dari penggunaan kendaraan pribadi ke moda transportasi
publik. Anjuran, atau bahkan seruan untuk menggunakan
transportasi publik tidak ada gunanya jika tidak dibarengi
upaya perbaikan sistemnya agar lebih nyaman dan terpadu.
Jakarta harus dibebaskan dari banjir dan kemacetan.
Ini sudah pasti menjadi harapan bukan hanya warga Jakarta
tapi seluruh warga negara Indonesia. Karena Jakarta adalah
showroomnya Indonesia. Jika Jakarta tampak kumuh, banjir,
dan macet, persepsi warga dunia tentang Indonesia akan
buruk.
Tapi yang juga harus digarisbawahi, kota-kota lain selain
Jakarta juga harus melakukan pembenahan yang sama.
Karena jika hanya Jakarta yang semakin baik kondisinya,
pasti akan berdampak pada kenaikan urbanisasi menuju
Jakarta yang berarti juga akan menambah masalah baru bagi
ibu kota kita tercinta. (geotimes.co.id, 20 November 2015)

150
3. PELAJARAN UNTUK BASUKI
Jika faktor agama menjadi pertimbangan pemilih maka satu-
satunya jalan untuk mengalahkannya adalah dengan perbaikan
kinerja

Ada sejumlah pelajaran penting dari penyelenggaraan Pemilu


Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan serentak pada 9
Desember 2015. Di Banten, para dinasti tetap eksis, bahkan
yang sudah terkena kasus korupsi pun masih ada yang
terpilih. Di luar kemungkinan adanya kecurangan, dalam
kacamata proporsional, fenomena ini menunjukkan bahwa
betapa sulitnya kita menebak apa yang diinginkan rakyat,
para pemilih.
Secara akademik ada standar-standar normatif, siapa
yang seyogianya dipilih sebagai kepala daerah, misalnya soal
kecakapan, integritas, dan lain-lain. Akan tetapi, standar-
standar normatif itu tak selalu sesuai dengan apa yang
secara real dibutuhkan masyarakat. Bagi terduga korupsi
misalnya, standar normatif tentu tidak menginginkannya,
akan tetapi jika rakyat masih mau memilihnya, tak ada yang
bisa mencegah, rakyat punya hak untuk memilih siapa pun
yang dikehendakinya.
Beberapa waktu lalu kita mendengar ada gerakan atau
kampanye anti politisi busuk. Sejumlah nama dicantumkan
agar rakyat tidak memilihnya. Tapi, setelah Pemilu

151
JEFFRIE GEOVANIE

dilangsungkan, di antara mereka tetap saja terpilih. Artinya,


kampanye negatif ternyata tidak cukup efektif.
Kita selalu mengampanyekan agar kriteria-kriteria
objektiflah yang seyogianya dijadikan pedoman bagi
masyarakat untuk memilih pemimpin, tapi jika yang terpilih
adalah mereka yang semata-mata karena popularitas (kasus
artis atau para pesohor), atau karena kesamaan-kesamaan
primordial, kita tidak bisa menolaknya.
Meskipun begitu, tidak lantas membuat kita putus
asa untuk tetap mengampanyekan hal-hal yang baik, yang
seyogianya dijadikan pedoman bagi rakyat untuk memilih.
Kampanye untuk kebaikan harus terus dilakukan walaupun
mungkin belum berdampak signifikan. Kita yakin, lambat
laun kesenjangan antara yang seharusnya dipilih dengan
yang nyatanya bisa terpilih akan semakin mengecil.
Apa yang terjadi dalam Pilkada serentak tahap pertama
bisa menjadi pelajaran bagi kita, terutama bagi para kandidat
kepala daerah, mengenai kriteria apa yang kemungkinan bisa
menarik rakyat untuk memilih, dan kampanye seperti apa
yang berdampak positif bagi peningkatan elektabilitasnya.
Pilkada DKI Jakarta, meskipun memiliki kekhususan,
mekanismenya tidak persis sama dengan Pilkada serentak,
dalam hal kriteria, bagaimana rakyat bisa memilih, dan
kampanye seperti apa yang seyogianya dilakukan, tidak ada
bedanya. Yang membedakan hanya situasi dan kondisinya
yang tidak bisa disamakan antara satu daerah dengan yang
lainnya. Tapi perbedaan situasi dan kondisi bukan harga

152
PELAJARAN UNTUK BASUKI

mati, artinya bisa saja antara satu daerah dengan yang lainnya
memiliki pakem yang sama.
Ada dua kasus yang bisa menjadi pelajaran penting bagi
Basuki Tjahaja Purnama, yakni Pilkada Kota Surakarta dan
Kabupaten Belitung Timur. Dua petahana di dua daerah
yang memiliki hubungan—baik langsung maupun tidak
langsung—dengan Ahok ini mengalami nasib yang berbeda.
Yang pertama, Pilkada Kota Surakarta, kandidat petahana
secara tidak langsung memiliki hubungan dengan Ahok karena
sama-sama melanjutkan kepemimpinan Joko Widodo, dan
sama-sama non-Muslim di daerah yang mayoritas Muslim.
Hasil pindai cepat Pilkada Kota Surakarta vrsi KPU, calon
petahana pasangan F.X. Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo
memperoleh 152.301 (59,92%) mengungguli pasangan
Anung Indro Susanto—M. Fajri yang memperoleh suara
101.866 suara (40,08%)
Kedua, Pilkada Kabupaten Belitung Timur, kandidat
petahana secara langsung punya hubungan erat dengan
Ahok karena merupakan adik kandungnya, yakni Basuri
Tjahaja Purnama, dan kabupaten ini juga pernah dipimpin
Ahok. Hasil hitung cepat Pilkada Kabupaten Belitung Timur
versi Cyrus Network, pasangan Basuri-Fezzi Uktolseja
memperoleh suara 31,81%, dikalahkan oleh pasangan Yuslih
Ihza-Burhanuddin yang memperoleh 51,4%. Yuslih Ihza
adalah kakak kandung Yusril Ihza Mahendra.
Dengan berkaca pada F.X. Hadi Rudyatmo, Ahok
memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan kembali

153
JEFFRIE GEOVANIE

Pilkada DKI Jakarta karena meskipun di kedua daerah ini


sama-sama mayoritas berpenduduk Muslim toh pemilihnya
memiliki ukuran-ukuran yang rasional dan objektif dalam
menentukan pilihan kepala daerah. Keberhasilan Hadi
Rudyatmo memimpin Kota Surakarta mampu membendung
arus sektarian yang berusaha mengalahkannya dengan
mengedepankan isu-isu agama.
Sebaliknya pada kasus Kabupaten Belitung Timur
yang tidak bisa dilepaskan dari Ahok, sang penantang bisa
mengalahkan petahana. Perlu dijajaki lebih jauh mengapa
petahana kalah, betulkah karena faktor agama, ataukah karena
Basuri memang dinilai kurang berhasil dalam memimpin
daerahnya sehingga masyarakat tidak menginginkannya
kembali memimpin. Atau bisa jadi kekalahan Basuri justru
karena ia dihubung-hubungkan dengan Ahok, dan yang
mengalahkannya dihubung-hubungkan dengan Yusril Ihza
yang popularitasnya cukup tinggi.
Apa pun penyebabnya, kekalahan Basuri bisa menjadi
peringatan keras bagi Ahok. Jika percaya nasib buruk bisa
menular maka Ahok harus menepis kepercayaan ini dan
mengubahnya menjadi tantangan yang bisa memotivasi dirinya
untuk bekerja lebih cerdas dan efektif dalam memajukan DKI
Jakarta. Jika faktor agama menjadi pertimbangan pemilih
maka satu-satunya jalan untuk mengalahkannya adalah
dengan perbaikan kinerja, dan inilah faktor dominan yang
mengantarkan Hadi Rudyatmo memenangkan Pilkada, di
samping tentu ada faktor PDIP yang mendukungnya. Ahok

154
PELAJARAN UNTUK BASUKI

harus bekerja melebihi Hadi Rudyatmo karena sejauh ini


belum ada faktor pendukung dari partai politik yang bisa
diandalkannya. (geotimes.co.id, 18 Desember 2015)

155
4. SERANGAN BERTUBI PADA BASUKI
Jika diklasifikasi, serangan terhadap Basuki ada tiga macam:
pertama, menyangkut kebijakan; kedua, soal tuduhan korupsi;
dan ketiga soal ras dan agama.

Satu sisi ada glorifikasi, di sisi lain ada serangan bertubi-


tubi. Itulah yang mewarnai fenomena kemunculan Basuki
Tjahaja Purnama di pentas politik pemilihan kepala daerah
(Pilkada) DKI Jakarta.
Glorifikasi dilakukan oleh para pendukung fanatik-
nya, sedangkan serangan bertubi-tubi dilakukan oleh para
pembencinya. Dan para pembenci Basuki sekarang punya
organisasi tanpa bentuk yang disebut Abas (Asal Bukan
Basuki). Para aktivis Abas punya kesibukan yang luar biasa,
tiap hari ada saja yang mereka lakukan untuk menyerang
Basuki.
Jika diklasifikasi, serangan terhadap Basuki ada tiga
macam: pertama, menyangkut kebijakan; kedua, soal
tuduhan korupsi; dan ketiga soal ras dan agama. Serangan-
serangan ini, terutama disebarkan melalui media sosial
dengan menampilkan tulisan-tulisan yang insinuatif dan
penuh hasutan, di samping tentu saja melalui aksi-aksi nyata
di lapangan.
Yang menyangkut kebijakan misalnya dengan merujuk
pada fakta minimnya penyerapan anggaran belanja daerah

156
SERANGAN BERTUBI PADA BASUKI

( APBD) DKI Jakarta yang kemudian diarahkan pada


kesimpulan bahwa Ahok tidak berhasil. Sejumlah hasil
survei yang menunjukkan kepuasan publik terhadap kinerja
Ahok dianggap sebagai pesanan untuk menutup-nutupi
ketidakberhasilan. Itu yang pertama.
Kedua, soal tuduhan korupsi. Meskipun sudah ada
penjelasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang
posisi Ahok pada kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber
Waras (RSSW), para aktivis Abas tidak mempercayainya
dan tetap bersikukuh pada keyakinan keterlibatan Ahok
sehingga mereka terus-menerus melakukan mobilisasi aksi
yang menyasar pada KPK.
Pada Senin, (4/4/2016) misalnya, mereka berbondong-
bondong menuju kantor KPK di Jalan Rasuna Said Jakarta
Selatan, tujuannya mendesak agar komisi antirasuah ini
segera menangkap Ahok. Tuduhan yang sesungguhnya sudah
menjadi lagu lama yang terus diputar ulang dan bahkan
direproduksi untuk ditawarkan kepada semua warga Jakarta
agar bisa terpengaruh. Lagu lama yang dimaksud adalah
dengan merujuk temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
bahwa terdapat kesalahan prosedur dan merugikan negara
hingga ratusan miliar dalam proses pengadaan lahan RSSW.
Selain kasus RSSW—pasca operasi tangkap tangan (OTT)
KPK terhadap Muhammad Sanusi—yang juga diarahkan
pada Ahok adalah kasus reklamasi pantai utara Jakarta. Kasus
inilah yang mengantarkan Sanusi ke rutan KPK, yang juga
menyeret Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land,

157
JEFFRIE GEOVANIE

Ariesman Widjaja, dan menyebabkan Bos Agung Sedayu


Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, dan orang dekat Ahok,
Sunny Tanuwijaya, dicekal (dicegah) KPK ke luar negeri.
Mungkin para aktivis Abas kesal karena alih-alih
menangkap Ahok malah KPK menangkap Muhammad Sanusi
yang nota bene salah satu tokoh yang dinominasikan untuk
mengalahkan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Sanusi adalah
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra yang
merupakan adik kandung Muhammad Taufik, Ketua Partai
Gerindra DKI Jakarta.
Yang menarik, salah satu misi Sanusi jika berhasil
menduduki jabatan Gubernur DKI Jakarta adalah ingin
memberlakukan syariat Islam di DKI Jakarta. Misi ini
unik—untuk tidak dikatakan lucu—karena korupsi yang
membuatnya ditangkap KPK merupakan tindakan haram
yang sangat bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam kasus reklamasi pantai utara Jakarta, Ahok
dibawa-bawa lantaran dianggap menandatangani izin
reklamasi, padahal yang benar, Ahok hanya memperpanjang
apa yang sudah dilakukan oleh Gubernur sebelumnya
(sebelum Jokowi) yakni Fauzi Bowo.
Adapun suap yang menjerat Sanusi terkait dengan
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta
2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata
Ruang Kawasan Strategi Pantai Jakarta Utara yang diajukan
DPRD DKI Jakarta, terutama pasal yang menyangkut

158
SERANGAN BERTUBI PADA BASUKI

kewajiban pengembang reklamasi, Ahok menginginkan


15%, sedangkan DPRD hanya 5%.
Ketiga, serangan paling gencar tentu saja menyangkut
agama dan ras. Ayat-ayat al-Quran yang secara eksplisit
melarang pengangkatan pemimpin kafir terus menerus
dieksploitasi dengan menafikan penafsiran-penafsiran
kontekstual yang lebih melihat pada substansi makna kafir
sebagai bentuk penyimpangan-penyimpangan kekuasaan.
Artinya, pelarangan yang dimaksud sejatinya tidak berlaku
bagi pemimpin yang sudah terbukti tidak melakukan
penyimpangan.
Sedangkan yang menyangkut ras, lebih diarahkan
terutama pada karakter Ahok yang dianggap kasar dan
sombong sehingga dianggap berpotensi memicu kebencian
terhadap China (suku Tionghoa) yang di negeri ini sudah
memiliki sejarah panjang. Tragedi kelam 8 Oktober 1740
yang membakar kurang lebih 6-7 ribu rumah sekaligus
membantai penghuninya sehingga (diperkirakan) ratusan
orang Tionghoa menjadi korban pun diputar ulang. Begitu
juga dengan tragedi Mei 1998 yang juga dikabarkan
membawa korban (tak terhitung) warga Tionghoa.
Di antara saksi-saksi sejarah yang merasa menjadi kor-
ban kebencian terhadap Tionghoa seperti Jaya Suprana
dan Lius Sungkharisma pun bersuara keras mengingatkan
Ahok agar berhenti dan mundur dari panggung politik
yang sejatinya tidak memiliki alasan kuat selain dari adanya

159
JEFFRIE GEOVANIE

trauma (sindrom) yang justru seyogianya dilawan dengan


membuktikan keberhasilan Ahok di panggung politik.
Efektifkah serangan bertubi pada Ahok? Yang terjadi
malah sebaliknya. Gelombang simpati pada Ahok semakin
tak terbendung. Militansi para pendukungnya pun semakin
menguat sehingga kemungkinan Ahok memenangkan
Pilkada semakin membesar. (geotimes.co.id, 09 April 2016)

160
5. DISKREDIT BASUKI
Mengimbangi diskredit dengan kredit yang jauh lebih masif
adalah satu-satunya cara untuk meminimalisasi dampak negatif
dari setiap diskredit bagi Ahok.

Banyak metode untuk mendorong seseorang agar bisa po-


puler, bisa dicintai, dan didukung untuk menjadi pemimpin.
Tapi tidak semua metode sesuai dengan situasi dan kondisi.
Salah memilih metode, alih-alih meraih hasil yang positif
malah sebaliknya justru membuahkan hasil yang negatif.
Dukungan publik terhadap Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama—yang akrab disapa Ahok—untuk
memperpanjang jabatannya sebagai Gubernur, menurut saya
tidak semuanya sesuai dengan situasi dan kondisi Jakarta
khususnya, dan kondisi Indonesia pada umumnya.
Di antara yang tidak sesuai itu, pertama metode atau
cara yang ditempuh dengan menggalang sentimen etnis.
Kita mafhum, banyak warga etnis Tionghoa yang merasa
bangga dengan tampilnya Ahok sebagai salah satu pemimpin
yang penting di negeri ini. Namun pada saat kebanggaan itu
diekspresikan dalam bentuk kegiatan yang bisa dikategorikan
kampanye dengan menonjolkan sentimen etnis Tionghoa
maka bukannya membantu malah bisa merepotkan posisi
Ahok.

161
JEFFRIE GEOVANIE

Kita masih ingat, pada saat pasangan Fauzi Bowo dan


Nachrowi Ramli pada Pilkada DKI Jakarta periode lalu
mengusung sentimen etnis Betawi, hasilnya malah negatif,
karena menurut survei, ternyata etnis Betawi sudah tidak lagi
mayoritas di DKI Jakarta. Selain itu, mengusung etnisitas di
era sekarang sudah bukan waktunya lagi.
Kedua, cara yang juga negatif untuk popularitas dan
elektabilitas Ahok adalah kegiatan atau pernyataan dukungan
terhadap dirinya dengan menggunakan sentimen agama.
Sebagai contoh, kita banyak menyaksikan “testimoni” tokoh
agama mengenai kepemimpinan Ahok di tempat ibadah yang
rekamannya tersebar di media sosial.
Seperti sentimen etnis, sentimen agama sudah tidak
relevan dijadikan bahan kampanye. Tentu, para tokoh agama
itu bukan bermaksud kampanye, mereka hanya memberi
kesaksian, mungkin untuk menambah keyakinan/keimanan
bahwa jika Tuhan sudah berkehendak, apa pun bisa terjadi,
termasuk Ahok menjadi pemimpin. Bahkan di antara
kesaksian yang beredar di media sosial, ada di antaranya
yang memprediksi Ahok sudah dikehendaki Tuhan akan
menjadi Presiden RI.
Menurut ketentuan perundang-undangan, testimoni-
testimoni ini juga tentu tidak memenuhi kriteria sebagai
kampanye karena tidak memenuhi unsur-unsur yang harus
ada dalam kegiatan kampanye. Namun demikian, di mata
publik, testimoni-testimoni itu bisa dipersepsi sebagai bentuk

162
DISKREDIT BASUKI

soft kampanye yang dilakukan di luar kegiatan kampanye


formal. Persepsi inilah yang menjadi diskredit, terutama
bagi elektabilitas Ahok. Karena di samping penggunaan
sentimen etnis dan agama tidak relevan, langkah-langkah
seperti ini juga bertentangan dengan komitmen yang selama
ini ditekankan oleh Ahok.
Dulu, pada saat media sosial belum berkembang seperti
saat ini, mungkin kegiatan-kegiatan yang spesifik untuk
situasi dan tempat yang spesifik masih bisa dilakukan.
Tapi untuk saat ini tidak bisa lagi dilakukan karena melalui
media sosial yang spesifik itu bisa menyebar kemana-mana,
bahkan sampai pihak-pihak yang tidak selayaknya menerima
informasi tentang kegiatan yang spesifik itu.
Dalam banyak kesempatan, Ahok menegaskan bahwa
dirinya hanya berkomitmen dalam dua hal, menegakkan
konstitusi dan anti korupsi. Dalam menegakkan konstitusi,
implikasinya tentu harus mencegah atau setidaknya
menghindari segala kemungkinan yang menyeret dirinya
pada segala kegiatan yang bisa dipersepsi bertentangan
dengan konstitusi.
Memegang komitmen seperti ini bukan pekerjaan
mudah karena sebagai tokoh publik yang memiliki banyak
pendukung, Ahok tidak bisa melarang siapa pun untuk
memberikan dukungan pada dirinya. Di samping pemberian
dukungan pada tokoh politik merupakan hak setiap warga
negara, melarang dukungan juga sama artinya dengan
“bunuh diri” secara politik.

163
JEFFRIE GEOVANIE

Lantas bagaimana cara menghadapi dukungan dan


antusiasme publik yang bisa dipersepsi merusak komitmen
dirinya pada penegakkan konstitusi? Inilah dilema bagi Ahok.
Untuk keluar dari dilema ini, saya kira akan sangat
baik jika Ahok menjalin komunikasi intensif dengan
para pendukungnya agar mereka berdiri tegak pada garis
komitmen yang sama dengan dirinya. Menghindari kegiatan-
kegiatan yang kemungkinan bisa menyeret dirinya pada
penguatan sentimen etnis dan agama merupakan keniscayaan
yang harus ditaati oleh siapa pun yang menginginkan Ahok
menjadi pemimpin.
Untuk sejumlah testimoni yang sudah beredar di media
sosial dengan mengusung sentimen etnis dan agama, tidak
perlu ditarik dari peredaran karena selain tidak mungkin
bisa dilakukan, hal itu sudah menjadi milik publik yang
mungkin sebagian sudah tersimpan di memori gadget yang
bisa ditonton, diperdengarkan, atau bahkan diforward
kemana-mana.
Yang perlu dilakukan adalah penyebaran testimoni-
testimoni baru yang lebih konstruktif bagi popularitas dan
elektabilitas Ahok, yang terbebas dari unsur-unsur yang
mengarah pada SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Ini akan menjadi kredit bagi Ahok.
Mengimbangi diskredit dengan kredit yang jauh lebih
masif adalah satu-satunya cara untuk meminimalisasi
dampak negatif dari setiap diskredit bagi Ahok. (geotimes.
co.id, 18 Desermber 2015)

164
6. UJIAN BERAT BASUKI
Ibarat pepatah, semakin tinggi pohon semakin kencang terpaan
angin, semakin tinggi popularitas dan elektabilitas Ahok,
semakin berat ujian yang dihadapi.

Hidup seseorang dari lahir hingga dewasa, secara proporsional


akan terus menanjak, ibarat masuk sekolah dari kelas satu
dan seterusnya hingga kelas yang paling tinggi. Untuk bisa
naik kelas harus lulus ujian, dari yang ringan hingga yang
amat berat. Makin tinggi kelasnya, makin berat ujiannya.
Semakin mendekati waktu pemilihan kepala daerah
(Pilkada) DKI Jakarta, semakin berat tantangan yang
dihadapi Gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama yang
populer disapa Ahok. Ibarat pepatah, semakin tinggi pohon
semakin kencang terpaan angin, semakin tinggi popularitas
dan elektabilitas Ahok, semakin berat ujian yang dihadapi.
Lawan-lawan politik Ahok semakin menyadari bahwa
mereka tidak mudah mendapat dukungan rakyat karena
memang sangat sulit untuk mencari isu strategis yang bisa
memalingkan publik dari fakta-fakta keberhasilan Ahok
dalam memimpin ibu kota. Kesadaran akan kekalahan inilah
yang mendorong mereka “bersatu” untuk menggagalkan
pencalonan Ahok dengan berbagai cara. Tentu kondisi ini
menjadi ujian berat bagi Ahok.

165
JEFFRIE GEOVANIE

Jika ditelisik, ada tiga jenis ujian Ahok, pertama, soal


tuduhan korupsi. Ujian ini berat karena sudah bercampur
baur antara fakta dan opini, dan semakin nyaring pula pihak-
pihak yang beropini bahwa Ahok terlibat dua kasus besar:
pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras dan proyek
reklamasi pantai utara Jakarta.
Untuk reklamasi pantai sudah mulai mereda karena
adanya moratorium yang diputuskan setelah pertemuan
antara Gubernur Ahok dengan Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli, dan Menteri
Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar.
Meskipun opini mereda, namun perjalanan kasus korupsinya
tetap bergulir di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang tidak menutup kemungkinan tersangkanya terus
bertambah.
Terkait RS Sumber Waras, kegaduhannya terus
bertambah karena semakin banyak pihak yang melibatkan
diri, meskipun tidak ada kaitan sama sekali. Yang terkait
langsung adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
beropini bahwa hasil auditnya atas pembelian tanah RS
Sumber Waras bermasalah dan merugikan negara Rp 191
miliar. Dan yang berwenang mengusut adalah KPK yang
sejauh ini sudah memanggil sejumlah saksi, termasuk
Gubernur Ahok.
Yang tidak ada kaitan namun berusaha ikut campur
adalah DPR RI. Apa kaitannya legislator pusat dengan urusan
pemerintah daerah? Kalau pun ada kaitan pengawasan, maka

166
UJIAN BERAT BASUKI

tugas itu berada di wilayah DPRD DKI Jakarta yang menjadi


mitra sejajar Pemda DKI Jakarta. Adalah, Wakil Ketua DPR
RI, Fadli Zon, yang terus menyuarakan agar dibentuk Panitia
Khusus (Pansus) DPR RI untuk menelisik kasus Sumber
Waras.
Ada apa sebenarnya dengan Fadli Zon? Publik lantas
mengaitkannya dengan posisi Ahok yang dianggap telah
mengkhianati Partai Gerindra. Fadli sebagai legislator yang
mewakili partai berlambang kepala burung garuda ini,
bukan tidak mungkin ingin menggunakan isu Sumber Waras
sebagai alat untuk membalas dendam politik pada Ahok.
Kedua, ujian yang tidak kalah berat adalah menyangkut
kebijakan Ahok yang dianggap pro kapitalis dan anti rakyat
kecil. Pasca penertiban Kampung Luar Batang, opini bahwa
Ahok telah menyengsarakan rakyat terus dihembuskan oleh
banyak kalangan. Dengan mengatasnamakan masyarakat
“Luar Batang Bersatu” mereka terus menerus menggelar aksi
yang penuh provokasi.
Dalam panggung rapat akbar, beberapa politikus yang
jelas-jelas menjadi lawan politik Ahok seperti Yusril Ihza
Mahendra, Moeldoko, dan para aktivis “Asal Bukan Ahok”
tak henti-hentinya menyerang Ahok. Sejumlah spanduk
dan banner yang isinya mendiskreditkan Ahok disebar di
beberapa sudut kota, terutama di kampung-kampung yang
dihuni masyarakat kelas bawah.
Provokasi ini, jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin
akan menggerus suara Ahok dalam Pilkada nanti, mengingat

167
JEFFRIE GEOVANIE

masyarakat kelas menengah ke bawah—yang menjadi objek


provokasi—merupakan pemegang suara yang jumlahnya
signifikan. Harus ada counter issue yang mampu memberikan
fakta-fakta konstruktif atas kebijakan Ahok terkait relokasi,
terutama untuk masyarakat Luar Batang, Kalijodo, dan
Kampung Pulo.
Adapun jenis ujian ketiga adalah berupa hambatan-
hambatan politik terkait persyaratan administratif Pilkada.
Baru-baru ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan
syarat dukungan bermaterai bagi calon perseorangan.
Meskipun bersifat teknis, jika syarat ini harus dipenuhi
jelas akan mempersulit posisi Ahok. Menempelkan materai
pada lembar dukungan yang jumlahnya enam ratus ribu
lebih, atau bahkan satu juta (jika sesuai target) jelas
merupakan pekerjaan yang tidak gampang, di samping akan
membutuhkan dana yang cukup besar.
Bukan tidak mungkin, partai-partai besar yang
berkepentingan mengalahkan Ahok dalam Pilkada akan
berdiri di belakang KPU untuk mendukung diterapkannya
persyaratan yang jelas-jelas tidak diatur dalam Undang-
undang Pilkada ini. Menghadang dari pintu persyaratan
akan menjadi alternatif pada saat upaya-upaya mengalahkan
secara elegan sulit dilakukan.
Tapi yakinlah, jika rakyat sudah benar-benar
menginginkan Ahok tetap menjadi Gubernur DKI, langkah
apa pun untuk menghadangnya tidak akan berhasil. Semakin
dihadang, dukungan publik terhadap Ahok akan semakin

168
UJIAN BERAT BASUKI

militan. Bagi sebagian besar warga DKI Jakarta, memilih


Ahok sama artinya dengan menyelamatkan Jakarta dari
kasus-kasus korupsi, menyelamatkan ibukota dari kekuasaan
para mafia. (geotimes.co.id, 22 April 2016)

169
7. SALAH SANGKA PADA BASUKI
Banyak orang melihat Ahok hanya dari penampilan “kulit luar”
terutama dari tutur katanya, bukan melihat dari kinerjanya.

Ada beberapa kalangan yang salah duga, curiga, atau bahkan


buruk sangka terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok). Akibatnya, muncullah tuduhan-
tuduhan yang tidak proporsional ditujukan kepadanya. Ia,
misalnya dituduh akan menjadikan Jakarta sebagai kota yang
hanya bisa dihuni oleh orang-orang kaya, para taipan, dan
meminggirkan orang-orang miskin.
Salah duga terhadap Ahok pada dasarnya sama dengan
salah duga terhadap manusia yang disebut ilmuwan Prancis
Alexis Carrel sebagai the unknown (makhluk misterius).
Manusia memiliki multidimensi. Jika dilihat hanya dari
satu dimensi saja, sudah bisa dipastikan akan melahirkan
paham yang salah (gagal paham) tentang manusia, persis
seperti hikayat empat orang buta yang meraba seekor gajah
yang kemudian masing-masing punya persepsi yang berbeda
tentang gajah sesuai dengan bagian tubuh (dimensi) yang
dirabanya.
Begitu pun pandangan beberapa kalangan terhadap
Ahok. Karena hanya melihat dari satu dimensi saja, misalnya
dalam hal ketegasannya merelokasi pemukiman-pemukiman

170
SALAH SANGKA PADA BASUKI

kumuh yang umumnya ditinggali orang-orang miskin, maka


kemudian lahirlah kesimpulan Ahok anti rakyat miskin.
Atau pada saat dilihat semata-mata dari ucapan-ucapan-
nya yang terkadang kasar, atau bahkan penuh makian dengan
menyebut nama binatang dan kotoran manusia, maka
lahirlah kesimpulan bahwa Ahok adalah sosok pemimpin
yang pemarah dan bermulut kotor.
Padahal, setiap ucapan dan tindakan, apalagi dari
seorang pemimpin, sudah pasti memiliki latar belakang atau
alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa
Ahok melakukan relokasi tempat tinggal (menggusur—
dalam bahasa para pembencinya)? Alasan utamanya, selain
untuk menertibkan dan mempercantik lingkungan, yang
lebih penting adalah untuk memperbaiki nasib mereka yang
direlokasi itu.
Coba perhatikan tempat-tempat yang direlokasi
penduduknya, pada umumnya berubah menjadi taman kota
yang indah dan nyaman bagi siapa pun yang berkunjung
ke tempat itu. Memang, tidak semua warga yang direlokasi
lantas berubah nasibnya menjadi orang-orang kaya. Tapi
setidaknya mereka bisa tinggal di tempat yang jauh lebih
baik dari tempat yang ditinggali sebelumnya.
Di tempat baru yang lebih baik niscaya akan menum-
buhkan harapan, memunculkan semangat baru dan
optimisme yang selama tinggal di tempat kumuh tidak
akan bisa didapatkan. Bahwa tidak semua orang mampu
mengaktualisasikannya dalam bentuk yang lebih konkret

171
JEFFRIE GEOVANIE

seperti tambahnya income adalah hal yang wajar karena


masing-masing orang memiliki etos dan kinerja yang
berbeda-beda.
Bagi yang malas bekerja, di mana pun tempatnya,
nasibnya akan tidak jauh berbeda. Tapi bagi yang tekun
dan rajin, produktivitasnya akan semakin meningkat pada
saat tersedia daya dukung yang memadai. Relokasi di tempat
yang lebih baik otomatis akan mengubah nasib menjadi lebih
baik bagi mereka yang memiliki etos kerja yang baik.
Terkait Ahok yang terkesan sebagai gubernur pemarah
dan pemaki, coba kita perhatian dengan cermat, kepada
siapa amarah dan makian itu ditujukan? Apakah ditujukan
pada orang-orang baik dan terhormat. Tidak, akan tetapi
ditujukan pada mereka yang diyakini korup dan culas. Untuk
orang-orang baik, Ahok menyampaikan ucapan-ucapan yang
baik juga. Ia bersikap proporsional. Ia punya cara yang khas
kepada siapa ia berbicara. Bahwa mungkin ada ucapan yang
salah sasaran, misalnya ada orang baik-baik yang terkena
makian, itulah hal yang perlu diperbaiki dari Ahok.
Sehebat apa pun Ahok, ia tetap manusia biasa yang tidak
luput dari kesalahan. Jika ada ungkapan dan umpatan yang
salah sasaran, tentu itu kesalahan yang perlu diperbaiki, dan
Ahok yang saya kenal bukan orang yang menutup diri dari
koreksi dan masukan-masukan. Siapa pun boleh memberi
masukan, dan bahkan ia memberi ruang seluas-luasnya
untuk siapa pun yang akan menyampaikan kritik dan saran.

172
SALAH SANGKA PADA BASUKI

Untuk setiap saran dan kritikan yang masuk akal, Ahok


akan menerimanya dengan lapang dada, dan merealisasikan
masukan dan saran yang baik bukan sesuatu yang tabu
baginya. Keterbukaan inilah saya kira, yang menjadi salah
satu kunci sukses Ahok dalam memimpin, termasuk
memimpin Provinsi DKI Jakarta.
Mungkin banyak kalangan terheran-heran, mengapa
Ahok yang kadang mengeluarkan kata-kata kotor itu,
dalam setiap survei yang dilakukan secara objektif selalu
mendapatkan apresiasi yang baik, kinerjanya dianggap bagus
dengan tingkat elektabilitas yang jauh meninggalkan lawan-
lawannya.
Saya kira ada dua hal yang bisa mengikis rasa heran ini.
Pertama, seperti yang sudah saya paparkan, karena salah
sangka. Banyak orang melihat Ahok hanya dari penampilan
“kulit luar” terutama dari tutur katanya, bukan melihat dari
kinerjanya. Elektabilitas yang tinggi bagi petahana tidak
mungkin terjadi jika bukan karena baiknya kinerja.
Kedua, mungkin karena sejauh ini belum ada lawan
politik Ahok yang seimbang, yang popularitasnya tinggi dan
memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemimpin. Tingginya
popularitas dan rekam jejak yang baik adalah kombinasi
yang selama ini membuat Ahok unggul dalam setiap survei.
Mungkin ada calon gubernur yang rekam jejaknya baik tapi
popularitasnya rendah. Atau ada juga yang popularitasnya
menjulang tapi rekam jejaknya biasa-biasa saja atau bahkan
buruk. (GeoTIMES.co.id, 19 Mei 2016)

173
8. PARA PENANTANG BASUKI
Untuk saat ini, sebagai inkumben, mungkin Ahok yang paling
populer. Tapi bukan tidak mungkin juga jika pada saat-saat
menjelang Pilkada nanti, popularitas Ahok akan disalip oleh
para penantangnya.

Pada saat tulisan ini disusun, Pemilihan Kepala Daerah


(Pilkada) DKI Jakarta masih kurang lebih dua tahun lagi,
namun sejumlah nama yang akan maju menantang Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) sudah bermunculan. Walikota
Bandung Ridwan Kamil, mantan Menteri Pemuda dan
Olahraga Adyaksa Dault, dan pengusaha nasional Sandiaga
Salahuddin Uno, adalah tiga di antara nama-nama yang
sudah banyak disebut akan maju dalam Pilkada DKI.
Sebelum benar-benar menjadi calon gubernur, tentu saja
semua bakal calon itu harus memenuhi syarat, termasuk Ahok
sebagai inkamben. Syarat utama adalah dukungan dari partai
politik atau gabungan partai politik, atau bisa juga dengan
dukungan warga DKI Jakarta melalui jalur perorangan.
Melalui opsi kedua (jalur perorangan), misalnya, relawan
yang tergabung dalam “Teman Ahok” tengah berjibaku
mengumpulkan satu juta tanda tangan dukungan dan (foto
kopi) Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk pencalonan Ahok.
Siapa di antara mereka yang paling berpeluang
menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017-2022, Ahok atau para

174
PARA PENANTANG BASUKI

penantangnya? Masih terlalu dini untuk bisa menjawab


pertanyaan ini. Selain belum ada hasil survei yang sudah
mendeteksi popularitas dan elektabilitas mereka, pola
dukungan terhadap bakal calon gubernur juga masih sangat
cair.
Untuk saat ini, sebagai inkumben, mungkin Ahok yang
paling populer. Tapi bukan tidak mungkin juga jika pada
saat-saat menjelang Pilkada nanti, popularitas Ahok akan
disalip oleh para penantangnya. Dalam politik, popularitas
politisi sangat fluktuatif.
Kita masih ingat, pada saat Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu,
bahkan sampai menjelang hari “H” popularitas Fauzi Bowo
(Foke) sebagai inkumben masih di atas angin. Tapi siapa
sangka, sang penantang, Joko Widodo, yang memenangkan
pemilihan pemimpin ibu kota (tahap kedua).
Tentu saja, meskipun sama-sama inkumben, antara Foke
dan Ahok tak bisa disamakan. Keduanya sangat jauh berbeda
secara penampilan dan kinerja. Selain itu, lawan-lawan Foke
juga tak bias dibandingkan dengan para penantang Ahok
saat ini. Lawan Foke saat itu, Jokowi dan Ahok, dua tokoh
fenomenal pada masanya.
Sementara para penantang Ahok saat ini, seperti
disinggung di atas, adalah tokoh-tokoh yang sudah kita
kenal bagaimana rekam jejaknya. Dari ketiganya, yang paling
menarik tentu Ridwan Kamil yang populer dipanggil Kang
Emil, sebagai Walikota Bandung dia cukup populer dan
dianggap berprestasi. Media-media sering menyejajarkan

175
JEFFRIE GEOVANIE

Kang Emil dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini,


Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, atau Jokowi pada saat
menjadi Walikota Solo.
Sebelum menjadi Walikota, Kang Emil merupakan
arsitek yang banyak menginspirasi dengan meraih sejumlah
penghargaan bergengsi, terutama berkaitan dengan konsep-
konsep baru tata ruang perkotaan yang sesuai kebutuhan
zaman dan lebih ramah lingkungan. Kelemahan Kang Emil,
pada tahun ini Bandung masih menduduki posisi sebagai
salah satu kota terkotor meskipun bukan dengan nilai
terbawah seperti tahun-tahun sebelumnya pada saat masih
dipimpin Dada Rosada.
Selain Kang Emil, Sandiaga Salahuddin Uno atau
lebih populer disebut Sandi Uno, juga profil yang menarik
karena latar belakangnya sebagai enterpreneur. Kelebihan
enterpreneur, biasanya memiliki kreativitas di atas rata-
rata, bisa berpikir dan bergerak di luar kebiasaan (out of
the box). Jokowi dan Jusuf Kalla adalah di antara contoh
pejabat publik yang berlatar belakang enterpreneur. Pernah
jatuh bangun di dunia usaha serta berpengalaman memimpin
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) bisa menjadi
modal sosial yang baik bagi Sandi Uno. Kelemahan Sandi
Uno, belum memiliki pengalaman memimpin birokrasi
pemerintahan.
Penantang lain, Adyaksa Dault, salah satu tokoh pemuda
yang punya pengalaman relatif lengkap, pernah memimpin
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Menteri Pemuda

176
PARA PENANTANG BASUKI

dan Olahraga (2004-2009), dan sekarang memimpin Kwartir


Nasional Pramuka. Kemunculannya sebagai bakal calon
gubernur didukung oleh sejumlah komponen masyarakat
yang selama ini menolak kepemimpinan Ahok.
Ketiga (calon) penantang Ahok merupakan tokoh-tokoh
muda yang mumpuni. Yang perlu disadari, menantang
bukan berarti harus menang. Soal kalah menang biarlah
rakyat (warga DKI Jakarta) yang akan menentukan. Maju
dalam Pilkada, yang paling penting adalah untuk pendidikan
politik. Dalam proses Pilkada, para kandidat akan merasakan
secara langsung praktik politik yang sesungguhnya. Jika
pengalaman adalah guru terbaik, maka berpolitik secara
langsung merupakan guru terbaik bagi para kandidat dan
pendukung-pendukungnya.
Dalam kompetisi politik yang sehat, kesediaan menerima
kekalahan merupakan pendidikan politik yang berharga
bagi rakyat (para pemilih) dan bagi generasi mendatang,
bahwa berpolitik bukan untuk menang-menangan. Politik
menang-menangan pasti akan menghalalkan segala cara.
“Boleh curang yang penting menang” akan menjadi moto
praktik politik menang-menangan.
Kesadaran akan pentingnya mengedepankan pen-
didikan politik inilah yang pertama-tama harus menjadi
pegangan para penantang berikut inkumben dalam setiap
proses pemilihan kepala daerah, termasuk Ahok dan para
penantangnya. (GeoTIMES, 12-18 Oktober 2015)

177
9. UJIAN INDEPENDENSI BASUKI
Karena fenomena Ahok, calon perseorangan mendapatkan ujian
berat, baik secara politis maupun administratif.

Calon independen (perseorangan) dalam pemilu kepala


daerah (Pilkada) sah menurut undang-undang. Tetapi,
mengapa ada upaya terus-menerus, terutama dari kalangan
aktivis partai politik, untuk mempersepsikan calon
perseorangan seolah menjadi hal yang tabu? Mengapa dalam
proses penyempurnaan undang undang Pilkada baru-baru
ini partai politik seolah merasa terancam dengan kehadiran
calon perseorangan?
Saya kira, proses politik penyempurnaan UU Pil-
kada tidak lepas dari realitas politik yang tengah terjadi,
terutama dikaitkan dengan Pilkada yang (akan) berlangsung
di DKI Jakarta. Diakui atau tidak, umumnya partai politik
(merasa) terancam dengan kehadiran gubernur petahana,
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang lebih memilih jalur
perseorangan ketimbang partai politik.
Partai politik layak merasa terancam karena keha-
diran Ahok berbeda dengan umumnya calon perseorangan
yang selama ini muncul dalam Pilkada. Umumnya calon
perseorangan tidak memiliki pilihan seperti Ahok. Andaikan
mempunyai pilihan, hampir bisa dipastikan lebih memilih
dari jalur partai politik. Ahok punya pilihan. Ahok bebas

178
UJIAN INDEPENDENSI BASUKI

memilih, apakah jalur perseorangan atau partai politik. Dan,


pada saat Ahok memilih jalur perseorangan, inilah yang
merisaukan partai politik.
Partai politik risau karena Ahok memiliki rekam jejak
yang berani melawan partai politik, dan perlawanan Ahok
mendapat dukungan publik. Sudah beberapa kali Ahok
berkonflik dengan anggota legislatif yang nota bene dari
partai politik, dan Ahok selalu menang. Kalau pun pernah
kalah, itu karena dikalahkan oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) terkait salah satu Peraturan Gubernur
tentang Reklamasi. Itu pun tak mengurangi dukungan publik
pada Ahok.
Karena fenomena Ahok, calon perseorangan mendapatkan
ujian berat, baik secara politis maupun administratif. Secara
politis, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terus-
menerus membujuk agar Ahok bersedia maju dari partai
politik. Dan, bujukan PDIP sangat maut karena memiliki
kursi lebih dari cukup untuk satu tiket calon kepala daerah.
Andaikan bukan Ahok, so pasti akan mengambil tiket itu.
Secara administratif, calon perseorangan dihambat
melalui upaya pembaruan atau pembakuan formulir yang
secara teknis terkait dengan ratusan ribu formulir dukungan
dari pemegang hak pilih yang akan menyita banyak waktu
dan membutuhkan banyak tenaga jika harus diganti.
Ditambah pula dengan verifikasi faktual yang harus
melalui metode sensus, mendatangi langsung setiap
pendukung. Sebelumnya, verifikasi faktual cukup diatur

179
JEFFRIE GEOVANIE

dengan peraturan KPU yang tentu bersifat kondisional.


Sekarang diatur dalam undang-undang yang secara otomatis
harus dilaksanakan oleh KPU, khususnya Panitia Pemungutan
Suara (PPS) untuk melakukan sensus. Belum lagi, waktu
verifikasi juga dipersingkat, dari 14 hari menjadi tiga hari.
Ketentuan verifikasi ini tidak hanya memberatkan calon
perseorangan, tapi juga memberatkan KPU dan jajarannya.
Jika KPU gagal melaksanakan tugas ini bisa dipidana dan
didenda. Dan kegagalan KPU bisa berimplikasi juga pada
kegagalan calon perseorangan.
Menghadapi Pilkada DKI Jakarta, dengan fenomena Ahok
di dalamnya, kita sadar bahwa partai politik belum move on.
Sejatinya, pada saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
diperbolehkannya calon independen (perseorangan) dalam
proses Pilkada tahun 2007 silam, kita berharap itu menjadi
cambuk bagi partai politik untuk berbenah karena publik
sejatinya tidak terfokus pada dari mana calon kepala daerah
berasal. Publik lebih melihat kualitas sang calon, apakah
berasal dari partai politik atau perseorangan, belum menjadi
pertimbangan yang kuat.
Saya katakan belum—bukan tidak—menjadi pertim-
bangan karena bisa jadi, suatu saat, publik akan lebih
mempertimbangkan dari mana sang calon berasal. Dan,
kecenderungan itu semakin nyata pada saat realitas politik
menunjukkan partai-partai belum beranjak dari kubangan
korupsi seraya tetap menganggap kader-kadernya sebatas
petugas yang harus tetap berpegang teguh pada misi partai

180
UJIAN INDEPENDENSI BASUKI

yang secara faktual lebih tepat disebut misi para pemegang


kebijakan partai.
Sejauh ini kecenderungan calon maju melalui partai
politik masih jauh lebih besar ketimbang dari jalur
perseorangan. Ini bisa menjadi pertanda baik bagi proses
demokratisasi karena kepercayaan terhadap partai politik
sebagai pilar demokrasi harus tetap kita jaga. Tetapi, pada
saat partai politik gagal menjaga kepercayaan ini, bukan hal
yang mustahil jika suatu saat kepercayaan itu akan hilang.
Artinya, ujian (yang memberatkan) calon independen
dalam Pilkada, disadari atau tidak, pada hakikatnya juga
ujian berat bagi partai politik. Publik semakin sadar bahwa
partai politik belum memiliki kemauan kuat untuk beranjak
maju, menyerahkan lebih banyak kepercayaan pada rakyat.
Partai politik masih bertahan dengan watak oligarkinya,
menganggap kader sebagai perpanjangan tangan, atau bahkan
petugas yang harus menjalankan tugas-tugas yang diberikan
partainya, bahkan pada saat kader itu sudah menjadi pejabat
negara. Pejabat negara yang seharusnya loyal pada bangsa,
pada semua rakyat tanpa kecuali, ingin ditarik ke sudut
sempit: loyalitas pada partai politik.
Menyimak realitas politik semacam ini, kiranya sudah
tinggi saatnya, kehadiran partai politik yang benar-benar
berfungsi sebatas penyalur aspirasi rakyat, sebagai tangga
bagi kader-kader terbaik bangsa untuk tampil menjadi
pemimpin tanpa dibebani syarat-syarat loyalitas yang sempit.

181
JEFFRIE GEOVANIE

Betapa pun terbukanya ideologi partai politik, betapa


pun tingginya komitmen kebangsaan partai politik, ia
tetaplah memiliki watak yang sempit, melihat partai lain
sebagai lawan, melihat orang-orang terbaik yang bukan kader
sebagi out-sider. Partai politik memiliki demarkasi yang
dibangun di atas kepentingan oligarki. Jika watak sempit
partai politik ini harus disematkan kepada pejabat publik,
maka celakalah republik ini. (geotimes.co.id, 17 Juni 2016)

182
10. MENILAI KINERJA BASUKI
Bagi politisi, apalagi yang menduduki jabatan eksekutif, kinerja
adalah segala-galanya.

Dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta mulai


berdenyut. Setelah beberapa tokoh mengumumkan diri
maju menantang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kita akan
terus memantau seberapa besar peluang mereka. Meskipun
masih terlalu dini untuk memastikan siapa yang akan
memenangkan kompetisi, tapi prediksi-prediksi awal bisa
dijadikan starting point.
Kompetisi politik merupakan arena yang sangat cair.
Fluktuasi dukungan publik bisa berubah setiap saat. Para
penantang Ahok bisa menggunakan sejumlah cara untuk
menaikkan popularitasnya. Tapi bagi Ahok, sebagai petahana,
hanya ada satu cara yang paling efektif untuk bisa bertahan
di kursinya, yakni dengan menunjukkan kinerja yang baik
di mata publik.
Ada ungkapan klasik yang tetap aktual sampai saat
ini, actions speak louder than words. Tafsirannya bahwa
perhatian yang terus-menerus disertai dengan tindakan-
tindakan nyata yang membawa manfaat bagi orang banyak,
jauh lebih nyaring di telinga publik ketimbang jargon-jargon
kosong yang sering diteriakkan para demagog di panggung-
panggung kampanye politik. Artinya, bagi politisi, apalagi

183
JEFFRIE GEOVANIE

yang menduduki jabatan eksekutif, kinerja adalah segala-


galanya.
Untuk mengetahui penilaian publik terhadap kinerja
Ahok terutama pada aspek-aspek krusial seperti pendidikan,
kesehatan, dan transportasi publik; bagaimana peluangnya
untuk bertahan; serta bagaimana peluang para penantangnya,
baru-baru ini, Rabu (14/10/2015), Saiful Mujani Research
and Consulting (SMRC) merilis hasil survei tentang “Ahok
dan Para Penantangnya untuk DKI 1”.
Hasilnya, seperti dugaan saya, Ahok jauh lebih unggul
dibandingkan lawan-lawannya. Dia mendapatkan 35% dari
631 responden, sementara Walikota Bandung, Ridwan Kamil,
hanya dipilih 3%. Calon-calon lainnya seperti Walikota
Surabaya Tri Rismaharini dan pengusaha nasional Sandiaga
Uno hanya meraih dukungan dibawah 2%.
Keunggulan Ahok ini berbanding lurus dengan evaluasi
positif dari penilaian masyarakat terhadap kinerjanya.
Mayoritas responden (64%) mengaku puas dengan kinerja
Ahok. Penilaian baik dan sangat baik terhadap pelaksanaan
pemerintahan mencapai 46%, jauh di atas 16% responden
yang menilainya buruk. Untuk layanan publik di Kelurahan
dan Kecamatan 85% responden menilai baik dan sangat baik.
Dan, untuk kondisi keamanan dinilai baik dan sangat baik
oleh 72% responden.
Pada aspek-aspek krusial seperti pendidikan (gedung-
gedung sekolah), jalan raya (transportasi) dan kesehatan
(rumah sakit/puskesmas) juga dinilai sangat positif, masing-

184
MENILAI KINERJA BASUKI

masing oleh 84%, 73%, dan 87% responden. Juga terhadap


layanan listrik (90%), ketersediaan air bersih (81%), dan
keteraturan pedagang kaki lima (51%). Sedangkan untuk
masalah banjir yang selama ini banyak dikeluhkan warga,
belum bisa dinilai karena survei dilakukan pada saat Jakarta
relatif kekeringan. Tapi dengan sudah direlokasinya warga
Kampung Pulo, Jakarta Timur, yang menjadi langganan
banjir, keluhan warga kemungkinan akan sedikit berkurang.
Yang menarik, dari segi agama, dukungan terhadap
Gubernur petahana juga jauh lebih unggul dibandingkan
tokoh-tokoh yang selama ini diklaim para pemuka agama
(Muslim) sebagai calon pengganti Ahok. Oleh responden
yang beragama Islam, Ahok dipilih oleh 19%. Sementara
Ridwan Kamil, Fauzi Bowo, dan Tri Rismaharini masing-
masing hanya didukung 3%, 2%, dan 2% responden.
Dengan mencermati angka-angka dukungan dan
penilaian ini, tampaknya publik, dalam hal ini warga Jakarta,
sudah memahami betul bagaimana seharusnya menilai
seorang pejabat publik. Bukan didasarkan pada suku, agama,
atau dukungan partai politik, tapi lebih ditujukan pada
kinerjanya yang memang layak diapresiasi. Pejabat publik
yang sangat menaruh perhatian pada aspek-aspek spiritual,
belum tentu mendapatkan apresiasi jika kinerjanya tidak
paralel dengan tingkat keberagamaannya.
Lantas siapa yang selama ini banyak mengkritik dan
mengeluhkan kinerja Ahok? Tampaknya bukan warga
Jakarta, melainkan mereka yang bekerja dan hilir-mudik

185
JEFFRIE GEOVANIE

memadatkan dan memanfaatkan jalan-jalan raya di Jakarta.


Tiap hari ada di Jakarta tapi tidak memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP) Jakarta. Mereka mengeluh karena setiap
hari berhadapan dengan kemacetan Jakarta.
Bagi warga Jakarta sendiri, kemacetan itu tidak men-
jadi masalah besar karena dua hal: pertama, kemacetan
sudah dianggap lumrah. Surabaya, Yogyakarta, Bandung,
Palembang, Makassar, Bogor, dan kota-kota besar lainnya
memiliki tingkat kemacetan lalu lintas yang relatif sama
dengan Jakarta. Kedua, kemacetan Jakarta saat ini menyimpan
harapan baru yang baik di masa mendatang karena sedang
dikerjakan banyak proyek penambahan jalur, termasuk
jalur Mass Rapid Transit (MRT) yang diyakini akan banyak
membantu perbaikan sistem transportasi dalam kota Jakarta.
Hasil survei tentu belum bisa dikatakan sepenuhnya
mewakili penilaian seluruh warga Jakarta. Tapi karena
berdasarkan metode yang bisa dipertanggungjawabkan
secara akademis, setidaknya bisa menjadi gambaran awal
yang objektif tentang bagaimana dukungan publik terhadap
Ahok. Kebencian publik terhadap Ahok yang selama ini
banyak disuarakan elite politik ternyata tidak terbukti di
lapangan. (GeoTIMES, 26 Oktober— 01 November 2015)

186
11. MENJAGA POPULARITAS DAN
ELEKTABILITAS BASUKI
Kegagalan kinerja akan menjadi faktor utama dari kekalahan
petahana dalam proses pemilihan berikutnya.

Menurut survei CSIS yang dirilis 25 Januari 2016, popularitas


Basuki Tjahaja Purnama jauh mengungguli tokoh-tokoh
lainnya yang digadang-gadang akan ikut berlaga dalam Pilkada
DKI Jakarta 2017. Ahok ada di angka 94 persen, sedangkan
Tantowi Yahya, Ridwan Kamil, Abraham Lunggana, Hidayat
Nurwahid, Tri Rismaharini, dan Adhyaksa Dault masing-
masing berada di angka 81; 71,25; 69,25; 64,50; 63,75; dan
50,75 persen. Apakah ini pertanda mantan Bupati Belitung
Timur yang populer disapa Ahok akan kembali memimpin
DKI Jakarta untuk periode berikutnya?
Meskipun masih terlalu dini menjawab pertanyaan ini,
namun kemungkinan besar itu bisa terjadi karena selain
popularitas, elektabilitas Ahok juga masih jauh di atas para
penantangnya. Ia berada di angka 43,25 persen, sementara
Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Adyaksa Dault, Hidayat Nur
Wahid, Tantowi Yahya, dan Abraham Lunggana masing-
masing di angka 17,25; 8; 4,25; 4; dan 3,75 persen.
Selain itu, jika kita perhatikan, fenomena Ahok saat ini
agak mirip dengan Jokowi pada saat menjelang Pilkada DKI

187
JEFFRIE GEOVANIE

2012 silam. Seperti Jokowi, setiap Ahok berada di tengah-


tengah publik, ia tak sekadar dikerubuti wartawan, tapi warga
masyarakat pun ikut mengerumuninya dan mengajaknya
foto bersama. Ini bukti bahwa sosoknya cukup disukai dan
menjadi harapan masyarakat.
Mengapa Ahok lebih diminati ketimbang yang lain?
Jawabannya karena ia dianggap sukses memimpin Jakarta.
Publik menganggap “Jakarta Baru” yang dijanjikan pasangan
Jokowi-Ahok pada saat kampanye dulu, sudah (relatif)
terwujud pada saat ini. Banjir sudah berkurang signifikan,
dan kemacetan jalan, meskipun masih belum berkurang,
ada harapan akan berkurang signifikan setelah proses
pembangunan penambahan ruas jalan dan MRT sudah
selesai. Yang juga berubah dari Jakarta adalah pelayanan
publik yang jauh lebih cepat dan tidak mengeluarkan biaya
sama sekali (gratis).
Meskipun demikian, Ahok jangan geer. Kemungkinan
bisa dikalahkannya juga cukup besar karena di antara tokoh-
tokoh yang popularitas dan elektabilitasnya masih di bawah
itu pada umumnya belum melakukan langkah-langkah yang
serius untuk berlaga dalam Pilkada DKI Jakarta, atau malah
belum melakukan apa-apa karena memang belum bersedia
atau belum tentu maju dalam Pilkada.
Artinya, Ahok harus tetap fokus pada peningkatan kinerja,
terutama dalam merealisasikan janji-janji kampanyenya pada
saat masih berpasangan dengan Jokowi. Karena kegagalan

188
MENJAGA POPULARITAS DAN ELEKTABILITAS BASUKI

kinerja akan menjadi faktor utama dari kekalahan petahana


dalam proses pemilihan berikutnya.
Selain peningkatan kinerja, yang harus menjadi perhatian
Ahok adalah soal karakter. Sebagian besar publik memang
menyukai karakter Ahok yang blak-blakan, terbuka, dan
berani menantang lawan-lawan politik yang dianggapnya
tidak bersih. Akan tetapi, mereka juga kurang menyukai
pada saat keberanian itu diembel-embeli ucapan-ucapan,
atau lebih tepatnya sumpah-serapah yang kurang pantas
keluar dari mulut pejabat publik. Tetap ada batas kepatutan
yang harus diperhatikan.
Perihal keterikatan dengan partai politik, tampaknya
ini akan menjadi tantangan besar sekaligus peluang bagi
Ahok. Tantangan besar jika partai-partai politik berhasil
melakukan konsolidasi dengan hanya mengusung satu
pasangan. Meskipun kemungkinan ini sangat kecil, tapi
bukan tidak mungkin terjadi karena Ahok saat ini dianggap
sebagai “musuh bersama” partai-partai.
Tapi dimusuhi partai-partai bisa juga menjadi peluang.
Dalam berbagai survei, pada umumnya publik kurang
menyukai partai politik karena prilaku tokoh-tokohnya
yang tidak patut dicontoh, koruptif, dan dianggap hanya
mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Konflik
berkepanjangan yang ada di tubuh sebagian partai politik
juga ikut berkontribusi terhadap ketidaksukaan sebagian
publik pada partai.

189
JEFFRIE GEOVANIE

Yang penting bagi Ahok adalah tidak terpancing


“dendam” dengan memusuhi balik partai-partai. Karena
kehadiran partai di negeri kita yang menganut sistem
demokrasi juga sangat penting. Seburuk-buruknya partai,
ia tetap akan menjadi salah satu pilar utama demokrasi yang
harus terus-menerus diperbaiki. Dalam pemilihan umum,
selain kepribadian dan integritas aktor-aktor yang menjadi
kandidat, partai politik juga tetap menjadi rujukan rakyat
dalam menentukan pilihan.
Oleh karena itu, boleh saja bekerja sama dengan
partai politik untuk hal-hal yang baik dan konstruktif bagi
masyarakat. Tapi dalam kerja sama itu jangan sampai terjadi
proses saling menutupi kesalahan. Sekali terjerembab dalam
pola saling menutupi kesalahan maka akan sangat sulit untuk
memperbaikinya. Karena kesalahan yang satu biasanya akan
ditutupi dengan kesalahan-kesalahan lainnya agar tidak
terekspose di ruang publik.
Yang perlu menjadi catatan, bersahabat dengan partai
politik sangat penting, namun persahabatan dalam arti
saling memahami dan menghormati posisi masing-masing.
Ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar, misalnya
independensi. Sebagai kandidat yang kemungkinan besar
akan maju dari jalur perseorangan, Ahok harus tetap
konsisten menjaga independensi, terutama dari pengaruh
(buruk) partai politik.
Popularitas dan elektabilitas Ahok yang sudah terbangun
hingga saat ini sama sekali bukan lantaran ada kerja sama

190
MENJAGA POPULARITAS DAN ELEKTABILITAS BASUKI

dengan partai politik. Publik menyukai dan mau memilih


Ahok murni karena alasan kinerja dan kepribadian yang
dimilikinya. Kedua alasan ini harus tetap dijaga, bukan
semata untuk menjaga popularitas dan elektabilitasnya, tapi
karena meningkatkan kinerja dan menjaga kepribadian yang
baik merupakan kewajiban bagi Ahok sebagai Kepala Daerah.
(geotimes.co.id, 29 Januari 2016)

191
Bagian Lima

IMPIAN AHOK
Mimpi Ahok cukup sederhana, yakni membuat
perut, otak, dan dompet warga Jakarta penuh.
1. MENYELAMATKAN DEMOKRASI
Demokrasi harus diselamatkan karena di dalamnya
meniscayakan persamaan derajat dalam proses pengambilan
keputusan seperti pemilihan umum dan di depan hukum.

Pemilu Kepala Daerah ( Pilkada) untuk DKI Jakarta


dijadwalkan tahun 2017. Masih cukup lama, namun upaya-
upaya untuk menyingkirkan Gubernur Basuki Tjahaja
Purnama sudah tampak jelas di depan mata. Alasan utamanya
karena faktor etnis dan agama. Tapi alasan ini tidak tampak
di permukaan, dibungkus dengan isu karakter atau isu lain
yang tidak substantif.
Mengantisipasi kemungkinan Ahok tak bisa maju
dalam Pilkada karena tidak ada satu pun partai yang mau
mengusungnya, sekelompok orang yang menyebut dirinya
“Teman Ahok” menggalang pengumpulan satu juta KTP warga
Jakarta untuk mengusung Ahok melalui jalur perseorangan
(independen). Upaya ini patut diapresiasi bukan semata
karena soal Ahok yang harus maju lagi, tapi soal demokrasi
yang harus diselamatkan dari bahaya sektarianisme.
Demokrasi harus diselamatkan karena di dalamnya
meniscayakan persamaan derajat dalam proses pengambilan
keputusan seperti pemilihan umum dan di depan hukum.
Dalam pemilihan umum (Pemilu) di suatu negara, tak ada
perbedaan suara antara satu etnis dengan yang lainnya, atau

195
JEFFRIE GEOVANIE

antara pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama yang


lainnya. Begitu pun di depan hukum (before the law), ada
persamaan (equality) yang tak bisa direduksi baik oleh kelas
sosial maupun jabatan struktural.
Demokrasi yang secara generik bermakna pemerintahan
oleh dan untuk rakyat bertujuan untuk membangun ketertiban
sekaligus kesejahteraan. Negara-negara yang penduduknya
memiliki keragaman etnik dan budaya (multikultural), bisa
dibangun secara konstruktif dalam sistem demokrasi, karena
demokrasi menyediakan mekanisme yang didasarkan pada
prinsip-prinsip yang memberikan penghargaan yang sama
terhadap semua atribut kemanusiaan.
Penghargaan terhadap perbedaan harus benar-benar
objektif dan otentik, bukan atas dasar kepentingan dan atau
atas nama kekuasaan. Otentisitas ini perlu ditekankan karena
dalam praktiknya, tak sedikit penghargaan atas perbedaan
hanya sekadar alat untuk meraih kepentingan atau untuk
meraih kekuasaan, atau hanya alat kampanye bagi para
penggila kekuasaan. Pada saat kekuasaan sudah berhasil
diraih, penghargaan terhadap perbedaan pun segera sirna atau
dicampakkan. Yang tampak kemudian hanya wajah kekuasaan
yang menindas. Atas nama kepentingan mayoritas atau
sebaliknya, kepentingan lain dicampakkan, padahal bisa jadi
yang dicampakkan itulah yang lebih dibutuhkan masyarakat.
Jika ada kepentingan yang bisa berdiri di atas perbedaan-
perbedaan (etnik, agama, dan lain-lain), salah satunya
adalah pada saat ada kepentingan nasional yang benar-benar

196
MENYELAMATKAN DEMOKRASI

mendesak dan terpaksa harus dilakukan. Misalnya pada


saat menghadapi musuh bersama seperti penjajahan yang
dilakukan negara lain, bencana alam atau wabah penyakit
yang mengancam, dan kepentingan untuk menjaga dan
mengangkat nama baik negara. Jika untuk kepentingan-
kepentingan semacam ini, perbedaan masih ditonjolkan
maka yang terjadi adalah perpecahan dan kegagalan untuk
meraih kepentingan bersama.
Para founding fathers kita telah memberikan contoh yang
baik, kapan kepentingan bersama harus diutamakan, dan
kapan kepentingan kelompok harus tetap dipertahankan.
Sebelum kemerdekaan diraih, kepentingan bersama
bisa diutamakan dan perbedaan-perbedaan agama dan
etnisitas harus diabaikan. Tetapi, pada saat kemerdekaan
sudah diraih, antara kepentingan bersama dan perbedaan-
perbedaan agama dan etnisitas harus bisa dipegang bersama,
diekspresikan dengan koeksistensi yang saling mendukung.
Kegagalan untuk membangun koeksistensi antara
kepentingan nasional dan perbedaan-perbedaan kepen-
tingan kelompok inilah yang kemudian membuat Soekarno,
Presiden pertama RI, terjebak pada otoritarianisme. Atas
nama kepentingan nasional, Soekarno memberangus
partai-partai, dan mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang
membubarkan konstituante (parlemen). Langkah Soekarno
inilah yang menurut Hatta sebagai bentuk pengangkangan
demokrasi sehingga ia terpaksa harus bersikap dengan meng-
undurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI.

197
JEFFRIE GEOVANIE

Perbedaan antara Soekarno dan Hatta memberi pelajaran


penting bahwa untuk membangun demokrasi multikultural—
yang dalam sistem ketatanegaraan diimplementasikan dalam
bentuk demokrasi liberal atau demokrasi parlementer—
bukan perkara mudah. Idem ditto dengan Soekarno,
Presiden Soeharto juga terjebak pada kesalahan yang sama
pada saat ia memaksakan fusi (penggabungan) partai-partai
dan menerapkan asas tunggal Pancasila bagi semua partai
dan kelompok-kelompok kepentingan yang dibangun oleh
masyarakat sipil.
Demokrasi Pancasila yang dibangun Soeharto tidak
jauh berbeda dengan demokrasi terpimpin yang dibangun
Soekarno. Mengatasnamakan demokrasi untuk mematikan
kepentingan kelompok yang didasarkan pada perbedaan-
perbedaan agama, etnik, dan budaya.
Dalam demokrasi, kepentingan kelompok bukan barang
haram. Perbedaan kepentingan atas dasar etnik, agama, dan
budaya harus tetap dihormati sebagai bagian dari kepentingan
bersama. Kepentingan bersama hanyalah agregasi dari
kepentingan-kepentingan kelompok. Kepentingan nasional
hanyalah persatuan (bukan penyatuan) dari kepentingan-
kepentingan kelompok. Inilah yang kemudian muncul
dalam semboyan unity in diversity atau bhinneka tunggal
ika. Inilah demokrasi yang sebenarnya, yang harus kita jaga
dan kita selamatkan dari tangan-tangan kotor sektarianisme
yang mengatasnamakan suara mayoritas untuk membunuh
demokrasi. (GeoTIMES, 17-23 Agustus 2015)

198
2. KEBERAGAMAAN BASUKI
Ahok orang yang sangat rasional dalam beragama. Dia
melihat agama sebagai nilai atau ajaran-ajaran etik yang harus
dihidupkan dalam realitas objektif.

Menjelang akhir tahun, soal kehidupan beragama menjadi


perbincangan hangat antara lain karena dua peringatan
“kelahiran”, Maulid yang diperingati umat Islam, dan Natal
yang diperingati umat Nasrani, waktunya beriringan, yakni
24 dan 25 Desember 2015.
Pada saat yang bersamaan, di media sosial beredar video
youtube yang berisi rekaman “curhatan” Basuki Tjahaja
Purnama tentang agama. Dalam “curhatan” yang berdurasi
2,58 menit itu antara lain dia mengatakan bahwa ajaran
Kristen itu konyol karena setiap umatnya dijamin masuk
surga, tak perlu bayar utang, tak perlu capek-capek puasa.
“Hanya ngandelin Yesus yang mau disalib jadi Tuhan
dan kalau penganutnya mati masuk surga. Siapa yang
menciptakan agama kayak begini? Hebatnya, gua yang
berpendidikan tinggi percaya dengan hal begini. Karena gua
mati dijamin masuk surga,” kata Ahok.
Saya tak bisa membayangkan andaikan Ahok ngomong
seperti itu tentang Islam. Sudah pasti ia akan dianggap
melecehkan agama, dan akan diburu oleh mereka yang
merasa menjadi wakil Tuhan di muka bumi untuk membela

199
JEFFRIE GEOVANIE

agama. Untungnya, penilaian Ahok tentang Islam sangat


positif.
Di bagian lain “curhatannya”, Gubernur DKI Jakarta
juga mengatakan bahwa Islam agama yang realistis. Untuk
masuk surga harus ditimbang-timbang dulu mana pahala,
mana dosa, dan tidak berani mengatakan (kalau) mati bakal
masuk surga.
Banyak kalangan menilai Ahok tengah mencari simpati
umat Islam agar kelak bisa dipilih (kembali) menjadi Gubernur
DKI Jakarta pada 2017 mendatang karena mayoritas pemilih
di ibukota adalah Muslim. Penilaian semacam ini sah-sah
saja, walaupun tentu kurang tepat.
Kalau kita telusuri rekam jejaknya, sebenarnya apa
yang dikatakan Ahok, terutama mengenai Islam, bukan hal
yang baru. Dalam banyak kesempatan Ahok sering memuji
kebenaran ajaran Islam. Mengenai penilaiannya tentang
Kristen, saya tidak patut untuk berkomentar karena ini bukan
agama yang saya anut. Biarlah umat Kristiani yang menilainya
mengapa Ahok berbicara seperti itu.
Adapun tentang Islam, dalam acara peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW di Jakarta tahun lalu (18/01/2015)
misalnya, Ahok mengaku punya panutan dalam memerintah
sebagai gubernur DKI Jakarta. Siapa panutannya? Yaitu
Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, yang memiliki sifat-
sifat shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh
(menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas).
Ahok bahkan mengaku sudah mengagumi Nabi
Muhammad sejak kecil. Saat duduk di bangku Sekolah

200
KEBERAGAMAAN BASUKI

Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena


ia bersekolah di sekolah Islam. Di situlah ia mempelajari
ajaran-ajaran Islam. Termasuk Al-Quran surat Al-Maidah
ayat 51 yang melarang memilih Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin. Menurut Ahok, ayat ini tidak bisa diartikan
secara kaku karena faktanya banyak kaum muslimin yang
memilihnya sebagai gubernur karena mereka percaya dirinya
memiliki sifat-sifat yang baik, dan agama bukan penghalang
orang baik untuk menjadi pemimpin.
Dalam konteks ini saya bisa mengatakan bahwa Ahok
orang yang sangat rasional dalam beragama. Dia melihat
agama sebagai nilai atau ajaran-ajaran etik yang harus
dihidupkan dalam realitas objektif. Karena itu, yang penting
dalam beragama bukan pada kulit atau merknya, tapi pada
bagaimana ajaran-ajaran etik itu bisa mencegah seseorang
berbuat jahat. Bagi Ahok, tidak ada gunanya beragama kalau
masih tetap korupsi.
Alasan ini pula yang melatar belakangi Ahok menertibkan
praktik penyembelihan hewan kurban pada saat Idul Adha,
agar tidak dilakukan di sekolah, atau di pinggir-pinggir
jalan. Karena cara seperti ini bertentangan dengan ajaran
Islam yang sangat memperhatikan kebersihan dan kesehatan.
Menurut Islam, kebersihan adalah sebagian dari iman.
Menjalankan perintah agama dengan cara-cara yang
bertentangan dengan ajaran agama bukanlah tindakan yang
tepat. Nabi Muhammad tidak pernah membeda-bedakan

201
JEFFRIE GEOVANIE

umatnya, dari kalangan mana pun berasal, dari kelas atas


atau pun kelas bawah, dari suku Arab atau bukan.
Model keberagamaan Ahok, kalau dalam Islam, mirip
dengan apa yang sering dikemukakan Nurcholish Madjid
(Cak Nur) atau Ahmad Syafii Maarif (Buya), yakni beragama
secara substantif. Cara beragama yang lebih mengedepankan
alasan-alasan rasional. Cak Nur misalnya, banyak merujuk
pada Ibnu Taimiyah yang rasional, termasuk dalam memilih
pemimpin yang lebih mengedepankan alasan meritokrasi
ketimbang agama.
Sedangkan Buya banyak merujuk pada gurunya,
Fazlurrahman, atau pada penyair yang dikaguminya,
Muhammad Iqbal. Untuk tokoh dalam negeri, rujukan Buya
adalah Muhammad Hatta yang dalam penilaiannya benar-
benar substansial dalam memahami agama. Agama yang
substantif diumpamakan Hatta seperti garam larut dalam air
yang begitu terasa walaupun tidak kelihatan, tidak seperti
gincu yang tidak ada rasanya walaupun tampak merah
menyala. (GeoTIMES, 4 Januari 2016)

202
3. EKSPERIMEN POLITIK BASUKI
Ahok akan menjadi eksperimen politik bagi kader yang
berkualitas.

“Saya akan buktikan, bahwa tanpa partai pun, sebagai kepala


daerah, selama didukung oleh rakyat dan bukan bertanggung
jawab kepada DPRD, saya tetap bisa jalankan program untuk
kesejahteraan rakyat Jakarta.” Inilah sesumbar Gubernur
DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang antara
lain menjadi bahan kampanye bagi para pendukung Ahok
untuk menjaring dukungan warga Jakarta tanpa melalui
partai politik.
Dan jalur independen itu akhirnya benar-benar ditempuh.
Meskipun masih memiliki kesempatan yang cukup lama
sampai waktu pendaftaran tiba, Ahok telah menentukan
pilihan untuk maju dalam Pemilu Kepala Daerah (Pilkada)
DKI Jakarta, melalui jalur perseorangan (independen).
Banyak kalangan menilai, ini merupakan langkah
yang musykil, atau lebih tepatnya langkah berani bagi
Ahok. Pasalnya ada jalur yang lebih mudah, dan lebih
memungkinkannya untuk menang, yakni jalur partai politik,
misalnya melalui PDI Perjuangan yang memiliki 28 kursi
di DPRD DKI Jakarta—jumlah yang jauh lebih dari cukup
untuk mengajukan calon gubernur. Tapi mengapa Ahok
tetap lebih memilih jalur independen?

203
JEFFRIE GEOVANIE

Untuk jawaban yang lebih tepat, biarlah Ahok sendiri


yang akan menyampaikan. Yang jelas, secara pribadi saya
mendukung langkah Ahok karena beberapa pertimbangan.
Pertama, setidaknya untuk memberi pelajaran kepada semua
partai politik, bahwa mereka tidak bisa lagi dengan seenaknya
memperlakukan siapa pun yang ingin maju dalam Pilkada.
Setiap orang punya pilihan, dan jika partai politik tidak
berupaya memperbaiki diri dengan meningkatkan kualitas
kader-kadernya, maka bukan tidak mungkin kader-kader
yang berkualitas akan lebih memilih jalur independen
ketimbang melalui partai politik. Ahok akan menjadi
eksperimen politik bagi kader yang berkualitas.
Kedua, independensi calon kepala daerah merupakan
keniscayaan untuk membangun pelaksanaan demokrasi yang
lebih baik. Hanya dengan independensi, pada saat terpilih
nanti, hubungan antara eksekutif dan legislatif bisa saling
mengontrol, bisa membangun mekanisme perimbangan
kekuasaan (check and balances) sesuai kehendak demokrasi.
Banyak kasus korupsi kepala daerah berpangkal dari
keberadaan eksekutif yang berada di bawah kendali partai
politik. Karena tuntutan partai politik—misalnya untuk
menggali/mendapatkan dana sebanyak-banyaknya—
pejabat eksekutif “terpaksa” menggadaikan diri, melakukan
aksi rent seeking hingga terjadikan serangkaian praktik
penyalahgunaan jabatan oleh kepala daerah.
Ketiga, ada asumsi yang mengatakan bahwa pemilihan
langsung kepala daerah oleh rakyat tidak menghasilkan

204
EKSPERIMEN POLITIK BASUKI

pemimpin yang lebih baik dari pemilihan yang dilakukan


oleh DPRD, padahal dana yang dikeluarkan jauh lebih besar
dan dari segi waktu tidak efektif. Kalau hasilnya sama saja
mengapa harus melalui pemilihan langsung?
Pada dasarnya, kalau DPRD adalah perpanjangan tangan
partai politik, maka pencalonan kepala daerah melalui partai
politik merupakan perluasan dari perpanjangan tangan itu.
Maka jalur independen memiliki makna penting untuk
membuktikan bahwa pilihan rakyat tidak tergantung pada
kehendak partai politik.
Jika pemimpin yang dihasilkan dari pencalonan
independen bisa tampil lebih baik maka jelas akan menjadi
bukti otentik bahwa pilihan rakyat tidak tergantung pada
kehendak partai politik. Bukti otentik ini penting disampaikan
karena banyak kalangan yang ingin mengembalikan proses
pemilihan kepala daerah, dari pemilihan langsung oleh
rakyat, ke proses pemilihan seperti dulu, melalui DPRD.
Saya kira di sinilah letak pesan penting dari ekspe-
rimen politik Ahok. Ada makna filosofis terkait dengan
proses perjalanan demokratisasi di negeri ini. Memilih
pemimpin—baik tingkat pusat (Pilpres) maupun daerah
(Pilkada)—yang dilakukan secara langsung oleh rakyat me-
rupakan salah satu buah dari proses demokratisasi. Dan
pemberian peluang kepada calon-calon kepala daerah dari
jalur independen menjadi pelengkap dan penyempurna dari
proses demokratisasi tersebut.

205
JEFFRIE GEOVANIE

Dalam kancah politik nasional, sudah banyak pasangan


calon kepala daerah yang maju melalui jalur independen. Dari
yang banyak itu, di antaranya ada yang berhasil memenangkan
Pilkada. Untuk tingkat provinsi ada pasangan Irwandi Yusuf-
Muhammad Nazar yang memenangkan Pilkada Provinsi Aceh,
11 Desember 2006. Sedangkan untuk tingkat kabupaten dan
kota sudah ada beberapa pasangan yang menang.
Dalam Pilkada serentak tahap pertama akhir tahun lalu,
dari 35 persen pasangan independen yang maju, 14,4 persen
di antaranya menang dalam Pilkada. Artinya, rata-rata sudah
lebih dari satu dari sepuluh pemenang Pilkada berasal dari
calon independen.
Jika Ahok menang dalam Pilkada DKI Jakarta, mungkin
bukan hasil yang istimewa karena ia bukan yang pertama.
Jika ditakdirkan gagal, juga tidak ada masalah karena dalam
kompetisi politik, keberhasilan dan atau kegagalan adalah
hal yang lumrah. Dengan metode apa pun pemilihannya, dan
melalui jalur apa pun pencalonannya, kemungkinan menang-
kalah tetap menjadi keniscayaan. Tak ada istilah draw dalam
kompetisi politik. Jika belum menghasilkan pemenang, proses
pemilihan akan diulang sampai menghasilkan pemenang.
Eksperimen politik Ahok akan menjadi istimewa jika
ia bukan saja menang dalam Pilkada, tapi bisa memimpin
Jakarta dengan tingkat keberhasilan yang melebihi periode-
periode sebelumnya, termasuk dari paruh periode dari
kepemimpinan dirinya pasca gubernur Joko Widodo.
(geotimes.co.id, 11 Maret 2016)

206
4. NALAR ANOMALI BASUKI
Sesuatu yang sudah memasuki tahap luar biasa, tidak akan
selesai dengan cara-cara yang biasa. Inilah nalar politik yang
digunakan Ahok dalam memimpin Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang


populer disapa Ahok adalah salah satu tokoh politik yang
paling populer saat ini. Pupularitasnya antara lain dipicu
oleh tindakan-tindakannya (termasuk gaya bicaranya) yang
dinilai kontroversial, melawan arus besar, terutama dalam hal
kepantasan etika dan moral dalam berpolitik. Bagaimana kita
bisa memahami langkah politik Ahok secara proporsional?
Salah satunya dengan kerangka nalar politik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nalar
diartikan sebagai pertimbangan tentang baik buruk dan
sebagainya; akal budi; atau aktivitas yang memungkinkan
seseorang berpikir logis. Nalar politik berarti nalar yang
mendasari pemikiran dan langkah-langkah atau tindakan-
tindakan yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan
politik.
Setiap pemikiran yang dikemukakan seseorang, atau
setiap tindakan yang dilakukan seseorang, pasti memiliki
landasan atau latar belakang yang mendorongnya. Pada saat
landasan atau latar belakang itu dibangun di atas logika yang
benar maka di situlah kita bisa mengatakan bahwa pemikiran

207
JEFFRIE GEOVANIE

dan atau tindakan itu memiliki nalar yang benar. Artinya


nalar pemikiran atau tindakan bisa dikatakan benar pada saat
latar belakang dari sebuah pemikiran atau tindakan berada
dalam satu garis lurus dengan fungsi yang diinginkan.
Dalam kategori yang praktis kita sering membedakan
antara alat dan tujuan. Alat adalah satu hal sementara tujuan
adalah hal yang lain. Dalam politik, pada saat antara alat dan
tujuan tidak berkesesuaian niscaya terdapat kesalahan nalar
di dalamnya. Kesalahan nalar biasanya kita sebut dengan
fallacy (buah pemikiran yang keliru).
Selain keselarasan alat dan tujuan, kesalahan nalar
(fallacy) juga sering terjadi pada saat kita melakukan
judgement (penilaian) terhadap suatu tindakan tanpa
melihat dalam konteks apa tindakan itu dilakukan. Ada
sebab, ada akibat. Melihat akibat dengan mengabaikan sebab
dan konteksnya adalah fallacy. Sama seperti kita melihat
satu kejadian dengan menimpakan sebab pada pihak yang
sebenarnya bukan menjadi penyebab dari kejadian itu.
Kembali pada judul dan paragraf awal tulisan ini,
lantas bagaimana kita bisa memahami cara berpikir dan
langkah politik Ahok dalam memimpin DKI Jakarta? Di
sinilah dibutuhkan nalar politik yang benar. Ahok dinilai
kontroversial, mengabaikan etika dan moral karena banyak
kalangan melihatnya tidak secara proporsional.
Dalam perspektif nalar politik, kita meniscayakan
keselarasan tak hanya antara alat dan tujuan, tapi juga antara
fakta (realitas) dengan cara bertindak yang sesuai. Jika ada
ungkapan yang mengatakan, “setiap tempat membutuhkan

208
NALAR ANOMALI BASUKI

kata-kata yang tepat dan setiap kata-kata membutuhkan


tempat yang tepat” pada dasarnya itulah yang kita sebut
dengan nalar yang benar.
Kita selalu mengatakan bahwa persoalan Jakarta di
samping memiliki kompleksitas yang luar biasa, kerusakannya
juga memasuki stadium yang luar biasa. Segala bentuk
kejahatan ada di Jakarta, dari tindak pidana ringan (tipiring)
seperti mengemis, merokok, dan membuang sampah bukan
pada tempatnya, hingga yang masuk kategori luar biasa
seperti penyalahgunaan narkoba dan penyalahgunaan uang
negara dan jabatan (korupsi) dalam jumlah besar.
Jika ingin membereskan Jakarta maka dibutuhkan
langkah-langkah yang luar biasa. Sesuatu yang sudah
memasuki tahap luar biasa, tidak akan selesai dengan cara-
cara yang biasa. Inilah nalar politik yang digunakan Ahok
dalam memimpin Jakarta. Maka ketika kita melihat Ahok
dengan cara yang biasa, sudah bisa dipastikan kita akan
cenderung menyalahkannya. Menganggapnya mengabaikan
kesantunan dalam berpolitik.
Menurut saya, penilaian kesantunan tidak bisa ditelakkan
pada ruang hampa. Kesantunan berpolitik harus diletakkan
dalam ruang politik dengan seluruh problem yang ada di
dalamnya. Di Jakarta misalnya, pada saat lawan-lawan politik
Ahok berusaha melengserkannya dengan berbagai cara,
termasuk dengan memperalat isu agama dan melemparkan
kotoran binatang ke arah gedung DPRD DKI Jakarta, maka
sangat wajar jika Ahok kemudian menghadapinya juga
dengan cara-cara yang luar biasa.

209
JEFFRIE GEOVANIE

Pada saat Ahok menemukan penyalahgunaan anggaran


(korupsi) pada APBD 2014, dan potensi korupsi yang luar
biasa dalam RAPBD 2015, maka sangat wajar jika Ahok
berupaya mencegahnya dengan cara yang juga luar biasa.
Untuk menghadapi para perampok uang rakyat, tidak
diperlukan cara-cara yang santun, demikian cara Ahok
berargumen.
“Gak peduli jika gue dikatain kafir, yang penting rakyat
gue gak ditindas sama orang yang yang ngaku-ngaku
beragama,” demikian tegas Ahok. Dalam banyak kesempatan,
mantan Bupati Belitung Timur ini selalu berprinsip untuk
mengutamakan kepentingan rakyat, dan ketaatan pada
konstitusi. Bahwa pada saat mempertahankan prinsip itu,
Ahok sering dinilai kurang sopan, hal itu lebih karena ia
dilihat bukan dalam kerangka politik yang proporsional.
(GeoTIMES, 06-12 Juli 2015)

210
5. ANOMALI DUKUNGAN TERHADAP
BASUKI
Mengapa Ahok tetap disukai dan didukung oleh mayoritas
warga Jakarta yang dalam ukuran normal seharusnya tidak
mendukungnya?

Dalam beberapa survei yang sudah dirilis menyangkut


pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta, Gubernur
petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mendapat
dukungan yang signifikan. Popularitasnya nyaris 100
persen, dan elektabilitasnya di kisaran angka 50 persen
atau lebih. Banyak kalangan menganggap, termasuk Ahok
sendiri, tingginya popularitas dan elektabilitas ini merupakan
anomali.
Anomali merupakan sesuatu yang berada di luar
kebiasaan. Dalam bahasa lain penyimpangan atau
keanehan yang terjadi. Saya lebih suka memaknai sebagai
bentuk penyimpangan dalam pengertian yang positif atau
konstruktif. Misalnya sesuatu yang dianggap negatif namun
berdampak positif itulah anomali.
Dukungan terhadap Ahok bisa disebut anomali karena
tiga sebab. Pertama, Ahok merupakan representasi dari
minoritas kuadrat. Minoritas dari segi agama, dan minoritas
dari segi suku (ras). Dalam tataran yang normal, agama dan

211
JEFFRIE GEOVANIE

ras merupakan dua aspek yang memiliki keterkaitan yang


signifikan antara pemilih dan yang dipilih.
Karena faktor suku misalnya, Jusuf Kalla pernah berujar
bahwa dirinya tidak akan bisa menjadi presiden RI karena
bukan berasal dari Jawa, suku mayoritas Indonesia. Dalam
memilih pasangan calon presiden, mempertimbangkan
kejawaan untuk salah satu dari pasangan menjadi keniscayaan.
Dalam soal agama, bukan sekadar representasi, bahkan
sebagai non-Muslim, Ahok digempur dengan dalil-dalil yang
mengharamkan umat Muslim untuk memilih pemimpin
non-Muslim.
Kedua, Ahok selalu dikait-kaitkan dengan kasus tindak
pidana korupsi, terutama pada kasus pembelian tanah Rumah
Sakit Sumber Waras dan pada kasus reklamasi pantai utara
Jakarta. Soal apakah tuduhan itu benar atau tidak, bukan hal
yang penting bagi mereka yang tidak menyukai Ahok, tapi
tuduhan yang bertubi-tubi itu, pada tataran yang normal
mestinya akan menggerus popularitas Ahok.
Ketiga, Ahok dituduh anti rakyat kecil karena kebijakan-
kebijakannya yang tegas dalam menertibkan beberapa tempat
yang menjadi hunian rakyat kecil, seperti dalam kasus
relokasi warga Kampung Pulo (Jakarta Timur), Kalijodo
(Jakarta Barat), dan kawasan Luar Batang (Jakarta Utara).
Menurut data demografi, warga Jakarta mayoritas merupakan
kalangan menengah ke bawah. Mereka inilah yang menurut
para pembenci Ahok merupakan warga yang dipinggirkan
oleh kebijakan-kebijakan Ahok.

212
ANOMALI DUKUNGAN TERHADAP BASUKI

Lantas mengapa Ahok tetap disukai dan didukung


oleh mayoritas warga Jakarta yang dalam ukuran normal
seharusnya tidak mendukungnya? Ada tiga jawaban untuk
pertanyaan ini.
Pertama, karena keberhasilan Ahok dalam mereformasi
birokrasi di Jakarta. Warga Jakarta merasakan betul perubahan
yang terjadi dalam sistem birokrasi, yang sebelumnya lambat
menjadi serba cepat, yang sebelumnya koruptif menjadi
bersih. Dalam pengurusan KTP, kartu keluarga, dan hal-hal
lain yang terkait langsung dengan kebutuhan warga, dapat
dilayani dengan cepat dan tanpa biaya.
Kedua, tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap
kinerja Ahok berjalan paralel dengan tingkat elektabilitasnya.
Bagi para petahana, penilaian kepuasan kinerja menjadi
faktor utama untuk menjadikannya terpilih kembali. Justru
menjadi sangat aneh jika kepuasan terhadap kinerja tidak
dibarengi dengan tingginya elektabilitas.
Ketiga, berdasarkan kedua fakta di atas, warga Jakarta
masuk dalam kategori pemilih yang rasional. Memilih bukan
berdasarkan alasan-alasan yang subjektif dan emosional,
melainkan berdasarkan pada alasan-alasan yang objektif
dan rasional. Maka, perbedaan agama, suku, dan tuduhan-
tuduhan yang dinilai tidak objektif tidak akan banyak
berpengaruh bagi para pemilih rasional.
Di luar ketiga hal di atas, bisa jadi, keluhan-keluhan
tentang Ahok yang selama ini terekspose, terutama di
media sosial, berasal bukan dari warga Jakarta. Mereka

213
JEFFRIE GEOVANIE

pada umumnya berasal dari kota-kota penyangga Jakarta


seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Penduduk
yang berasal dari kota-kota penyangga ini pada umumnya
tidak puas dengan keberadaan kotanya sendiri yang masih
diliputi beragam persoalan, terutama yang berkaitan dengan
pelayanan publik, kemacetan, dan banjir.
Ketidakpuasan mereka kemudian ditimpakan juga pada
Jakarta karena dalam aktivitas sehari-harinya lebih banyak
dilakukan di Jakarta, baik disebabkan karena keberadaan
tempat pekerjaan maupun karena alasan-alasan lain yang
membuat mereka lebih banyak berada di Jakarta.
Padahal, dalam survei-survei yang menyangkut kinerja
Ahok, mereka yang bukan penduduk Jakarta ini tidak
termasuk dalam objek survei. Keluhan-keluhan mereka
tentang Jakarta (yang sebenarnya imbas dari ketidakpuasan
mereka pada kotanya sendiri) tidak terekam dalam temuan
survei sehingga tidak ada korelasinya dengan tingkat
kepuasan dan keterpilihan Ahok.
Jadi, kalau ada ungkapan, semakin dicaci maki, Ahok
akan semakin disukai, ini sama sekali bukan karena anomali,
tapi karena yang mencaci maki Ahok adalah mereka yang
masih menilai dan memilih pemimpin berdasarkan alasan-
alasan yang subjektif dan emosional, sementara warga Jakarta
pada umumnya menilai dan memilih berdasarkan alasan-
alasan yang objektif.
Atau bisa jadi, karena yang mencaci maki Ahok pada
umumnya bukan merupakan penduduk Jakarta yang

214
ANOMALI DUKUNGAN TERHADAP BASUKI

otomatis tidak memiliki hak pilih di Jakarta. Mereka hanya


menjadikan Jakarta dan gubernurnya sebagai sasaran sumpah
serapah dari permasalahan-permasalahan hidup yang mereka
hadapi. (geotimes.co.id, 06 Mei 2016)

215
6. IMPIAN BASUKI
Mimpi Ahok cukup sederhana, yakni membuat perut, otak, dan
dompet warga Jakarta penuh.

Para pejuang kemerdekaan memimpikan Indonesia merdeka.


Setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, para pendiri bangsa
memimpikan Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.
Setiap pemimpin punya mimpi, juga Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Mimpi Ahok cukup
sederhana, yakni membuat perut, otak, dan dompet warga
Jakarta penuh.
Tapi yang terdengar sederhana itu jika diurai bisa
menjadi kompleks. Penuh perut berarti terpenuhinya
kebutuhan fisik. Dalam bahasa klasik disebut cukup makan,
sandang, dan papan. Dalam bahasa yang lebih politis disebut
tercapainya kesejahteraan rakyat.
Otak penuh artinya mendapatkan pendidikan yang layak
dan memadai. Layak untuk bisa “melek” di segala bidang,
dan memadai untuk mengikuti perkembangan zaman. Tanpa
bekal pendidikan yang layak dan memadai, siapa pun akan
tertinggal jauh di belakang dan bahkan bisa tergilas oleh
lajunya zaman.
Dompet penuh artinya bisa hidup layak berkesi-
nambungan. Hidup secara layak dan berkesinambungan
itu dalam bahasa sekarang yang sudah diakui dunia adalah

216
IMPIAN BASUKI

sustainable development goals (SDGs) yang terdiri dari


17 program berkelanjutan untuk mengakhiri kemiskinan,
memerangi kesenjangan dan ketidakdilan, serta untuk
menghambat perubahan iklim hingga 2030.
Ketujuh belas program itu selain bagaimana
mengentaskan kemiskinan dalam berbagai bentuknya di
mana pun dan mengakhiri kelaparan dengan penyediaan
pangan yang cukup dan berkelanjutan adalah memastikan
hidup sehat, peningkatan pendidikan, keadilan gender,
manajemen air dan sanitasi, ketersediaan energi untuk semua,
pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan pekerjaan yang
berkesinambungan, dan lain-lain yang semuanya diarahkan
pada pencapaian pembangunan yang berkelanjutan.
Pertanyaannya, bagaimana menjadikan mimpi itu
terwujud di DKI Jakarta? Ada tiga program prioritas yang
harus dilaksanakan. Pertama, penciptaan pemerintahan
yang bersih. Ini merupakan harga mati bagi Ahok, dan dia
memulainya dari diri sendiri. Aparat pemerintah daerah
harus terbebas dari korupsi, dari Gubernur hingga Ketua RT.
Aparat yang main-main dengan korupsi, atau coba-
coba menyuap, akan terdeteksi dengan akuntabilitas
yang ditradisikan oleh Ahok dalam mengelola admi-
nistrasi, penyusunan dan penetapan anggaran, serta dalam
melaksanakan proyek-proyek pembangunan di DKI Jakarta.
Semua aparat harus, atau lebih tepatnya dipaksa untuk
mengikuti transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan
Ahok dalam mengelola administrasi pemerintahan.

217
JEFFRIE GEOVANIE

Kedua, pembangunan infrastruktur. Di antara problem


utama yang dihadapi warga Jakarta—dan siapa pun yang
hidup dan bekerja di Jakarta—adalah kemacetan lalu lintas.
Kemacetan bisa menghambat banyak hal. Sesuatu yang
mudah dan sederhana bisa menjadi sulit dan terbengkalai
disebabkan karena kemacetan. Biaya ekonomi menjadi
tinggi. Setiap hari ada miliaran rupiah dihabiskan di jalan
raya. Bukan karena jarak tempuh yang panjang, tapi karena
kemacetan yang sudah sampai pada titik yang sangat
memprihatinkan.
Di antara cara yang paling utama untuk mengatasi
kemacetan adalah dengan menambah ruas jalan serta
pembaruan dan penambahan moda angkutan jalan.
Pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta kembali
digalakkan. Program pembangunan jalan yang pernah
macet pada periode kepemimpinan sebelumnya, kembali
dijalankan. Begitu pun dalam pembaruan dan penambahan
moda transportasi, terutama transportasi massal.
Dengan penyediaan moda transportasi massal yang aman
dan nyaman, diharapkan para pengguna jalan akan beralih
dari kendaraan pribadi (yang menjadi penyebab utama
kemacetan) ke transportasi massal. Saya kira harapan ini
pada waktunya akan terwujud jika program penambahan
ruas jalan dan penambahan moda angkutan massal seperti
MRT (mass rapid transit) atau sistem angkutan terpadu yang
cepat di Jakarta sudah selesai dibangun.

218
IMPIAN BASUKI

Ketiga, penataan lingkungan. Selain kemacetan, masalah


utama lainnya yang dihadapi Jakarta adalah banjir. Di antara
penyebab utama banjir, selain karena curah hujan yang tinggi
adalah karena pola hidup masyarakat Jakarta yang belum
tertib. Membuang sampah sembarangan, dan membangun
pemukiman bukan pada lokasi yang tepat, adalah dua tradisi
yang berkontribusi paling besar yang menyebabkan banjir.
Tingginya debit air—baik karena curah hujan atau
karena kiriman dari Bogor—akan cepat surut dan tidak
menyebabkan banjir jika sistem drainase sudah tertata
dengan baik, got-got dan saluran air tidak tersumbat sampah,
dan sungai-sungai tidak menyempit karena pemukiman yang
memenuhi bantaran serta dijadikan tempat pembuangan
sampah.
Selain penataan drainase, penertiban bantaran sungai dan
menambah kedalamannya, yang tidak kalah penting adalah
penataan pemukiman warga melalui program relokasi dari
tempat-tempat yang tidak sepatutnya dan menjadi langganan
banjir ke tempat-tempat yang lebih nyaman seperti di rumah
susun atau yang sejenisnya, yang dikelola secara profesional
sehingga menjadi tempat yang nyaman namun tidak menjadi
beban yang berat bagi para penghuninya.
Selain ketiga program utama tadi, tentu langkah-langkah
lain yang sudah berjalan harus terus-menerus ditingkatkan
kuantitas dan kualitasnya seperti program-program kartu
Jakarta sehat dan Jakarta pintar (untuk pelayanan pendidikan

219
JEFFRIE GEOVANIE

dan kesehatan gratis bagi warga yang tidak mampu), dan


lain-lain.
Impian Ahok adalah impian kita semua. Untuk
merealisasikan impian itu merupakan kewajiban, bukan
hanya bagi Ahok berikut jajaran pemerintahan DKI Jakarta,
tapi juga bagi kita semua, terutama warga Jakarta. (geotimes.
co.id, 03 Juni 2016)

220
7. HIDUP BERSIH ALA BASUKI
Bersih dalam pandangan Ahok tak sekadar dalam pengertian
fisik, tapi juga bersih hati, pikiran, dan tindakan.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)


mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 168 tahun 2015
tentang Pengendalian, Penampungan, dan Pemotongan
Hewan. Dengan instruksi ini, Ahok melarang penjualan
dan penyembelihan hewan kecuali di tempat yang telah
ditentukan, termasuk hewan kurban.
Akibatnya apa? Kebiasaan umat Muslim menyembelih
hewan kurban di tempat-tempat ibadah (masjid, mushola)
dan di sekolah-sekolah, tidak diperbolehkan. Kebiasaan
menjajakan hewan-hewan kurban di tepi jalan dan trotoar
juga dilarang. Inilah yang membuat banyak tokoh Muslim
memprotes kebijakan Ahok. Mantan Bupati Belitung Timur
ini dituduh anti-Islam.
Ahok bergeming, ia berdalih justru dengan instruksi itu
ia berupaya mengamalkan ajaran Islam yang menjunjung
tinggi kebersihan dan kesehatan. Ahok yang melewati
masa kanak-kanak dengan belajar di sekolah Islam melihat
apa yang dilakukan umat Muslim dalam melaksanakan
perintah berkurban tidak sejalan dengan ajaran Islam tentang
kebersihan yang menjadi syarat hidup sehat.

221
JEFFRIE GEOVANIE

Melihat kebijakan Ahok, saya teringat akan cerita salah


satu tokoh pembaruan Islam, Muhammad Abduh yang
sekembali dari pengembaraan di Eropa mengatakan “Aku
pergi ke Barat dan melihat Islam, aku kembali ke Timur
dan melihat Muslim.” Di mata murid Jamaluddin al-Afghani
ini, cara hidup orang Eropa menggambarkan cara hidup
yang diajarkan Islam, meskipun mereka bukan Muslim.
Sebaliknya, cara hidup di negara-negara Muslim tidak
mencerminkan ajaran Islam.
Para cendekiawan Muslim Indonesia seperti Nurcholish
Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Syafii Maarif—
untuk sekadar menyebut beberapa nama—adalah penganjur
Islam substantif, yakni Islam yang mengacu pada nilai-nilai,
prilaku, dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran Islam.
Islam substantif kerap dikontraskan dengan Islam formalis,
yakni cara-cara berislam dengan menonjolkan atribut-atribut
formal, misalnya beribadah secara formal, namun kurang
berdampak pada penegakkan nilai-nilai yang diajarkan
Islam. Rajin shalat dan berzikir di tempat ibadah, namun
dalam kehidupan sehari-harinya tidak mencerminkan cara-
cara hidup Islami.
Menurut Abduh, cara-cara hidup umat Muslim yang
banyak bertolak belakang dengan ajaran Islam inilah yang
menghalang-halangi kemajuan Islam. Al-Islamu mahjubun
bi al-muslimin, (keindahan dan keagungan) Islam tertutup
oleh (prilaku dan kebiasaan buruk) umat Muslim. Islam
mengajarkan kebersihan namun umat Muslim banyak

222
HIDUP BERSIH ALA BASUKI

mengabaikannya. Islam mengajarkan hidup sehat namun


umat Muslim banyak melanggarnya.
Ahok secara formal bukan Muslim. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan yang diambilnya dalam memimpin DKI
Jakarta mencerminkan tata hidup yang Islami. Mungkin tidak
semuanya, karena sebagai manusia biasa ia juga memiliki
banyak kekurangan.
Bersih dalam pandangan Ahok tak sekadar dalam
pengertian fisik, tapi juga bersih hati, pikiran, dan tindakan.
Bersih fisik terkait dengan lingkungan teritorial atau lokasi.
Penertiban bantaran kali Ciliwung misalnya, yang banyak
dijadikan hunian liar dan pembuangan sampah menjadi
salah satu prioritas kerja pemerintahan Ahok. Ini merupakan
kelanjutan program bersama pendahulunya, Gubernur Joko
Widodo, yang telah menyulap lingkungan waduk Pluit yang
kumuh dan kotor menjadi taman yang bersih dan indah.
Bersih hati dan pikiran erat kaitannya dengan apa yang
disebut Sigmund Freud sebagai “asosiasi bebas”. Kebebasan
manusia bisa membersihkan hati dan pikirannya karena
dengan kebebasan, apa yang terdetak dalam hati dan terlintas
dalam pikiran, akan langsung diekspresikan. Berbeda
misalnya pada saat manusia dalam tekanan, yang ada dalam
hati dan pikiran tidak bisa diekspresikan dengan bebas
sehingga menggumpal, berakumulasi, dan lama kelamaan
menjadi penyakit yang sulit disembuhkan.
Sedangkan bersih dalam tindakan merupakan ekspresi
yang mencerminkan penolakan terhadap semua hal yang

223
JEFFRIE GEOVANIE

merugikan orang banyak. Anti korupsi misalnya, inilah


contoh dalam bentuknya yang optimal dari bersih dalam
tindakan. Banyak orang yang mengaku hidup bersih hanya
dalam kata-kata yang terucap, ini merupakan manipulasi
awal. Apabila sudah sampai pada tahap lahirnya tindakan-
tindakan yang bertentangan dengan apa yang diucapkan
maka pada saat itulah manipulasi telah memasuki stadium
lanjut yang sangat sulit disembuhkan.
Banyak kalangan menuduh Ahok bermulut kotor
hanya karena dia sering memaki dengan kata-kata kasar.
Jika dilihat dalam perspektif budaya yang normal, tuduhan
itu benar adanya. Tapi jika dilihat dalam konteks apa
yang dia bicarakan, sejatinya ia melakukan tindakan yang
proporsional. Pada kejahatan kita tak perlu bermanis muka
dan kata-kata karena hal itu tidak akan menyembuhkannya.
Ada substansi makna di luar fakta.
Dalam sistem budaya yang normal, ada kesesuaian
antara substansi makna dan fakta, tapi dalam sistem budaya
abnormal, kerap terlihat ada kesenjangan antara keduanya.
Pada saat terjadi kesenjangan seyogianya kita lebih melihat
substansi ketimbang faktanya. (GeoTIMES, 28 September–04
Oktober 2015)

224
8. KOMITMEN SEORANG BASUKI
Komitmen membangun negara sudah menjadi bagian dari nafas
kehidupan. Menjaga kebersamaan dalam keragaman sudah
menjadi bagian integral dari watak perjuangan.

Seorang pemimpin harus memiliki komitmen yang jelas untuk


menjaga keutuhan bangsa dan negara yang dipimpinnya. Jika
yang dipimpin merupakan negara dengan keragaman budaya,
suku, ras, dan agama, maka ia harus memiliki komitmen untuk
menjaga keragaman itu.
Dalam perspektif Indonesia, komitmen menjaga
keragaman merupakan perintah konstitusi (UUD 1945).
Mengorbankan keragaman, untuk kepentingan apa pun,
sama artinya dengan mengabaikan konstitusi. Konstitusi
menjadi alat perekat yang bisa mempertemukan berbagai
kepentingan, kelompok, dan aspirasi.
Konstitusi menjadi salah satu tiang utama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena begitu
pentingnya keberadaan dan fungsi konstitusi maka wajar
jika ada kepala negara yang terbukti mengabaikan konstitusi,
konsekuensinya harus dimakzulkan.
Siapa pun yang menjadi pemimpin di Indonesia, pada
level mana pun, ia harus taat dan patuh pada konstitusi.
Ketaatan dan kepatuhan pada konstitusi bukan wilayah yang
bisa ditawar-tawar bagi setiap warga negara. Maka penegasan

225
JEFFRIE GEOVANIE

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama bahwa ia rela


mati demi membela konstitusi, itulah komitmen yang memang
sudah seharusnya dimiliki seorang pemimpin.
Penegasan komitmen itu penting karena di atas panggung
republik ini sudah terlalu banyak pemimpin yang ternyata
hanya peduli dengan kelompoknya saja, entah itu kelompok
agama, suku, atau yang lebih sempit lagi, keluarganya. Pada
saat kepentingan kelompok lebih dikedepankan, jangan
berharap keadilan bisa ditegakkan.
Pengutamaan kelompok akan membuat seorang pemimpin
kehilangan perspektif keindonesiaan yang utuh. Akibatnya
akan memicu konflik, serta segregasi kelompok yang tidak
menjadi bagian dari kelompok yang dipentingkannya.
Contoh-contoh dari munculnya fenomena ini sudah banyak
kita jumpai seperti dalam kasus penolakan berdirinya tempat
ibadah.
Pendirian tempat ibadah adalah bagian dari ekspresi
kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. Tempat ibadah
diharapkan bisa menjadi naungan bagi mereka yang dilanda
kegersangan jiwa; menjadi tempat kembali bagi mereka yang
tersesat jauh dari jalan Allah.
Jika tempat ibadah dilarang berdiri maka ke mana
mereka yang kehausan spiritual itu akan pergi? Ini harus
menjadi pertimbangan, bahwa banyak kalangan mem-
butuhkan katarsis dari kegersangan jiwanya. Jika tidak ada
tempat untuk menyalurkan, jiwa itu akan terguncang dan
kemungkinan akan melahirkan ekspresi yang destruktif yang

226
KOMITMEN SEORANG BASUKI

merugikan orang lain. Selain itu, segregasi kelompok juga


bisa membuat banyak pengikut sekte atau mazhab yang
terlantar di rumahnya sendiri, atau bahkan dinistakan dan
diusir dari tanah kelahirannya sendiri.
Padahal mereka adalah warga negara yang juga memiliki
hak-hak—seperti warga negara lainnya—yang dijamin
konstitusi. Lihatlah pengikut Syiah dan Ahmadiyah, berapa
banyak di antara mereka yang rumahnya dibakar, tempat
ibadahnya diluluhlantakkan, hanya karena mereka dianggap
kafir dan sesat. Fatwa ulama—yang mengafirkan dan
menyesatkan—bukan mendamaikan malah mengakibatkan
kesengsaraan.
Selain penegakkan konstitusi, anti korupsi adalah
komitmen yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dan, lagi-
lagi, Gubernur DKI Jakarta yang populer dipanggil Ahok juga
pernah menegaskan bahwa dirinya rela mati untuk melawan
korupsi. Karena menurutnya, akar dari semua persoalan
bangsa ini adalah korupsi. Karena korupsi, rakyat sengsara,
pembangunan terabaikan.
Ada pepatah, seekor ikan akan membusuk dari kepalanya.
Pemimpin harus menjadi contoh bagi segenap rakyatnya.
Gubernur harus menjadi contoh semua aparat yang ada di
bawahnya, terutama dalam hal komitmen memberantas
korupsi. Tapi jika pemimpinnya sudah terbiasa korupsi,
atau bahkan sudah membusuk, maka tunggulah saatnya
akan tiba pembusukan negara secara umum.

227
JEFFRIE GEOVANIE

Maka penegasan anti korupsi bagi seorang pemimpin


menjadi penting karena dengan cara itulah ia bisa dihormati.
Dengan cara itulah ia bisa menjadi contoh dan disegani.
Banyak pemimpin gagal, titah-titahnya tak diindahkan,
hanya karena ia dianggap tidak patut dicontoh.
Kalau kita berkaca kepada para pemimpin, terutama
para founding father negeri ini, semuanya bisa dicontoh.
Komitmen mereka dalam menjaga kebhinekaan, dan dalam
menjaga diri dari tindakan-tindakan yang merugikan negara,
tak perlu diragukan. Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, Kasimo,
dan lain-lain adalah di antara pemimpin yang patut dicontoh.
Membaca riwayat perjuangan mereka senantiasa
memberi inspirasi, membangkitkan energi positif untuk
mengabdi. Bagi para pemimpin ini, jangankan korupsi,
mereka rela mengorbankan harta milik pribadinya untuk
kepentingan negara. Komitmen membangun negara sudah
menjadi bagian dari nafas kehidupan. Menjaga kebersamaan
dalam keragaman sudah menjadi bagian integral dari watak
perjuangan. (GeoTIMES, 22-28 Juni 2015)

228
9. PILIHAN “TIKET” BASUKI
Basuki tinggal memilih, mau maju dengan tiket dari partai
politik, atau mau melalui jalur perseorangan (independen).

Sebagai Ibukota Negara, Jakarta adalah pusat perhatian.


Etalase dari semua aktivitas ekonomi dan politik kenegaraan.
Saya kira hampir semua penduduk negeri ini dalam hidupnya
pernah mendambakan, atau setidaknya membayangkan, bisa
tinggal di Jakarta. Ibukota Negara ibarat gula manis yang
dikerubuti semut-semut.
Oleh karena itu wajar saja jika kursi Gubernur DKI
Jakarta menjadi jabatan yang sangat menarik, jauh lebih
menarik dari jabatan yang sama di provinsi-provinsi lain.
Apalagi setelah tampilnya Joko Widodo yang dari kursi
inilah, mantan Walikota Solo itu menjadi orang nomor satu
di Indonesia. Keterpilihan Presiden Jokowi seolah menjadi
preseden bahwa jabatan Gubernur DKI Jakarta menjadi pintu
gerbang menuju Istana Negara.
Karena itu kiranya wajar pula jika untuk memperebutkan
kursi Gubernur DKI Jakarta, muncul nama-nama besar, dari
pengusaha nasional, mantan menteri, hingga tokoh yang
sebelumnya pernah mendeklarasikan diri sebagai calon
presiden (capres). Demi jabatan “gerbang Istana”, seorang
capres rela menurunkan derajat menjadi calon gubernur

229
JEFFRIE GEOVANIE

(cagub) yang sejatinya baru pada tahap bakal cagub. Iya,


baru bakal cagub karena belum tentu menjadi calon.
Satu-satunya orang yang sudah hampir pasti memegang
tiket cagub adalah sang petahana, Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok). Mantan legislator Partai Golkar yang juga mantan
Bupati Belitung Timur ini tinggal memilih, mau maju dengan
tiket dari partai politik, atau mau melalui jalur perseorangan
(independen).
Kalau ingin maju dari partai politik, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP)—yang memiliki kursi lebih
dari cukup untuk persyaratan cagub—sudah memberi
isyarat akan mencalonkan Ahok menjadi cagub PDIP, tentu
dengan syarat Ahok bersedia.
Tapi, jika Ahok mau maju dari jalur perseorangan, ratusan
anak muda yang tergabung dalam “Teman Ahok” sudah siap
menyediakan hampir satu juta (kopi) KTP dukungan warga
Jakarta untuk cagub Ahok. Anak-anak muda ini bahkan
sudah memohon secara resmi pada Ahok agar bersedia
menjadi calon perseorangan dan mau meninggalkan “bujuk
rayu” partai politik.
Uniknya, pasukan para relawan “Teman Ahok” bukan
hanya bergerak di Jakarta, mereka juga memasuki wilayah-
wilayah lain di luar Jakarta, bahkan di luar pulau Jawa.
Seolah-olah mereka tengah menyiapkan Ahok sebagai calon
presiden RI. Di provinsi lain mereka memberi pelatihan
bagaimana strategi menyiapkan tokoh yang dianggap

230
PILIHAN “TIKET” BASUKI

mumpuni dan kredibel untuk dimajukan menjadi calon


independen dalam Pilkada.
Di mata para relawan “Teman Ahok”, Ahok adalah
tokoh yang mumpuni dan kredibel. Namun kredibilitasnya
bisa “terganggu” pada saat maju melalui (perahu) partai
politik. Di samping ada persyaratan-persyaratan formal yang
ditentukan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), masih
ada persyaratan lain, yang biasanya lebih sulit dan rumit yang
ditentukan partai politik, bisa dalam bentuk “mahar” atau
komitmen-komitmen lain yang mengharuskannya tunduk
dan patuh pada ketentuan partai politik.
Sementara itu, partai politik sendiri masih menghadapi
sejumlah persoalan, di antaranya yang paling krusial adalah
masalah keuangan. Setiap partai politik membutuhkan dana
besar untuk menggerakkan infrastruktur dan organisasi dari
tingkat pusat hingga ranting (anak cabang). Meskipun sudah
ada alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), karena jumlahnya masih sangat minim,
maka partai-partai mewajibkan kepada kader-kadernya
untuk menyetor “dana politik”. Mungkin karena kewajiban
inilah di antaranya yang menyebabkan banyak kader politik
terpaksa harus masuk hotel prodeo karena terjerat korupsi.
Sepanjang kondisi partai politik masih mengidap masalah
krusial seperti saat ini, maka sepanjang itu pula calon kepala
daerah yang maju melalui jalur partai politik berpotensi
menghadapi masalah yang sama seperti yang dihadapi partai
politik. Bagaimana mungkin akan menjadi pemimpin yang

231
JEFFRIE GEOVANIE

mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi segenap


warganya jika dirinya sendiri saja dibebani banyak masalah.
Oleh karena itu, kalau harus memilih, saya kira akan
lebih baik jika Ahok maju melalui jalur perseorangan.
Bahwa ada dukungan partai politik, seperti yang sudah
dilakukan Partai Nasdem saat ini, tidak ada masalah.
Dukungan semacam ini sekadar menjadi pendukung yang
sukarela, tanpa komitmen, namun ikut serta menyukseskan
pemenangan Ahok. Dan, sejauh ini, Partai Nasdem sendiri
pun tetap memberi kebebasan pada Ahok.
Selain “terbebas” dari sejumlah masalah yang dihadapi
partai politik, jika maju dari jalur independen, Ahok
diharapkan bisa memberi contoh yang baik (preseden
baik) bahwa calon kepala daerah yang dipilih langsung oleh
rakyat tanpa melalui partai politik pun, memiliki peluang
yang sama untuk memenangkan pemilihan. Tapi memiliki
peluang jauh lebih besar untuk tampil menjadi pemimpin
yang baik karena terbebas dari tekanan-tekanan politik yang
kemungkinan besar bisa menjerumuskannya dalam himpitan
kasus-kasus korupsi.
Di luar itu, dari sudut pandang karakteristik (personal)
Ahok yang selama ini tampak nyata di ruang publik, akan
lebih cocok jika maju di luar jalur partai politik. Seperti kita
ketahui, pada Pilkada DKI sebelumnya, Ahok adalah calon
(wakil gubernur) yang diajukan Partai Gerindra berpasangan
dengan Jokowi yang diajukan PDIP. Namun dalam perjalanan,
Ahok menyatakan keluar dari Partai Gerindra karena alasan-

232
PILIHAN “TIKET” BASUKI

alasan yang cukup masuk akal. Tentu akan kurang masuk


akal jika pada Pilkada berikutnya, Ahok maju kembali dari
partai politik. (geotimes.co.id, 26 Februari 2016)

233
10. MENGHORMATI PILIHAN BASUKI
Jika dukungan partai politik sudah di tangan, mengapa pula
masih harus berharap lolos verifikasi jalur perseorangan.

Pada awalnya, Gubernur (petahana) DKI Jakarta Basuki


Tjahaja Purnama (Ahok) berada dalam dilema antara memilih
jalur perseorangan atau jalur partai politik. Setelah dilakukan
silaturahim antar berbagai pihak yang berkepentingan
dengan pencalonan Ahok, akhirnya keputusan itu bisa
diambil dengan tanpa ada gejolak yang berarti.
Setelah Ahok memilih jalur partai politik, memang
banyak kalangan menyayangkan, atau bahkan kecewa,
terutama mereka yang sangat berharap pada independensi
Ahok. Kekecewaan yang wajar sepanjang tidak diekspresikan
dengan sumpah serapah dan caci maki.
Kalau ada yang mengekspresikan kekecewaan dengan
sumpah serapah, mungkin pada dasarnya memang dari awal
tidak suka pada Ahok, dan keputusan Ahok maju lewat jalur
partai dijadikannya momentum untuk mengekspresikan
ketidaksukaan itu sesuka hatinya. Walaupun sikap seperti
ini biasa dalam dunia politik, tetap tidak wajar karena ada
manipulasi di dalamnya, seolah-olah mendukung padahal
tidak.
Saya pribadi agak kecewa dengan keputusan itu, tapi
saya menghormati keputusan Ahok karena beberapa hal.

234
MENGHORMATI PILIHAN BASUKI

Pertama, semakin mendekati masa pendaftaran pencalonan,


semakin sempit waktu yang dibutuhkan, dan semakin sulit
kemungkinan maju melalui jalur perseorangan (independen).
Ada banyak hal yang masih harus dilalui pada saat jalur
perseorangan menjadi pilihan, yang paling rumit adalah
verifikasi. Kelihatannya sederhana, tapi karena menyangkut
satu juta lebih lembar dukungan, verifikasi tidak bisa
dianggap remeh. Sangat mungkin terjadi dukungan ganda,
atau dukungan fiktif karena orangnya sudah meninggal, atau
sudah pindah domisili. Jika terus diikuti, pasti akan banyak
menyita waktu dan tenaga.
Kedua, sudah ada tiga partai politik yang akan
mengusung Ahok. Meskipun mereka melakukannya dengan
suka rela (tanpa mahar politik), dan menyerahkan keputusan
sepenuhnya pada Ahok, tapi bagi mereka tentu tetap jauh
lebih baik jika Ahok lebih memilih jalur partai politik
ketimbang perseorangan. Apalagi jumlah kursi DPRD dari
ketiga partai itu (Nasdem, Hanura, dan Golkar) sudah lebih
dari cukup untuk mengusung cagub dan cawagub.
Ketiga, ibarat pepatah, “mengharap hujan dari langit, air
di tempayan jangan ditumpahkan”. Mengharap dukungan
sejuta KTP yang dikumpulkan “Teman Ahok” lolos verifikasi
boleh saja, tapi jangan menyia-nyiakan dukungan partai
politik yang sudah memenuhi syarat. Apalagi, walaupun
sudah memilih jalur partai politik, Ahok tetap tidak
meninggalkan Teman Ahok.

235
JEFFRIE GEOVANIE

Tujuan awal pengumpulan KTP oleh Teman Ahok


adalah untuk menyediakan tiket bagi Ahok untuk jadi cagub.
Pada waktu itu, rasanya mustahil Ahok mendapat dukungan
dari partai politik karena perseteruannya yang sengit dengan
DPRD DKI yang nota bene merepresentasikan partai politik.
Nyatanya benar kata Bismarck, politics is the art of the
possible. Yang awalnya tampak mustahil itu sekarang sudah
terjadi, Ahok didukung partai politik! Jika dukungan partai
politik sudah di tangan, mengapa pula masih harus berharap
lolos verifikasi jalur perseorangan.
Keempat, dengan Ahok memilih jalur partai politik,
dugaan selama ini bahwa Teman Ahok sebagai lawan partai
politik tidak terbukti. Begitu juga anggapan bahwa Ahok
anti partai politik. Ketika Ahok meninggalkan partai politik,
bukan karena dilandasi kebencian terhadap pilar utama
demokrasi ini, tapi karena integritas sebagian aktivisnya
yang begitu mudah hilang dan terjerat kasus-kasus korupsi.
Sebagai politikus, Ahok tidak mungkin lepas dari partai
politik.
Kelima, mencermati dukungan partai politik yang
dilakukan tanpa syarat (mahar politik atau syarat-syarat lain),
akan menjadi preseden yang baik bahwa bagi siapa pun
yang dianggap berkualitas dan memiliki integritas (rekam
jejak yang baik), senantiasa tersedia jalan baginya menjadi
pemimpin.
Karena hakikat partai politik adalah institusi yang
menjadi agregator kepentingan rakyat, maka kebutuhan

236
MENGHORMATI PILIHAN BASUKI

rakyat akan lahirnya pemimpin yang berkualitas dan


berintegritas harus menjadi komitmen bagi partai politik
untuk bisa memenuhinya. Walaupun bukan kader partai
politik, calon pemimpin yang baik harus didukung oleh
partai politik. Dengan begitu rakyat akan percaya bahwa
partai politik bisa menyalurkan aspirasinya dalam memilih
pemimpin.
Dengan beberapa alasan di atas, menghormati keputusan
Ahok bukan sejenis penghormatan tanpa reserve. Ada
argumentasi yang harus dikemukakan agar publik tahu
mengapa sebuah keputusan politik harus dihormati.
Dengan keputusan yang telah diambilnya, Ahok menjadi
cagub pertama yang secara definitif telah memenuhi syarat
administratif (walaupun hingga kolom ini ditulis belum
melakukan pendaftaran secara resmi). Ada beberapa (bakal)
cagub yang sudah mendaftar namun dinyatakan tidak sah
karena secara administratif tidak memenuhi persyaratan.
Sementara Ahok sudah memenuhi persyaratan meskipun
belum mendaftar.
Selain menghormati pilihan Ahok, saya juga mengapresiasi
sikap teman-teman relawan yang tergabung dalam Teman
Ahok. Di tengah gempuran tuduhan dukungan fiktif, mereka
merelakan Ahok memilih jalur partai politik, yang artinya
sama saja dengan tidak memberi kesempatan kepada mereka
untuk membuktikan (melalui verifikasi) bahwa dukungan
yang telah mereka galang benar-benar faktual.

237
JEFFRIE GEOVANIE

Saya salut dengan Teman Ahok yang tetap tegar


walaupun hingga saat ini tetap menjadi bulan-bulanan
para pembecinya—yang tetap menuduh dukungan fiktif—
terutama di media sosial. (geotimes.co.id, 19 Agustus 2016)

238
11. MENYELAMATKAN DEMOKRASI DARI
DEMORALISASI
Kita menyadari sepenuhnya fakta demoralisasi demokrasi.
Namun kesadaran ini tidak bermakna signifikan pada saat tidak
dibarengi upaya untuk memperbaikinya.

Banyaknya aktor politik yang diduga, didakwa, bahkan


dipenjara karena tindakan korupsi membuat wajah politik
dan demokrasi kita semakin buruk. Ada proses demoralisasi
dalam demokrasi. Adakah jalan keluar dari situasi yang
buruk ini?
Istilah demoralisasi demokrasi pernah dikemukakan
oleh Busyro Muqoddas pada saat memimpin Komisi Pem-
berantasan Korupsi (KPK), untuk menggambarkan banyaknya
aktor-aktor yang seharusnya menjaga moral demokrasi justru
merusaknya dengan tindakan amoral seperti korupsi. Aktor-
aktor yang dimaksud adalah para politisi, terutama yang
menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis baik di
lembaga eksekutif maupun legislatif.
Berbicara tentang prilaku para politisi, tidak bisa terlepas
dari institusi politik yang telah mengantarkannya menjadi
pejabat publik, yakni partai politik. Kita sepakat bahwa partai
politik merupakan pilar utama demokrasi. Artinya demokrasi
tidak bisa dibangun tanpa adanya partai politik. Pada saat di
suatu negara partai politiknya rusak maka akan rusak pula

239
JEFFRIE GEOVANIE

demokrasinya. Karena pentingnya partai politik, pada masa


pembentukan Indonesia dulu, Muhammad Hatta, pada 3
November 1945 mengeluarkan Maklumat yang antara lain
berisi pemberian hak seluas-luasnya kepada rakyat untuk
mendirikan partai-partai politik.
Hatta mengeluarkan Maklumat itu karena menurutnya
hanya dengan berdirinya partai-partai politik, Indonesia
bisa membangun demokrasi. Partai-partai adalah lembaga
politik yang didirikan oleh segenap rakyat yang dengan
syarat-syarat tertentu diberi hak untuk mengikuti Pemilihan
Umum (Pemilu) yang pertama kali digelar tahun 1955. Dari
Pemilu inilah, terpilih para pemimpin yang berhak mewakili
rakyat dalam parlemen atau badan perwakilan rakyat
(konstituante). Anggota konstituante adalah utusan partai-
partai yang dipilih dan dipercaya rakyat untuk menyusun
dan menetapkan undang-undang yang berlaku bagi segenap
rakyat. Dengan melalui proses seperti inilah, demokrasi bisa
terbangun.
Sayangnya, Soekarno cenderung mengabaikan
Maklumat itu hingga (antara lain) mendorong Hatta mundur
dari kursi Wakil Presiden karena merasa sudah tidak lagi
memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya
membangun demokrasi. Seperti kita tahu, Soekarno
kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang membubarkan partai-partai politik dan konstituante.
Demokrasi yang dibangun di atas fondasi partai-partai
runtuh dengan sendirinya. Sistem politik Indonesia bergeser

240
MENYELAMATKAN DEMOKRASI DARI DEMORALISASI

dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin.


Demokrasi terpimpin merupakan pseudo demokrasi, yakni
demokrasi seolah-olah yang hanya diatasnamakan karena
pada hakikatnya bukanlah demokrasi.
Pseudo demokrasi itu kemudian berlanjut hingga era
Orde Baru di bawah Soeharto yang secara formal menjalankan
sistem politik berdasarkan demokrasi yang ciri-cirinya
antara lain adanya partai-partai politik, dan adanya Pemilu
yang dilaksanakan secara berkala. Tapi secara substantif,
demokrasi yang dibangun Soeharto bukanlah demokrasi
yang sebenarnya karena semua proses politik terpusat pada
(kemauan) dirinya.
Gerakan reformasi Mei 1998 yang berhasil memaksa
Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden yang sudah
didudukinya selama lebih dari 32 tahun menjadi titik awal
upaya mengembalikan substansi demokrasi. Demokrasi
kembali menemukan momentum, partai-partai politik
kembali hadir seperti mengulang pada era demokrasi liberal
sebelum Pemilu 1955.
Membangkitkan kembali demokrasi yang sudah
lama “mati” memang bukan perkara gampang. Mungkin
karena terlalu lama terkungkung, kebebasan rakyat dalam
mengekspresikan berbagai tuntutan politik cenderung tanpa
kendali sehingga keadaban politik pun mewujud dalam
wajahnya yang buruk.
Demokrasi kembali memasuki era kritis, bukan lantaran
otoritarianisme kekuasaan, tapi karena kebebasan yang

241
JEFFRIE GEOVANIE

cenderung tak terkendali, dan karena kebebasan yang


inheren dalam demokrasi (ternyata) juga memberi peluang
yang luas bagi para aktor politik untuk melalukan korupsi.
Proses demokrasi yang berlangsung dalam peru-
musan dan penetapan anggaran misalnya, telah dijadikan
peluang untuk korupsi melalui timbal balik kepentingan,
antara pihak politisi yang merumuskan dan menetapkan
anggaran, dengan pemerintah (baik pusat maupun daerah)
yang menerima kucuran anggaran, dan pihak swasta yang
menjalankan proyek untuk memanfaatkan anggaran. Maka
moral demokrasi sebagai sistem yang diyakini paling baik
menjadi tereduksi karena tindakan korupsi para politisi.
Moral demokrasi terseret dalam zona degradasi.
Yang menjadi tantangan besar kita saat ini adalah
bagaimana menyelamatkan demokrasi dari zona degradasi
ini? Kita menyadari sepenuhnya fakta demoralisasi demokrasi.
Namun kesadaran ini tidak bermakna signifikan pada saat
tidak dibarengi upaya untuk memperbaikinya. Di antara
cara yang paling efektif untuk menanggulangi demoralisasi
demokrasi adalah dengan memaksimalkan transparansi.
Semua proses politik yang terjadi harus bisa dikontrol oleh
publik. Rapat-rapat pengambilan semua keputusan politik
tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Saya kira pola transparansi seperti inilah yang selalu
diupayakan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama. Rapat-rapat pengambilan keputusan direkam dan
di-upload di youtube sehingga publik bisa menyaksikannya.

242
MENYELAMATKAN DEMOKRASI DARI DEMORALISASI

Jika ada hal-hal yang dirasa kurang tepat, publik bisa lang-
sung merespons melalui berbagai layanan pelaporan yang
tersedia.
Aplikasi Smart City yang diberi nama QLUE, juga
menjadi sarana yang sangat efektif untuk transparansi dan
akuntabilitas semua kebijakan politik yang dijalankan di DKI
Jakarta. Dengan aplikasi ini, selain bisa digunakan warga
untuk melaporkan segala jenis ketimpangan, atau segala hal
yang dinilai tidak layak di tengah-tengah masyarakat Jakarta,
Basuki juga bisa mencermati dengan lebih jeli kinerja aparat
di bawahnya.
Bagi kalangan yang berpikir ideologis dan rumit tentang
demokrasi, bisa saja berpendapat bahwa transparansi yang
dilakukan Basuki terlalu sederhana untuk dikatakan sebagai
upaya untuk menyelamatkan demokrasi dari demoralisasi.
Pendapat ini sah-sah saja, tapi menurut saya, serumit apa
pun tugas yang kita hadapi, langkahnya harus dimulai dari
yang sederhana.
Sejarah mengajarkan pada kita, tidak sedikit sesuatu
yang kita anggap sederhana ternyata memiliki efek yang luar
biasa. (geotimes.co.id, 29 September 2016)

243
12. MAMBANGUN MASYARAKAT
BERKEMAJUAN
Pesta demokrasi seperti Pilkada bisa dijadikan momentum
untuk “mengantarkan” orang-orang baik menjadi bagian
penting dalam lembaga-lembaga politik yang mampu
menopang terbangunnya masyarakat berkemajuan.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahap kedua yang di-


lakukan serentak pada awal tahun 2017 diharapkan bisa
memberi kontribusi positif bagi terbangunnya masyarakat
berkemajuan di Indonesia.
Harapan ini penting diketengahkan mengingat banyak
fenomena yang berkembang di seputar Pilkada justru bertolak
belakang dengan semangat terbangunnya masyarakat
berkemajuan. Penguatan sentimen agama dan penguatan
dinasti politik, merupakan contoh dari fenomena yang
bertolak belakang dengan upaya membangun masyarakat
berkemajuan.
Masyarakat berkemajuan yang dimaksudkan dalam
tulisan ini adalah sebutan lain untuk masyarakat kota yang
berperadaban maju. Yakni merupakan sebuah masyarakat
yang terdiri dari warga negara yang berpikiran maju dan
lembaga-lembaga otonom yang berkontribusi positif dalam
memajukan masyarakat.

244
MAMBANGUN MASYARAKAT BERKEMAJUAN

Lahirnya masyarakat berkemajuan di Indonesia merupa-


kan keinginan semua orang yang peduli dengan masa
depan bangsa ini. Pada saat terjadi gerakan politik yang
mampu melengserkan rezim otoriter pada 21 Mei 1998,
kita merasakan betul adanya tanda-tanda mulai munculnya
masyarakat berkemajuan.
Komponen-komponen yang ada dalam masyarakat
berkemajuan seperti kebebasan warga untuk berserikat,
berkumpul, menyatakan pendapat, dan memeluk keyakinan
agama, sudah mulai bisa dirasakan.
Apalagi, pada saat kita bisa melangsungkan pemilihan
umum yang benar-benar bebas, jujur, dan adil pada tahun
1999, dan mendapatkan pujian dari berbagai pengamat
internasional yang ikut memantau jalannya Pemilu.
Namun masalahnya, masyarakat berkemajuan bisa
menjadi surga dimana kita bisa hidup bahagia, bisa juga
menjadi neraka, yang hiruk-pikuk oleh suara-suara pertikaian
pribadi dan kelompok, yang seringkali juga diikuti oleh
perkelahian bahkan pembantaian yang berlumuran darah.
Mengapa masyarakat berkemajuan bisa menjadi neraka?
Karena pada saat kebebasan masyarakat sudah benar-benar
terwujud, senantiasa muncul partisipasi dan ekspresi politik
warga masyarakat yang sulit dibendung dan bisa mengarah
pada instabilitas politik.
Potret inilah yang belakangan ini sering terjadi, par-
tisipasi warga yang diekspresikan dalam demonstrasi kerap
memuncak dan berujung pada bentrokan fisik sehingga

245
JEFFRIE GEOVANIE

korban pun berjatuhan. Aparat kemanan terkesan mem-


biarkan karena pada dasarnya mereka tak punya legitimasi
untuk melakukan tindakan represif sebagaimana yang
mereka lakukan ketika Orde Baru masih berkuasa.
Maka kalau situasinya seperti itu, pada saat ruang ekspresi
politik dibuka, partisipasi rakyat disalurkan secara bebas,
sama saja dengan membuka pintu air bah yang apabila belum
disiapkan rambu-rambunya, maka yang terjadi kemudian
adalah datangnya banjir aspirasi yang menghanyutkan segala
sesuatu yang dijumpainya pun terjadi tanpa ada kekuatan
yang bisa mencegah.
Menurut saya, ini salah satu tantangan terberat dalam
mewujudkan masyarakat berkemajuan. Yakni belum selaras-
nya aturan main (rambu-rambu) dengan euforia yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lemahnya aturan
main inilah yang memunculkan anarki yang merusak sendi-
sendi masyarakat berkemajuan.
Untuk memperbaiki kondisi yang memprihatinkan itu,
salah satu caranya adalah dengan memperkuat partisipasi
orang baik-baik dalam lembaga-lembaga yang menjadi
penopang berdirinya masyarakat berkemajuan seperti partai
politik, DPR, dan lembaga-lembaga negara yang lain.
Masyarakat berkemajuan yang kita cita-citakan tak
cukup hanya dibayangkan atau diimpikan, melainkan harus
diperjuangkan dan direbut dari—meminjam istilah ahli etika
politik dari Harvard Collage, Dennis F Thomson—“tangan-
tangan kotor demokratik,” yakni para pejabat yang me-

246
MAMBANGUN MASYARAKAT BERKEMAJUAN

lakukan tindakan immoral karena rakus, ingin berkuasa, atau


loyal kepada keluarga dan kroninya (Thomson, 1999: 1).
Untuk membangun masyarakat berkemajuan dibutuhkan
keterlibatan orang-orang baik dan berkualitas dalam supra
struktur politik seperti lembaga-lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif, serta lembaga-lembaga negara yang lain yang
berfungsi sebagai pendorong sekaligus penopang masyarakat
berkemajuan.
Jika orang-orang baik dan berkualitas tidak mau terlibat
dalam lembaga-lembaga yang berperan penting dalam
membangun masyarakat berkemajuan, maka jangan menyesal
jika arah perkembangan politik yang terjadi di negeri ini
akan mengarah pada destruksi sosial yang dampaknya akan
dirasakan oleh semua orang, tidak hanya dirasakan oleh
orang-orang jahat saja.
Kalau partai politik yang ada saat ini dianggap tidak sesuai
dengan idealisme orang-orang baik maka ia bisa mencari
kendaraan lain yang lebih sesuai, misalnya melalui organisasi
kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat. Tanpa
harus melalui partai pun, mobilitas vertikal orang-orang baik
bisa disalurkan.
Yang terpenting, bagaimana agar partai-partai yang ada,
tetap meberi ruang dan peluang bagi orang-orang baik yang
nonpartisan untuk maju menjadi kandidat yang bisa mengisi
lembaga-lembaga supra struktur politik.
Pesta demokrasi seperti Pilkada bisa dijadikan mo-
mentum untuk “mengantarkan” orang-orang baik menjadi

247
JEFFRIE GEOVANIE

bagian penting dalam lembaga-lembaga politik yang mampu


menopang terbangunnya masyarakat berkemajuan. Caranya,
dengan memilih orang-orang baik, dan tidak memilih
kandidat-kandidat yang berpotensi merusak sendi-sendi
masyarakat berkemajuan. (geotimes.co.id, 14 Oktober 2016).

248
DAFTAR BACAAN

BUKU
Armstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme
dalam Islam, Kristen, dan Yahudi, Serambi, Jakarta
bekerjasama dengan Mizan, Bandung, Cet. II, 2001
Berger, Peter L, Langit Suci, Agama Sebagai Realitas Sosial, LP3ES,
Jakarta, Cet II, 1994
Budiman, Arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi,
Gramedia, Jakarta, Cet. II, 1997
Essack, Farid, Membebaskan yang Tertindas : Al-Qur’an,
Liberalisme, Pluralisme, Mizan, Bandung, 2000.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 2009
Geovanie, Jeffrie, Tantangan Demokratisasi dalam Masyarakat
Transisi, Teraju, Jakarta, Cet. I, 2004
---------, Membela Akal Sehat, RMBook, Jakarta, Cet I, 2008
---------, Civil Religion, Gramedia, Jakarta, Cet. I, 2013
---------, Sosok-Sosok Inspiratif, Expose, Jakarta, Cet. I, 2013
---------, The Pluralism Project, Expose, Jakarta, Cet. I, 2013
GoPeople!, Big Basuki, Kata-Kata Ahok yang Perlu Diingat dan
Dipegang Rakyat, Grasindo, Jakarta, Cet. I, 2014
Gunawan, Markus, Ahok, Koboi Jakarta Baru,Visimedia, Jakarta,
Cet. I, 2013

249
JEFFRIE GEOVANIE

Hart, Michael H., The 100, a Ranking of the Most Influential


Persons in History, (terj. H. Mahbub Djunaidi : Seratus
Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah), Pustaka Jaya,
Jakarta, cet. X, 1988.
Lesmana, Tjipta, Dari Soekarno sampai SBY, Intrik & Lobi Politik
Para Penguasa, Gramedia, Jakarta, Cet. III. 2009
Machiavelli, Niccolo, Il Principe, Sang Penguasa, Gramedia,
Jakarta, Cet. V, 1999
Maarif, Ahmad Syafii, Al-Qur’an : Realitas Sosial dan Limbo Sejarah
(Sebuah Refleksi), Pustaka, Bandung, cet.I., 1985.
---------, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan,
Mizan, Bandung, Cet II, Ed. II, 2009
Mc Nair, Brian, An Introduction to Political Communication,
Routledge, New York, Reprinted, 2004
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, Cet. II, 2000
---------, Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media,
PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Cet. VI, 2005
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942,
LP3ES, Jakarta, 1996
Nurulloh (Ed), Ahok untuk Indonesia, Elex Media Komputindo,
Jakarta, Cet. I, 2014
O’Shoughnessy, Nicholas I (Ed), The Idea of Political Marketing,
Praeger, London, 2002
Panggabean, Meicky Shoreamanis, Ahok, Politik Akal Sehat, Noura
Books, Jakarta, Cet. I, 2016
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago University Press, Chicago, 1979

250
DAFTAR BACAAN

Santosa, Agus, Hargaku Adalah Nyawaku Basuki Tjahaja Purnama


Berani Mati Demi Konstitusi dan Melawan Korupsi, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2015
Syadzali, Munawir, Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, UI Press, Jakarta, cet.I., 1990.
Syamsuddin, Dr. M. Din, Etika Agama dalam Membangun
Masyarakat Madani, Logos Wacana Ilmu, Ciputat, cet. I, 2000.
Thompson, Dennis F, Etika Politik Pejabat Negara, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2000

MAJALAH
GeoTIMES
HISTORIA
TEMPO

SURAT KABAR
Haluan
Media Indonesia
Padang Ekspres
Seputar Indonesia
Suara Pembaruan
Sinar Harapan

251
JEFFRIE GEOVANIE

SUMBER ONLINE
www.ahok.org
www.beritajakarta.com
www.beritasatu.com
www.detik.com
www.geotimes.co.id
www.rmol.com

252
INDEKS

8 Oktober 1740, 159 147, 148, 149, 150, 185,


9 Desember 2015, 151 214, 219
Bantar Gebang, 2
Banten, 61, 132, 151
A Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Abas (Asal Bukan Basuki), 156 Ahok, 1, 9, 17, 19, 29, 38,
Abdurrahman Wahid, 105, 116, 222 49, 51, 55, 60, 64, 68, 76,
Abrahan Lunggana, 45 83, 88, 89, 95, 98, 103, 107,
Aceh, 65, 206 112, 115, 119, 123, 127,
Aceng Fikri, 144 138, 143, 147, 153, 156,
Achmad Purnomo, 153 161, 165, 170, 174, 178,
Adyaksa Dault, 174, 176, 187 183, 187, 195, 199, 203,
Ahmadiyah, 227 207, 211, 216, 221, 226,
Ahokers, 14 230, 234, 242
Alex Noerdin, 56 Basuri Tjahaja Purnama, 134, 153
Alex-Nono, 56 bego, 103
Al Gore, 9 Bekasi, 2, 147, 214
al-Quran, 111, 159 Belitung Timur, 25, 36, 38, 39, 49,
Amerika, 39, 69, 99, 103 52, 89, 95, 105, 108, 127,
anak Tuhan, 138 132, 134, 153, 154, 187,
anjing, 45 210, 221, 230
Anomali, 90, 94, 207, 211 Benteng Vestenburg, 51
Anung Indro Susanto, 153 Biem Bunyamin, 56
APBD, 44, 61, 89, 97, 157, 210 Bogor, 147, 186, 214, 219
Ariesman Widjaja, 3, 158 BTP, 17, 38, 40
Bugis, 36
Bukit Duri, 25, 108
B Buniarti Ningsih (Boen Nen Tjauw),
26
babi, 42
Bacharuddin Jusuf Habibie, 105
Bandung, 110, 132, 133, 148, 174, C
175, 176, 184, 186
banjir, 12, 20, 25, 62, 81, 108, 109, Carrel, Alexis, 170
119, 120, 121, 122, 127, cebongers, 138

253
JEFFRIE GEOVANIE

China, 159 F
Churchill, Winston, 1
Ciliwung, 25, 108, 109, 113, 149, facebook, 72
223 Fadli Zon, 167
CSIS, 132, 187, 259 Faisal Basri, 56
culas, 172 Fakultas Kedokteran, 31
Cyrus Network, 153 fallacy, 208
Fauzi Bowo, 50, 55, 60, 64, 69, 72,
76, 148, 158, 162, 175, 185
D Fazlurrahman, 202
Festival Musik Dunia (FMD), 51
Dajal, 19
Fifi Lety, 29
Dekrit 5 Juli 1959, 197
Foke-Nara, 55, 56, 58, 60, 61, 64,
demokrasi, 13, 74, 85, 86, 87, 88,
69, 73, 76, 77, 78, 79
124, 135, 181, 190, 195,
founding fathers, 197
196, 197, 198, 204, 236,
FPI
239, 240, 241, 242, 243
Front Pembela Islam (FPI), 20
demokrasi liberal, 198, 241
Front Pembela Islam (FPI), 20
demokrasi terpimpin, 198, 241
F.X. Hadi Rudyatmo, 153
demonstrasi, 126, 245
Demonstrasi, 2
Desember 2015, 134, 151, 155, 199 G
DPRD Kota Bekasi, 2 Gandhi, Mahatma, 111
drainase, 149, 219 Garut, 144
Dr. Syahrir, 36 gedibal, 138
Gerakan Tiga Pilar Kemitraan, 53
E gerbang Istana, 229
Gerindra, 3, 56, 57, 69, 77, 90, 158,
e-budgeting, 44, 91 167, 232
elektabilitas, 3, 129, 138, 162, 163, Glorifikasi, 137, 138, 156
164, 165, 173, 175, 187, goblog, 103
190, 211, 213 Goenawan Mohamad, 19
emas, 114

H
Eropa, 50, 222
Esemka-Kiat, 51
etnis, 36, 38, 39, 57, 68, 72, 86, 87, Habib Rizieq, 20, 22
88, 161, 162, 163, 164, 195 Harry Basuki, 29
euforia, 246 Harvard Collage, 246
exit poll, 55, 57, 60, 70 hedonistis, 57
H Hart, Michael, 111
Hidayat Nur Wahid, 187
hotel prodeo, 231

254
INDEKS

I kampungan, 24
Kampung Pulo, 108, 127, 168, 185,
Ibnu Taimiyah, 202 212
Idul Adha, 201 kartu keluarga, 213
impeachment, 42 Kartu Tanda Penduduk (KTP), 174,
incumbent, 61, 64, 65, 66 186
independen, 3, 83, 115, 116, 129, KTP, 174, 186
130, 178, 180, 181, 195, Kasimo, 228
203, 204, 205, 206, 229, Kejaksaan Agung, 145
230, 231, 232, 235 Kemacetan, 147, 148, 218
Indra Tjahaja Purnama, 26 Kementerian Negara Pemberdayaan
Irwandi Yusuf, 206 Aparatur Negara, 53
Ketua RT, 217
J Kim Nam, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 35
Jakarta Baru, 188 Koalisi Indonesia Hebat (KIH), 116,
Jakarta Selatan, 25, 108, 119, 157 144
Jakarta Utara, 19, 127, 158, 212 Koalisi Merah Putih (KMP), 144
Jamaluddin al-Afghani, 222 Komisi Pemberantasan Korupsi
Jawa, 35, 36, 49, 57, 65, 105, 107, (KPK), 3, 89, 97, 143, 157,
108, 133, 140, 212, 230, 260 166, 239
Jaya Suprana, 159 Komisi Pemilihan Umum Daerah,
Jeffry Geovani, 9 231
JJ Rizal, 127 Komisi Pemilihan Umum (KPU), 50,
Jokowi-Ahok, 47, 49, 53, 54, 55, 56, 168
57, 58, 60, 61, 63, 64, 68, Kompas, 109, 260
69, 70, 73, 74, 76, 77, 78, korupsi, 4, 37, 40, 41, 43, 53, 89,
79, 80, 188 90, 91, 95, 97, 101, 105,
Joko Widodo, 2, 5, 24, 49, 55, 60, 118, 143, 144, 146, 151,
64, 68, 72, 76, 89, 96, 103, 156, 157, 158, 163, 166,
107, 112, 115, 132, 135, 169, 180, 201, 204, 209,
153, 175, 206, 223, 229 210, 212, 217, 224, 227,
Jokowi, 2, 5, 24, 49, 55, 60, 64, 228, 231, 232, 236, 239, 242
68, 72, 76, 89, 96, 103, 107,
112, 115, 132, 135, 153,
175, 206, 223, 229 L
Jusuf Kalla, 105, 176, 212
lancung, 114
lembaga legislatif, 26, 89, 90, 93, 97
K Lembaga Swadaya Masyarakat, 42
Lincoln, Abraham, 69
KADIN, 53 Lius Sungkharisma, 159
kafir, 20, 22, 42, 125, 159, 210, 227

255
JEFFRIE GEOVANIE

M O
Machiavelli, Niccolo, 130 Operasi Sapu Jagat, 28
Madura, 36 operasi tangkap tangan, 3, 157
mahar, 231, 235, 236 Orde Baru, 79, 107, 110, 241, 246
Majalah Playboy, 22 otak, 193, 216
Majelis Permusyawaratan Rakyat,
19, 259
Makassar, 186 P
Malari, 36 Palembang, 186
Mandela, Nelson, 111 Partai Amanat Nasional (PAN), 20
Manggar, 25 Partai Bulan Bintang (PBB), 49
Mario Teguh, 30, 99 Partai Gerindra, 3, 56, 77, 158, 167,
Mass Rapid Transit (MRT), 119, 186 232
Masyarakat berkemajuan, 244, 246 Partai Golkar, 26, 52, 56, 230, 259
Media Indonesia, 63, 260 Partai Perhimpunan Indonesia Baru
meritokrasi, 202 (PPIB), 35, 52
Metro Mini, 50 pasukan nasi bungkus, 138
Metro Realitas, 61 PDIP, 56, 57, 69, 77, 79, 154, 179,
M. Fajri, 153 230, 232
Mimpi Ahok, 193, 216 pedagang kaki lima, 107, 185
minyak babi, 42 Pemilu 1955, 241
Muhammad Abduh, 222 Pengadilan Tata Usaha Negara
Muhammad Hatta, 202, 240 (PTUN), 108, 179
Muhammad Iqbal, 202 peringatan Maulid, 123, 200
Muhammad Nazar, 206 Pesanggrahan, 149
Muhammad SAW, 111, 123, 200 petani miskin, 69
Muhammad Taufik, 45, 158 Piagam Jakarta, 22
Pilgub DKI 2017, 2
N Pilkada, v, 3, 6, 20, 21, 24, 25, 38,
49, 52, 54, 55, 57, 58, 60,
Nachrowi Ramli, 55, 60, 64, 69, 76, 61, 64, 65, 66, 86, 87, 90,
162 110, 132, 133, 134, 135,
Nasdem, 232, 235 147, 151, 152, 153, 154,
Nasrani, 123, 199, 201 156, 158, 160, 162, 165,
Nono Sampono, 56 167, 168, 174, 175, 177,
Nurcholish Madjid, 202, 222 178, 180, 181, 183, 187,
Nurdin Abdullah, 176 188, 195, 203, 204, 205,
nusantara, 75 206, 211, 231, 232, 233,
244, 247, 256
Pilkada Banten, 132

256
INDEKS

Pilkada DKI Jakarta, 6, 20, 24, 110, Rizal Ramli, 166


132, 133, 134, 135, 152, Rumah Sakit Sumber Waras, 2, 157,
154, 158, 162, 175, 180, 166, 212
183, 187, 188, 206
Pilpres 2014, 2, 22, 55
pistol, 28, 29 S
PKB, 77 Saiful Mujani, 5, 58, 70, 184
PKS, 77, 79 Saiful Mujani Research and
PNS, 98, 99 Consulting (SMRC), 5, 58,
PN Tambang Timah, 27, 28, 29, 31 70, 184
Podomoro, 3, 157 sakti, 46
political will, 126 sampah, 2, 20, 102, 105, 149, 209,
Politik transaksional, 37 219, 223
Prabowo Subianto, 57 Sandiaga Salahuddin Uno, 174, 176
Profesional, 17, 38 SARA (suku, agama, ras, dan
PT Agung Podomoro Land, 3, 157 antargolongan), 164
PT Godang Tua Jaya, 2 SARA, 164
PT Navigat Organic Energy sekolah Islam, 201, 221
Indonesia, 2 Seputar Indonesia, 54, 59, 76, 81,
PT Panda, 27 260
PT Tambang Timah, 27 Setya Novanto, 26
punishment, 140 Sindo, 57, 76
SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Q Daerah), 44
SKPD, 44
quick count, 55, 72, 79 Soeharto, 104, 115, 198, 241
Soekarno, 102, 103, 105, 111, 197,
198, 228, 240
R Solo, 49, 50, 51, 56, 107, 176, 229
Radhar Panca Dahana, 57 sosiologi, 94
Rapat Akbar, 19 SPPD fiktif, 53
ras, 80, 81, 89, 106, 134, 139, 156, Sudomo, 28
159, 164, 211, 212, 225 Sugianto Kusuma alias Aguan, 3, 158
reformasi, 19, 79, 241 suksesi kepemimpinan, 126
reformasi Mei 1998, 241 Sunda, 36
reklamasi, 3, 4, 157, 158, 159, 166, Sunny Tanuwijaya, 3, 158
212 Surakarta, 50, 51, 153, 154
represif, 246 surat Al-Maidah ayat 51, 123, 201
rezim otoriter, 245 Syafii Maarif, 41, 129, 202, 222, 259
Ridwan Kamil, 110, 132, 174, 175, Syiah, 227
184, 185, 187

257
JEFFRIE GEOVANIE

T Y
tahanan KPK, 106 Yahudi, 123, 201
tai, 103 Yogyakarta, 22, 50, 186
tanah air, 49, 70, 89, 90 youtube, 96, 199, 242
Tanjung Priok, 19 Yunarto Wijaya, 7
Tantowi Yahya, 187 Yuslih Ihza Mahendra, 134
Teman Ahok, 174, 230, 231, 235, Yusril Ihza Mahendra, 2, 133, 153,
236, 237, 238 167
tempat pemungutan suara (TPS), 73
Tempo, 51, 53, 260
Thomson, Dennis F, 246 Z
Tionghoa, 25, 36, 40, 159, 161 Zhong Kim Nam, 26
titisan Yesus, 138 Zhong Wan Xie, 25, 51, 76
toleransi, 22
Transparan, 17, 38
Tri Rismaharini, 110, 144, 176, 184,
185, 187
Trump, Donald, 40
tukang kayu, 69
Twitchell Hall, Edward, 103
twitter, 72

U
Universitas Kristen Indonesia (UKI),
31
Universitas Trisakti, 31
UPS, 144
UUD 1945, 22, 97, 117, 118, 124,
140, 225

W
waduk Pluit, 223
wakil rakyat, 26, 43, 52, 91, 93
Wali Kota Solo, 49
Wiranto, 20, 21

258
JEFFRIE GEOVANIE
Adalah anggota Majelis Per-
musyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) periode
2014-2019 dari unsur Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang
mewakili Provinsi Sumatera
Barat. Pendiri dan Penasihat
lembaga riset kebijakan publik,
The Indonesian Institute;
Pendiri dan Ketua Yayasan Syafii Maarif yang mengelola
MAARIF Institute for Culture and Humanity; Anggota Dewan
Penasihat The Centre for Strategic and International Studies
(CSIS), Jakarta; dan Anggota Dewan Redaktur Penerbit “Balai
Pustaka”, Jakarta. Pernah terpilih menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Partai
Golkar periode 2009-2014 dan mengundurkan diri pada
April 2012.
Lahir di Jakarta, 5 Agustus 1967, Jeffrie Geovanie meram-
pungkan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Nasional,
Jakarta; melanjutkan studi pascasarjana pada bidang yang
sama di Universitas Indonesia, Jakarta; dan menyelesaikan
pascasarjana Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas
Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta.
Bisnis, politik, dan olahraga adalah tiga dunia yang
digeluti Jeffrie Geovanie. Mengawali profesinya seba-

259
JEFFRIE GEOVANIE

gai karyawan di sejumlah perusahaan nasional dan inter-


nasional dari tingkat staf hingga direktur. Kini ia memiliki
usaha sendiri di bidang properti. Dalam politik, pada tahun
2009 terpilih menjadi anggota DPR RI, dan pada tahun 2014
terpilih menjadi anggota DPD RI. Kini ia menjadi Ketua
Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dalam
olahraga, ia mendirikan klub catur dan pernah menjadi Ketua
Umum Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia
(PB Percasi).
Sebagai penulis, analisisnya di bidang politik pernah
menghiasi kolom opini berbagai media seperti Kompas,
Gatra, Forum Keadilan, Jawa Pos, The Jakarta Post, Republika,
Koran Tempo, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Suara
Pembaruan, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Singgalang,
Haluan, The GeoTIMES, dan menjadi kolumnis tetap di
geotimes.co.id.
Selain buku ini, Jeffrie Geovanie juga menulis buku
“Tantangan Demokratisasi dalam Masyarakat Transisi”
(Teraju, Jakarta, 2004); The Indonesian Dream (co-Writer)
(Marshall Cavendish International, Singapore, 2004);
“Membela Akal Sehat” (RMBook, Jakarta, 2008); “Civil
Religion” (Gramedia, Jakarta, 2013); “The Pluralism Project”
(Expose, Jakarta, 2013); dan “Sosok-Sosok Inspiratif”
(Expose, Jakarta, 2013).

260

Anda mungkin juga menyukai