DIDIT HERDIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Industri Maritim dan
Peranannya Terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka
Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Didit Herdiawan
P00660090063.6DM
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin menganalisis pengaruh dari industri
maritim dan distribusi pangan terhadap sistem ketahanan pangan nasional. Metode
analisis yang digunakan adalah Second Order Structural Equation Modeling. Penelitian
ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi selama ini bahwa di Indonesia masih
banyak daerah yang mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap kerawanan pangan,
sedang di beberapa daerah lain terjadi surplus pangan. Daerah yang mempunyai
kerawanan pangan tinggi telah dipetakan oleh World Food Programme ya n g berupa
Food Insecurity Atlas (FIA) diterbitkan pertama pada tahun 2005 dan yang
kedua pada tahun 2009, dimana sebagian besar daerah yang mempunyai tingkat
kerawanan pangan tinggi adalah wilayah kepulauan terpencil. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa persoalan yang harus segera diatasi adalah bagaimana
mendistribusikan pangan dari daerah yang surplus pangan ke daerah yang rawan pangan.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebesar 248, yang terdiri dari unsur
pemerintah baik pusat maupun daerah termasuk BUMN, dan unsur swasta yaitu
pelayaran rakyat, galangan kapal, dan tokoh masyarakat di wilayah terpencil rawan
pangan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting yaitu: a). Industri maritim
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem distribusi pangan di daerah
terpencil dengan nilai estimasi 0.440 dengan CR = 3.430 dan P= 0.000; b). Model
penelitian menunjukkan bahwa sistem distribusi pangan di daerah terpencil mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional dengan nilai
estimasi = 0.131 dengan CR = 1.095 dan P = 0.002; c). Industri Maritim berpengaruh
terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem distribusi pangan dengan nilai
estimasi = 0.476 dengan CR = 4.778, dan P = 0.000. Pengujian secara simultan terhadap
model penelitian telah memenuhi seluruh kriteria fitting model yang diindikasikan dengan
nilai Chi-Square kecil yaitu 735.186, RMSEA = 0.055, GFI = 0.842, CFI= 0.928, dan
CMIN/DF = 1.447.
Temuan penelitian ini memberi bukti bahwa industri maritim mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem
distribusi pangan. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka strategi yang tepat untuk
meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional pada sektor maritim adalah dengan
meningkatkan perbaikan pada subsektor yang terkait langsung terhadap sistem distribusi
meliputi industri pelabuhan, perkapalan, dan pergudangan.
Kata kunci: Distribusi Pangan, Industri Maritim, Ketahanan Pangan Nasional, Model
Persamaan Terstruktur.
SUMMARY
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INDUSTRI MARITIM DAN PERANANNYA
TERHADAP DISTRIBUSI PANGAN DI WILAYAH TERPENCIL
DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN PANGAN NASIONAL
DIDIT HERDIAWAN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor Manajemen Bisnis
pada
Program Studi Manajemen dan Bisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof Dr Ir Achmad Suryana, MS
(Profesor Riset PSEKP)
2. Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MSc
(Asdir Bidang Akademik dan Kemahasiswaan)
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanna Wataála atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul
Pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil
dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. Penelitian yang
dilakukan dalam disertasi ini sangat berguna khususnya bagi penulis sebagai
syarat penyelesaian tugas studi doktoral dan umumnya bagi para pengambil
kebijakan tentang industri kemaritiman, pendistribusian pangan dan ketahanan
pangan, baik di tingkat daerah maupun pusat. Penelitian ini berhasil
mengungkapkan beberapa temuan, baik yang berhubungan dengan dinamika
faktor-faktor eksternal maupun faktor-faktor internal serta pengaruhnya bagi
industri maritim, dalam memperkokoh distribusi pangan dan peningkatan
ketahanan pangan di daerah terpencil.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian disertasi ini adalah berkat bantuan,
bimbingan dan dorongan serta koreksi dari berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc, Bapak Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc,
Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan
arahan, masukan, koreksi dan motivasinya. Semoga segala bentuk keahlian dan
ilmu yang telah diberikan dengan ikhlas, dicatat sebagai pahala oleh Allah SWT.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Prof Dr H. Susilo
Bambang Yudhoyono, MA yang telah memberikan motivasi dan arahan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor di IPB, Prof Dr Ir Herry
Suhardiyanto, MSc selaku Rektor IPB, Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr selaku
Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc selaku Ketua
Program Studi Manajemen Bisnis IPB. Tidak lupa kami haturkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada para dosen DMB yang profesional dan
dengan tulus mencurahkan ilmunya kepada kami hingga selesainya penyusunan
disertasi ini. Penghargaan setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada Bapak
Prof Dr Ir Noer Azam dan Bapak Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc, serta Bapak
Prof Dr Ir Marimin MSc yang telah memotivasi dan mengarahkan penulis untuk
terus berada dalam time table penyelesaian doktor di DMB IPB.
Mengakhiri ucapan terima kasih, pada kesempatan ini kami ucapkan
terima kasih kepada Gubernur Lemhannas RI Bapak Prof Dr Ir Budi Susilo
Soepandji, DEA, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Ade Supandi,
SE, dan Laksamana TNI (Purn) Dr Marsetio mantan Kepala Staf TNI Angkatan
Laut yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan
program Doktor di tengah pelaksanaan tugas penulis sebagai Wakil Kepala Staf
TNI AL dan Wakil Gubernur Lemhannas RI.
Kepada istriku, Widyastuti SE, dan putra-putriku Armaidy Makawi SE,
Herdianti Merilla Putri SE, Hastuti Viana Putri dan Herdini Aprilia Putri, curahan
perhatian dan kasih sayang kalian, telah dan akan, senantiasa menjadi energi dan
inspirasi bagi penulis untuk terus melakukan yang terbaik.
5 IMPLIKASI MANAJERIAL
Implikasi terhadap Program Ketahanan Pangan Nasional 87
Implikasi terhadap Sektor Industri Maritim 89
DAFTAR PUSTAKA 93
RIWAYAT HIDUP 103
DAFTAR TABEL
Latar Belakang
pengertian maritim sebagai hal yang terhubung dengan laut, terutama dalam
kaitannya dengan perdagangan lewat laut atau hal-hal menyangkut angkatan
laut. Maka jelaslah, bahwa laut hanya sekedar fisik dan bagian kecil dari
maritim. Pemahaman ini berdampak terhadap fokus dari pembangunan yang
dituangkan dalam rencana jangka panjang pemerintah, masih jauh dari prioritas
kemaritiman.
Maritim bukan hanya persoalan perikanan dan kelautan, akan tetapi
maritim adalah segala sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan
kemaritiman/kelautan baik yang langsung maupun tidak langsung (Alexander P,
1998). Sebagai contoh misalnya dari industri maritim; galangan kapal, teknologi
perkapalan, desain kapal, perbaikan kapal, manufaktur komponen kapal dan
lainnya. Kemudian dari aktivitas ekspor/impor; pemeliharaan, penyediaan,
perbaikan, bongkar muat, layanan broker kapal, asuransi untuk para pelaut, jasa
angkutan dan pelabuhan. Dari pariwisata diantaranya; wisata pantai, wisata
bawah laut, jasa penginapan, wisata sejarah, bahkan budaya masyarakat sekitar
pantai yang menjadi daya tarik turis manca negara. Ditambah pula dengan
budidaya perikanan, seperti budidaya air tawar, budidaya air payau, dan
budidaya laut (Bergheim K dkk, 2015). Itu semua baru sebagian kecil dari
aktivitas maritim. Jika Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensi maritim
yang ada, bias dibayangkan berapa besar pendapatan negara yang dapat
dialokasikan untuk kesejahteraan yang akan mengurangi kemiskinan, dapat
membantu mencerdasan bangsa, serta membangun kekuatan Negara (Allison,
2011).
Dalam naskah MP3EI, sudah direncanakan pembangunan transportasi
dan infrastruktur laut. Namun nyatanya, alokasi dana masih berpihak kepada
pembangunan infrastruktur dan transportasi darat. Tak dapat dipungkiri bahwa
tersedianya infrastruktur yang memadai akan memberikan pengaruh positif
terhadap sistem perekonomian suatu daerah (Mulyono, 2010). Dilansir dari
berita yang dimuat pada website Sektretariat Kabinet RI, Ketua Asosiasi Logistik
Indonesia, Zaldy Masita, mengatakan bahwa selama ini lebih dari 60%
investasi MP3EI ditujukan untuk pembangunan darat. Terlihat juga, bahwa
yang menjadi konektivitas kawasan strategis dalam MP3EI bukanlah perbaikan
atau pembangunan pelabuhan, tetapi justru pembangunan Jembatan Selat Sunda
(JSS).
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Prof. Wiratman
Wangsadinata, seorang pakar dan praktisi bidang konstruksi Indonesia, biaya
JSS diestimasikan sebesar US$ 10 milliar atau setara dengan 100 triliun rupiah
hanya untuk konstruksi jembatannya saja dan akan membutuhkan waktu 13
tahun untuk menyelesaikannya (Wangsadinata, 2013), jika ditambah dengan
pengembangan kawasan diperkirakan membutuhkan anggaran sekitar US$ 25
milliar atau setara dengan Rp 250 trilliun. Rencana pembangunan Jembatan Selat
Sunda telah direncanakan di MP3EI. Pada dokumen tersebut, anggaran
pembangunan yang diperlukan untuk membangun Jembatan Selat Sunda sebesar
Rp. 150 trilliun, atau setara dengan US$ 15 milliar. JSS tidak hanya terdiri dari
pembangunan jalan tol saja, melainkan juga dilengkapi dengan prasarana lainya
seperti rel kereta api, jaringan utilitas, sistem navigasi pelayaran dan infrastruktur
lainnya, termasuk energi terbarukan yang terintegrasi (Perpres No. 86 Tahun
2011). Menurut Prof. Daniel Rosyid, seorang pakar kelautan Indonesia, estimasi
4
biaya tersebut dapat membengkak, hal tersebut dapat dilihat dari kasus
pembangunan Jembatan Suramadu. Dengan panjang 5 km saja, biaya
pembangunan Jembatan Suramadu dapat membengkak 20%. Berdasarkan
pengalaman tersebut, maka biaya JSS yang panjangnya mencapai 30 km, dapat
membengkak karena harus lebih lebar enam jalur, lebih tebal, menara
penyangganya lebih tinggi, dan lebih dalam karena berada di lingkungan
yang secara tektonik dan vulkanik sangat aktif (Rosyid 2009).
Pembangunan ekonomi di Negara kepulauan seperti Indonesia sangat
membutuhkan industri maritim yang handal agar konektifitas antar pulau
dapat terlaksana. Industri Maritim tersebut meliputi Industri Perkapalan, Industri
Pelayaran dan Industri Jasa Pelabuhan, untuk mengelola dan mengolah sumber
daya kelautan dan sumber daya alam lainnya yang ada, sehingga bermanfaat
untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, utamanya dalam
ketersediaan pangan di wilayah-wilayah terpencil yang sulit terjangkau oleh
jalur transportasi darat dan udara. Pemerintah telah mengembangkan upaya di
bidang industri jasa maritim dengan membangun sepuluh sektor ekonomi
kelautan unggulan yaitu perikanan tangkap, budi daya, industri pengolahan hasil
perikanan, industri bioteknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral, serta
pariwisata bahari.
Salah satu bagian dari industri jasa maritim adalah industri
perkapalan nasional. Industri perkapalan sangat penting bagi negara maritim
seperti Indonesia untuk menjamin interaksi dan konektivitas antar pulau tetap
terpelihara. Interaksi dan konektivitas ini memungkinkan terjadinya pertukaran
komoditas dari satu tempat yang surplus ke tempat lain yang membutuhkan.
Dalam konteks ketahanan pangan, industri perkapalan nasional menjadi ujung
tombak dalam memelihara transportasi dan distribusi pangan dari sumber
(produsen) kepada pengguna (konsumen). Temuan dari penelitian yang dilakukan
oleh Sahara dan Daryanto bahwa pola perdagangan komoditas pangan antar
daerah di Indonesia lebih banyak didasarkan pada kepercayaan dari kedua
belah pihak yaitu petani dan pembeli. Jika temuan ini diterapkan dalam
setting maritim yang kompleks, maka keberadaan industri perkapalan yang
tangguh sangat berperan penting untuk menjamin pengambilan hasil pangan
yang berumur pendek dari petani, untuk bisa dijual di tempat lain. Ketika
kapal-kapal yang digunakan pembeli untuk mengangkut komoditas pangan di
suatu daerah terkendala oleh faktor teknis dan non teknis (misalnya cuaca),
dan mengakibatkan keterlambatan kedatangan, dapat berakibat pada rusaknya
hasil pertanian dan berdampak pada turunnya kepercayaan petani terhadap
pembeli.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Research Institute,
negara Belanda memiliki garis pantai hanya 1.914 km, peringkat 81 dunia. Tapi,
hal tersebut dimanfaatkan Belanda sebaik mungkin hingga saat ini pelabuhan
negara ini berperan penting sebagai pusat perdagangan Eropa, sekaligus menjadi
karakteristik negara Belanda. Pemasukan Belanda sebagian besar berasal dari
transportasi perdagangan (perkapalan), distribusi, dan logistik. Bisnis
perkapalan Belanda ini juga didukung oleh infrastruktur maritim yang
komprehensif, antara lain administrasi maritim, keuangan, asuransi maritim,
akuntansi, broker, penyewaan, hingga urusan limbah pembuangan, ditambah lagi
dengan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan perkapalan yang
5
berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan
pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu
daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki
akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui
mekanisme tersebut di atas (Tarasuk dan Beaton, 1999; Deaton, 1989).
Pemanfaatan pangan menurut FAO (2006a) merujuk pada penggunaan
pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan
memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh).
Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan
penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses
pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan
terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi
makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu
(pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing
anggota rumah tangga. Pemahaman akan seyogianya diberikan sejak usia dini
kepada anak-anak baik melalui pendidikan formal maupun informal (Lewis, 1992;
Korhonen, 1999; Thingkamol, 2011b, 2011c, 2012). Perilaku manusia yang
merusak lingkungan telah mengakibatkan kemampuan alam untuk menyediakan
bahan makan, sehingga diperlukan strategi untuk menjaga lingkungan hidup untuk
dapat meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan keterlibatan dan peranan
semua pihak sangat dibutuhkan (Arendt dan Sneed, 2008; Barret, 2002).
Indonesia secara aktif memanfaatkan peluang perdagangan internasional untuk
kegiatan ekspor dan impor komoditas agribisnis, termasuk pangan. Ekspor
komoditas agribisnis Indonesia terbesar adalah ke Amerika Serikat dan Jepang,
negara ASEAN relatif kecil, kecuali Singapura (Arifin, 2009). Impor Indonesia
terbesar dari negara ASEAN menurut data statistik pertanian 2014 adalah beras,
terutama dari Thailand, yang jumlahnya meningkat cukup signifikan dari tahun ke
tahun. Sejak tahun 1995 impor beras dari Thailand mencapai 30 persen dari total
impor beras Indonesia. Ketergantungan yang sangat besar pada impor untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri perlu dihindari, karena akan membahayakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik (Herdiawan. 2011).
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan (Novelty)
2 TINJAUAN PUSTAKA
(6) Kapal TNI Angkatan Laut antara lain: (a) Kapal Patroli (FPB-57
dan FPB-28) untuk keperluan Angkatan Laut, Polisi dan Bea
Cukai/PT. PAL Indonesia; (b) Kapal Patroli KAL-35/36 Meter untuk
keperluan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal)/ Fasilitas
Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) Mentigi.
2. Kemampuan Galangan Kapal Nasional (Galkapnas), meliputi:
a. Kemampuan dalam membangun Kapal. Kemampuan galangan
kapal dalam membangun kapal-kapal baru khususnya untuk kapal-
kapal niaga dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup
baik. Hal ini terlihat dari cukup banyaknya permintaan dari berbagai
perusahaan luar untuk pembuatan kapal-kapal baru dengan tonase
3000 s/d 15.000 DWT di PT. PAL. Investasi Injasmar dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2006 terus mengalami peningkatan, dimana
jumlah perusahaan industri dok dan galangan kapal yang telah terdaftar
sebanyak ± 246 perusahaan termasuk 5 perusahaan BUMN yang
bergerak dibidang industri pembuatan kapal baru, reparasi
kapal/docking dan industri terkait lainnya. Fasilitas terbesar yang
dimiliki untuk membangun kapal baru berupa berth building dock
dengan kapasitas s/d 50.000 DWT adalah PT. PAL Indonesia dan PT.
Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (DKB), dan sudah pernah
melaksanakan pembangunan kapal-kapal tanker dengan tonage 3.000
s/d 17.500 DWT, kapal niaga/General Cargo Semi Container s/d 4.200
DWT, kapal penumpang s/d kapasitas 500 penumpang, kapal curah
(Bulk Carrier) dengan tonage s/d 42.000 DWT. Sedangkan
kemampuan galangan kapal nasional membangun kapal perang masih
sangat terbatas. Pembangunan kapal perang yang dilaksanakan oleh
PT. PAL sebagai galangan kapal terbesar di Indonesia, hanya sampai
pada kapal klas Fast Patrol Boat 57 (FPB-57), Kapal Cepat Peluru
Kendali 45 (KCR 45), dan KCR 60 itupun hampir seluruh komponen
yang ada didalamnya merupakan produksi luar negeri, serta masih
harus mendapatkan lisensi dari negara lain. Selain itu, tenaga kerja
yang digunakan juga masih sebagian besar menggunakan tenaga asing.
b. Kemampuan Pemeliharaan dan Perbaikan Kapal. Kemampuan dalam
mereparasi kapal niaga yang telah mampu dilaksanakan oleh
Galkapnas adalah kemampuan mereparasi kapal berbagai jenis dan
ukuran di atas dok (docking repair) sampai dengan ukuran 65.000
DWT, mereparasi kapal berbagai jenis dan ukuran di atas air (floating
repair dan sealing repair) sampai dengan ukuran 150.000 DWT.
Sedangkan untuk pemeliharaan dan perbaikan kapal-kapal perang,
sampai saat ini hanya mampu untuk kapal-kapal atas air. Sedangkan
untuk pemeliharaan kapal selam, masih harus dikirim keluar negeri
atau mendatangkan tenaga asing ke Indonesia. Dalam melaksanakan
pemeliharaan dan perbaikanpun tidak semua komponen dapat
diperbaiki di dalam negeri antara lain engine governoor dan Gas
Turbin. Bahkan untuk peralatan persenjataannya masih harus
mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri. Hal ini menunjukkan
bahwa alih teknologi yang ada dalam kapal tersebut belum berjalan
dengan baik.
15
Industri Perikanan
Sebagai Negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut, dan potensi perikanan
yang sangat melimpah, maka Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk
mengembangkan industri yang berbasis pada perikanan. Potensi perikanan yang
besar jika dikelola dengan baik dapat dijadikan penopang ketahanan pangan yang
efektif (Srinivasan, 2010). Pengelolaan industri perikanan yang baik dan
terencana, dipayungi dengan peraturan-peraturan yang tepat sasaran akan
memberikan nilai tambah yang besar tehadap pendapatan negara (Lugten dan
Andrew, 2008), juga untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, maka
seharusnya dipermudah bagi pelaku industri yang akan melakukan investasi di
Indonesia. Menurut data dari Kementerian Perdagangan tahun 2012 dan Statistik
Perikanan dan Kelautan 2012, ekspor produk hasil laut Indonesia pada Januari
2012 adalah sebanyak 67.214 ton dengan nilai USD 214.516. Sebagian besar dari
produk hasil laut Indonesia diekspor ke Thailand, China, Jepang, Amerika Serikat,
dan Vietnam. Sementara itu, Korea Selatan berada di peringkat ke-9 dari negara
tujuan ekspor kelompok produk ini dengan volume sebesar 2.386 ton senilai USD
4,936 (Kemendag 2012). Terbatasnya pelabuhan perikanan yang mempunyai
fasilitas yang memadai berdampak pada penurunan kualitas ikan tangkapan
sehingga mengurangi nilai ekonomisnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
diperlukan kebijakan pengembangan pelabuhan perikanan terpadu yang akan
dapat menjamin kualitas ikan tangkapan (Agustinus, 2007). Selain itu diperlukan
juga system kelembagaan yang memungkinkan dilakukanya aktivitas eksport di
beberapa wilayah Indonesia.
Sumber daya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai
memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumber daya
tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat
beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain: tuna, cakalang, udang,
tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang
barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut.
Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tertuang
dalam Peraturan menteri Nomor Per.15/Men/2012 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014, pada tahun 2011
kontribusi seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap PDB baru mencapai 22%,
dimana seharusnya itu dapat di tingkatkan menjadi 30-60%, hal itu sudah
dibuktikan oleh negara-negara yang punya potensi kelautan lebih kecil seperti
Thailand, Korea Selatan dan Jepang (Dyck dan Sumaila, 2010). Selanjutnya dari
data sementara tahun 2013, PDB Perikanan mencapai 6,45%, jauh melampaui
PDB nasional yang hanya 5,82%, hal ini tentu menjadi sesuatu yang
membanggakan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hasil audit yang
dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011-2012, dimana
potensi pendapatan sektor perikanan laut sebesar Rp365 triliun, sedangkan yang
diterima hanya Rp65 triliun, sehingga dari sini ditemukan nilai kerugian negara
sebesar Rp 300 triliun yang merupakan selisih dari potensi pendapatan dengan
pendapatan riil yang diterima negara. Menjadi sangat menarik dilihat jika kedepan
bahwa kebijakan menteri Kelautan dan Perikanan yaitu program industrialisasi
kelautan dan perikanan dengan pendekatan ekonomi biru (Blue Economy) menjadi
16
prioritas mengingat sejauh ini menghasilkan hal yang positif jika melihat
pencapaian PDB perikanan pada tahun 2013. Akan tetapi perhatian terhadap
sistem logistik bidang perikanan harus ditingkatkan, karena peningkatan produksi
perikanan akan mempunyai pengaruh yang besar dalam meningkatkan
perekonomian masyarakat hanya jika diikuti dengan sistem logistik yang baik
(Mai dkk, 2010; Manning dkk, 2006).
Terdapat berbagai kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan
perikanan di Indonesia baik secara nasional maupun secara lokal administratif
pengelolaan. Berbagai prasarana yang dibangun oleh pemerintah, seperti
pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat-tempat pendaratan ikan yang
tersebar di berbagai wilayah belum memberikan hasil yang memuaskan sesuai
dengan yang diharapkan, berbagai model pengaturan dan kebijakan yang diambil
belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada
(Yahya, 2001; Cunningham, 2009).
tombak dan juga diharapkan lebih banyak lagi investasi, dan menekan serta
mempertahankan investasi-investasi asing. Dengan dicanangkanya MP3EI ini
diprediksikan akan dapat menarik minat investor dari luar negeri untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Perbaikan secara struktural yang telah
dilakukan sangat signifikan membuat pemerintah semakin optimis akan program
MP3EI ini yang meliputi enam koridor yakni: Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatra,
Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Koridor-koridor ini secara struktural di bagi secara
beraturan dan meliputi kota-kota besar yang memiliki potensi-potensi alam yang
berbeda menjadi ciri tersendiri. Tujuan utama dari MP3EI ini adalah
mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia.
Kinerja logistik Indonesia saat ini juga masih lemah. Oleh karena itu, cetak biru
Sislognas ini diharapkan benar-benar dapat menjadi rujukan semua pemangku
kepentingan terkait pembangunan ekonomi bangsa ini dalam menjalankan tugas
pokok dan fungsinya masing-masing sebagaimana diamanatkan pada pasal 2
Perpres tersebut. Cetak biru pengembangan Sislognas berfungsi sebagai acuan
bagi menteri, pimpinan lembaga non kementerian, gubernur, dan bupati/wali kota
dalam menyusun kebijakan dan rencana kerja yang terkait dengan pengembangan
Sislognas di bidang masing-masing, yang dituangkan dalam dukumen strategis
masing-masing kementerian/lembaga pemerintah non kementerian dan
pemerintah daerah sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan.
Sejumlah pihak terkait menyambut baik terbitnya Perpres Sislognas ini.
Bagi Kementerian Perdagangan (Kemendag), terbitnya Perpres Sislognas
pun menjadi sebuah pemantik semangat baru untuk bekerja lebih fokus dan
maksimal. Kepentingan Kemendag terkait dengan konektivitas dan Sislognas
adalah: 1) Harga untuk pasar dalam negeri terkait dengan stabilitas dan
keterjangkauan harga khususnya untuk komoditas pangan pokok dan komoditas
strategis lainnya, serta untuk pasar internasional terkait dengan harga komoditas
ekspor yang menarik dan kompetitif. 2) Arus barang yang terkait dengan
kelancaran arus barang, volume barang, termasuk permasalahan handling dan
sarana transportasi. 3) Proteksi pasar dalam negeri dari barang-barang impor
melalui safeguarding dan daya saing produk nasional.
Ada beberapa tantangan untuk membangun sebuah sistem logistik nasional
yang kuat, terintegrasi bahkan berdaya saing dengan industri logistik global,
khususnya terkait dengan kondisi dan karakter geografis Indonesia dengan ribuan
pulaunya. Banyaknya pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam sistem
logistik menjadi sebuah kendala tersendiri untuk memadukan seluruh aturan yang
ada saat ini antara lain di Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan
dengan Peraturan Pemerintah tentang transportasi, Kementerian Informasi dan
Komunikasi dengan aturan Undang-undang Pos, dan lain sebagainya. Sementara
itu, untuk pelaksanaan cetak biru pengembangan Sislognas telah dijelaskan dalam
Perpres tentang koordinasi oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2011-2025 yang dipimpin oleh Presiden dan Wakil
Presiden sebagai Ketua dan Wakil ketua, serta Menko Perekonomian sebagai
Ketua Harian.
Ditinjau dari peta kerawanan pangan yang terjadi di Indonesia saat ini
sebagian besar disebabkan oleh sistem distribusi. Keadaan tersebut dapat dilihat
dari data yang dikeluarkan oleh pemerintah bahwa produksi pangan nasional
terutama beras sudah mencukupi, kenyataanya masih terjadi kelangkaan pangan di
beberapa daerah terutama di wilayah terpencil. Situasi ini mengindikasikan bahwa
terdapat permasalahan dalam pendistribusian pangan dari satu wilayah ke wilayah
lain yang membutuhkan. Sistem distribusi melalui moda transportasi laut
merupakan faktor utama dalam menjawab permasalahan distribusi dikaitkan
dengan kondisi geografis Indonesia. Persoalan tersebut merupakan persoalan
logistik yang didalamnya termasuk sistem transportasi, untuk itu kebijakan
pemerintah dengan poros maritimnya perlu sinergi dengan MP3EI dan sislognas
sehingga dapat mengatasi masalah pendistribusian barang dan jasa termasuk
pangan.
21
Ketahanan Pangan
air hujan. Sebagai factor penting dalam system pertanian, penyiapan infrastruktur
pengairan sangatlah diperlukan yang akan dapat menjamin ketersediaan sumber
air untuk pertanian (Karkainen, 2000).
Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup
pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah,
pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya.
Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua
rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun
keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. Banyak keluarga di
beberapa wilayah perkotaan dimana ketersediaan pangan melimpah, akan tetapi
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk membelinya (Purwaningsih, 2008).
Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah
tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi
(konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi
cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan. Pemanfaatan juga
termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta
kondisi higienesnya, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk
individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam
rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan,
kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah
tangga (Manning dan Baines, 2004b; Muller dkk, 2009).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
ketahanan pangan secara umum diukur menggunakan 3 pilar atau dimensi
walaupun terdapat beberapa perbedaan istilah, yaitu availability, affordability, dan
Quality and Safety atau sering disebut Utility dalam penelitian ini variabel
ketahanan pangan dapat digambarkan dalam model.
Kajian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Kesimpulan
Penelitian
Kajian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Kesimpulan
Penelitian
Kajian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Kesimpulan
Penelitian
Hasil penelitian menyatakan
bahwa jumlah petani dan
peternak skala kecil sangat
banyak, sehinga eksistensi
mereka dapat mempengaruhi
ketahanan pangan nasional
5 Food I Wayan 2008 The Impact of Meneliti dampak impor pangan
Security Rustantra, Support for terhadap ketahanan pangan.
Togar A Import on Food Penelitian hanya fokus pada 3
Napitupulu, Security in komoditi, yaitu gula, kedelai, dan
dan Robin Indonesia, susu.
Bourgiues
Hasil penelitian memberikan
rekomendasi sebagai berikut:
1. Kemiskinan di Pedesaan
harus menjadi perhatian khusus
Kemiskinan tidak dapat
dipisahkan dari ketahanan
pangan
Kajian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Kesimpulan
Penelitian
3. METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data yang
berskala Likert. Sedangkan sumber data yang digunakan pada penelitian terdiri
dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang berasal dari
sumber asli atau pertama. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara
pendahuluan dan pengisian kuesioner penelitian oleh responden. Sedang data
sekunder dikumpulkan dari literatur-literatur yang ada (studi literatur). Data
sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dari sumber lain, baik dari
publikasi maupun dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain.
dkk, 2011; Lambert, 1998, Bulte dkk, 2007). Dimensi ketersediaan diukur
menggunakan 7 indikator yaitu:
Distribusi pangan
Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional dan
provinsi tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah
tangga dan individu. Pangan mungkin tersedia dan dapat diakses namun sebagian
anggota rumah tangga mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila
kelompok ini tidak memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi
jumlah maupun keragaman atau apabila kondisi tubuh mereka tidak
memungkinkan penyerapan makanan karena penyiapan makanan yang tidak tepat
atau karena sedang sakit.
Ditinjau dari beberapa dimensi serta indikator yang digunakan untuk
mengukur ketahanan pangan di atas, belum secara nyata menempatkan aspek
distribusi sebagai aspek yang sangat penting dalam peningkatan ketahanan
pangan. Sebagai negara kepulauan, aspek distribusi yang menjadi sangat penting
mengingat tiap-tiap daerah di Indonesia mempunyai karakteristik sendiri-sendiri,
sehingga kebutuhan pangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi semua oleh
produksi di daerah tersebut, sehingga faktor transportasi terutama transportasi laut
menjadi kebutuhan yang sangat vital (Purwanti, 2008). Kondisi geografis
Indonesia yang terdiri dari kepulauan, faktor karakteristik dan sosial budaya
daerah mempengaruhi produksi pangan, dimana untuk produksi 9 bahan pokok
terutama beras nasional sebagai bahan pokok utama masyarakat Indonesia masih
didominasi oleh pulau Jawa dan Sumatra, sehingga keterjangkauan terhadap
bahan pokok tersebut masih tidak merata. Selain dari produksi yang belum merata
di semua daerah, juga karena infrastruktur yang berupa jalan, alat transportasi laut
sebagai penghubung antar pulau, dan fasilitas pelabuhan masih belum memadai.
Dari permasalahan tersebut, maka ketersediaan serta kebijakan pemerintah
terhadap industri maritim yang mewadahi transportasi laut, pelabuhan dan sarana
pendukungnya berpengaruh sangat signifikan terhadap ketersediaan pangan
nasional secara berkelanjutan melalui proses distribusi pangan yang akan secara
37
Industri maritim
Model Penelitian
Dari definisi operasional variabel yang sudah dijabarkan, maka dapat disusun
model lengkap tentang pengaruh industri maritim dan distribusi pangan di wilayah
terpencil terhadap sistem ketahanan pangan nasional.
Hipotesis Penelitian
Keterangan:
ξ1 = Ketersediaan pangan (availibility)
ξ2 = Daya beli masyarakat (affordability)
ξ3 = Kualitas dan keamanan pangan (quality and safety)
ξ4= Industri perkapalan
43
Pada Gambar 9 tersebut dapat dilihat bahwa ηn adalah simbol variabel utama
ke-n yang disebut dengan Eta. Sedangkan ξn merupakan simbol bagi variabel
laten yang membentuk second order ke-n yang biasa disebut sebagai Xi. Pada
penelitian ini variabel ketahanan pangan nasional (NFS), distribusi pangan
merupakan variabel endogen, sedangkan variabel industri maritim dan distribusi
pangan sebagai variabel eksogen. Dalam model penelitian ini variabel distribusi
pangan bisa bertindak sebagai variabel endogen maupun eksogen. Variabel-
variabel tersebut, baik endogen maupun eksogen biasa dikenal sebagai variabel
laten.
Model SEM sesuai Gambar 9 menggambarkan hubungan antara variabel
laten dengan masing-masing indikator yang membangunnya. Indikator-indikator
tersebut dilambangkan dengan notasi X dan Y. X adalah variabel indikator untuk
variabel laten eksogen dan Y adalah variabel indikator untuk variabel laten
endogen. Persamaan antara indikator dengan variabel laten adalah:
Grand Total 14
47
Grand Total 2. 7
Jumlah Banyak
Unsur Total
sampel responden
Bulog Pusat 1 5 5
Badan Ketahanan Pangan Pusat 1 5 5
Kementerian Kelautan dan 1 4 4
perikanan
Kementerian Daerah Tertinggal 1 5 5
Kementerian Dalam Negeri 1 2 2
Kementerian Perhubungan 1 3 3
Pemerintah Provinsi 2 14 28
Pemerintah Kabupaten 20 7 140
Pelindo 4 5 20
Industri Pelayaran 7 4 28
Industri Perkapalan 4 4 16
Grand Total 256
Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah teknik analisis
deskriptif dan analisis data dengan statistika inferensial. Penggunaan teknik
analisis data deskriptif untuk memperoleh gambaran awal obyek penelitian dan
karakteristik penyebaran skor setiap variabel yang diteliti. Analisis data deskriptif
dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan histogram.
Sedangkan analisis inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian
dengan menggunakan SEM (Structural Equation Models). Semua pengujian
hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan α=0,05. Metode SEM
termasuk kedalam uji statistik parametrik, oleh karena itu sebelum dilakukan
pengujian hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi dasar sebagai
persyaratan bahwa data yang akan dianalisis memenuhi kriteria.
Uji asumsi dasar tersebut dilakukan untuk mengetahui data yang digunakan
memenuhi kriteria-kriteria yang dipersyaratkan pada uji statistik parametrik yaitu:
(1) hubungan antara tiap dua variabel harus merupakan hubungan yang linier,
adaptif, dan kausal; (2) sistem menganut prinsip eka arah; (3) semua variabel
residu tidak saling berkorelasi dan juga tidak berkorelasi dengan variabel
penyebab; serta (4) data masing-masing variabel adalah kontinum. Pengaruh
langsung dan tak langsung dari variabel bebas (eksogen) terhadap suatu variabel
terikat (endogen), tercermin dari nilai koefisien loading factor pada analisis jalur.
Pengujian Validitas
parsial, setelah semua variabel laten yang membentuk model valid yang ditandai
dengan dipenuhinya semua ukuran kebaikan model, maka dilakukan uji validitas
secara serentak/ simultan terhadap model secara keseluruhan. Ukuran fitting
model (kebaikan model) yang digunakan pada penelitian ini menggunakan kriteria
goodness of fit diantaranya Chi-Square, CMIN/DF, RMSEA, dan GFI. Beberapa
ukuran tersebut saling memberikan penguatan untuk penyimpulan kebaikan dan
kecocokan model.
Chi-Square (2) merupakan statistik digunakan untuk menguji kedekatan
kecocokan antara matriks kovarian sampel S dengan matriks kovarian model
(). Uji statistik 2 yang digunakan adalah:
2 = (n-1)F(S,()).
dengan :
n = Banyak data
S = Matriks kovarians sampel
= Matriks kovarians model
dengan :
df = derajat bebas
Nilai RMSEA ≤0.05 disebut closed fit, 0.05 < RMSEA ≤0.08 disebut good
fit dan 0.08 < RMSEA ≤0,1 disebut marginal fit serta RMSEA ≥ 0,1 disebut poor
fit.
GFI yaitu Goodness of Fit Index yang dapat dikategorikan sebagai ukuran
kecocokan absolut yang dihitung dengan membandingkan model yang
50
dihipotesiskan dengan tidak ada model sama sekali (Joreskog dan Sorbom(1984)
dan dikembangkan Tanaka dan Huba (1985) dalam Ghozali (2011)). Perumusan
GFI adalah :
dengan :
: Nilai minimum F untuk model yang dihipotesiskan
: Nilai minimum F, ketika tidak ada model yang dihipotesiskan.
Nilai GFI berkisar antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit), dan nilai
GFI ≥ 0.80 merupakan good fit lebih dari 0.6 adalah marginal fit.
Pengujian Reliabilitas
Construct Reliabilit y
standardize loading 2
standardize loading j
2
standardize loading 2
Variance Extracted
standardize loading j
2
Dengan
µ = rata-rata skor
= standar deviasi
Output Goodness of fit berupa ukuran kecocokan model teori & model
taksiran berdasar data yang dalam hal ini dipakai Chi-Square, CMIN/DF,
RMSEA, GFI, & AGFI.
Chi-Square (2) merupakan statistik digunakan untuk menguji kedekatan
kecocokan antara matriks kovarian sampel S dengan matriks kovarian model
(). Uji statistik 2 yang digunakan adalah:
2 = (n-1)F(S,()).
dengan :
n = Banyak data
S = Matriks kovarians sampel
= Matriks kovarians model
,
dengan :
Nilai RMSEA ≤0.050 disebut dengan closed fit, 0.050 < RMSEA ≤0.080
disebut good fit dan 0.08 < RMSEA ≤ 0.100 disebut sebagai marginal fit serta
RMSEA ≥ 0.100 disebut poor fit.
GFI yaitu Goodness of Fit Index yang dapat dikategorikan sebagai ukuran
kecocokan absolut yang dihitung dengan membandingkan model yang
dihipotesiskan dengan tidak ada model sama sekali (Joreskog dan Sorbom (1984)
dan dikembangkan Tanaka dan Huba (1985) dalam Ghozali(2011)). Perumusan
dari GFI adalah :
dengan :
: Nilai minimum F untuk model yang dihipotesiskan
: Nilai minimum F, ketika tidak ada model yang dihipotesiskan.
Nilai GFI berkisar antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit), dan nilai
GFI ≥ 0.80 merupakan good fit lebih dari 0.6 adalah marginal fit.
56
Sebaran Responden
Pada model SEM pengujian dilakukan terhadap setiap variabel laten yang
membentuk model. Setelah semua variabel laten yang membentuk model
dilakukan pengujian dan dinyatakan baik (fit), maka baru dapat dilakukan
penggabungan variabel-variabel laten tersebut kedalam model secara simultan.
Sebelum model dilakukan pengujian secara simultan (terintegrasi), maka
harus dilakukan pengujian secara individu terhadap tiap variabel laten yang
membentuk model ketahanan pangan lengkap menggunakan Analisa Faktor
Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis). Tujuan dari pengujian variabel
laten secara individual menggunakan Analisa Faktor Konfirmatori adalah untuk
mengetahui/mengkonfirmasi indikator yang mampu mengukur variabel laten dan
menguji validitas variabel laten tersebut sehingga didapatkan faktor yang benar-
benar sesuai dengan apa yang ingin dijelaskan. Uji statistik hasil pengolahan
dengan SEM dilakukan dengan melihat nilai uji kesesuaian model dan tingkat
signifikansi hubungan antar variabel yang ditunjukkan melalui nilai p-value
masing-masing hubungan antar variabel.
Melalui keluaran hasil pengolahan data, variabel indikator dikatakan
signifikan terhadap variabel laten karena nilai p-value yang lebih kecil
dibandingkan nilai taraf nyata atau α yang digunakan yaitu sebesar 0,05. Hal ini
berarti bahwa terdapat hubungan kausalitas antara variabel indikator dengan
variabel laten.
Pada Tabel 10 tampak bahwa model belum fit, hal ini diindikasikan
dengan semua indikator fitting model tidak dapat dipenuhi. Loading factor dari
indikator Y15 dan Y17 sangat kecil yaitu 0.1 dan 0.08 yang berarti indikator
tersebut tidak dapat digunakan untuk mengukur variabel konstruknya dan harus
dikeluarkan dari model. Perbaikan model dilakukan dengan mengeluarkan
61
indikator yang mempunyai loading factor paling kecil. Setelah kedua indikator
dikeluarkan dari model, maka dilakukan pengujian ulang terhadap model dan
hasilnya ditunjukkan oleh Gambar 14.
Pada Tabel 12 terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
dipenuhinya semua indikator fitting model, sehingga dapat disimpulkan bahwa
indikaator Y11, Y12, Y13, Y14, dan Y16 terbukti merupakan indikator yang valid
yang dapat digunakan untuk mengukur variabel ketersediaan (availibility). Dari
hasil pengujian terhadap data penelitian mengunakan CFA diatas terlihat bahwa
indikator Y15 yaitu resiko stabilitas politik dan Y16 yaitu penyerapan pangan di
perkotaan secara statistik tidak signifikan, sehingga kedua variabel bukan
62
Cunstruct Reliability
standardize loading
2
standardize loading 2 εj
Cunstruct Reliability
2.596 0.700
2
2.596 3.420
2
Pada Tabel 13 tampak bahwa model belum fit, hal ini diindikasikan dengan
semua indikator fitting model tidak dapat dipenuhi. Hasil pengolahan data masih
diketemukan indikator yang mempunyai loading factor yang < 0.500, yaitu Y24
dengan loading factor 0.390 dan Y25 dengan loading factor 0.310, sehingga
menurut Ghozali (2013) indikator tersebut harus didrop dari model. Indikator
Y24 adalah tarif impor hasil pertanian dan Y25 yaitu program jaring pengaman
pangan tidak terbukti sebagai indikator yang baik untuk mengukur variabel laten
Affordability (kemampuan konsumen untuk membeli makanan). Hal ini memberi
bukti bahwa ketahanan pangan secara nasional tidak dipengaruhi oleh tarif impor
hasil pertanian dan tidak dipengaruhi pula oleh program jaring pengamanan
pangan. Hasil pengujian ini memberi bukti bahwa program jaring pengaman
pangan yang seharusnya dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan belum
tepat sasaran, dan belum dapat menjangkau masyarakat yang berada di daerah
terpencil, karena program yang semula ditujukan untuk meningkatkan sistem
ketahanan pangan belum bisa mengatasi permasalahan kerentanan pangan
didaerah terpencil. Setelah dilakukan perbaikan model, maka model hasil
perbaikan harus dilakukan pengujian ulang dan hasilnya ditunjukkan pada
Gambar 16.
Pada Tabel 15 terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
dipenuhinya semua indikator fitting model dan nilai p value 0.694, sehingga dapat
disimpulkan bahwa indikator Y21, Y22, Y23, dan Y26 terbukti merupakan
indikator yang valid yang dapat digunakan untuk mengukur variabel
affordability. Selanjutnya diukur reliabilitas variabel.
Construct Reliabilit y
standardize loading 2
standardize loading j
2
Cunstruct Reliability
2.778 0.830
2
2.778 1,624
2
Pada Tabel 16 tampak bahwa model belum fit, hal ini diindikasikan bahwa
hanya satu indikator saja yang fit yaitu GFI dan satu indikator yang marginal fit
yaitu RMSEA sedang indikator yang lain masih belum memenuhi. Loading factor
dari semua indikator semua > 0.5 sehingga semua indikator harus dipertahankan.
Walaupun semua indikator mempunyai loading factor yang besar, akan tetapi
karena belum memenuhi uji fitting model, maka model harus dilakukan perbaikan
dengan menggunakan petunjuk pada modification indices. Dari tabel output
AMOS 21 tersebut terdapat 2 indikator yang mempunyai modification indices
besar yaitu jika e37 dan e36 dihubungkan, serta e38 dan e36 dihubungkan. Arti
dari hal ini adalah bahwa error 37 yang merupakan error dari indikator Y34 yaitu
kualitas protein mempunyai hubungan perilaku yang identik dengan error dari e36
yang merupakan error dari variabel Y33 yaitu indikator ketersediaan
mikronutrien.
66
Hasil output AMOS 21.0 pada modification indices terdapat nilai model
hasil perbaikan harus dilakukan pengujian ulang terhadap model dan hasilnya
sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 18.
Pada Tabel 18, yaitu tabel kebaikan model setelah dilakukan perbaikan
dengan merujuk pada tabel modification indices yaitu dengan mengasosiasikan
Y33 dengan Y34, dan Y33 dengan Y35 karena mempunyai indeks MI paling
besar. Setelah dilakukan perbaikan dan dilakukan pengujian terlihat bahwa model
sudah fit yang ditandai dengan dipenuhinya semua indikator fitting model,
sehingga dapat disimpulkan bahwa indikaator Y31, Y32, Y33, Y34, dan Y35
67
terbukti merupakan indikator yang valid yang dapat digunakan untuk mengukur
variabel kualitas dan keamanan (quality and safety). Selanjutnya diukur
reliabilitas variabel berikut.
standardiz e loading 2
Cunstruct Reliability
standardiz e loading εj
2
Cunstruct Reliability
3.226 0.820
2
3.226 2.230
2
Gambar 19 Model second order SEM sistem ketahanan pangan nasional (NFS)
Pada Tabel 20 terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
dipenuhinya semua indikator fitting model, sehingga dapat disimpulkan bahwa
variabel laten availibility, affordability, dan quality and safety merupakan variabel
laten yang valid untuk digunakan mengukur variabel laten lain yaitu National
Food Security dengan menggunakan second order SEM. Selanjutnya diukur
reliabilitas variabel.
standardiz e loading 2
Cunstruct Reliability
standardiz e loading εj
2
Cunstruct Reliability
2.912 0.980
2
2.912 0.173
2
Pada tabel diatas terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
dipenuhinya semua indikator fitting model, sehingga dapat disimpulkan bahwa
indikator X41, X42, X43, dan X44 terbukti merupakan indikator yang valid untuk
mengukur variabel pengembangan sistem. Selanjutnya diukur reliabilitas variabel.
standardiz e loading 2
Cunstruct Reliability
standardiz e loading εj
2
70
Cunstruct Reliability
2.892 0.810
2
2.892 1.90
2
Pada Tabel 23 terlihat bahwa model belum fit yang ditandai dengan belum
dipenuhinya beberapa indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
71
disimpulkan bahwa indikator X51, X52, X53, dan X54 belum terbukti sebagai
indikator yang valid untuk mengukur variabel pengelolaan sistem. Untuk itu
maka harus dilakukan perbaikan dengan menggunakan petunjuk dari modification
indices. Hasil perbaikan model ditunjukkan pada gambar 22.
Pada Tabel 25, yaitu tabel kebaikan model setelah dilakukan perbaikan
model terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan dipenuhinya semua
indikator fitting model, sehingga dapat disimpulkan bahwa indikaator X51, X52,
X53, dan X54 terbukti merupakan indikator yang valid yang dapat digunakan
untuk mengukur variabel pengelolaan sistem. Selanjutnya dilakukan pengukuran
reliabilitas variabel.
72
standardiz e loading 2
Cunstruct Reliability
standardiz e loading εj
2
Cunstruct Reliability
2.932 0.830
2
2.932 1.79
2
Tabel 26 Nilai kebaikan model second order Structural Equation Model (SEM)
variabel laten distribusi pangan
Pada Tabel 26 diatas terlihat bahwa model belum fit yang ditandai dengan
belum dipenuhinya beberapa indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel laten pengembangan sistem dan variabel laten
pengelolaan sistem belum terbukti sebagai indikator yang valid untuk mengukur
variabel laten lain yaitu distribusi pangan melalui second order SEM. Untuk itu
73
Tabel 27 Nilai kebaikan model second order Structural Equation Model (SEM)
variabel laten distribusi pangan setelah perbaikan model
standardiz e loading 2
Cunstruct Reliability
standardiz e loading εj
2
Cunstruct Reliability
1.721 0.850
2
1.721 0.518
2
Komponen utama dari industri maritim yang terkait langsung dengan sistem
ketahanan pangan terutama menyangkut distribusi pangan dapat dikelompokkan
menjadi 3 klaster industri yaitu: industri jasa maritim, industri perkapalan, dan
industri pangan strategis (perikanan dan beras).
Industri jasa maritim berkaitan dengan kegiatan usaha bidang jasa yang
berhubungan dengan sektor kelautan. Industri jasa maritim meliputi:
X11: Industri Pelabuhan
X12: Industri Pergudangan
X13: Industri Pelayaran
X14: Industri Pariwisata.
Uji validitas terhadap variabel industri jasa maritim menggunakan
Confirmatory Factor Analysis menghasilkan output sebagaimana ditunjukkan
oleh Gambar 25.
Pada Tabel 29 terlihat bahwa model belum fit yang ditandai dengan belum
dipenuhinya beberapa indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa indikator X11, X12, X13, dan X14 belum terbukti sebagai
indikator yang valid untuk mengukur variabel laten injasmar. Untuk itu maka
harus dilakukan perbaikan dengan menggunakan petunjuk dari modification
indices. Perbaikan dilakukan dengan mengasosiasikan e3 dengan e4, dan model
dijalankan lagi. Hasil perbaikan model ditunjukkan pada Gambar 26.
Pada tabel diatas terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
telah dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa bahwa indikator X11, X12, X13, dan X14 terbukti sebagai
76
standardiz e loading 2
Cunstruct Reliability
standardiz e loading εj
2
Cunstruct Reliability
2.901 0.820
2
2.901 1.860
2
Pada Tabel 32 diatas terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
telah dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa indikator X21, X22, X23, dan X24 terbukti sebagai indikator
yang valid untuk mengukur variabel laten industri perkapalan. Selanjutnya
dilakukan pengukuran reliabilitas variabel yang didasarkan dari data pada Tabel
33 yang merupakan output pengolahan data dengan AMOS Ver. 21.0
standardiz e loading 2
Cunstruct Reliability
standardiz e loading εj
2
Cunstruct Reliability
3.013 0.850
2
3.013 1.660
2
Pada Tabel 34 terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan telah
dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa bahwa indikator X31, X32, X33, dan X41 terbukti sebagai
indikator yang valid untuk mengukur variabel laten industri pangan strategis.
Selanjutnya dilakukan pengukuran reliabilitas variabel sebagai berikut.
Sedangkan hasil pengolahan data secara simultan menggunakan second
order structural equation model terhadap variabel industri maritim ditunjukkan
oleh Gambar 32.
79
Pada Tabel 35 diatas terlihat bahwa model belum fit yang ditandai dengan
belum dipenuhinya beberapa indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel laten injasmar, perkapalan, dan variabel laten industri
pangan strategis belum terbukti sebagai indikator yang valid untuk mengukur
variabel laten lain yaitu industri maritim melalui second order SEM. Untuk itu
maka harus dilakukan perbaikan dengan menggunakan petunjuk dari modification
indices. Hasil perbaikan model ditunjukkan oleh Gambar 30.
80
Gambar 30 CFA second order Structural Equation Model (SEM) variabel laten
induatri maritim setelah dilakukan perbaikan
Tabel 36 Nilai kebaikan model second order Structural Equation Model (SEM)
variabel laten industri maritim setelah dilakukan perbaikan
Ukuran Standar
Hasil Perhitungan Kesimpulan
Goodness Of Fit Kebaikan
CHI-SQUARE kecil 92.354 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.071 Fit
GFI ≥ 0.900 0.927 Fit
CFI ≥ 0.900 0.969 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 1.965 Fit
Pada Tabel 37 diatas terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
telah dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel laten injasmar, perkapalan, dan variabel laten industri
pangan strategis terbukti sebagai indikator yang valid untuk mengukur variabel
laten lain yaitu industri maritim melalui second order SEM. Selanjutnya dilakukan
pengukuran reliabilitas variabel sebagai berikut.
standardiz e loading 2
Cunstruct Reliability
standardiz e loading εj
2
Cunstruct Reliability
2.41 0.850
2
2.41 1.050
2
Keterangan:
*** = nilai probability signifikan pada α = 5%
Tabel 40 Direct effect model output pengolahan data pada AMOS 21.0
Direct effect menunjukkan nilai loading factor untuk tiap variabel terhadap
variabel lain secara langsung. Nilai tersebut merupakan suatu besaran yang
menyatakan tingkat kontribusi suatu variabel terhadap perubahan nilai variabel
lain.
Total effect menunjukkan nilai loading factor untuk tiap variabel terhadap
variabel lain secara total. Nilai tersebut merupakan suatu besaran yang
menyatakan tingkat kontribusi suatu variabel secara bersama-sama dengan
variabel lain yang sama-sama berkontribusi terhadap perubahan nilai variabel lain.
dapat dibuktikan bahwa terdapat pengaruh yang nyata antara variabel Industri
Maritim terhadap Distribusi Pangan dengan loading factor 0.440. Selain itu
pengaruh variabel Distribusi Pangan terhadap Ketahanan Pangan Nasional secara
nyata juga telah terbukti dengan loading factor sebesar 0.476. Sehingga model
pengaruh Industri Maritim terhadap Sistem Ketahanan Pangan Nasional dapat
digunakan.
Pada model penelitian ini, dapat dikemukakan pengaruh dari Industri
Maritim terhadap Ketahanan Pangan baik secara langsung maupun melalui
Distribusi Pangan. Pengaruh langsung dari variabel Industri Maritim terhadap
Ketahanan Pangan Nasional mempunyai loading factor sebesar 0.131, sedang
pengaruh Industri Maritim terhadap Ketahanan Pangan melalui Distribusi Pangan
sebesar 0.44 x 0.476 = 0.210, artinya pengaruh langsung mempunyai loading
factor yang lebih kecil dari pengaruh tidak langsung yaitu dengan loading factor
0.210. Hasil temuan dari penelitian ini memberikan informasi bahwa Industri
Maritim akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Sistem Ketahanan
Pangan Nasional melalui sistim Distribusi Pangan, sehingga kebijakan dan upaya
yang harus dilakukan untuk meningkatkan Sistem Ketahanan Pangan Nasional
terkait dengan Industri Maritim adalah fokus pada industri maritim yang dapat
meningkatkan sistem distribusi.
5 IMPLIKASI MANAJERIAL
poros maritim dan tol lautnya agar dapat menjangkau wilayah terpencil sehingga
dapat menjamin ketersediaan bahan pangan sekaligus terjangakau oleh
kemampuan masyarakat untuk membelinya sehingga akan dapat meningkatkan
ketahanan pangan dan pada akhirnya akan meningkatkan meningkatkan sistem
ketahanan nasional.
Aspek penting dari penelitian ini terutama pada dimensi affordability yang
mengukur kemampuan masyarakat untuk membeli makanan, kerentanan
masyarakat terhadap ketidakpastian harga, dan kebijakan pemerintah untuk
mengatasi ketidakpastian harga. Selama ini pemerintah sudah sering membuat
kebijakan yang diperuntukkan untuk mengatasi gejolak harga di pasar yang sering
terjadi, yaitu melalui program operasi pasar. Operasi pasar dilakukan bukan hanya
karena kelangkaan bahan pangan di pasar, akan tetapi dilakukan oleh pemerintah
karena terjadi kenaikan harga pangan yang tidak terkendali dan tidak terjangkau
oleh masyarakat yang kebanyakan disebabkan karena permainan spekulan (Dodge
dan Gemessa, 2012). Temuan yang menarik pada dimensi ini adalah hasil
penelitian menunjukkan bahwa operasi pasar dan bantuan langsung kepada
masyarakat melalui program Jaring Pengaman Pangan yaitu program beras miskin
(raskin) yang termasuk pada program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang selama
ini telah dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas harga ternyata tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan masyarakat untuk mengakses
pangan (affordability) yang ditunjukkan oleh kecilnya nilai loading factor
indikator-indikator tersebut. Temuan ini memperkuat sinyalemen dari beberapa
kalangan yang menyatakan bahwa program Jaring Pengaman Sosial (JPS) selama
ini belum tepat sasaran dan perlu dilakukan evaluasi menyeluruh dan perlu
dilakukan pembenahan sehingga kedepan akan lebih berdayaguna dan dapat
menjadi program unggulan untuk peningkatan ketahanan pangan nasional.
Program JPS tersebut sudah lama dilaksanakan oleh pemerintah dengan dana yang
dihimpun dari Asian Development bank (ADB), Bank Dunia, United Nations
International Children's Emergency Fund (UNICEF), masyarakat dan pemerintah
(ADB dan IFRI, 2009; ADB, 2011). Pada tahun 2015 melalui RAPBN pemerintah
telah mengalokasikan anggaran untuk JPS yang tidak sedikit yaitu sebesar Rp.
22.56 triliun. Dana sebesar itu diharapkan dapat mengatasi masalah
keterjangkauan masyarakat terhadap pangan secara nasional. Temuan pada
penelitian ini yang yaitu belum signifikannya program pemerintah untuk
mengatasi kerawanan pangan di kepulauan terpencil memerlukan kajian lebih
lanjut, sehingga pemerintah dapat merumuskan kebijakan, strategi dan
implementasi program jaring pengaman sosial yang lebih sesuai agar program
tersebut tepat sasaran, memiliki efisiensi yang lebih tinggi termasuk
pengamanannya, sehingga dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan
secara nasional. Melalui rencana aksi nasional pangan dan gizi 2011-2015,
pemerintah telah merumuskan kebijakan pangan dan gizi yang disusun melalui
pendekatan lima pilar pembangunan yang meliputi (1) perbaikan gizi masyarakat;
(2) aksesibilitas pangan; (3) mutu dan keamanan pangan; (4) perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS), dan (5) kelembagaan pangan dan gizi. Kebijakan tersebut
adalah peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui
ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan
sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi lintas
bidang dan lintas program serta kemitraan (Bappenas, 2011).
89
.
Implikasi terhadap Kebijakan Sektor Industri Maritim
menjadi perhatian serius pada sektor industri maritim adalah industri maritim
yang dapat mendukung sistem distribusi pangan.
Hasil dari penelitian ini juga sudah sejalan dengan kebijakan pemerintah
dengan program poros maritimnya, yang akan membangun tol laut yang dapat
menghubungkan seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Pemerintah juga telah
menerbitkan Sistem Logistik Nasional (sislognas) yang terintegrasi dalam
program MP3EI. Pada akhir Mei 2011, pemerintah menerbitkan MP3EI atau
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang
ditetapkan dengan Peratuan Presiden Nomor 32 Tahun 2011. MP3EI bertujuan
untuk membentuk integrasi pembangunan yang disusun berdasarkan optimisme
pemerintah dalam melihat posisi Indonesia di mata internasional. Masterplan ini
dimaksudkan juga untuk mendorong visi Indonesia menjadi 10 negara terbesar
dunia di tahun 2025. MP3EI memiliki 3 strategi utama yaitu: (1) Peningkatan
Potensi Ekonomi Wilayah melalui Koridor Ekonomi; (2) Penguatan Konektivitas
Nasional dan (3) Penguatan Kemampuan SDM dan IPTEK Nasional.
Tindak lanjut dari strategi penguatan konektivitas nasional, pemerintah
menyusun program sistem logistik nasional yang telah ditetapkan menjadi
kebijakan nasional melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak
Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Cetak biru ini merupakan
kebijakan yang akan menjadi acuan bagi Menteri, Pimpinan Lembaga Non
Kementerian, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam rangka penyusunan
kebijakan dan rencana kerja yang terkait dengan pengembangan Sistem Logistik
Nasional di bidang masing-masing Kementerian/Lembaga Pemerintah Non
Kementerian maupun dalam pembangunan daerah. Dokumen Sislognas juga
menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan. Pengaturan sistem
logistik nasional sangat penting dan mendesak mengingat logistik merupakan
sektor ekonomi pendukung utama. Kegiatan utama logistik meliputi: pengadaan,
penyimpanan, persediaan, pengangkutan, pergudangan, pengemasan, keamanan,
dan penanganan barang dan jasa baik dalam bentuk bahan baku, barang antara,
dan barang jadi.
Strategi utama dari poros maritim diharapkan tidak ada kontradiksi dengan
program MP3EI, justru dapat mendorong percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi Indonesia. Oleh karena itu kebijakan poros maritim dengan tol lautnya
dapat berlandaskan pada MP3EI, sehingga postur poros maritim dengan tol
lautnya dapat segera diwujudkan.
Pada RAPBN 2015 pemerintah berencana membangun jalan baru sepanjang
240,94 km, peningkatan kapasitas jalan sepanjang 2.471,2 km, dan pembangunan
jembatan sepanjang 11.716 m. Selain itu pemerintah juga akan membangun 265
km jalur kereta api baru. Kebijakan pada sektor udara pemerintah juga akan
membangun 5 bandar udara baru, pengembangan dan rehabilitasi 51 bandar udara
serta pelayanan 145 rute perintis. Pembangunan sektor udara dan darat merupakan
penghubung dari pembangunan sektor laut. Untuk sektor laut, pemerintah selama
tahun 2015 akan membangun 59 sarana dan prasarana dermaga, dan
pembangunan serta peningkatan 26 pelabuhan perintis. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemerintah menyadari pembangunan sistem transportasi merupakan
infrastruktur penting untuk dapat meningkatkan sistem distribusi di Indonesia
yang pada akhirnya dapat meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap
pangan baik dari segi ketersediaan maupun dari segi kemampuan untuk membeli.
91
Implikasi dari temuan penelitian ini, yaitu pemerintah harus sekuat tenaga
memperkuat sistem distribusi pangan untuk dapat meningkatkan ketahanan
pangan di daerah terpencil. Pemerintah juga harus lebih fokus terhadap kebijakan
dalam melaksanakan program sistem logistik nasional dan MP3EI terutama
memperkuat strategi utama poin 2 yaitu Penguatan Konektivitas Nasional yang
merupakan kunci suksesnya sistem distribusi secara nasional. Melihat kondisi
geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan, maka konektivitas nasional hanya
akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan melalui mode
transportasi laut, sehingga kebijakan yang harus dibuat adalah meningkatkan
industri maritim yang terkait langsung dengan sistem distribusi pangan secara
nasional yaitu sektor industri perkapalan, industri pelabuhan dan pergudangan.
Sektor industri maritim tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap
tercapainya program sistem logistik nasional. Melihat kenyataan ini, maka
program tol laut yang menjadi implementasi konsep poros maritim adalah
merupakan langkah yang tepat untuk dilaksanakan.
Simpulan
Saran
Keterbatasan Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
[ADB] Asian Development Bank. 2011. Regional cooperation for food security:
the case of emergency rice reserves in the ASEAN plus three. ADB
Sustainable Development Working Paper Series No. 18.
[ADB] Asian Development Bank dan [IFPRI] International Food Policy Research
Institute. 2009. Building Climate Resilience in The Agriculture Sector in
Asia and The Pacific. Mandaluyong City (PH): ADB dan IFPRI.
Adelman, Irma and Berck P. 1990. Food security policy in a stochastic world,
Journal of Development Economics, Elsevier. 34(1-2): 25-55.
Afandi MN. 2008. Pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap ketahanan
pangan di Jawa Barat [tesis]. Bandung (ID): Institut teknologi Bandung
Agustinus, 2007. Model Pengambilan Keputusan Pengembangan Pelabuhan Wani
[Tesis]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Alexander P. 1998. The naval of the perahu: meaning and values in the maritime
trading economy of a butonese village. The Australian Journal of
Anthropology. 9(2): 242-248.
Alard AL. 2012. The contribution of small farms and commercial large farms to
the food security of Trinidad and Tobago [tesis].Chicago (US): DePaul
University
Allison. EH. 2011. Aquaculture, fisheries, poverty and food security. Working
Paper 2011 – 65.
Andreyeva T, Long MW, and Brownell K., 2010. The impact of food prices on
consumption: A systematic review of research on the price elasticity of
demand for food. American Journal of Public Health. 100(2):216-222.
Arief T. 2010. Pengembangan model distribusi barang bantuan kepada korban
bencana dengan transportasi darat menggunakan sistem dinamik. [Tesis],
Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Arendt SW, Sneed PJ. 2008. Employee motivators for following food safety
practices: pivotal role of supervision. Journal Food Protein. 28:704–711.
Ariningsih E. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan
Pangan. Bogor (ID) : Insitut Pertanian Bogor
[BPS] Badan Pusat Statistik. Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi 2005-
2035. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. UNDP Laporan Indeks Pembangunan Manusia
Tahun 2008. Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik.
[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2011. Identifikasi Kebutuhan
Investasi Perencanaan Pengembangan Investasi Terpadu Logistik
Pergudangan. Jakarta (ID): BKPM.
Bappenas. 2012. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2016. Jakarta
(ID): Bappenas
Barnett BJ, Coble KH. 2011. Understanding regional differences in farm policy
preferences. American Journal of Agriculture Economics. 94 (2): 528–534.
Barrett CB. 2002. Food security and food assistance programs. Gardner, Rauser
GC, editor. Handbook of Agricultural Economics 2 : 2103–2190.
94
Lima MGB. 2008. Sustainable food security for local communities in the
globalized era: a comparative examination of Brazilian and Canadian case
studies. Ontario (CA): University of Waterloo
Linton JD, Klassen RD, Jayaraman V. 2007. Sustainable supply chains: an
introduction. Journal of Operations Management. 25:1075-1082.
Lugten G, Andrew NA. 2008. Maximum sustainable yield of marine capture
fisheries in developing archipelagic states: balancing law, science, politics
and practice. The International Journal of Marine and Coastal Law. 23(1):
1-37.
Mai N, BogasonS, Arason S, Árnason S, Matthiasson T. 2010. Benefits of
traceability in fish supply chains-case studies. British Food Journal. 112:
976-1002.
Maleha dan Susanto. 2006. Kajian konsep ketahanan pangan. Jurnal Protein.
13(2): 1-29.
Maanema M. 2003. Model Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus di Pulau
Pari Kepulauan seribu) [disertasi] .Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Ma’sitasari. 2009. Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-
Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau
Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) [Disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Manning L, Baines RN. 2004b. Effective management of food safety and quality.
British Food Journal. 106(8): 598-606.
Manning L, Baines RN, Chadd SA. 2006. Ethical modelling of the food supply
chain. British Food Journal. 108(5): 358-70.
Manning L, Baines RN, Chadd SA. 2006. Quality assurance models in the food
supply chain. British Food Journal. 108(2): 91-98.
Martin W, Anderson K. 2012. Export Restrictions and Price Insulation During
Commodity Price Booms. American Journal of Agricultural Economics.
94(1): 74-93
Marucheck A, Greis N, Mena C, Cai L. 2007. Product safety and security in the
global supply chain: challenges and research opportunities. Journal of
Operations Management. 29: 707-720.
Matopoulos A, Vlachopoulou M, Manthou V, Manos B. 2007. A conceptual
framework for supply chain collaboration: empirical evidence from the
agrifood industry. Supply Chain
McMeekin T, Baranyi J, Bowman J, Dalgaard P, Kirk M, Ross T, Schmid S,
Zwietering M. 2006. Information systems in food safety management.
International Journal of Food Microbiology. 112: 181-194.
Mezzetti M, Billari FC. 2005. Bayesian correlated factor analysis of socio-
demographic indicators. Journal of Statistical Methods and Application. 14:
223−241.
Mohanty S, Peterson E. 2005. Food security and government interventions a
study of indian grain markets. International Journal Trade & Economic
Development. 14(3): 337-352.
Mukundan H. 2007. A Comparative Study of Maritime Operation in India [tesis].
Massachusett (US): Massachusetts Instistute of Tecnology
Murray-Rust D, Dendoncker N, Dawson TP, Acosta-Michlik L, Karali E. 2011.
Conceptualising the analysis of socio-ecological systems through ecosystem
99
Warr PG. 2011. Food security vs. food self-sufficiency: the Indonesian case. The
Indonesia Quarterly. 39(1): 56–71.
World Bank. 2014. Connecting to Compete 2014: Trade Logistics in the Global
Economy. The International Bank for Reconstruction and Development/ The
World Bank 1818 H Street NW. Washington DC (US).
World Food Programme. 2009. Comprehensive Food Security and Vulnerability
Analysis Guidelines, Ed ke-1.Rome (IT): World Food Programme.
World Food Programme. 2009. Emergency Food Security Assessment Handbook,
Ed ke-2. Rome (IT): World Food Programme.
World Food Programme. 2010. A Food Security and Vulnerability Atlas of
Indonesia (FSVA) Rome (IT): World Food Programme.
World Food Programme (WFP) Indonesia. 2013. Bersama Membangun
Ketahanan Pangan. Rome (IT): World Food Programme.
Yahya A. 2001. Perikanan Tangkap Indonesia. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 20].
Tersedia pada: http:// tumoutou.net/3_sem1_012/ali_yahya.htm.
Zuniga SM. 2007. Cultural Factors Affecting Food Preference: The Case Of
Tarwi in Three Quechua Speaking Areas of Peru [tesis]. Tennessee (US):
Vanderbilt University
103
RIWAYAT HIDUP
Satya Lencana Wira Dharma (Perbatasan), Satya Lencana Wira Nusa, Satya
Lencana Wira Karya (Somalia), Satya Lencana Dharma Nusa, Satya Lencana
Dharma Nusa II dan Satya Lencana Kesetiaan Melati. Penulis juga menerima
penghargaan dari luar negeri yaitu RTA Honorary Parachutist Badge Thailand,
US Navy Seal dan Honorary PWO Course Australia.