Anda di halaman 1dari 128

INDUSTRI MARITIM DAN PERANANNYA

TERHADAP DISTRIBUSI PANGAN DI WILAYAH TERPENCIL


DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN PANGAN NASIONAL

DIDIT HERDIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Industri Maritim dan
Peranannya Terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka
Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Didit Herdiawan
P00660090063.6DM

 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN

DIDIT HERDIAWAN. Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi


Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan
Nasional. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO, HERMANTO SIREGAR dan
HARIANTO.

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin menganalisis pengaruh dari industri
maritim dan distribusi pangan terhadap sistem ketahanan pangan nasional. Metode
analisis yang digunakan adalah Second Order Structural Equation Modeling. Penelitian
ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi selama ini bahwa di Indonesia masih
banyak daerah yang mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap kerawanan pangan,
sedang di beberapa daerah lain terjadi surplus pangan. Daerah yang mempunyai
kerawanan pangan tinggi telah dipetakan oleh World Food Programme ya n g berupa
Food Insecurity Atlas (FIA) diterbitkan pertama pada tahun 2005 dan yang
kedua pada tahun 2009, dimana sebagian besar daerah yang mempunyai tingkat
kerawanan pangan tinggi adalah wilayah kepulauan terpencil. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa persoalan yang harus segera diatasi adalah bagaimana
mendistribusikan pangan dari daerah yang surplus pangan ke daerah yang rawan pangan.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebesar 248, yang terdiri dari unsur
pemerintah baik pusat maupun daerah termasuk BUMN, dan unsur swasta yaitu
pelayaran rakyat, galangan kapal, dan tokoh masyarakat di wilayah terpencil rawan
pangan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting yaitu: a). Industri maritim
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem distribusi pangan di daerah
terpencil dengan nilai estimasi 0.440 dengan CR = 3.430 dan P= 0.000; b). Model
penelitian menunjukkan bahwa sistem distribusi pangan di daerah terpencil mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional dengan nilai
estimasi = 0.131 dengan CR = 1.095 dan P = 0.002; c). Industri Maritim berpengaruh
terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem distribusi pangan dengan nilai
estimasi = 0.476 dengan CR = 4.778, dan P = 0.000. Pengujian secara simultan terhadap
model penelitian telah memenuhi seluruh kriteria fitting model yang diindikasikan dengan
nilai Chi-Square kecil yaitu 735.186, RMSEA = 0.055, GFI = 0.842, CFI= 0.928, dan
CMIN/DF = 1.447.
Temuan penelitian ini memberi bukti bahwa industri maritim mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem
distribusi pangan. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka strategi yang tepat untuk
meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional pada sektor maritim adalah dengan
meningkatkan perbaikan pada subsektor yang terkait langsung terhadap sistem distribusi
meliputi industri pelabuhan, perkapalan, dan pergudangan.

Kata kunci: Distribusi Pangan, Industri Maritim, Ketahanan Pangan Nasional, Model
Persamaan Terstruktur.
SUMMARY

DIDIT HERDIAWAN. Maritime Industry and Contribution to the Distribution of


Food on the National Food Security System. Supervised by ARIEF DARYANTO,
HERMANTO SIREGAR and HARIANTO.

The purpose of this research is to analyze influences and contribution of the


maritime industry to the distribution of food on the national food security system.
The analytical method used is the Second Order Structural Equation Modelling.
This research is motivated by the phenomenon that occurred during this period
that in Indonesia there are still many areas that have a high vulnerability to food
insecurity, while in some other areas of food surplus. Areas that have a high food
insecurity has been mapped by the World Food Programme in the form of Food
Insecurity Atlas (FIA) first published in 2005 and second in 2009, where most of
the areas that have a high level of food insecurity is a remote archipelago. This
fact indicates that the issues that must be addressed is how to distribute surplus
food from the abundant of food to food-insecure areas.
The sample used in this study amounted to 248 persons who are
representatives from both central and local governments, state-owned enterprises,
and private elements in the shipping and shipbuilding sectors and as well as
community leaders in remote areas of food insecurity. The study produced several
important findings namely: a). The maritime industry has a significant impact on
the food distribution system in remote areas with the estimated value of 0.440
with CR = 3.430 and P = 0.000; b). Model studies show that food distribution
systems in remote areas have a significant impact on national food security system
with the estimated value=0.131 with CR=1.095 and P = 0.002; c). Maritime
Industry influences on national food security through food distribution systems
with estimated value = 0.476 with CR=4.778, P=0.000. Simultaneous testing of
the research model has met all the criteria of fitting models indicated by the small
value of Chi-Square is 735.186, RMSEA = 0.055, GFI=0.842, CFI=0.928, and
CMIN/DF=1.447.
The findings of this research provide evidence that the maritime industry
has a significant impact on national food security through food distribution
system. Referring to these findings, the appropriate strategy for national food
security system maritime sector is to be develop by improving directly related
sub-sectors of the distribution systems including: the port industry, shipping, and
warehousing.

Keywords: Food Distribution, Maritime Industry, National Food Security,


Structural Equation Modelling.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INDUSTRI MARITIM DAN PERANANNYA
TERHADAP DISTRIBUSI PANGAN DI WILAYAH TERPENCIL
DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN PANGAN NASIONAL

DIDIT HERDIAWAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor Manajemen Bisnis
pada
Program Studi Manajemen dan Bisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof Dr Ir Achmad Suryana, MS
(Profesor Riset PSEKP)
2. Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MSc
(Asdir Bidang Akademik dan Kemahasiswaan)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Achmad Suryana, MS


(Profesor Riset PSEKP)
2. Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji, DEA
(Gubernur Lemhannas RI)
Judul Disertasi : Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi Pangan di
Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan
Pangan Nasional.
Nama : Didit Herdiawan
NIM : P00660090063.6DM

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Arief Daryanto, MEc


Ketua

Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc Dr Ir Harianto, MS


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Manajemen dan Bisnis

Dr Ir Arief Daryanto, MEc Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian Terbuka : 6 Juni 2015 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanna Wataála atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul
Pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil
dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. Penelitian yang
dilakukan dalam disertasi ini sangat berguna khususnya bagi penulis sebagai
syarat penyelesaian tugas studi doktoral dan umumnya bagi para pengambil
kebijakan tentang industri kemaritiman, pendistribusian pangan dan ketahanan
pangan, baik di tingkat daerah maupun pusat. Penelitian ini berhasil
mengungkapkan beberapa temuan, baik yang berhubungan dengan dinamika
faktor-faktor eksternal maupun faktor-faktor internal serta pengaruhnya bagi
industri maritim, dalam memperkokoh distribusi pangan dan peningkatan
ketahanan pangan di daerah terpencil.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian disertasi ini adalah berkat bantuan,
bimbingan dan dorongan serta koreksi dari berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc, Bapak Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc,
Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan
arahan, masukan, koreksi dan motivasinya. Semoga segala bentuk keahlian dan
ilmu yang telah diberikan dengan ikhlas, dicatat sebagai pahala oleh Allah SWT.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Prof Dr H. Susilo
Bambang Yudhoyono, MA yang telah memberikan motivasi dan arahan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor di IPB, Prof Dr Ir Herry
Suhardiyanto, MSc selaku Rektor IPB, Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr selaku
Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc selaku Ketua
Program Studi Manajemen Bisnis IPB. Tidak lupa kami haturkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada para dosen DMB yang profesional dan
dengan tulus mencurahkan ilmunya kepada kami hingga selesainya penyusunan
disertasi ini. Penghargaan setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada Bapak
Prof Dr Ir Noer Azam dan Bapak Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc, serta Bapak
Prof Dr Ir Marimin MSc yang telah memotivasi dan mengarahkan penulis untuk
terus berada dalam time table penyelesaian doktor di DMB IPB.
Mengakhiri ucapan terima kasih, pada kesempatan ini kami ucapkan
terima kasih kepada Gubernur Lemhannas RI Bapak Prof Dr Ir Budi Susilo
Soepandji, DEA, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Ade Supandi,
SE, dan Laksamana TNI (Purn) Dr Marsetio mantan Kepala Staf TNI Angkatan
Laut yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan
program Doktor di tengah pelaksanaan tugas penulis sebagai Wakil Kepala Staf
TNI AL dan Wakil Gubernur Lemhannas RI.
Kepada istriku, Widyastuti SE, dan putra-putriku Armaidy Makawi SE,
Herdianti Merilla Putri SE, Hastuti Viana Putri dan Herdini Aprilia Putri, curahan
perhatian dan kasih sayang kalian, telah dan akan, senantiasa menjadi energi dan
inspirasi bagi penulis untuk terus melakukan yang terbaik.

Bogor, Juli 2015


Didit Herdiawan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 7
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 9
Kebaruan (Novelty) 9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Industri Maritim di Indonesia 9
Industri Perkapalan Indonesia 11
Tujuan Perikanan 15
Industri Pelayaran di Indonesia 16
Industri Jasa Pelabuhan 17
MP3EI 18
Sistem Logistik Nasional (Sislognas) 19
Ketahanan Pangan 21
Ketahanan Pangan di Wilayah Terpencil 23
Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional 25
Kajian Penelitian Terdahulu 28
Kerangka Pemikiran Teoritis 31
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian 32
Pendekatan Penelitian 33
Jenis dan Sumber Data 33
Teknik Pengambilan Contoh 33
Definisi Operasional Variabel 34
Model Penelitian 41
Hipotesis Penelitian 41
Persamaan Model Penelitian 42
Penentuan Jumlah Sampel 44
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 48
Pengujian Validitas 48
Pengujian Reliabilitas 50
Structural Equation Modelling (SEM) 50
DAFTAR ISI (Lanjutan)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN


Sebaran Responden 56
Model Konseptual Sistem Ketahanan Pangan Nasional 58
Variabel Ketahanan Pangan 59
Variabel Distribusi Pangan 68
Variabel Industri Maritim 74
Evaluasi Kesesuaian terhadap Model Lengkap 81
Pengaruh Langsung Industri Maritim terhadap Ketahanan Pangan 85
Pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan 85
Pengaruh Distribusi Pangan terhadap National Food Security 85
Pengaruh Industri Maritim terhadap National Food Security Melalui
Distribusi Pangan 86
Pengaruh Industri Maritim dan Distribusi Pangan terhadap National
Food Security 86

5 IMPLIKASI MANAJERIAL
Implikasi terhadap Program Ketahanan Pangan Nasional 87
Implikasi terhadap Sektor Industri Maritim 89

6 SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan 91
Saran 92
Keterbatasan Penelitian 92

DAFTAR PUSTAKA 93
RIWAYAT HIDUP 103
DAFTAR TABEL

1 Ringkasan penelitian terdahulu 28


2 Daftar responden di pusat 45
3 Daftar responden tingkat provinsi 46
4 Daftar responden di kabupaten 47
5 Daftar responden dari unsur lain 47
6 Ringkasan daftar responden 48
7 Sebaran responden berdasarkan pengalaman 57
8 Sebaran responden berdasarkan usia 57
9 Sebaran responden berdasarkan pendidikan 58
10 Kebaikan model variabel ketersediaan 60
11 Hubungan variabel ketersediaan 61
12 Nilai kebaikan model variabel ketersediaan perbaikan 61
13 Nilai kebaikan model variabel keterjangkauan 63
14 Nilai kebaikan model variabel keterjangkauan perbaikan 64
15 Hubungan variabel keterjangkauan 64
16 Nilai kebaikan model variabel quality and safety 65
17 Modification indices variabel quality and safety 66
18 Nilai kebaikan model variabel quality and safety perbaikan 66
19 Nilai kebaikan model variabel ketahanan pangan nasional 67
20 Hubungan variabel variabel ketahanan pangan 64
21 Nilai kebaikan model variabel pengembangan sistem 69
22 Hubungan variabel pengembangan sistem 69
23 Nilai kebaikan model variabel pengelolaan sistem 70
24 Nilai kebaikan model variabel pengelolaan sistem perbaikan 71
25 Hubungan variabel pengelolaan sistem 71
26 Nilai kebaikan model variabel distribusi pangan 72
27 Nilai kebaikan model variabel distribusi pangan perbaikan 73
28 Hubungan variabel distribusi pangan 73
29 Nilai kebaikan model variabel Injasmar 75
30 Nilai kebaikan model variabel Injasmar perbaikan 75
31 Hubungan variabel injasmar terhadap indikatornya 76
32 Nilai kebaikan model variabel industri perkapalan 77
33 Hubungan variabel industri perkapalan 77
34 Nilai kebaikan model variabel industri pangan strategis 78
35 Nilai kebaikan model variabel industri maritim 79
36 Nilai kebaikan model variabel industri maritim perbaikan 80
37 Hubungan variabel industri maritim 80
38 Nilai kebaikan model penelitian lengkap 82
39 Hasil perhitungan model lengkap 83
40 Direct effect model output pengolahan data pada AMOS 21.0 84
41 Total effects dari output AMOS 21.0 model penelitian 84
DAFTAR GAMBAR

1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Indonesia 2


2 Food security indicator 22
3 Blok diagram kerangka penelitian 32
4 Model konseptual ketahanan pangan 32
5 Model national food security 36
6 Model distribusi pangan 38
7 Model industri maritim untuk ketahanan pangan 40
8 Model lengkap ketahanan pangan di wilayah terpencil 41
9 Model lengkap penelitian 44
10 Langkah teknis analisis SEM 54
11 Model konseptual pengaruh industri maritim terhadap NFS 58
12 Variabel ketahanan pangan nasional 59
13 Variabel ketersediaan 60
14 Variabel ketersediaan revisi 61
15 Variabel keterjangkauan 63
16 Variabel keterjangkauan revisi 63
17 Variabel kualitas dan keamanan 65
18 Variabel kualitas dan keamanan revisi 66
19 Model sistem ketahanan pangan 67
20 Variabel pengembangan sistem 69
21 Variabel pengelolaan sistem 70
22 Variabel pengelolaan sistem revisi 71
23 Variabel distribusi pangan 72
24 Variabel distribusi pangan revisi 73
25 Variabel injasmar 74
26 Variabel injasmar revisi 75
27 Variabel industri perkapalan 76
28 Variabel industri pangan strategis 78
29 Variabel industri maritim 79
30 Variabel industri maritim revisi 80
31 Output path diagram model penelitian 81
32 Model lengkap 83
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan


(archipellagic state) dengan 17.499 pulau (Dinas Hidro Oceanografi, 2004), yang
letaknya secara geografis sangat strategis, karena berada pada posisi silang di
antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Hindia dan Pasifik.
Pulau-pulau tersebut dihubungkan oleh laut-laut dan selat-selat di nusantara yang
merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk sebuah negara kepulauan
yang panjangnya 5.110 km dan lebarnya 1.888 km, luas perairan sekitar 3.205.908
km², luas laut teritorial sekitar 300.000 km², perairan Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) 2.707.092 km², panjang garis pantai yang sudah diumumkan resmi oleh
PBB tahun 2008 adalah 95.181 km, sedang luas daratannya 2.001.044 km².
Dengan jumlah pulau yang demikian banyak dan tersebar di wilayah yang
luas, banyak wilayah Indonesia yang berada di posisi terpencil. Kondisi tersebut
mengakibatkan banyak wilayah NKRI jauh dari akses ekonomi dan
pemerintahan, serta memiliki rintangan alamiah yang membuat wilayah tersebut
sulit dijangkau baik melalui transportasi darat, laut maupun udara. Wilayah-
wilayah terpencil ini memiliki potensi kerawanan pangan mengingat kondisinya
yang sulit dijangkau, serta kontur alamnya yang menyulitkan dikembangkannya
tanaman-tanaman pangan. Daerah yang mempunyai kerentanan terhadap
ketahanan pangan telah dipetakan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) bekerja
sama dengan World Food Programe (WFP) pada tahun 2005, dan diperbaharui
pada tahun 2009 dengan melakukan koreksi pada indikatornya, dimana
kebanyakan daerah yang mempunyai kerentanan pangan besar adalah daerah-
daerah kepulauan terpencil yang sulit dijangkau oleh moda transportasi darat
seperti terlihat pada Gambar 1. (DKP dan WFP 2009, 2010, 2013).
Kerawanan pangan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, hal tersebut
dapat dilihat dari nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun
2013 menduduki urutan ke 108 dari 187 negara yang dinilai. IPM Indonesia 2013
yaitu 0.684 yang masih tergolong sedang. IPM indonesia masih lebih rendah dari
Malaysia dan Sri Langka yang termasuk kategori IPM tinggi. IPM mengukur
pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia:
a. Kualitas hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur
dengan harapan hidup saat kelahiran
b. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang
dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah,
atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
c. Standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural
dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.
2

(Sumber: DKP dan World Food Programe, 2010)


Gambar 1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Indonesia
Uu no 5
Kondisi geografis seperti yang terlihat pada Gambar 1 tersebut menuntut
pemerintah untuk menetapkan kebijakan dalam Undang-Undang (UU) tentang
penciptaan konektivitas antar wilayah di Indonesia, yang diwujudkan dalam
bentuk integrasi Sistem Logistik Nasional, Sistem Transportasi Nasional,
Pembangunan Wilayah, serta Sistem Komunikasi dan Informasi. Pemerintah
juga berupaya mempercepat pembangunan dengan mengimplementasikan
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
dengan strategi utama yakni menuju negara maju yang lebih sejahtera melalui
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia 2011-2025,
sekaligus penjabaran kebijakan pemerintah tentang poros maritim yang
terintegrasi dengan tol lautnya.
MP3EI dibangun berdasarkan tiga pilar utama; (i) pengembangan
potensi melalui koridor ekonomi, (ii) memperkuat konektivitas nasional, (iii)
mempercepat kemampuan Sumber daya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK) Nasional. Meski ketiga pilar tersebut memiliki
ketergantungan yang erat dengan maritim, namun pembangunan aspek maritim
belum menjadi prioritas. Kondisi ini merupakan gambaran dari kurangnya
pemahaman kemaritiman yang terjadi di pemerintahan. Contoh lain adalah
ketika diubahnya Dewan Kemaritiman Indonesia yang didirikan pada 1999 saat
Presiden Abdurrahman Wahid menjabat. Dewan ini diubah menjadi Dewan
Kelautan Indonesia pada tahun 2007 dengan dikeluarkannya Keppres No. 21
Tahun 2007, dengan alasan nomenklatur DMI (Dewan Maritim Indonesia)
memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas
dewan tersebut.
Pemahaman tentang kemaritiman adalah hal penting untuk mewujudkan
program-program pembangunan yang tertuang dalam MP3EI. Penggunaan
kata laut, sangat membatasi lingkup dari suatu kewenangan, mengingat laut
diartikan sebagai ‘kumpulan air asin dalam jumlah banyak dan luas yang
menggenangi dan membagi daratan, pulau atau benua (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Sedangkan maritim adalah segala hal yang berkenaan dengan laut,
berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Menurut kamus Oxford
3

pengertian maritim sebagai hal yang terhubung dengan laut, terutama dalam
kaitannya dengan perdagangan lewat laut atau hal-hal menyangkut angkatan
laut. Maka jelaslah, bahwa laut hanya sekedar fisik dan bagian kecil dari
maritim. Pemahaman ini berdampak terhadap fokus dari pembangunan yang
dituangkan dalam rencana jangka panjang pemerintah, masih jauh dari prioritas
kemaritiman.
Maritim bukan hanya persoalan perikanan dan kelautan, akan tetapi
maritim adalah segala sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan
kemaritiman/kelautan baik yang langsung maupun tidak langsung (Alexander P,
1998). Sebagai contoh misalnya dari industri maritim; galangan kapal, teknologi
perkapalan, desain kapal, perbaikan kapal, manufaktur komponen kapal dan
lainnya. Kemudian dari aktivitas ekspor/impor; pemeliharaan, penyediaan,
perbaikan, bongkar muat, layanan broker kapal, asuransi untuk para pelaut, jasa
angkutan dan pelabuhan. Dari pariwisata diantaranya; wisata pantai, wisata
bawah laut, jasa penginapan, wisata sejarah, bahkan budaya masyarakat sekitar
pantai yang menjadi daya tarik turis manca negara. Ditambah pula dengan
budidaya perikanan, seperti budidaya air tawar, budidaya air payau, dan
budidaya laut (Bergheim K dkk, 2015). Itu semua baru sebagian kecil dari
aktivitas maritim. Jika Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensi maritim
yang ada, bias dibayangkan berapa besar pendapatan negara yang dapat
dialokasikan untuk kesejahteraan yang akan mengurangi kemiskinan, dapat
membantu mencerdasan bangsa, serta membangun kekuatan Negara (Allison,
2011).
Dalam naskah MP3EI, sudah direncanakan pembangunan transportasi
dan infrastruktur laut. Namun nyatanya, alokasi dana masih berpihak kepada
pembangunan infrastruktur dan transportasi darat. Tak dapat dipungkiri bahwa
tersedianya infrastruktur yang memadai akan memberikan pengaruh positif
terhadap sistem perekonomian suatu daerah (Mulyono, 2010). Dilansir dari
berita yang dimuat pada website Sektretariat Kabinet RI, Ketua Asosiasi Logistik
Indonesia, Zaldy Masita, mengatakan bahwa selama ini lebih dari 60%
investasi MP3EI ditujukan untuk pembangunan darat. Terlihat juga, bahwa
yang menjadi konektivitas kawasan strategis dalam MP3EI bukanlah perbaikan
atau pembangunan pelabuhan, tetapi justru pembangunan Jembatan Selat Sunda
(JSS).
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Prof. Wiratman
Wangsadinata, seorang pakar dan praktisi bidang konstruksi Indonesia, biaya
JSS diestimasikan sebesar US$ 10 milliar atau setara dengan 100 triliun rupiah
hanya untuk konstruksi jembatannya saja dan akan membutuhkan waktu 13
tahun untuk menyelesaikannya (Wangsadinata, 2013), jika ditambah dengan
pengembangan kawasan diperkirakan membutuhkan anggaran sekitar US$ 25
milliar atau setara dengan Rp 250 trilliun. Rencana pembangunan Jembatan Selat
Sunda telah direncanakan di MP3EI. Pada dokumen tersebut, anggaran
pembangunan yang diperlukan untuk membangun Jembatan Selat Sunda sebesar
Rp. 150 trilliun, atau setara dengan US$ 15 milliar. JSS tidak hanya terdiri dari
pembangunan jalan tol saja, melainkan juga dilengkapi dengan prasarana lainya
seperti rel kereta api, jaringan utilitas, sistem navigasi pelayaran dan infrastruktur
lainnya, termasuk energi terbarukan yang terintegrasi (Perpres No. 86 Tahun
2011). Menurut Prof. Daniel Rosyid, seorang pakar kelautan Indonesia, estimasi
4

biaya tersebut dapat membengkak, hal tersebut dapat dilihat dari kasus
pembangunan Jembatan Suramadu. Dengan panjang 5 km saja, biaya
pembangunan Jembatan Suramadu dapat membengkak 20%. Berdasarkan
pengalaman tersebut, maka biaya JSS yang panjangnya mencapai 30 km, dapat
membengkak karena harus lebih lebar enam jalur, lebih tebal, menara
penyangganya lebih tinggi, dan lebih dalam karena berada di lingkungan
yang secara tektonik dan vulkanik sangat aktif (Rosyid 2009).
Pembangunan ekonomi di Negara kepulauan seperti Indonesia sangat
membutuhkan industri maritim yang handal agar konektifitas antar pulau
dapat terlaksana. Industri Maritim tersebut meliputi Industri Perkapalan, Industri
Pelayaran dan Industri Jasa Pelabuhan, untuk mengelola dan mengolah sumber
daya kelautan dan sumber daya alam lainnya yang ada, sehingga bermanfaat
untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, utamanya dalam
ketersediaan pangan di wilayah-wilayah terpencil yang sulit terjangkau oleh
jalur transportasi darat dan udara. Pemerintah telah mengembangkan upaya di
bidang industri jasa maritim dengan membangun sepuluh sektor ekonomi
kelautan unggulan yaitu perikanan tangkap, budi daya, industri pengolahan hasil
perikanan, industri bioteknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral, serta
pariwisata bahari.
Salah satu bagian dari industri jasa maritim adalah industri
perkapalan nasional. Industri perkapalan sangat penting bagi negara maritim
seperti Indonesia untuk menjamin interaksi dan konektivitas antar pulau tetap
terpelihara. Interaksi dan konektivitas ini memungkinkan terjadinya pertukaran
komoditas dari satu tempat yang surplus ke tempat lain yang membutuhkan.
Dalam konteks ketahanan pangan, industri perkapalan nasional menjadi ujung
tombak dalam memelihara transportasi dan distribusi pangan dari sumber
(produsen) kepada pengguna (konsumen). Temuan dari penelitian yang dilakukan
oleh Sahara dan Daryanto bahwa pola perdagangan komoditas pangan antar
daerah di Indonesia lebih banyak didasarkan pada kepercayaan dari kedua
belah pihak yaitu petani dan pembeli. Jika temuan ini diterapkan dalam
setting maritim yang kompleks, maka keberadaan industri perkapalan yang
tangguh sangat berperan penting untuk menjamin pengambilan hasil pangan
yang berumur pendek dari petani, untuk bisa dijual di tempat lain. Ketika
kapal-kapal yang digunakan pembeli untuk mengangkut komoditas pangan di
suatu daerah terkendala oleh faktor teknis dan non teknis (misalnya cuaca),
dan mengakibatkan keterlambatan kedatangan, dapat berakibat pada rusaknya
hasil pertanian dan berdampak pada turunnya kepercayaan petani terhadap
pembeli.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Research Institute,
negara Belanda memiliki garis pantai hanya 1.914 km, peringkat 81 dunia. Tapi,
hal tersebut dimanfaatkan Belanda sebaik mungkin hingga saat ini pelabuhan
negara ini berperan penting sebagai pusat perdagangan Eropa, sekaligus menjadi
karakteristik negara Belanda. Pemasukan Belanda sebagian besar berasal dari
transportasi perdagangan (perkapalan), distribusi, dan logistik. Bisnis
perkapalan Belanda ini juga didukung oleh infrastruktur maritim yang
komprehensif, antara lain administrasi maritim, keuangan, asuransi maritim,
akuntansi, broker, penyewaan, hingga urusan limbah pembuangan, ditambah lagi
dengan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan perkapalan yang
5

menguntungkan para pemilik kapal. Membandingkan kenyataan tersebut dengan


Indonesia, negara kita yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km
menduduki peringkat 4 dari 149 negara dengan garis pantai terpanjang harusnya
dapat lebih memanfaatkan sektor maritimnya lebih dibandingkan Belanda agar
dapat memajukan dan menyejahterakan bangsa.
Dalam bidang perikanan, menurut data statistik perikanan dan kelautan
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2012, konsumsi
ikan masyarakat Indonesia baru mencapai 33 kg/tahun per kapita, dan masih
mampu dipenuhi oleh produksi nasional. Produksi ikan Indonesia pada 2012
berkisar 15,9 ton. Jika dibandingkan konsumsi daging yang hanya 2,5 kg per
tahun per kapita, industri perikanan memiliki potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan di pasar domestik. Meski demikian, produksi ikan nasional masih
jauh dibawah Malaysia dan Jepang. Bahkan, negara seperti Thailand dan Vietnam
menjadikan hasil laut sebagai salah satu sumber pemasukan negara dengan
memberikan berbagai kemudahan fiskal bagi para nelayan. Para nelayan dari
kedua negara ini seringkali mencari ikan di perairan negara lain, termasuk
Indonesia, untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Bagi mereka, laut Indonesia
yang memiliki kandungan nutrisi yang sangat kaya, telah menjadi surga bagi
beberapa jenis ikan dengan nilai ekonomis yang sangat tinggi. Salah satu perairan
di Indonesia yang mempunyai produktivitas ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis)
yang tinggi adalah perairan Halmahera. Tingginya produktivitas ikan Cakalang di
perairan tersebut, akibat pertemuan dua pusaran massa air (pusaran eddy) yang
dikenal dengan nama arus pusar Mindanao dan arus pusar Halmahera.
Bidang lain yang termasuk dalam industri jasa maritim adalah industri
pelayaran. Industri ini mengatur rute-rute kapal yang menjadi alat transportasi
penumpang maupun barang, untuk meningkatkan efisiensi operasionalnya.
Dalam industri ini dilibatkan berbagai bentuk transaksi mulai dari penetapan
tarif angkut, asuransi, rute yang dilalui, hingga ketenagakerjaan (Roach dan
Kirton, 2011). Industri pelayaran di Indonesia hingga saat ini masih belum
dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri, meski pemerintah telah menetapkan
asas cabotage. Asas ini berarti bahwa semua angkutan barang dan
penumpang dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan Indonesia lainnya harus
diangkut oleh kapal berbendera Indonesia. Industri ini sangat terkait dengan
industri perkapalan yang membangun berbagai kapal untuk dapat memenuhi
kebutuhan domestik maupun internasional. Dalam konteks ketahanan pangan,
industri pelayaran memiliki sumber daya yang sangat besar untuk dipergunakan
dalam mengatur pengangkutan komoditas yang dihasilkan berbagai wilayah di
Indonesia. Selain itu, industri ini juga memiliki pengalaman dan pengetahuan
yang dapat dimanfaatkan dalam situasi krisis untuk mencapai berbagai
wilayah-wilayah terpencil.
Industri maritim yang tak kalah penting adalah industri pelabuhan, yang
memegang peranan vital dalam mendukung ketiga industri lainnya yaitu
perkapalan, pelayaran dan perikanan. Keberadaan pelabuhan yang memiliki
fasilitas labuh dan infrastruktur yang memadai akan dapat meningkatkan proses
pelayanan dan penanganan barang atau penumpang. Kemampuan tersebut
menjadi force multiplier yang dapat mencegah terjadinya penumpukan barang
untuk didistribusikan dan penumpang untuk diberangkatkan melalui laut secara
cepat, aman dan nyaman (Talley, 2013). Dalam permasalahan ketahanan pangan
6

di wilayah terpencil, pelabuhan-pelabuhan yang dibangun di seluruh wilayah


Indonesia akan memberikan kemudahan dalam distribusi pangan dan
komoditas, serta mempercepat proses bantuan ketika situasi krisis.
Karakteristik bahan pangan yang tidak dapat bertahan lama, dan
ketidakpastian iklim yang dapat menghambat distribusi pangan, maka keberadaan
suatu fasilitas penyimpanan/ pergudangan yang memadai merupakan faktor yang
sangat penting (Van der Vorst dan Beulens, 2002; Walakira, 2012). Fasilitas ini
mendukung kemampuan pelabuhan untuk menampung berbagai komoditas yang
akan didistribusikan. Industri ini membutuhkan infrastruktur yang baik dalam hal
tersedianya sumber energi dan akses yang cepat dari pelabuhan ke supplier
maupun kepada konsumen. Gudang yang baik memiliki sistem pengawasan
barang yang disesuaikan dengan karakteristik barang-barang tersebut agar tidak
rusak akibat kesalahan penyimpanan. Selain itu, perputaran barang di gudang
membutuhkan ketelitian dan kecepatan agar barang yang dikirimkan sesuai
dengan yang disepakati, baik dalam hal jumlah maupun kualitasnya. Dalam
sistem ketahanan pangan, industri pergudangan berfungsi untuk menampung
distribusi komoditi pangan, baik yang akan dikeluarkan maupun yang baru
didatangkan. Kondisi gudang yang dikelola dengan baik akan dapat mencegah
terjadinya kerusakan bahan pangan baik akibat suhu, gangguan hewan, maupun
pencurian. Dengan demikian, distribusi menjadi lebih aman dan sesuai
dengan kuantitas dan kualitasnya (McMeekin dkk, 2006).
Ketersediaan pangan bagi masyarakat terpencil sangat penting untuk
terus dipelihara agar terbangun kepercayaan masyarakat tersebut terhadap
pemerintah (Mohanty dan Peterson, 2005). Dengan kata lain, pemerintah perlu
menjamin terbangunnya ketahanan pangan di wilayah-wilayah terpencil ini
dengan memanfaatkan industri maritim sebagai sebagai konektor sekaligus
katalisator dalam pembangunan ketahanan pangan yang sustainable dan
berkelanjutan. Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan (Zuniga, 2007). Pada tahun 2005, BKP dan WFP menerbitkan
Indonesian Food Insecurity Atlas (FIA) 2005 untuk pertama kalinya, dan telah
diperbaharui dengan Food Insecurity Atlas (FIA) 2010 yang membahas
tentang Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA),
menyebutkan bahwa ketahanan pangan dibangun atas tiga pilar, yaitu: (i)
ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan.
Menurut dokumen tersebut, ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan
secara fisik di daerah yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik,
impor/perdagangan maupun bantuan pangan.
Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya
pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan
pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan
bantuan pangan (Benton dan Maloni , 2005). Ketersediaan pangan dapat dihitung
pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat. Selanjutnya,
akses pangan adalah kemampuan untuk memperoleh cukup pangan, baik yang
7

berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan
pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu
daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki
akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui
mekanisme tersebut di atas (Tarasuk dan Beaton, 1999; Deaton, 1989).
Pemanfaatan pangan menurut FAO (2006a) merujuk pada penggunaan
pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan
memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh).
Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan
penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses
pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan
terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi
makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu
(pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing
anggota rumah tangga. Pemahaman akan seyogianya diberikan sejak usia dini
kepada anak-anak baik melalui pendidikan formal maupun informal (Lewis, 1992;
Korhonen, 1999; Thingkamol, 2011b, 2011c, 2012). Perilaku manusia yang
merusak lingkungan telah mengakibatkan kemampuan alam untuk menyediakan
bahan makan, sehingga diperlukan strategi untuk menjaga lingkungan hidup untuk
dapat meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan keterlibatan dan peranan
semua pihak sangat dibutuhkan (Arendt dan Sneed, 2008; Barret, 2002).
Indonesia secara aktif memanfaatkan peluang perdagangan internasional untuk
kegiatan ekspor dan impor komoditas agribisnis, termasuk pangan. Ekspor
komoditas agribisnis Indonesia terbesar adalah ke Amerika Serikat dan Jepang,
negara ASEAN relatif kecil, kecuali Singapura (Arifin, 2009). Impor Indonesia
terbesar dari negara ASEAN menurut data statistik pertanian 2014 adalah beras,
terutama dari Thailand, yang jumlahnya meningkat cukup signifikan dari tahun ke
tahun. Sejak tahun 1995 impor beras dari Thailand mencapai 30 persen dari total
impor beras Indonesia. Ketergantungan yang sangat besar pada impor untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri perlu dihindari, karena akan membahayakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik (Herdiawan. 2011).

Perumusan Masalah

Peningkatan Industri pangan di dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa


sangat penting, sehingga kondisi dan proses pemenuhannya menjadi masalah yang
sangat peka. Berbagai permasalahan utama yang dihadapi pada saat ini adalah
tingginya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan
penyediaannya. Permintaan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk,
pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, serta perubahan gaya hidup.
Dinamika permintaan menyebabkan kebutuhan pangan nasional meningkat dalam
jumlah, mutu, dan keberagaman. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi
pangan nasional lambat atau malahan stagnan, karena adanya kompetisi
pemanfaatan dan penurunan kualitas sumber daya alam.
Hasil produksi pangan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia pada
saat ini terkendala oleh sistim distribusi yang masih lemah. Surplus pangan di
8

suatu wilayah tidak mudah dimanfaatkan untuk mengatasi kerentanan pangan di


wilayah lain terutama di wilayah terpencil karena faktor transportasi sebagai
sarana distribusi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah untuk
penguatan sistem distribusi sebagai basis ketahanan pangan. Pendistribusian
Pangan sangat penting untuk pemerataan ketahanan pangan dan kesejahteraan jika
produk unggulan di wilayah-wilayah terpencil dapat ditingkatkan produksinya,
tata niaganya, dan kelembagaan yang terkait dengan subsistem agrologistik, maka
dapat dijamin bahwa konsep agroindustri dan agribisnis dapat berjalan dengan
baik, dan pendapatan petani meningkat. Meningkatnya pendapatan petani akan
berkontribusi pada meningkatnya daya beli masyarakat, yang selanjutnya akan
mendorong meningkatnya ketahanan pangan individu, ketahanan pangan
keluarga, ketahanan pangan wilayah, dan ketahanan pangan nasional. Menyikapi
persoalan tersebut pemerintah dituntut untuk merumuskan strategi yang tepat
dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan (Maleha dan Susanto, 2006)
Berdasarkan uraian perumusan masalah yang disampaikan sebelumnya
dapat dirumuskan pertanyaan utama penelitian sebagai berikut “Bagaimana
meningkatkan industri maritim di Indonesia agar distribusi pangan di wilayah
terpencil terlaksana dengan baik dan merata sehingga dapat memperkokoh
ketahanan pangan nasional?”. Dalam rangka menjawab pertanyaan utama tersebut
dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan pendukung sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh industri maritim di Indonesia saat ini terhadap


ketahanan pangan?
2. Bagaimana pengaruh sistem pendistribusian pangan di wilayah terpencil
terhadap ketahanan pangan?
3. Bagaimana pengaruh industri maritim di Indonesia saat ini terhadap
ketahanan pangan dan hubungannya dengan pendistribusian pangan di
wilayah terpencil?
4. Bagaimana upaya memperkokoh ketahanan pangan melalui kebijakan
disektor industri maritim dan pendistribusian pangan di wilayah terpencil?

Tujuan Penelitian

Dengan mengacu kepada latar belakang dan perumusan masalah, maka


tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis pengaruh industri maritim di Indonesia terhadap
sistem ketahanan pangan nasional.
2. Untuk menganalisis pengaruh pendistribusian pangan di wilayah terpencil
dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan nasional.
3. Untuk menganalisis pengaruh industri maritim di Indonesia terhadap
pendistribusian pangan di wilayah terpencil dalam rangka memperkokoh
ketahanan pangan nasional.
4. Untuk merumuskan strategi memperkokoh ketahanan pangan berdasarkan
pemerataan dalam keadilan melalui industri maritim dan sistem
pendistribusian pangan.
9

Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan


pemikiran ilmiah bagi ilmuan maupun peneliti lainnya yang lebih spesifik
dan menarik.
2. Manfaat praktis. Pertama, untuk para pengambil kebijakan, hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan masukan strategis untuk menentukan
kebijakan yang berlaku dan pola pendekatan dalam setiap kegiatan untuk
dapat bekerja lebih optimal dalam mendukung tugas sehingga dapat
menjadi pedoman untuk masa yang akan datang. Kedua, peneliti
menggunakan sebagai dasar berpijak dalam melakukan kajian ulang dan
mengembangkan penelitian secara lebih terperinci dengan variabel-
variabel yang lebih kompleks, dan dapat peneliti gunakan sebagai bahan
pelajaran untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Kebaruan (Novelty)

Beberapa hal kebaruan (novelty) dari penelitian ini, yaitu :


1. Pengembangan model ketahanan pangan yang didasarkan pada definisi
FAO, GFSI, dan World Food Programe dengan menambahkan variabel
Industri Maritim dan Distribusi Pangan di wilayah terpencil.
2. Penerapan model SEM (Structural Equation Model) untuk menguji
pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan dalam rangka
memperkokoh ketahanan pangan nasional.
3. Penerapan model SEM untuk mengetahui sejauh mana industri maritim
berpengaruh terhadap ketahanan pangan nasional.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Industri Maritim di Indonesia

Definisi Industri menurut UU Perindustrian No 5 Tahun 1984 adalah


kegiatan ekonomi yang mengelola bahan mentah, bahan baku, barang setengah
jadi, dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya termasuk kegiatan rancangan bangun dan perekayasaan industri.
Industri merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk. Selain itu industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusia dan kemampuan untuk memanfaatkan
sumber daya alam secara optimal. Industri adalah suatu usaha atau kegiatan
pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang
memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau
assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak
hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.
10

Definisi industri maritim menurut San Diego Maritime Industry Report


2012 adalah suatu industri yang berhubungan dengan aktivitas maritim. Mengacu
pada definisi tersebut, maka dapat dikemukakan disini bahwa Industri maritim
merupakan perusahaan yang kegiatannya menyediakan produk dan layanan yang
berkaitan dengan sektor maritim. Secara umum, industri maritim mencakup semua
perusahaan yang bergerak di bisnis merancang, membangun, manufaktur,
memperoleh, operasi, penyediaan, perbaikan dan/atau pemeliharaan kapal, atau
bagian komponennya, mengelola dan/atau operasi jalur pelayaran, dan jasa
perdagangan, galangan kapal, dermaga, kereta api laut, bengkel laut, pengiriman
dan jasa pengiriman barang dan perusahaan sejenis (Makundan, 2007; Kosuri,
2011). Industri ini muncul juga termasuk komponen penting dari minyak dan gas
serta energi terbarukan.
Lambatnya pembangunan dan perkembangan industri maritim di Indonesia
disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, hambatan pada sistem finansial.
Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia sampai saat ini
belum berpihak kepada sektor maritim. Kedua, hambatan sistem perpajakan.
Sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang pelaksanaan pajak
pertambahan nilai yang dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan barang kena
pajak tertentu dan/atau penyerahan jasa kena pajak tertentu, bahwa sektor
perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun semua pembebasan pajak itu
kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16, tentang pajak pertambahan nilai
yang terutang pada impor atau pada saat perolehan barang kena pajak tertentu
disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan. Artinya
kebijakan tersebut kurang signifikan. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5
tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga
penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen).
Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun,
paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung
rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus
membayar pajak terutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian,
industri maritim di negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut.
Sebaliknya, yang terjadi di Singapura pemerintah akan memberikan insentif,
seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi
perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas USD 20 juta. Mereka sadar
bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga
diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga
membebaskan pajaknya.
Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan
biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia
1/3 gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggung
jawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan
berawak 100 persen orang Indonesia sangat tinggi (UU No 17 tahun 2008).
Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan
perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.
Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian
Perhubungan. Sistem klasifikasi di Indonesia seperti ini membuat industri maritim
11

Indonesia semakin sulit berkembang. Semua kapal yang diklasifikasi atau


disertifikasi, tidak mendapatkan pengakuan dari asuransi perkapalan global.
Kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi kapal, masih kurang
profesional, penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga klasifikasi kapal
masih sarat dengan praktek-praktek yang tidak selayaknya. Sebab itu sebagian
pemilik kapal memilih tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di
Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17 tahun
2008 tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena mereka menganggap
klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI hanya sebagai syarat pelengkap sehingga
diragukan oleh kalangan industri maritim global terutama kalangan shipping
manufacture dan pelayaran.
Industri maritim Indonesia akan dapat berkembang dengan pesat dan siap
bersaing dengan industri sejenis jika pemerintah khususnya Kementerian
Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian
Keuangan secara bersama memberi kemudahan perijinan dan memberi prioritas
untuk dapat mengakses sumber pembiayaan. Salah satu kebijakan yang harus
dilakukan, adalah merevitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga
Indonesia bisa kompetitif. Perombakan total di lingkungan lembaga pemberi
klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian perlu
dilakukan, begitu juga pada sistem pendidikannya, agar sesuai dengan arah
kebijakan pembangunan Indonesia, perlu dilakukan peninjauan ulang kurikulum
lembaga pendidikan maritim oleh Kemendikbud agar Indonesia mempunyai SDM
maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab.
Bunga bank yang tinggi dan kurangnya perhatian lembaga keuangan dan
perbankan dalam memberikan perkreditan kepada perusahaan pelayaran nasional,
menyebabkan investor di bidang penyiapan infrastruktur angkutan laut kurang
berjalan dengan baik dan lancar. Jasa kelautan yang terdiri dari segala jenis
kegiatan yang bersifat menunjang dan mempelancar kegiatan penyediaan
infrastruktur sektor kelautan seperti jasa pelayan pelabuhan, keselamatan
pelayaran, perdagangan, pengembangan sumber daya kelautan seperti pendidikan,
pelatihan dan penelitian serta profesionalitas sumber daya manusia (SDM) dan
dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan yang berkualitas
merupakan faktor yang menentukan dalam penyiapan infrastruktur industri dan
jasa maritim sektor transportasi laut.

Industri Perkapalan di Indonesia

Sebagai Negara maritim yang mempunyai wilayah perairan yang sangat


luas, Indonesia tentunya memerlukan moda transportasi laut untuk dapat
menjangkau pulau-pulau dan menghubungkan daratan yang satu ke daratan yang
lainnya. Pada kondisi ini peran kapal sangatlah penting dan dibutuhkan, yang
fungsinya tidak hanya sebagai sarana transportasi penumpang dan barang, namun
juga berfungsi untuk mendukung sistem pertahanan di wilayah perairan Indonesia.
Selain itu sistem transportasi laut yang baik akan dapat meningkatkan ketahanan
pangan nasional terutama untuk wilayah kepulauan dan wilayah-wilayah lain yang
terpencil yang sulit dijangkau menggunakan moda transportasi lain.
12

Konstelasi geografis dan kondisi morfologis wilayah negara Indonesia


sebagai negara kepulauan yang sangat besar, meliputi Luas Wilayah Laut
Yurisdiksi Nasional. Menurut data dari Dinas Hidro Oseanografi TNI AL luas
wilayah perairan Indonesia adalah 5,9 Jt Km² jauh melebihi daratannya yaitu:
1,9jt Km². Hal ini telah membawa suatu konsekwensi alamiah yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi, yaitu adanya kesadaran akan ruang hidup, habitat manusia
tempat tumbuh dan mengembangkan diri serta menjaga kelangsungan hidupnya,
dengan demikian ruang hidup bangsa Indonesia sebagai negara maritim perlu
difahami secara nasional dan dijadikan pijakan dasar kebijakan nasional dalam
rangka mengembangkan diri untuk membangun bangsa serta mencapai tujuan dan
kepentingan nasional.
Berdasarkan kondisi geopolitis, geostrategis serta makna laut yang
demikian penting bagi keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa, maka negara
Indonesia harus mampu mengamankan dan memberdayakan seluruh wilayah
perairan yuridiksi nasional sebagai bagian dari ruang hidup bangsa, dengan segala
potensi dan sumber daya nasional yang terkandung di dalamnya sebagai modal
dasar negara dalam melaksanakan pembangunan nasional guna mencapai cita-cita
dan tujuan nasional. Namun tentu saja untuk mampu mengamankan dan
memberdayakan segala potensi dan sumber daya alam yang terkandung di laut,
perlu didukung dengan segala sarana dan prasarana infrastruktur maupun
suprastruktur yang sangat kompleks, meliputi aspek sumber daya manusia,
sumber daya buatan (khususnya teknologi kemaritiman) serta sistem manajemen
kelautan yang terpadu dan menyeluruh. Mengingat bahwa di dalam konteks
pembangunan nasional di laut terdapat beberapa lembaga atau instansi baik
pemerintah maupun non pemerintah yang sama-sama mempunyai kepentingan di
laut.
Apabila melihat besarnya potensi laut nusantara yang demikian besar,
sudah seharusnya negara Indonesia mempunyai infrastruktur maritim yang kuat,
seperti pelabuhan yang lengkap dan modern, sumber daya manusia (SDM) di
bidang maritim yang berkualitas, serta kapal-kapal angkutan laut yang
berklasifikasi, mulai dari yang digunakan untuk jasa pengangkutan manusia,
barang, migas, kapal penangkap ikan sampai dengan armada TNI Angkatan Laut
(TNI AL). Kondisi tersebut belum dapat tercapai karena industri maritim
Indonesia belum mendapatkan prioritas dan belum dikelola dengan tepat.
Beberapa persoalan yang dihadapi selama ini, seperti kebijakan fiskal (pajak)
yang belum berpihak pada pertumbuhan industri, lemahnya pasokan material dan
permesinan, keengganan perbankan untuk memfasilitasi pembiayaan, hingga
beberapa kasus ketidak-transparanan proyek pembangunan kapal oleh pemerintah
yang lebih mempercayai perusahaan asing dibanding perusahaan dalam negeri.
Sehingga tidak satupun negara yang segan dan menghormati Indonesia sebagai
bangsa maritim.
Industri perkapalan merupakan industri padat karya dan padat modal yang
memiliki daya saing tinggi, sehingga dukungan pemerintah sebagai pemegang
kewenangan sangat penting. Menurut Ship Management International (2006),
faktor kebijakan moneter dan fiskal, masih sulitnya akses dana perbankan dan
tingginya bunga menjadi beban para pelaku usaha. Industri kapal juga diharuskan
membayar pajak dua kali lipat. Masalah lain adalah minimnya keterlibatan
perbankan. Perbankan enggan menyalurkan kredit kepada industri perkapalan.
13

Mereka beranggapan, industri perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap


industri ini sulit. Selain itu, masalah lahan yang digunakan industri perkapalan
terutama galangan kapal besar berada di daerah kerja pelabuhan dan hak
pengelolaan lahan (HPL)-nya dikuasai PT Pelindo. Sehingga Industri perkapalan
masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika ada keleluasaan lahan di
pelabuhan akan memberikan peluang kepada industri kapal untuk lebih
berkembang.
Sesuai data yang ada di Dinas Potensi Maritim TNI AL terdapat sekitar
246 buah industri perkapalan yang tersebar di seluruh Indonesia, meskipun masih
terkonsentrasi mayoritas di pulau Jawa, terdiri dari perusahaan besar dan kecil, hal
ini merupakan bukti bahwa industri perkapalan Indonesia sangat potensial.
Kondisi ini jika dikelola dengan tepat dan mendapat political will pemerintah
dengan porsi yang besar maka bukan tidak mungkin akan menjadi suatu kekuatan
maritim yang besar dan handal. Untuk itu jika industri perkapalan Indonesia ingin
berkembang dan siap bersaing dengan industri sejenis, maka pemerintah
khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian
BUMN dan Kementerian Keuangan dan pihak lain yang terkait, perlu melakukan
kajian secara seksama untuk merumuskan kebijakan untuk memajukan industri
maritim di Indonesia. Perlu juga dilakukan revitalisasi atau deregulasi sektor
fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif, selanjutnya melakukan perombakan
total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran
internasional dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian, hal
yang tidak kalah penting adalah menyusun ulang kurikulum lembaga pendidikan
maritim oleh Kemendiknas supaya Indonesia mempunyai SDM maritim yang
berkualitas dan bertanggung jawab.
Kebijakan pemerintah terhadap Industri Perkapalan Nasional (galkapnas)
cukup memberikan harapan dalam menuju mewujudkan kemandirian (Mabesal,
2003). Perkembangan Industri dalam negeri pada akhir-akhir ini mulai
memberikan kebanggaan bagi bangsa Indonesia dengan telah mengaplikasikan
berbagai kemajuan teknologi modern.
1. Perkembangan Industri Perkapalan Nasional. Perkembangan Industri
Perkapalan Nasional yang ada di Indonesia dapat digambarkan dalam
fakta-fakta sebagai berikut :
a. Industri kapal nasional merupakan Industri yang memiliki nilai
strategis karena menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak,
keterkaitan luas terhadap industri pendukung, berperan vital
mendukung sistem transportasi dan pertahanan negara .
b. Industri Perkapalan Nasional saat ini telah mampu membangun dan
memperbaiki kapal-kapal sebagai berikut (Mabesal 2003)(Mabesal
2003): (1) Kapal Tanker (Oil Tanker) pesanan Pertamina/PT PAL
Indonesia; (2) Kapal Penumpang sampai dengan kapasitas 500
penumpang pesanan PT PELNI/PT PAL Indonesia; (3) Kapal Trailer
(Ferry Ro-Ro) 19.000 DWT pesanan Redesi AB Gotland (ekspor)/PT.
DKB; (4) Kapal Keruk sampai dengan kapasitas 12.000 ton pesanan
PT Timah / PT. DKB; (5) Kapal Barang antara lain: (a) Kapal Full
Container s/d 1.600 TEU’S (tipe Palwo Buono)/PT. PAL Indonesia;
(b) Kapal Penyeberangan sampai dengan kapasitas 5.000 GRT dan (c)
kapal Cargo milik Pemda Merauke/ PT. Dok dan Perkapalan Surabaya;
14

(6) Kapal TNI Angkatan Laut antara lain: (a) Kapal Patroli (FPB-57
dan FPB-28) untuk keperluan Angkatan Laut, Polisi dan Bea
Cukai/PT. PAL Indonesia; (b) Kapal Patroli KAL-35/36 Meter untuk
keperluan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal)/ Fasilitas
Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) Mentigi.
2. Kemampuan Galangan Kapal Nasional (Galkapnas), meliputi:
a. Kemampuan dalam membangun Kapal. Kemampuan galangan
kapal dalam membangun kapal-kapal baru khususnya untuk kapal-
kapal niaga dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup
baik. Hal ini terlihat dari cukup banyaknya permintaan dari berbagai
perusahaan luar untuk pembuatan kapal-kapal baru dengan tonase
3000 s/d 15.000 DWT di PT. PAL. Investasi Injasmar dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2006 terus mengalami peningkatan, dimana
jumlah perusahaan industri dok dan galangan kapal yang telah terdaftar
sebanyak ± 246 perusahaan termasuk 5 perusahaan BUMN yang
bergerak dibidang industri pembuatan kapal baru, reparasi
kapal/docking dan industri terkait lainnya. Fasilitas terbesar yang
dimiliki untuk membangun kapal baru berupa berth building dock
dengan kapasitas s/d 50.000 DWT adalah PT. PAL Indonesia dan PT.
Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (DKB), dan sudah pernah
melaksanakan pembangunan kapal-kapal tanker dengan tonage 3.000
s/d 17.500 DWT, kapal niaga/General Cargo Semi Container s/d 4.200
DWT, kapal penumpang s/d kapasitas 500 penumpang, kapal curah
(Bulk Carrier) dengan tonage s/d 42.000 DWT. Sedangkan
kemampuan galangan kapal nasional membangun kapal perang masih
sangat terbatas. Pembangunan kapal perang yang dilaksanakan oleh
PT. PAL sebagai galangan kapal terbesar di Indonesia, hanya sampai
pada kapal klas Fast Patrol Boat 57 (FPB-57), Kapal Cepat Peluru
Kendali 45 (KCR 45), dan KCR 60 itupun hampir seluruh komponen
yang ada didalamnya merupakan produksi luar negeri, serta masih
harus mendapatkan lisensi dari negara lain. Selain itu, tenaga kerja
yang digunakan juga masih sebagian besar menggunakan tenaga asing.
b. Kemampuan Pemeliharaan dan Perbaikan Kapal. Kemampuan dalam
mereparasi kapal niaga yang telah mampu dilaksanakan oleh
Galkapnas adalah kemampuan mereparasi kapal berbagai jenis dan
ukuran di atas dok (docking repair) sampai dengan ukuran 65.000
DWT, mereparasi kapal berbagai jenis dan ukuran di atas air (floating
repair dan sealing repair) sampai dengan ukuran 150.000 DWT.
Sedangkan untuk pemeliharaan dan perbaikan kapal-kapal perang,
sampai saat ini hanya mampu untuk kapal-kapal atas air. Sedangkan
untuk pemeliharaan kapal selam, masih harus dikirim keluar negeri
atau mendatangkan tenaga asing ke Indonesia. Dalam melaksanakan
pemeliharaan dan perbaikanpun tidak semua komponen dapat
diperbaiki di dalam negeri antara lain engine governoor dan Gas
Turbin. Bahkan untuk peralatan persenjataannya masih harus
mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri. Hal ini menunjukkan
bahwa alih teknologi yang ada dalam kapal tersebut belum berjalan
dengan baik.
15

Industri Perikanan

Sebagai Negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut, dan potensi perikanan
yang sangat melimpah, maka Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk
mengembangkan industri yang berbasis pada perikanan. Potensi perikanan yang
besar jika dikelola dengan baik dapat dijadikan penopang ketahanan pangan yang
efektif (Srinivasan, 2010). Pengelolaan industri perikanan yang baik dan
terencana, dipayungi dengan peraturan-peraturan yang tepat sasaran akan
memberikan nilai tambah yang besar tehadap pendapatan negara (Lugten dan
Andrew, 2008), juga untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, maka
seharusnya dipermudah bagi pelaku industri yang akan melakukan investasi di
Indonesia. Menurut data dari Kementerian Perdagangan tahun 2012 dan Statistik
Perikanan dan Kelautan 2012, ekspor produk hasil laut Indonesia pada Januari
2012 adalah sebanyak 67.214 ton dengan nilai USD 214.516. Sebagian besar dari
produk hasil laut Indonesia diekspor ke Thailand, China, Jepang, Amerika Serikat,
dan Vietnam. Sementara itu, Korea Selatan berada di peringkat ke-9 dari negara
tujuan ekspor kelompok produk ini dengan volume sebesar 2.386 ton senilai USD
4,936 (Kemendag 2012). Terbatasnya pelabuhan perikanan yang mempunyai
fasilitas yang memadai berdampak pada penurunan kualitas ikan tangkapan
sehingga mengurangi nilai ekonomisnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
diperlukan kebijakan pengembangan pelabuhan perikanan terpadu yang akan
dapat menjamin kualitas ikan tangkapan (Agustinus, 2007). Selain itu diperlukan
juga system kelembagaan yang memungkinkan dilakukanya aktivitas eksport di
beberapa wilayah Indonesia.
Sumber daya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai
memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumber daya
tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat
beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain: tuna, cakalang, udang,
tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang
barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut.
Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tertuang
dalam Peraturan menteri Nomor Per.15/Men/2012 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014, pada tahun 2011
kontribusi seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap PDB baru mencapai 22%,
dimana seharusnya itu dapat di tingkatkan menjadi 30-60%, hal itu sudah
dibuktikan oleh negara-negara yang punya potensi kelautan lebih kecil seperti
Thailand, Korea Selatan dan Jepang (Dyck dan Sumaila, 2010). Selanjutnya dari
data sementara tahun 2013, PDB Perikanan mencapai 6,45%, jauh melampaui
PDB nasional yang hanya 5,82%, hal ini tentu menjadi sesuatu yang
membanggakan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hasil audit yang
dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011-2012, dimana
potensi pendapatan sektor perikanan laut sebesar Rp365 triliun, sedangkan yang
diterima hanya Rp65 triliun, sehingga dari sini ditemukan nilai kerugian negara
sebesar Rp 300 triliun yang merupakan selisih dari potensi pendapatan dengan
pendapatan riil yang diterima negara. Menjadi sangat menarik dilihat jika kedepan
bahwa kebijakan menteri Kelautan dan Perikanan yaitu program industrialisasi
kelautan dan perikanan dengan pendekatan ekonomi biru (Blue Economy) menjadi
16

prioritas mengingat sejauh ini menghasilkan hal yang positif jika melihat
pencapaian PDB perikanan pada tahun 2013. Akan tetapi perhatian terhadap
sistem logistik bidang perikanan harus ditingkatkan, karena peningkatan produksi
perikanan akan mempunyai pengaruh yang besar dalam meningkatkan
perekonomian masyarakat hanya jika diikuti dengan sistem logistik yang baik
(Mai dkk, 2010; Manning dkk, 2006).
Terdapat berbagai kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan
perikanan di Indonesia baik secara nasional maupun secara lokal administratif
pengelolaan. Berbagai prasarana yang dibangun oleh pemerintah, seperti
pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat-tempat pendaratan ikan yang
tersebar di berbagai wilayah belum memberikan hasil yang memuaskan sesuai
dengan yang diharapkan, berbagai model pengaturan dan kebijakan yang diambil
belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada
(Yahya, 2001; Cunningham, 2009).

Industri Pelayaran di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran adalah Negara kepulauan yang berciri Nusantara yang disatukan
oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas -batas, hak-hak, dan
kedaulatan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam upaya untuk
mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan untuk mewujudkan Wawasan
Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem
transportasi nasional yang handal. Sistem transportasi nasional tersebut
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan
memperkokoh kedaulatan negara. Moda transportasi yang sangat vital untuk
Negara kepulauan adalah menggunakan moda laut. Industri pelayaran yang
terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan
keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim, merupakan
bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi
dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang aman, efektif
dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap
dan dinamis (Hetherington C dkk, 2006; Paonangan, 2014).
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM.49 Tahun 2005,
Sistem Transportasi Nasional adalah tatanan transportasi yang terorganisasi
secara kesisteman yang terdiri dari transportasi jalan, transportasi kereta api,
transportasi sungai dan danau, transportasi penyeberangan, transportasi laut,
transportasi udara, serta transportasi pipa, yang masing-masing terdiri dari
sarana dan prasarana, kecuali pipa, yang saling berinteraksi dengan dukungan
perangkat lunak dan perangkat keras membentuk suatu sistem pelayanan jasa
transportasi yang efektif dan efisien, berfungsi melayani perpindahan orang
dan atau barang, yang terus berkembang secara dinamis. Mengacu hal
tersebut, maka industri pelayaran merupakan bagian penting dari sistem
transportasi nasional yang mempunyai peran penting dalam pendistribusian
pangan terutama ke wilayah terpencil dan merupakan bagian penting dari
17

sistem logistik nasional. Pembangunan industri pelayaran harus mengacu adan


mengikuti peraturan yang berlaku secara internasional yang tergabung dalam
International Maritme Organization (IMO). Aspek keselamatan keamanan
pelayaran harus menjadi perhatian serius pemerintah agar industry pelayaran
dapat berkembang pesat (Supit, 2009).

Industri Jasa Pelabuhan

Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di


sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh,
naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi (Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 2001 tentang kepelabuhan).
Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan
penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi
pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas
kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat perpindahan
intra dan/atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah.
Keberadaan pelabuhan laut yang memadai sangat dibutuhkan oleh pemerintah
untuk dapat melaksanakan program logistik yang telah dituangkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang cetak biru Sislognas. Sislognas
yang efektif dan efisien diyakini mampu mengintegrasikan daratan dan lautan
menjadi satu kesatuan yang utuh dan berdaulat, sehingga diharapkan dapat
menjadi penggerak bagi terwujudnya Indonesia sebagai negara maritim.
Sistem logistik menurut Harland (1996) juga memiliki peran strategis dalam
mensinkronkan dan menyelaraskan kemajuan antar sektor ekonomi dan antar
wilayah demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, sekaligus
menjadi benteng bagi kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional (national
economic authority and security). Untuk itu peran strategis Sistem Logistik
Nasional tidak hanya dalam memajukan ekonomi nasional, namun sekaligus
sebagai salah satu wahana pemersatu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Sejalan dengan itu, berdasarkan kondisi geografis Indonesia yang
terdiri dari 17.499 pulau, terbentang sepanjang 1/8 (satu per delapan) garis
khatulistiwa dengan kekayaan alam yang melimpah dan menghasilkan komoditas
strategis maupun komoditas ekspor. Kondisi alam dan lingkungan ini
semestinya mampu menjadikan Indonesia sebagai “supply side” yang dapat
memasok dunia dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki dan hasil
industri olahannya, sekaligus menjadi pasar yang besar atau “demand side”
dalam rantai pasok global karena jumlah penduduknya yang besar (Helms M,
2004). Oleh karena itu dibutuhkan Sislognas yang terintegrasi, efektif dan
efisien untuk mendukung terwujudnya peranan tersebut. Selain untuk kepentingan
peningkatan ekspor, dengan meningkatnya kinerja Sistem Logistik Nasional,
maka pendistribusian bahan makan dalam rangka mendukung sistem ketahanan
pangan nasional akan dapat tercapai (BKPM, 2011).
18

Namun kenyataannya menurut dokumen cetak biru Sistem Logistik


Nasional, saat ini kinerja Sislognas masih belum optimal, karena masih
tingginya biaya logistik nasional yang mencapai 27% (dua puluh tujuh persen)
dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan belum memadainya kualitas pelayanan,
yang ditandai dengan (a) masih rendahnya tingkat penyediaan infrastruktur
baik kuantitas maupun kualitas, (b) masih adanya pungutan tidak resmi dan
biaya transaksi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, (c) masih tingginya
waktu pelayanan ekspor-impor dan adanya hambatan operasional pelayanan di
pelabuhan, (d) masih terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia jasa
logistik nasional, (e) masih terjadinya kelangkaan stok dan fluktuasi harga
kebutuhan bahan pokok masyarakat, terutama pada hari-hari besar nasional
dan keagamaan, dan bahkan (e) masih tingginya disparitas harga pada daerah
perbatasan, terpencil dan terluar. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi
kinerja sektor logistik nasional, dimana berdasarkan survei Indeks Kinerja
Logistik (Logistics Performance Index/LPI) oleh Bank Dunia yang
dipublikasikan pada tahun 2014 posisi Indonesia berada pada peringkat ke-53
dari 160 (seratus enam puluh) negara yang disurvei, naik enam tingkat dari
peringkat sebelumnya 59. LPI Indonesia berada di bawah kinerja beberapa
negara ASEAN lain yaitu Singapura (peringkat ke-5), Malaysia (peringkat ke-
25), Thailand (peringkat ke-35), bahkan di bawah Vietnam (peringkat ke-48).
Dalam LPI, parameter yang digunakan untuk mengukur terdiri dari berbagai
dimensi perdagangan, termasuk custum performance, kualitas infrastruktur dan
waktu pengiriman barang (World Bank, 2014).
Selain dihadapkan pada masih rendahnya kinerja logistik, Indonesia
juga dihadapkan pada tingkat persaingan antar negara dan antar regional yang
semakin tinggi, dimana persaingan telah bergeser dari persaingan antar
produk dan antar perusahaan ke persaingan antar jaringan logistik dan rantai
pasok. Sementara itu Indonesia juga perlu mempersiapkan diri menghadapi
integrasi jasa logistik ASEAN sebagai bagian dari pasar tunggal ASEAN tahun
2015 dan integrasi pasar global yang sangat kompetitif.

MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi


Indonesia)

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia


(MP3EI) adalah sebuah program yang mengarahkan semua aspek perekonomian
Indonesia yang diharapkan dapat mengubah Perekonomian Indonesia menjadi
lebih maju dan berkembang sesuai dengan namanya MP3EI. Program ini telah
diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tangal 27 Mei 2011
dan berlaku sampai dengan tahun 2025. Program MP3EI difokuskan pada
pembangunan jaringan dan infrastruktur yang dapat menghubungkan satu wilayah
dengan wilayah lain di Indonesia. Program tersebut membagi wilayah Indonesia
menjadi beberapa kluster yang dimaksudkan untuk mempermudah pemantauan
program yang telah dicanangkan.
Program MP3EI ini juga melibatkan semua kalangan, baik perusahaan
swasta maupun yang bersifat kepemerintahan. BUMN, Persero, dan semua
perusahan yang terkait dalam ruang lingkup kesatuan Indonesia menjadi ujung
19

tombak dan juga diharapkan lebih banyak lagi investasi, dan menekan serta
mempertahankan investasi-investasi asing. Dengan dicanangkanya MP3EI ini
diprediksikan akan dapat menarik minat investor dari luar negeri untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Perbaikan secara struktural yang telah
dilakukan sangat signifikan membuat pemerintah semakin optimis akan program
MP3EI ini yang meliputi enam koridor yakni: Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatra,
Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Koridor-koridor ini secara struktural di bagi secara
beraturan dan meliputi kota-kota besar yang memiliki potensi-potensi alam yang
berbeda menjadi ciri tersendiri. Tujuan utama dari MP3EI ini adalah
mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia.

Sistem Logistik Nasional (Sislognas)

Pembangunan sistem logistik nasional telah ditetapkan menjadi kebijakan


nasional melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru
Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Cetak biru ini merupakan kebijakan
yang akan menjadi acuan bagi Menteri, Pimpinan Lembaga Non Kementerian,
Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam rangka penyusunan kebijakan dan rencana
kerja yang terkait dengan pengembangan Sistem Logistik Nasional di bidang
masing-masing Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian maupun
dalam pembangunan daerah. Dokumen Sislognas juga menjadi bagian dari
dokumen perencanaan pembangunan. Pengaturan sistem logistik nasional sangat
penting dan mendesak mengingat logistik merupakan sektor ekonomi pendukung
utama. Kegiatan utama logistik meliputi: pengadaan, penyimpanan, persediaan,
pengangkutan, pergudangan, pengemasan, keamanan, dan penanganan barang dan
jasa baik dalam bentuk bahan baku, barang antara, dan barang jadi.
Sistem logistik nasional (sislognas) adalah suatu sistem yang mampu
menjamin berlangsungnya proses distribusi barang dari satu tempat ke tempat lain
dengan baik dan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dalam skala nasional
(Arief, 2010). Sislognas diharapkan mendukung proses pengelolaan rantai suplai
berskala nasional. Untuk mendukung Sislognas, Pemerintah terus mendorong
percepatan pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara dan
Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara sebagai global hub untuk angkutan laut.
Pembangunan sekolah logistik juga didorong, dengan tujuan agar SDM yang
bergerak di bidang logistik adalah putra-putri bangsa. Untuk mendukung
sertifikasi, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) pun turut dilibatkan agar
kompetensi SDM diakui. Komitmen tinggi pemerintah diharapkan tidak hanya
tertuang dalam peraturan perundang-undangan semata, melainkan juga dalam
implementasi di lapangan (Sauvage, 2003).
Menurut hasil Survei Indeks Kinerja Logistik yang diselengarakan oleh
bank Dunia (2011) biaya logistik nasional mencapai 27 % dari Produk Domestik
Bruto (PDB) (Nurbaya, 2013). Bersamaan dengan itu, di lapangan masih banyak
persoalan dan kendala teknis yang perlu diselesaikan untuk mewujudkan sistem
logistik yang efektif dan efisien, terutama dalam kaitannya dengan tingkat
penyediaan infrastruktur yang masih rendah, masih ditemukannya pungutan tidak
resmi dan biaya transaksi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi, dan
keterbatasan kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia jasa logistik nasional.
20

Kinerja logistik Indonesia saat ini juga masih lemah. Oleh karena itu, cetak biru
Sislognas ini diharapkan benar-benar dapat menjadi rujukan semua pemangku
kepentingan terkait pembangunan ekonomi bangsa ini dalam menjalankan tugas
pokok dan fungsinya masing-masing sebagaimana diamanatkan pada pasal 2
Perpres tersebut. Cetak biru pengembangan Sislognas berfungsi sebagai acuan
bagi menteri, pimpinan lembaga non kementerian, gubernur, dan bupati/wali kota
dalam menyusun kebijakan dan rencana kerja yang terkait dengan pengembangan
Sislognas di bidang masing-masing, yang dituangkan dalam dukumen strategis
masing-masing kementerian/lembaga pemerintah non kementerian dan
pemerintah daerah sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan.
Sejumlah pihak terkait menyambut baik terbitnya Perpres Sislognas ini.
Bagi Kementerian Perdagangan (Kemendag), terbitnya Perpres Sislognas
pun menjadi sebuah pemantik semangat baru untuk bekerja lebih fokus dan
maksimal. Kepentingan Kemendag terkait dengan konektivitas dan Sislognas
adalah: 1) Harga untuk pasar dalam negeri terkait dengan stabilitas dan
keterjangkauan harga khususnya untuk komoditas pangan pokok dan komoditas
strategis lainnya, serta untuk pasar internasional terkait dengan harga komoditas
ekspor yang menarik dan kompetitif. 2) Arus barang yang terkait dengan
kelancaran arus barang, volume barang, termasuk permasalahan handling dan
sarana transportasi. 3) Proteksi pasar dalam negeri dari barang-barang impor
melalui safeguarding dan daya saing produk nasional.
Ada beberapa tantangan untuk membangun sebuah sistem logistik nasional
yang kuat, terintegrasi bahkan berdaya saing dengan industri logistik global,
khususnya terkait dengan kondisi dan karakter geografis Indonesia dengan ribuan
pulaunya. Banyaknya pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam sistem
logistik menjadi sebuah kendala tersendiri untuk memadukan seluruh aturan yang
ada saat ini antara lain di Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan
dengan Peraturan Pemerintah tentang transportasi, Kementerian Informasi dan
Komunikasi dengan aturan Undang-undang Pos, dan lain sebagainya. Sementara
itu, untuk pelaksanaan cetak biru pengembangan Sislognas telah dijelaskan dalam
Perpres tentang koordinasi oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2011-2025 yang dipimpin oleh Presiden dan Wakil
Presiden sebagai Ketua dan Wakil ketua, serta Menko Perekonomian sebagai
Ketua Harian.
Ditinjau dari peta kerawanan pangan yang terjadi di Indonesia saat ini
sebagian besar disebabkan oleh sistem distribusi. Keadaan tersebut dapat dilihat
dari data yang dikeluarkan oleh pemerintah bahwa produksi pangan nasional
terutama beras sudah mencukupi, kenyataanya masih terjadi kelangkaan pangan di
beberapa daerah terutama di wilayah terpencil. Situasi ini mengindikasikan bahwa
terdapat permasalahan dalam pendistribusian pangan dari satu wilayah ke wilayah
lain yang membutuhkan. Sistem distribusi melalui moda transportasi laut
merupakan faktor utama dalam menjawab permasalahan distribusi dikaitkan
dengan kondisi geografis Indonesia. Persoalan tersebut merupakan persoalan
logistik yang didalamnya termasuk sistem transportasi, untuk itu kebijakan
pemerintah dengan poros maritimnya perlu sinergi dengan MP3EI dan sislognas
sehingga dapat mengatasi masalah pendistribusian barang dan jasa termasuk
pangan.
21

Ketahanan Pangan

Pengertian tentang pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun


2012 tentang Pangan adalah: segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan
air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan
baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Menurut Bickel, dkk
(1999, 2000) mengutip Life Sciences Research Office (LSRO) of the Federation of
American Societies for Experimental Biology (1990), mendefinisikan ketahanan
pangan dengan Food security — “Access by all people at all times to enough food
for an active, healthy life. Food security includes at a minimum: (1) the ready
availability of nutritionally adequate and safe foods, and (2) an assured ability to
acquire acceptable foods in socially acceptable ways (e.g., without resorting to
emergency food supplies, scavenging, stealing, or other coping strategies).”
Sedangkan ketahanan pangan menurut Rome Declaration and World Food
Summit Plan of Action (1996) adalah “… when all people, at all time, have
physical and economic acces to sufficient, safe and nutritious food to meet their
dietary needs and foods preferences for an active and healty life”. Ketahanan
Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (IFPRI, 2001).
Menurut FAO (2008, 2009, 2013), selama ini ketahanan pangan diukur
menggunakan indikator gizi kurang, yang merupakan ukuran dari kekurangan
energi diet (Smith dan Subandoro, 2007). Sebagai indikator mandiri, prevalensi
indikator kekurangan gizi tidak mampu menangkap kompleksitas dan
multidimensionality ketahanan pangan, seperti yang didefinisikan oleh Deklarasi
KTT Dunia tahun 2009 tentang Ketahanan Pangan. Dijelaskan bahwa ketahanan
pangan terjadi ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial dan
ekonomi yang cukup, aman dan bergizi, yang memenuhi kebutuhan diet mereka
dan preferensi makanan untuk hidup aktif dan sehat ( FAO, IFAD dan WFP,
2013)
Penelitian tentang pengukuran ketahanan pangan rumah tanga di negara
berkembang maupun negara maju telah banyak dilakukan antara lain oleh Keenan
(2009) dan Jamhari (2011). Didasarkan pada definisi diatas, menurut FAO
seperti yang tertuang pada Gambar 2, ukuran ketahanan pangan dapat
diidentifikasi menggunakan 4 dimensi yaitu: food availability, economic and
physical access to food, food utilization and stability (vulnerability and shocks)
over time. Tiap dimensi ketahanan pangan digambarkan menggunakan indikator
spesifik seperti terlihat pada Gambar 2. Global Food Security Index (2013),
disampaikan bahwa ketahanan pangan diukur mengunakan 3 dimensi, yaitu (i)
Availibility, (ii) Accesability, dan (iii) Quality and Safety (Economist Inteltigence
Unit, 2012)
Dimensi availability mengukur kecukupan pasokan pangan nasional,
resiko gangguan pasokan, kapasitas nasional untuk menyebarluaskan makanan,
22

dan upaya penelitian untuk meningkatkan output pertanian. Dimensi Affordability


mengukur kemampuan konsumen untuk membeli makanan, kerentanan mereka
terhadap ketidakpastian harga, dan adanya program dan kebijakan untuk
mendukung mereka ketika ketidakpastian harga terjadi. Sedangkan dimensi
Quality and Safety mengukur apa yang sering disebut sebagai "utility" dalam
istilah keamanan pangan. Dimensi ini menilai keberagaman dan rata-rata kualitas
nutrisi makanan, serta keamanan makanan.

(Sumber: FAO, 2013)


Gambar 2 Food security indicator

Menurut World Food Programme (WFP, 2009), dan mengacu pada


Undang-Undang No. 18 tahun 2012 sebagai pengganti UU No. 7 tahun 1996
tentang Pangan, Ketahanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Didasarkan pada
definisi FIA tahun 2005, FSVA menyatakan bahwa ketahanan pangan diukur
menggunakan 3 pilar ketahanan pangan yaitu: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses
terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan.
Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah,
yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun
bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik,
masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang
dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan
bantuan pangan (Berry dkk, 2004; Linton dkk, 2007). Ketersediaan pangan dapat
dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.peran
pemerintah sangat besar untuk menjamin ketersediaan pangan yang cukup.
Kebijakan tata ruang yang kurang baik berdampak pada berkurangnya ruang
untuk produksi pertanian yang dialihkan pada sektor lain yang dianggap lebih
menguntungkan (Affandi, 2008). Produksi pangan untuk Negara agraris sering
kali terjadi fluktuasi yang disebabkan karena ketergantungan para petani terhadap
23

air hujan. Sebagai factor penting dalam system pertanian, penyiapan infrastruktur
pengairan sangatlah diperlukan yang akan dapat menjamin ketersediaan sumber
air untuk pertanian (Karkainen, 2000).
Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup
pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah,
pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya.
Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua
rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun
keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. Banyak keluarga di
beberapa wilayah perkotaan dimana ketersediaan pangan melimpah, akan tetapi
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk membelinya (Purwaningsih, 2008).
Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah
tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi
(konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi
cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan. Pemanfaatan juga
termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta
kondisi higienesnya, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk
individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam
rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan,
kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah
tangga (Manning dan Baines, 2004b; Muller dkk, 2009).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
ketahanan pangan secara umum diukur menggunakan 3 pilar atau dimensi
walaupun terdapat beberapa perbedaan istilah, yaitu availability, affordability, dan
Quality and Safety atau sering disebut Utility dalam penelitian ini variabel
ketahanan pangan dapat digambarkan dalam model.

Ketahanan Pangan di Wilayah Terpencil

Perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di


wilayah terkecil yaitu di pedesaan sebagai basis kegiatan pertanian. Basis
pembangunan pedesaan mempunyai tujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan
dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana mulai
dari aspek ketersediaan sampai pada konsumsi pangan untuk mencukupi dan
mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga (Thiengkamol, 2010, 2011a). Hal
ini disampaikan oleh Raharto (2009) dalam disertasinya yang berjudul "Indikator
dan Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Desa". Dari hasil penelitian
ditemukan di Kabupaten Sidoarjo jumlah desa kategori sangat tahan pangan 63,77
%, tahan pangan sebesar 31,63 %, cukup tahan pangan 2,70 % dan agak rawan
pangan sebesar 1,90 %. Pada Kabupaten Banyuwangi sebagai sentra perikanan,
jumlah desa yang termasuk sangat tahan pangan 62,26 %, tahan pangan 29,32 %,
cukup tahan pangan 4,46 %, dan agak rawan pangan 3,46 %. Sedangkan sentra
pertanian di Kabupaten Jember, desa kategori sangat tahan pangan sebesar 35,56
%, tahan pangan 58,56 %, dan cukup tahan pangan 5,88 %. Simpulan tersebut
berdasarkan perhitungan yang didasarkan pada aspek ketersediaan pangan, aspek
akses pangan dan mata pencaharian, dan aspek gizi dan kesehatan. Penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya di Jawa Tengah oleh Sukandar dkk (2001) yang
24

mengkaji indikator-indikator yang selama ini digunakan untuk mengukur


ketahanan pangan di suatu wilayah.
Daerah terpencil, yang dalam hal ini merupakan daerah yang terdiri dari
pulau-pulau kecil biasanya mempunyai akses yang terbatas ke daerah lain.
Keterbatasan akses tersebut dikarenakan mahalnya biaya logistik yang harus
ditanggung. Untuk meningkatkan ketahanan pangan di pulau-pulau terpencil,
pemerintah perlu menyiapkan strategi dengan memberdayakan sumberdaya lokal
di pulau-pulau tersebut sehingga akan dapat mengurangi ketergantungan terhadap
pasokan pangan dari luar (Maanema, 2003; Ma’sitarasi, 2009). Pemberdayaan
tidak selalu berarti mencapai kedaulatan pangan, akan tetapi dapat pula
meningkatkan perekonomian sehingga masyarakat dapat mempunyai daya beli
yang tinggi terhadap pangan (Wantasen, 2008).
Raharto (2009) menyarankan untuk aspek ketersediaan pangan, perlu
ditingkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi, penataan penggunaan lahan
produktif maupun penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan akses pangan dan mata
pencaharian, hal utama yang perlu dilakukan adalah menurunkan jumlah
kemiskinan dan pengangguran (Harniatai, 2007). Sedangkan berkaitan dengan
kualitas kesehatan dan gizi, masyarakat perlu mendapatkan penyuluhan tentang
pentingnya penggunaan air bersih, dengan cara melalui program yang dapat
meningkatkan pendapatannya. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
kedaulatan pangan perlu dilakukan agar ketahanan pangan didaerah tersebut
tecipta secara berkelanjutan (Syahrial, 2005; Lima, 2008; Warr, 2011).
Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap individu selalu mendapatkan
prioritas perhatian masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara
berkembang. Perhatian atas pangan lebih mengemuka semenjak diadakannya
World Food Summit oleh FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun
1974, tetapi masih kurang bisa diwujudkan. Kemudian pada tahun 1996 di Roma
dalam Declaration on World Food Security, FAO baru memberikan tekanan lebih
besar mengenai ketahanan pangan bagi setiap orang dan untuk melanjutkan upaya
menghilangkan kelaparan di seluruh dunia. Sasaran jangka menengah yang ingin
dicapai adalah menurunkan jumlah orang yang kekurangan gizi menjadi
setengahnya paling lambat 2015 (Sukandar dkk, 2001).
Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan
sumber daya alam potensial, sudah sewajarnya mencukupi kebutuhan pangan bagi
penduduknya. Penelitian yang dilakukan Garcia dkk (2006) selaras dengan
Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan yang mengatur bahwa
ketahanan pangan adalah tanggung jawab bersama pemerintah dengan
masyarakat. Selanjutnya masyarakat juga berperan dalam penyelenggaraan
produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, sebagaimana tercantum
dalam GBHN 1999-2004 yaitu “Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang
berbasis pada keragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal,
dalam rangka menjamin ketersediaan pangan dan nutirisi, baik jumlah maupun
yang dibutuhkan pada tingkat harga terjangkau, dengan memperhatikan
peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi” yang diatur dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004 yaitu
penetapan program peningkatan ketahanan pangan (Departemen Pertanian, 2002).
Pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat wilayah ke tingkat
rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan
25

pangan. Oleh karena itu, pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan


terbagi menjadi dua, yaitu: indikator ketahanan pangan tingkat wilayah (makro)
dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga (mikro). Hal ini bertujuan
agar pengembangan indikator ketahanan pangan dapat menggambarkan kondisi
yang sebenar-benarnya (Ilham, 2006).
Ketahanan pangan merupakan konsep yang multi dimensial, yaitu
berkaitan antar mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi,
konsumsi dan status gizi (marucheck dkk, 2007; Matopoulos dkk, 2007). Oleh
karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkan melalui
tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran
pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi masyarakat
(Freedman dkk, 2011).

Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional

Ketahanan pangan nasional masih merupakan isu yang strategis bagi


Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi dan konsumsi pangan
memiliki dimensi yang terkait dengan dimensi sosial, ekonomi dan politik
(Prihandoko, 2011; Cheway, 2013). Ketahanan pangan merupakan suatu sistem
yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem, dimana subsistem utamanya
adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan (Murray-Rust
dkk, 2011). Untuk menjamin ketahanan pangan secara nasional diperlukan
strategi dan perencanaan jangka panjang yang melibatkan semua stakeholder
(Tadesse, 2007; Ariningsih, 2008). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan
sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut, yaitu :

1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta


keseimbangan antara impor dan ekspor pangan (Adelman dkk, 1990).
Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun
produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah,
tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah
dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu (Carter dan
Rogers, 2008).
2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan
ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata
menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang
membutuhkan tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah
belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem
distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan
mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan
akses pangan bagi seluruh penduduk (Manning dkk, 2006).
3. Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan
dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan,
gizi dan kesehatan yang baik. Sehingga dapat mengelola konsumsinya
secara optimal.

Apabila melihat perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food


security) dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan tahun 1971 oleh
26

PBB untuk membebaskan dunia terutama negara-negara berkembang dari krisis


produksi dan suplai makanan pokok. Jadi dapat dikatakan bahwa munculnya
ketahanan pangan karena terjadi krisis pangan dan kelaparan (Hamelin dkk,
1999). Fokus ketahanan pangan pada masa itu menitikberatkan pada pemenuhan
kebutuhan pokok dan membebaskan daerah dari krisis pangan yang nampak pada
definisi ketahanan pangan oleh PBB sebagai berikut: “food security is availability
to avoid acute food shortage in the even of wide spread coop vailure or other
disaster” (Syarif dkk, 1999).
Selanjutnya definisi tersebut disempurnakan pada International
Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara anggota PBB
sebagai berikut: “Ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang memenuhi
kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup
sehat, aktif dan produktif”. Di Indonesia, secara formal dalam dokumen
perencanaan pembangunan nasional, istilah kebijakan dan program ketahanan
pangan diadopsi sejak 1992 (Repelita VI) yang definisi formalnya dicantumkan
dalam Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 angka 17
menyatakan bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Definisi formal
tersebut kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang RI No 18 Tahun 2012
tentang Pangan.
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dalam UU RI No 18 tahun 2012,
didapat sedikitnya 4 empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai
kondisi ketahanan pangan yaitu kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas
ketersediaan pangan, fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun,
aksesibilitas/ keterjangkauan terhadap pangan serta kualitas/ keamanan pangan
(Dornkornchum dkk, 2012a). Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan
yang sangat mendasar karena yang pertama adalah akses terhadap pangan dengan
gizi seimbang merupakan hak yang paling asasi bagi manusia, kedua,
keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat
ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan konsumsi pangan dan gizi,
sedangkan yang ketiga ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam
mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan
(Fritz dan Schiefer, 2009; Early, 2002).
Salah satu target yang ingin dicapai Kementerian Pertanian dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan melakukan swasembada beras.
Dalam rencana strategisnya yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan
Pertanian 2010-2014, Kementerian Pertanian menempatkan beras sebagai satu
dari lima komoditas pangan utama. Kementerian Pertanian mentargetkan
pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan atas tanaman pangan
pada tahun 2010-2014 yakni padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau,
ubi kayu, ubi jalar Karena padi sudah pada posisi swasembada mulai 2007, maka
27

target pencapaian selama 2010-2014 adalah swasembada berkelanjutan dengan


sasaran produksi padi sebesar 75,7 juta ton gabah kering giling.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat
pertumbuhan yang tinggi. Penduduk Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan
mencapai 241 juta jiwa (BKKBN 2011, BPS, 2005). Pada tahun 2011, data BPS
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras mencapai 139kg/kapita lebih tinggi
dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65 kg – 70 kg
perkapita pertahun. Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia
sejak tahun 1950 semakin tidak tergantikan meski roda energi diversifikasi
konsumsi sudah lama digulirkan, hal ini terlihat bahwa pada tahun 1950 konsumsi
beras nasional sebagai sumber karbohidrat baru sekitar 53% jika bandingkan
dengan tahun 2011 yang telah mencapai sekitar 95%. Pemerintah harus
menjadikan beras sebagai komoditi utama ntuk ditingkatkan, karena penurunan
produksi pangan sangat berpengaruh pada peningkatan kemiskinan (Tambunan,
2008b; Fujii, 2013).
Ketahanan pangan merupakan prioritas nasional dan telah diatur dalam
peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahap II 2010-2014. Telah ditetapkan 23 poin
kebijakan pembangunan pertanian Kementerian Pertanian tahun 2010-2014
berkaitan dengan pembangunan ketahanan pangan. Untuk melaksanakan tugas
pembangunan pertanian selama periode 2010-2014, strategi yang ditempuh
melalui penerapan Tujuh Gema Revitalisasi, yaitu: (1) Revitalisasi Lahan, (2)
Revitalisasi Perbenihan dan Pembibitan, (3) Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana,
(4) Revitalisasi Sumber Daya Manusia, (5) Revitalisasi Pembiayaan Petani, (6)
Revitalisasi Kelembagaan Petani, serta (7) Revitalisasi Teknologi dan Industri
Hilir. Ketujuh gema revitalisasi pembangunan pertanian tersebut, menjadi acuan
pada strategi Badan Ketahanan Pangan dalam memfasilitasi program
pembangunan ketahanan pangan tahun 2010-2014.
Dalam acara penyerahan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara Tahun
2012 di Istana Negara, Jakarta, Jumat 14 Desember 2012 kepada 75 petani yang
berhasil memenangkan lomba intensifikasi pertanian, yang dipilih berdasarkan
lima kategori lomba bertema membangun ketahanan pangan di daerah, Presiden
SBY menyatakan pemerintah sudah sering memberikan penghargaan kepada para
pimpinan daerah maupun organisasi non pemerintah dan perseorangan yang
berprestasi dalam berbagai bidang di Istana Negara. Pemberian penghargaan di
bidang pertanian pada peringkat tertinggi diantara yang lain.
Indonesia memerlukan transformasi pertanian untuk mewujudkan
ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Dalam orasi ilmiahnya di IPB
Wakil Presiden Boediono (2012), menjelaskan bahwa transformasi diperlukan
untuk memaksimalkan penciptaan nilai tambah sektor pertanian. Menurut
Boediono, transformasi atau modernisasi pertanian mencakup tiga hal. Pertama,
modernisasi teknologi institusi dan infrastruktur pertanian. Kedua,
mengintegrasikan sektor pertanian dengan sektor perekonomian lainnya. Dan
ketiga, penciptaan nilai tambah bagi produk sektor pertanian.
Ketahanan pangan mencakup dua hal, yaitu ketersediaan pangan dan
keterjangkauan pangan oleh setiap warga negara dan setiap rumah tangga. Tanpa
transformasi pertanian yang berhasil, ketahanan pangan akan berupa pemberian
subsidi dan bantuan semata. Jika tranformasi pertanian tak dilakukan, maka akan
28

menciptakan ketergantungan ekonomi secara berkelanjutan (Fumero, 2013).


Transformasi pertanian dan modernisasi pertanian tersebut hanya merupakan
syarat yang perlu dilakuan atau necessary condition, belum merupakan sufficient
condition. Transformasi pertanian memerlukan program khusus untuk mencapai
swasembada pangan nasional (Cuesta dkk, 2013). Namun, swasembada pangan
itu hanya perlu untuk komoditas yang secara sosial politik dianggap penting, oleh
karena itu diperlukan klasifikasi terlebih dahulu (Ireland dan Moller, 2000).

Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang ketahanan pangan, selain merujuk pada difinisi yang


telah ditetapkan pada beberapa lembaga dunia yang menangani ketahanan pangan
seperti FAO, World Food Pragramme, Global Food Securit Index dan sebagainya
telah banyak dilakukan, terutama di negara-negara yang rawan terhadap
ketahanan pangan. Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang
ketahanan pangan. Ringkasan kajian terhadap penelitian terdahulu disajikan pada
Tabel 1.

Tabel 1 Ringkasan penelitian terdahulu

Kajian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Kesimpulan
Penelitian

1 Food Kruemas 2012 Causal Penelitian hanya meneliti


Security Tumpracha, Relationship hubungan variable yang
Behavior Nongnapas Model of Food bermuara pada perilaku dalam
Thiengkamol Security kaitanya dengan ketahanan
Management. pangan secara local. Penelitian
Meditteranean belum dapat menggambarkan
Journal of kondisi ketahanan pangan secara
Social Sciences nasional.
Vol. 3, 2012
Peluang penelitian:
Dapat dikembangkan untuk
menambah beberapa variabel
lain yang berpengaruh terhadap
system ketahanan pangan
nasional Indonesia.
29

Tabel 1 Ringkasan penelitian terdahulu (lanjutan)

Kajian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Kesimpulan
Penelitian

2 Pengaruh Marieke 2004 An exploration Penelitian belum dapat


Life Style Nijmeijer, of the menggambarkan pengaruh
terhadap Anthony Relationship keluarga terhadap konsumsi
konsumsi Worsley, dan between food sayuran, mengingat sangat
sayuran Brian Astill lifestyle and sedikit responden yang dapat
Vegetable membantu penyiapan konsumsi
Consumtion, sayuran. Penelitian ini juga
British Food menemukan bahwa anak-anak
Journal, 2004 yang banyak berada di rumah
cenderung kurang
mengkonsumsi sayuran

3 Food Zhangyue 2010 Achieving food Untuk mencapai ketahanan


Security Zhou security in pangan jangka panjang, China
China: past harus mengatasi penyebaran
three decades macam makanan yang tidak
and beyond aman dan makanan kualitas
meragukan, pencemaran
lingkungan dan degradasi, dan
kesenjangan pendapatan.
Keberhasilan model ketahanan
pangan yang telah dilakukan di
China, dapat dikembangkan
menjadi model ketahanan pangan
yang cocok dan sesuai untuk
diaplikasikan di Indonesia.
Penyesuaian dan eksplorasi
variabel dan faktor perlu
disesuaikan dengan karakteristik
objek penelitian yang berbeda.

4 Food Alia L. 2012 The contribution Penelitian yang dilakukan di


Security Allard of small farms Trinidad dan Tobago untuk
and commercial mengembangkan model
large farms to pertanian yang dapat
the food security mempengaruhi ketahanan
of Trinidad and pangan. Penelitian ini
Tobago, Theses difokuskan pada peningkatan
and pengetahuan bagi petani kecil
Dissertations dengan intensifikasi lahan,
petani dan peternakan komersial
besar berinteraksi dan
berkontribusi terhadap ketahanan
pangan Negara.
30

Tabel 1 Ringkasan penelitian terdahulu (lanjutan)

Kajian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Kesimpulan
Penelitian
Hasil penelitian menyatakan
bahwa jumlah petani dan
peternak skala kecil sangat
banyak, sehinga eksistensi
mereka dapat mempengaruhi
ketahanan pangan nasional
5 Food I Wayan 2008 The Impact of Meneliti dampak impor pangan
Security Rustantra, Support for terhadap ketahanan pangan.
Togar A Import on Food Penelitian hanya fokus pada 3
Napitupulu, Security in komoditi, yaitu gula, kedelai, dan
dan Robin Indonesia, susu.
Bourgiues
Hasil penelitian memberikan
rekomendasi sebagai berikut:
1. Kemiskinan di Pedesaan
harus menjadi perhatian khusus
Kemiskinan tidak dapat
dipisahkan dari ketahanan
pangan

6 Food Sahara dan 2014 Farmer Trader Penelitian ini membandingkan


Supply Arif Relationships in hubungan antara petani dan
Chain Daryanto the Modern pedagang dalam supply chains di
Food Supply pasar modern. beberapa temuan
Chain in diantaranya:
Indonesia,
1. Komitmen yang terbangun
antara petani dan penjual di pasar
modern maupun pasar
tradisional, keduanya diawali
dengan kesepakatan verbal.
2. Komitmen lebih diutamakan
pada aspek kualitas komoditas
daripada harga.
Penelitian ini dapat menjadi
rujukan untuk membangun
kepercayaan masyarakat di
wilayah terpencil terhadap
distribusi pangan ke maupun dari
wilayah tersebut
31

Tabel 1 Ringkasan penelitian terdahulu (lanjutan)

Kajian
No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Kesimpulan
Penelitian

7. Food Ningsi, BAW 2012 Pemodelan Model ketahanan pangan yang


Security Ketahanan dapat dibentuk terdiri dari tiga
Pangan model struktural dan empat
Indonesia model pengukuran sebagai
dengan Partial berikut: model struktural
Least Square pengaruh peubah laten
Path Modelling ketersediaan pangan terhadap
(PLS-PM) peubah laten akses pangan,
model struktural pengaruh
peubah laten ketersediaan pangan
dan akses pangan ke peubah laten
penyerapan, model struktural
pengaruh peubah laten
ketersediaan pangan, akses
pangan dan penyerapan pangan
ke peubah laten ketahanan
pangan, Model pengukuran
konstruk ketahanan pangan,
model pengukuran konstruk
ketersediaan pangan, model
pengukuran konstruk akses
pangan, dan model pengukuran
konstruk penyerapan pangan.

Kerangka Pemikiran Teoritis

Penelitian ini menganalisis bagaimana peranan Industri Maritim dalam


kontribusinya terhadap sistem distribusi pangan untuk wilayah terpencil di
Indonesia sehingga dapat memperkokoh ketahanan pangan nasional. Hasil
penelitian ini akan menjadi acuan untuk mengembangkan model strategi
peningkatan Industri Maritim di Indonesia yang dapat memperkokoh sistem
ketahanan pangan nasional. Permasalahan tersebut muncul dilandasi pada
fenomena yang terjadi selama ini di Indonesia, dimana banyak wilayah yang
surplus pangan, sementara masih banya daerah lain yang kekurangan pangan. Ada
sesuatu permasalahan yang belum dapat diatasi oleh pemangku kepentingan untuk
mendistribusikan pangan dari wilayah surplus ke wilayah yang masih kekurangan.
Permasalahan tersebut dapat digambarkan dalam blok diagram pada Gambar 3.
32

Gambar 3 Blok diagram kerangka penelitian

Sedangkan model konseptual dari penelitian ini dapat digambarkan pada


Gambar 4.

FAO (2003), UU No. 18 Tahun 2012 GFSI (2012), FSVA (2009)

Gambar 4 Model konseptual ketahanan pangan

3. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dibedakan menjadi beberapa katagori, untuk industri


maritim diadakan di industri maritim yang ada di Jakarta, Surabaya, Batam, dan
Makasar, dan beberapa wilayah di Indonesia bagian timur, sedangkan untuk unsur
pemerintah selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga dijadikan responden
yaitu daerah yang mempunyai kerawanan pangan tinggi menurut peta kerawanan
pangan 2009 yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Pengumpulan data
33

dilakukan selama Juli sampai dengan September 2014, sedangkan pengolahan


data dan analisis data dilakukan selama lebih kurang 2 bulan.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan survei melalui penyebaran


kuesioner kepada stakeholder (sebagai responden penelitian) meliputi perusahaan
pelayaran, Pelindo, maritime manufacture, Pemda, anggota DPRD, Ditjen
Perhubungan Laut, perusahaan perikanan, BULOG dan pakar. Responden
diminta untuk mengisi kuesioner mengenai peran industri maritim dalam
memperlancar sistem distribusi pangan untuk meningkatkan sistem ketahanan
pangan nasional.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data yang
berskala Likert. Sedangkan sumber data yang digunakan pada penelitian terdiri
dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang berasal dari
sumber asli atau pertama. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara
pendahuluan dan pengisian kuesioner penelitian oleh responden. Sedang data
sekunder dikumpulkan dari literatur-literatur yang ada (studi literatur). Data
sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dari sumber lain, baik dari
publikasi maupun dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain.

Teknik Pengambilan Contoh

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik wawancara


langsung terstruktur terhadap responden dan pengisian kuesioner oleh responden
penelitian yang merupakan stakeholder industri maritim. Teknik pengambilan
contoh dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling.
Pengambilan contoh diawali dengan pemilihan terhadap instansi pemerintah dan
BUMN yang terkait langsung dengan sistem ketahanan pangan, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat daerah dan perusahaan ataupun lembaga lain yang terkait
secara purposif. Pemilihan ini dilakukan secara purposif karena fakta di lapangan
tampak bahwa tidak semua perusahaan ataupun lembaga mempunyai kompetensi
untuk dijadikan responden sehingga hanya perusahaan ataupun lembaga tertentu
yang dapat terlibat dalam penelitian ini (Sekaran, 2002). Selain itu, penelitian ini
menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan metode dokumentasi atau
kutipan langsung dari berbagai sumber melalui studi kepustakaan (literature
study) dengan cara mempelajari dan menelaah literatur yang berupa buku, jurnal,
maupun makalah.
Teknik pengambilan data dilakukan dengan menggunakan instrumen
penelitian berbentuk angket menggunakan skala likert, yaitu dengan
menggunakan pilihan jawaban dengan 5 kategori pilihan, yaitu: (1) sangat setuju,
(2) Setuju, (3) kurang setuju, (4) tidak setuju, dan (5) sangat tidak setuju.
Alternatif jawaban diberikan bobot nilai 5 sampai dengan 1. Instrumen diuji
34

terlebih dahulu sebelum dipergunakan dalam penelitian. Pengujian instrumen


tersebut meliputi uji keabsahan (validity) dan uji kehandalan (reliability)
(Dericson, 2000). Dari hasil pengujian tersebut diperoleh butir-butir instrumen
yang valid dan tidak valid. Instrumen yang tidak valid dibuang. Kuesioner
digunakan untuk memperoleh data penelitian seperti dijabarkan sebagai berikut:
(1) Industri Maritim, (2) Distribusi Pangan dan (3) Sistem Ketahanan Pangan
Nasional.

Definisi Operasional variabel

Model penelitian mengacu kepada konsep pemikiran yang telah disusun


mengikuti kaidah penelitian, dan merupakan teknik penelitian untuk mempelajari
hubungan sebab akibat antar variabel laten (unobservable variables). Objek
penelitian yang ingin dilihat adalah peranan industri maritim di Indonesia untuk
mempercepat pendistribusian pangan di wilayah terpencil dalam rangka
memperkokoh ketahanan pangan nasional. Variabel unobservable tidak dapat
diukur secara langsung, sehingga harus dilakukan pendefinisian secara
operasional melalui indikator untuk mengukurnya.

Sistem ketahanan pangan nasional


Pengertian tentang pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan
bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatan makanan atau minuman.
Menurut FAO (2013), selama ini ketahanan pangan diukur menggunakan
indikator gizi kurang, yang merupakan ukuran dari kekurangan energi diet.
Sebagai indikator mandiri, prevalensi indikator kekurangan gizi tidak mampu
menangkap kompleksitas dan multidimensionality ketahanan pangan (Worsfold,
2006; Shapouri, 2010), seperti yang didefinisikan oleh Deklarasi KTT Dunia
tahun 2009 tentang Ketahanan Pangan: "Ketahanan pangan terjadi ketika semua
orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi yang cukup, aman dan
bergizi, yang memenuhi kebutuhan diet mereka dan preferensi makanan untuk
hidup aktif dan sehat".
Didasarkan pada definisi tersebut, menurut FAO (Kim dan Kim, 2009)
ukuran ketahanan pangan dapat diidentifikasi menggunakan 4 dimensi yaitu: food
availability, economic and physical access to food, food utilization and stability
(vulnerability and shocks) over time. Penelitian ini mengacu pada World Food
Programe, FAO, dan Global Food Security Index (2013), ketahanan pangan
diukur mengunakan 3 dimensi, yaitu (i) Availibility, (ii) Accesability/
affordability, dan (iii) Quality and Safety.
Dimensi availability mengukur kecukupan pasokan pangan nasional, risiko
gangguan pasokan, kapasitas nasional untuk menyebarluaskan makanan, dan
upaya penelitian untuk meningkatkan output pertanian (Kruemas T, 2012; Kim K
35

dkk, 2011; Lambert, 1998, Bulte dkk, 2007). Dimensi ketersediaan diukur
menggunakan 7 indikator yaitu:

Y11: Kecukupan pasokan (Sufficiency of supply)


Y12: Alokasi penelitian dan pengembangan bidang ketahanan pangan
(Public expenditure on agricultural research and development)
Y13: Infrastruktur pertanian (Agricultural infrastructure)
Y14: Ketidakpastian produksi pertanian (Volatility of agricultural
production)
Y15: Resiko stabilitas politik (Political stability risk)
Y16: Tingkat korupsi (Corruption)
Y17: Kapasitas penyerapan pangan di perkotaan (Urban absorption
capacity)
Dimensi affordability mengukur kemampuan konsumen untuk membeli
makanan, kerentanan mereka terhadap ketidakpastian harga, dan adanya program
dan kebijakan untuk mendukung mereka ketika ketidakpastian harga terjadi
(FSIS, 2005; Mezetti dan Billari, 2005; Andreyeva dkk, 2010; Martin dan
Anderson, 2012). Dimensi Affordability diukur mengunakan 6 indikator, yaitu:
Y21: Proporsi pengeluaran belanja rumah tangga untuk bahan makan
dari total pengeluaran (Food consumption as a proportion of total
household expenditure)
Y22: Proporsi populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan
(Proportion of population living under or close to the global
poverty line)
Y23: GDP per kapita (at purchasing power parity, or PPP, exchange
rates)
Y24: Tarif import hasil pertanian (Agricultural import tariffs)
Y25: Program jaring pengaman pangan (Presence of food safety net
programmes)
Y26: Akses ke pembiayaan bagi petani (Access to financing for farmers)
Dimensi Quality and Safety mengukur apa yang sering disebut sebagai
"utility" dalam istilah keamanan pangan (Pouliot dan Summer, 2008). Dimensi ini
menilai keberagaman dan rata-rata kualitas nutrisi makanan, serta keamanan
makanan (Steenkamp dan van Trijd, 1996; Manning dkk, 2006; Canavari, 2010).
Dimensi Quality and Safety diukur menggunakan 5 indikator, yaitu:
Y31: Keragaman makanan (Diet diversification)
Y32: Komitmen pemerintah untuk meningkatkan standar nutrisi
masyarakat (Government commitment to increasing nutritional
standards)
Y33: Ketersediaan mikronutrien (Micronutrient availability)
Y34: Kualitas protein (Protein quality)
Y35: Keamanan pangan (Food safety)

Sehingga dalam penelitian ini variabel sistem ketahanan pangan nasional


dapat digambarkan dalam model operasional seperti pada Gambar 5.
36

(Sumber: GFSI (2012), FSVA (2009), FAO(2013) )


Gambar 5. Model national food security

Distribusi pangan
Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional dan
provinsi tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah
tangga dan individu. Pangan mungkin tersedia dan dapat diakses namun sebagian
anggota rumah tangga mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila
kelompok ini tidak memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi
jumlah maupun keragaman atau apabila kondisi tubuh mereka tidak
memungkinkan penyerapan makanan karena penyiapan makanan yang tidak tepat
atau karena sedang sakit.
Ditinjau dari beberapa dimensi serta indikator yang digunakan untuk
mengukur ketahanan pangan di atas, belum secara nyata menempatkan aspek
distribusi sebagai aspek yang sangat penting dalam peningkatan ketahanan
pangan. Sebagai negara kepulauan, aspek distribusi yang menjadi sangat penting
mengingat tiap-tiap daerah di Indonesia mempunyai karakteristik sendiri-sendiri,
sehingga kebutuhan pangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi semua oleh
produksi di daerah tersebut, sehingga faktor transportasi terutama transportasi laut
menjadi kebutuhan yang sangat vital (Purwanti, 2008). Kondisi geografis
Indonesia yang terdiri dari kepulauan, faktor karakteristik dan sosial budaya
daerah mempengaruhi produksi pangan, dimana untuk produksi 9 bahan pokok
terutama beras nasional sebagai bahan pokok utama masyarakat Indonesia masih
didominasi oleh pulau Jawa dan Sumatra, sehingga keterjangkauan terhadap
bahan pokok tersebut masih tidak merata. Selain dari produksi yang belum merata
di semua daerah, juga karena infrastruktur yang berupa jalan, alat transportasi laut
sebagai penghubung antar pulau, dan fasilitas pelabuhan masih belum memadai.
Dari permasalahan tersebut, maka ketersediaan serta kebijakan pemerintah
terhadap industri maritim yang mewadahi transportasi laut, pelabuhan dan sarana
pendukungnya berpengaruh sangat signifikan terhadap ketersediaan pangan
nasional secara berkelanjutan melalui proses distribusi pangan yang akan secara
37

nyata mempengaruhi ketahanan pangan terutama di daerah yang bukan produsen


pangan (Singh, 2005; Nurmalia, 2007).
Menurut Kepmenperindag No 115/mpp/kep/2/1998, Sembako adalah
kependekan dari sembilan bahan pokok yang terdiri dari beras, gula pasir, minyak
goreng dan margarin, daging (sapi dan ayam), telur ayam, susu, jagung, minyak
tanah dan garam beryodium. Bahan yang dikategori sembilan hal penting bagi
kehidupan dasar ini dapat saja berubah sesuai kondisi, misal sebelum tahun 1998,
termasuk Sembako (waktu itu) diantaranya sabun cuci, tektil kasar dan batik
kasar. Waktu itu, daging sapi tidak termasuk dalam sembako. Jadi suatu
komoditas dikategorikan sebagai sembako, bila diputuskan dan ditetapkan oleh
pemerintah, yakni bahan-bahan yang betul-betul dasar dalam menopang
perikehidupan rakyat. Suatu bahan pokok kehidupan dikategorikan sebagai
sembako oleh pemerintah, artinya pemerintah mengambil tanggungjawab
langsung untuk tidak membiarkan stok barang dan harganya menjadi liar
mengikuti mekanisme pasar. Walau pemerintah Indonesia menghormati pasar
bebas, tapi sepanjang menyangkut sembako, maka pemerintah harus siap turun
tangan menormalkan situasi, demi normalnya kehidupan rakyatnya. Istilah
sembako (menurut istilah/ kategorisasi Deperindag) ini tidak semua minyak
goreng dikategorikan sembako, sebab yang masuk sebagai sembako hanyalah
minyak goreng dalam bentuk curah. Sedangkan minyak goreng dalam kemasan
belum tentu dikategorikan sembako. Demikian pula untuk kategori sembako yang
lain, yang dimasukkan sebagai sembako biasanya adalah dalam bentuk yang
massal dengan harga yang memang termurah di pasar.
Distribusi pangan secara nasional harus dapat diintegrasikan dengan sistem
logistik nasional agar efektif dan efisien (Vickery dkk, 2003). Salah satu elemen
dari sistem logistik nasional adalah masalah transportasi. Kondisi geografis
Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan ketidakpastian iklim berdampak pada
mahalnya biaya transportasi yang harus ditanggung untuk mendistribusikan
komoditi agar menjadi produk-produk unggulan dalam negeri (Yanes dkk, 2010;
Coates dkk, 2006). Mahalnya biaya distribusi menjadikan lebarnya disparitas
harga antar wilayah sehingga tidak mampu bersaing dengan produk sejenis yang
berasal dari luar negeri (Barnett dan Coble, 2011). Menyimak kasus yang baru-
baru ini terjadi di Indonesia yaitu masalah impor daging sapi, sebagai negara yang
besar dan mempunyai tanah yang subur, tentunya tidaklah sulit untuk melakukan
budi daya sapi unggulan untuk mencapai kemandirian daging nasional. Namun
yang terjadi adalah komoditi yang berada dalam negeri tersebut kalah bersaing
dengan produk impor dikarenakan biaya transportasi untuk komoditi impor jauh
lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya kapal untuk mengangkut komoditi dari
daerah di Indonesia. Sebagai contoh, Menteri Pertanian beberapa saat yang lalu
menyatakan bahwa biaya pengapalan sapi dari Kupang jauh lebih mahal jika
dibandingkan dengan biaya pengangkutan sapi dari Darwin.
Menurut pasal 47 UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, distribusi pangan
merupakan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Distribusi pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan
ketersediaan pangan ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
secara berkelanjutan. Distribusi pangan dilakukan agar perseorangan dapat
memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, beragam, bergizi,
dan terjangkau baik secara fisik maupun secara ekonomi.
38

Distribusi pangan dilakukan melalui pengembangan sistem distribusi pangan


yang dapat menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
secara efektif dan efisien. Pengelolaan sistem distribusi pangan harus dapat
mempertahankan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat. Mengacu pada UU No 18 Tahun 2012
tersebut, maka keberhasilan dari distribusi pangan dapat dilihat dari dua aspek
penting yaitu pengembangan sistem distribusi dan pengelolaan sistem distribusi.
Indikator kinerja dari distribusi pangan sesuai pasal 49 UU No 18 tersebut adalah:

Variabel pengembangan sistem diukur menggunakan indikator:


X41: Terwujudnya pengembangan sistem distribusi pangan melalui
pelayanan transportasi yang efektif dan efisien.
X42: Adanya pengembangan sistem regulasi dari pemerintah daerah yang
mempermudah bongkar muat produk pangan
X43: Tersedianya pengembangan sistem sarana dan prasarana untuk
distribusi pangan terutama pangan pokok.
X44: Tersedianya pengembangan sistem lembaga distribusi pangan di
masyarakat.

Selanjutnya untuk variabel pengelolaan sistem diukur menggunakan


indikator:
X51: Terwujudnya pengelolaan sistem distribusi pangan melalui pelayanan
transportasi yang efektif dan efisien.
X52: Adanya pengelolaan sistem regulasi dari Pemerintah Daerah yang
mempermudah bongkar muat produk pangan
X53: Tersedianya pengelolaan sistem sarana dan prasarana untuk
distribusi pangan terutama pangan pokok.
X54: Tersedianya pengelolaan sistem lembaga distribusi pangan di
masyarakat.
Sehingga persamaan model untuk distribusi pangan dapat digambarkan
seperti pada Gambar 6.

(Sumber: UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan)


Gambar 6 Model distribusi pangan
39

Industri maritim

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri


atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan,
distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan
merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. Peran industri maritim
dalam meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia sangatlah besar, mengingat
kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan. Transportasi laut sebagai
salah satu bagian dari industri maritim di Indonesia yang seharusnya menjadi
perhatian utama pemerintah dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan
nasional. Komponen utama dari industri maritim yang terkait langsung dengan
sistem ketahanan pangan terutama menyangkut distribusi pangan dapat
dikelompokkan menjadi 3 klaster industri yaitu: industri jasa maritim, industri
perkapalan, dan industri pangan strategis.
Industri jasa maritim berkaitan dengan kegiatan usaha bidang jasa yang
berhubungan dengan sektor kelautan yang terdiri dari pelabuhan, pergudangan,
pelayaran, dan industri pariwisata bahari (Gunther, 2014). Selain industri
pelbuhan, industri pergudangan dan industri pelayaran, sector maritime Indonesia
mempunyai potensi yang besar untuk mengembangkan industry pariwisata bahari.
Industri pariwisata bahari jika dikelola dengan manajemen yang baik maka akan
dapat menghasilkan devisa yang sangat besar. Multiplyer effeck dari industri
pariwisata bahari dapat meningkatkan kesempatan kerja dan dapat
mensejahterakan masyarakat yang selanjutnya dapat meningkatkan ketahanan
pangan (Gautama, 2011). Industri jasa maritim meliputi:
X11: Industri Pelabuhan
X12: Industri Pergudangan
X13: Industri Pelayaran
X14: Industri Pariwisata.
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor:
124/M-IND/PER/10/2009 tentang Road Map Pengembangan Klaster Industri
Perkapalan, pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Industri Perkapalan terdiri dari:
1. Indusri Kapal/ Perahu (KLBI 35111);
2. Industri Peralatan dan Perlengkapan Kapal (KLBI 35112)
3. Industri Perbaikan Kapal (KLBI 35113)
4. Industri Pemotongan Kapal (KLBI 35114)
5. Industri Bangunan Lepas Pantai (KLBI 35115)
6. Industri Pembuatan dan Pemeliharaan Perahu Pesiar, rekreasi dan
Olahraga (KLBI 351120)
Dari enam kelompok klaster industri perkapalan tersebut, bidang yang
terkait dengan ketahanan pangan adalah kelompok a, b, c, dan f, yaitu:
X21: Industri Kapal
X22: Industri Peralatan dan Perlengkapan Kapal
X23: Industri Perbaikan Kapal
X24: Industri Pembuatan dan Pemeliharaan Perahu Pesiar, rekreasi dan
Olahraga
40

Sehingga pada penelitian ini keempat kelompok industri tersebut dijadikan


sebagai indikator untuk mengukur variabel Industri maritim. Keberhasilan dalam
kepemihakan terhadap industri maritim dapat dilihat dari sejauh mana pemerintah
mengalokasikan anggaran di sektor tersebut dan sejauh mana kebijakan-kebijakan
yang dibuat pemerintah dapat meningkatkan gairah masyarakat untuk
mengembangkan sektor kemaritiman tersebut.
Salah satu sector andalan yang dimiliki Indonesia sebagai Negara kepulauan
adalah sektor perikanan tangkap. Masih rendahnya kontribusi sector ini salah satu
nya disebabkan karena masih belum memadainya regulasi yang dijadikan payung
hukum, serta konsistensi aparat pemerintah dalam penegakkan hukum terhadap
pelanggaran yang terjadi di laut wilayah Indonesia. Sebagai negara maritim dan
negara kepulauan terbesar di dunia sebagaimana negara-negara kepulauan lain
sudah seharusnya Indonesia menempatkan industri perikanan sebagai bagian dari
industri pangan strategis mengingat potensi perikanan nasional sangat besar
(Islam, 2008; Sowman, 2010). Potensi perikanan di Negara kepulauan dapat
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat jika dikelola dengan
manajemen yang baik (Roos, 2007). Sedang kelompok industri pangan strategis
meliputi:
X31: Industri Penangkapan Ikan/ Hasil Laut
X32: Industri Pengolahan Ikan/ Hasil Laut
X33: Industri Pemasaran Ikan/Hasil Laut.
X34: Industri Pangan Nasional
Sehingga jika ditinjau dari aspek industri maritim, maka model industri
maritim dapat dirumuskan sebagaimana terlihat pada Gambar 7:

Gambar 7 Model industri maritim untuk ketahanan pangan


41

Model Penelitian

Dari definisi operasional variabel yang sudah dijabarkan, maka dapat disusun
model lengkap tentang pengaruh industri maritim dan distribusi pangan di wilayah
terpencil terhadap sistem ketahanan pangan nasional.

Gambar 8 Model lengkap ketahanan pangan di daerah terpencil.

Hipotesis Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui model peningkatan industri


maritim di Indonesia guna mempercepat pendistribusian pangan di wilayah
terpencil dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional dengan menggunakan
model SEM (Sabarella, 2009; Stata, 2011). Model SEM merupakan evolusi dari
model persamaan berganda (regresi) yang dikembangkan dari prinsip ekonometri
dan digabungkan dengan analisis jalur (path analysis) dan prinsip analisis faktor
(factor analysis) dari psikologi dan sosiologi (Hair dkk, 2010; Ghozali, 2010)).
Pada metode SEM dilakukan pengujian model struktural dan model measurement
secara bersama-sama. Pengujian model struktural merupakan pengujian hubungan
antara konstruk yang meliputi variabel endogen dan variabel eksogen, sedangkan
pengujian model measurement merupakan pengujian hubungan antara indikator
dan konstruk. Pada SEM dapat dilakukan pemeriksaan validitas dan realiabilitas
instrumen menggunakan Confirmatory Factor Analysis, dan pengujian hubungan
antar variabel dan pengujian model secara serempak menggunakan Path Analysis.
Pengujian kebaikan model pada SEM menggunakan ukuran goodness of fit
sebagai ukuran kecocokan/kebaikan model. Ukuran goodness of fit yang
digunakan untuk menguji kebaikan model adalah Chi Suare, Goodness of Fit
Index (GFI), Adjusment Goodness of Fit Index (AGFI), Root Mean Square Error
of Approximation (RMSEA), Tucker Lewis Index (TLI), Comparative Fit Index
(CFI), serta nilai probability (p).
42

Dalam implementasi sesungguhnya seringkali diperlukan untuk mengetahui


suatu variabel eksogen yang secara parsial berpengaruh terhadap variabel
endogen. Untuk mengetahui pengaruh variabel eksogen secara parsial diperlukan
pengujian hipotesis sesuai model. Berdasarkan penjelasan variabel di atas, maka
uji hipotesis dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel
eksogen secara parsial terhadap variabel endogen yang dirumuskan sebagai
berikut:
H1: Industri maritim memiliki pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan
nasional.
H2: Industri maritim mempunyai pengaruh signifikan terhadap distribusi pangan
nasional.
H3: Pendistribusian pangan memiliki pengaruh signifikan terhadap ketahanan
pangan nasional.
H4: Industri maritim memiliki pengaruh terhadap ketahanan pangan nasional
melalui distribusi pangan.
Penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan menganalisa
nilai loding factor terkait. Selain loading factor, ada indikator lain yang
digunakan untuk menguji signifikansi model secara struktural (SEM) yaitu
menggunakan indeks GFI, AGFI, RMSEA, TLI, CFI, dan p value.

Persamaan Model Penelitian

Model yang ditampilkan adalah model Structural Equation Modeling


(SEM) yang digambarkan menggunakan software AMOS 21.0. SEM merupakan
suatu teknik statistik untuk mempelajari hubungan sebab akibat antar variabel
laten (unobservable variable), yaitu suatu alat dalam statistika untuk memeriksa
hubungan antara satu atau lebih variabel independen (exogen) dan variabel
dependen (endogen). SEM merupakan gabungan antara analisis regresi, korelasi,
path analysis, dan confirmatory factor analysis (CFA) yang biasanya dipakai
dalam bidang sosial dan psikologi, tapi sekarang telah berkembang lebih jauh lagi.
Model dapat digunakan juga dalam bidang manajemen, ekonomi, dan lainnya.
Dalam rangka menjawab hipotesis penelitian, rumus model struktural
berdasarkan model dan hipotesis adalah sebagai berikut:

Untuk mendapatkan η1 pendukung jawaban hipotesis 1:


η1 = γ11 . ξ4 + γ12 . ξ5 + γ13 . ξ6
Untuk mendapatkan η2 pendukung jawaban hipotesis 2 dan 3:
η2 = γ31 . ξ7 + γ32 . ξ8
Untuk mendapatkan η3 pendukung jawabanhipotesis 4:
η3 = γ21 . ξ1+ γ22 . ξ2 + γ2.3 . ξ3

Keterangan:
ξ1 = Ketersediaan pangan (availibility)
ξ2 = Daya beli masyarakat (affordability)
ξ3 = Kualitas dan keamanan pangan (quality and safety)
ξ4= Industri perkapalan
43

ξ5 = Industri jasa maritim


ξ6 = Industri pangan strategis
ξ7 = Pengembangan sistem
ξ8 = Pengelolaan sistem
η1 = Ketahanan Pangan Nasional (NFS)
η2 = Industri maritim
η3 = Distribusi pangan

Pada Gambar 9 tersebut dapat dilihat bahwa ηn adalah simbol variabel utama
ke-n yang disebut dengan Eta. Sedangkan ξn merupakan simbol bagi variabel
laten yang membentuk second order ke-n yang biasa disebut sebagai Xi. Pada
penelitian ini variabel ketahanan pangan nasional (NFS), distribusi pangan
merupakan variabel endogen, sedangkan variabel industri maritim dan distribusi
pangan sebagai variabel eksogen. Dalam model penelitian ini variabel distribusi
pangan bisa bertindak sebagai variabel endogen maupun eksogen. Variabel-
variabel tersebut, baik endogen maupun eksogen biasa dikenal sebagai variabel
laten.
Model SEM sesuai Gambar 9 menggambarkan hubungan antara variabel
laten dengan masing-masing indikator yang membangunnya. Indikator-indikator
tersebut dilambangkan dengan notasi X dan Y. X adalah variabel indikator untuk
variabel laten eksogen dan Y adalah variabel indikator untuk variabel laten
endogen. Persamaan antara indikator dengan variabel laten adalah:

ξ1 = λ11 X11 + λ12 X12 + λ13 X13 + λ14 X14


ξ2 = λ21 X21 + λ22 X22 + λ23 X23 + λ24 X24
ξ3 = λ31 X31 + λ32 X32 + λ33 X33 + λ34 X34
ξ4 = λ41 Y11 + λ42 Y12 + λ43 Y13 + λ44 Y14 + λ42 Y15 + λ43 Y16 + λ44 Y17
ξ5 = λ51 Y21 + λ52 Y22 + λ53 Y23 + λ54 Y24 + λ52 Y25 + λ53 Y26
ξ6 = λ61 Y31 + λ62 Y32 + λ63 Y33 + λ64 Y34 + λ62 Y35 + λ63 Y36
ξ7 = λ71 X41 + λ72 X42 + λ73 X43 + λ74 X44
ξ8 = λ81 X51 + λ82 X52 + λ83 X53 + λ84 X54

Persamaan tersebut di atas memperlihatkan bahwa variabel laten yang


dinotasikan dengan lambang ξn (Xi) dan ηn (Eta) dibangun oleh indikator-
indikator yang dinotasikan dengan huruf X n dan Yn. Besar kontribusi yang
diberikan Xn terhadap ξn dan ηn dilambangkan dengan notasi λ (lambda).
44

Gambar 9 Model lengkap penelitian

Penentuan Jumlah Sampel

Hair (2010) menyatakan bahwa ukuran sampel minimal dalam model


persamaan struktural adalah 100. Ferdinand (2005) menyatakan bahwa bila
ukuran sampel terlalu besar maka model menjadi sangat sensitif sehingga sulit
untuk mendapatkan goodness of fit yang baik. Untuk itu disarankan ukuran
sampel adalah 5-10 kali jumlah variabel manifest (indikator) dari keseluruhan
variabel laten, dan jumlah sampel berkisar antara 100 sd 200. Karena dalam
penelitian ini jumlah indikator seluruhnya adalah 38 maka jumlah sampel yang
digunakan dalam penelitian ini sekurang-kurangnya 38 x 5 = 190 sampel. Jumlah
tersebut sudah memenuhi syarat sebagaimana dikemukakan oleh Hair maupun
oleh Ferdinand. Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara
purposive sampling terhadap sejumlah industri maritim yang berasal dari unsur
pemerintah dan BUMN yang bergiat pada sektor ketahanan pangan dan maritim,
pimpinan dewan yang membidangi ketahanan pangan, serta industri maritim yang
dipilih secara proporsional, yaitu sesuai besar kecilnya industri maritim tersebut.
Kuesioner yang diedarkan sebanyak 256 yang terdiri dari pemerintah pusat, 2
pemerintah propinsi, 20 pemerintah kabupaten yang termasuk dalam peta rawan
pangan. Selain itu sampel juga diambil dari pelindo, pimpinan industri pelayaran
dan pimpinan industri pelayaran. Penyebaran kuesioner tersebut selain agar setiap
unsur ada keterwakilan, juga dimaksudkan untuk mengantisipasi jawaban yang
tidak valid maupun adanya kuisioner yang tidak kembali.
Daftar responden yang dijadikan sampel penelitian dapat ditunjukkan pada
Tabel 2 sampai dengan Tabel 6.
45

Tabel 2 Daftar responden di pusat


Jumlah
Instansi Responden Total
responden
Bulog Pusat 1 5
1. Kepala Divisi Pengadaan
1
2. Kepala Divisi Penyaluran
1
3. Kepala Divisi Industri
1
4. Kepala Divisi Persediaan
1
5. Kepala Kelembagaan dan
Infrastruktur Pangan
Badan 1. Kepala BKP 1 5
Ketahanan 2. Sektretaris BKP 1
Pangan 3. Kepala Pusat Ketersediaan 1
Kementan dan Kerawanan Pangan
4. Kepala Pusat Distribusi dan 1
Cadangan Pangan
5. Kepala Pusat 1
Penganekaragaman
Konsumsi dan Keamanan
Pangan
Kementerian 1. Dirjen Perikanan Tangkap 1 4
Kelautan 2. Dirjen Kelautan, Pesisir dan 1
dan Pulau Pulau kecil
perikanan 3. Dirjen Perikanan Budidaya 1
4. Dirjen Pengawasan 1
Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan
Kementerian 1. Deputi I Bidang 1 5
Daerah Pengembangan Sumberdaya
Tertinggal 2. Deputi II Bidang 1
Peningkatan Infrastruktur
3. Deputi III Bidang Ekonomi 1
dan Pembinaan Usaha
4. Deputi IV Bidang 1
Pembinaan Lembaga Sosial
dan Budaya 1
5. Deputi V Bidang
Pengembangan Daerah
Khusus
Kementerian 1. Dirjen Pemberdayaan 1 2
Dalam Masyarakat dan Desa
Negeri 2. Dirjen Bina Pembangunan 1
Daerah
46

Tabel 2 Daftar responden di pusat (lanjutan)


Jumlah
Instansi Responden Total
responden

Kementerian 1. Direktur Lalu Lintas dan


Perhubungan Angkutan Laut 1
2. Direktur Pelabuhan dan
Pengerukan 1
3. Direktur Perkapalan dan
Kepelautan 1 3
Grand Total 24

Tabel 3 Daftar responden Tingkat Provinsi


Jumlah
Instansi Responden Total
responden
Bulog Divre 1. Kepala Divre 1 5
2. Kepala Bidang Distribusi 1
3. Kepala Bidang persediaan 1
4. Kepala Unit Bisnis Jasa 1
Angkutan
5. Kepala Unit Bisnis PGB 1

Badan 1. Kepala BKP 1 5


Ketahanan 2. Kepala Bidang Ketersediaan 1
Pangan dan Kerawanan Pangan
Provinsi 3. Kepala Bidang Konsumsi 1
dan Keamanan Pangan
4. Kepala Pusat Distribusi dan 1
Harga Pangan
5. Kepala Bidang Kelembagaan 1
dan Infrastruktur Pangan

DinasPertanian 1. Kepala Dinas 1 2


Provinsi 2. Kelompok Jabatan 1
Fungsionil

DPRD Provinsi 1. Ketua Komisi B 1 2


2. Anggota Komisi B 1

Grand Total 14
47

Tabel 4 Daftar responden Tingkat Kabupaten


Jumlah
Instansi Responden Total
responden
Badan 1. Kepala BKP 1 5
Ketahanan 2. Bidang Ketersediaan dan 1
Pangan Kerawanan Pangan
Kabupaten 3. Bidang Konsumsi dan 1
Keamanan Pangan
4. Bidang Distribusi dan Harga 1
Pangan
5. Bidang Kelembagaan dan 1
Infrastruktur Pangan

DPRD 1. Ketua Komisi B 1 2


Kabupaten Anggota Komisi B 1

Grand Total 2. 7

Tabel 5 Daftar responden dari unsur lain


Jumlah
Instansi Responden Total
responden
Pelindo Pelindo I, II, III dan IV 5 20

Industri 1. Ketua Cabang Pelra 4 28


Pelayaran Pelabuhan Tanjung Priok
Rakyat 2. Ketua Cabang Pelra 4
Pelabuhan Tanjung Perak
3. Ketua Cabang Pelra 4
Pelabuhan Makasar
4. Ketua Cabang Pelra 4
Pelabuhan Ambon
5. Ketua Cabang Pelra 4
Pelabuhan Kupang
6. Ketua Cabang Pelra 4
Pelabuhan Bitung
7. Ketua Cabang Pelra 4
Pelabuhan Jayapura
Industri 1. Direksi PT. PAL 4 16
Perkapalan 2. Direksi PT. Dok Perkapalan 4
3. Direksi PT. Koja Bahari 4
4. Direksi PT. Industri Kapal 4
Indonesia
Grand Total 64
48

Tabel 6 Ringkasan daftar responden

Jumlah Banyak
Unsur Total
sampel responden
Bulog Pusat 1 5 5
Badan Ketahanan Pangan Pusat 1 5 5
Kementerian Kelautan dan 1 4 4
perikanan
Kementerian Daerah Tertinggal 1 5 5
Kementerian Dalam Negeri 1 2 2
Kementerian Perhubungan 1 3 3
Pemerintah Provinsi 2 14 28
Pemerintah Kabupaten 20 7 140
Pelindo 4 5 20
Industri Pelayaran 7 4 28
Industri Perkapalan 4 4 16
Grand Total 256

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah teknik analisis
deskriptif dan analisis data dengan statistika inferensial. Penggunaan teknik
analisis data deskriptif untuk memperoleh gambaran awal obyek penelitian dan
karakteristik penyebaran skor setiap variabel yang diteliti. Analisis data deskriptif
dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan histogram.
Sedangkan analisis inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian
dengan menggunakan SEM (Structural Equation Models). Semua pengujian
hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan α=0,05. Metode SEM
termasuk kedalam uji statistik parametrik, oleh karena itu sebelum dilakukan
pengujian hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi dasar sebagai
persyaratan bahwa data yang akan dianalisis memenuhi kriteria.
Uji asumsi dasar tersebut dilakukan untuk mengetahui data yang digunakan
memenuhi kriteria-kriteria yang dipersyaratkan pada uji statistik parametrik yaitu:
(1) hubungan antara tiap dua variabel harus merupakan hubungan yang linier,
adaptif, dan kausal; (2) sistem menganut prinsip eka arah; (3) semua variabel
residu tidak saling berkorelasi dan juga tidak berkorelasi dengan variabel
penyebab; serta (4) data masing-masing variabel adalah kontinum. Pengaruh
langsung dan tak langsung dari variabel bebas (eksogen) terhadap suatu variabel
terikat (endogen), tercermin dari nilai koefisien loading factor pada analisis jalur.

Pengujian Validitas

Validitas digunakan untuk mengukur sejauh mana ketepatan dan kecermatan


suatu indikator mengukur variabel latennya. Pada penelitian ini pengukuran
validitas model diuji menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Uji
validitas dilakukan terhadap seluruh variabel laten yang membetuk model secara
49

parsial, setelah semua variabel laten yang membentuk model valid yang ditandai
dengan dipenuhinya semua ukuran kebaikan model, maka dilakukan uji validitas
secara serentak/ simultan terhadap model secara keseluruhan. Ukuran fitting
model (kebaikan model) yang digunakan pada penelitian ini menggunakan kriteria
goodness of fit diantaranya Chi-Square, CMIN/DF, RMSEA, dan GFI. Beberapa
ukuran tersebut saling memberikan penguatan untuk penyimpulan kebaikan dan
kecocokan model.
Chi-Square (2) merupakan statistik digunakan untuk menguji kedekatan
kecocokan antara matriks kovarian sampel S dengan matriks kovarian model
(). Uji statistik 2 yang digunakan adalah:

2 = (n-1)F(S,()).

Nilai 2 semakin kecil semakin baik.


CMIN/DF (Normed Chi-Square) adalah ukuran yang diperoleh dari nilai
chi-square dibagi dengan derajat kebebasan. Perumusan CMIN/DF adalah
sebagai berikut:

dengan :
n = Banyak data
S = Matriks kovarians sampel
= Matriks kovarians model

Menurut Hair (2010) nilai yang direkomendasikan untuk menerima


kecocokan sebuah model/ fitting model adalah nilai CMIN/DF yang lebih kecil
atau sama dengan 2.0.
RMSEA yaitu Root Mean Square Error of Approximation yang
dikembangkan oleh Steiger dan Lind (1980) dan saat ini merupakan salah satu
pengukur fitness dari model yang sangat informatif dan dirumuskan sebagai
berikut.
,

dengan :

df = derajat bebas

Nilai RMSEA ≤0.05 disebut closed fit, 0.05 < RMSEA ≤0.08 disebut good
fit dan 0.08 < RMSEA ≤0,1 disebut marginal fit serta RMSEA ≥ 0,1 disebut poor
fit.
GFI yaitu Goodness of Fit Index yang dapat dikategorikan sebagai ukuran
kecocokan absolut yang dihitung dengan membandingkan model yang
50

dihipotesiskan dengan tidak ada model sama sekali (Joreskog dan Sorbom(1984)
dan dikembangkan Tanaka dan Huba (1985) dalam Ghozali (2011)). Perumusan
GFI adalah :

dengan :
: Nilai minimum F untuk model yang dihipotesiskan
: Nilai minimum F, ketika tidak ada model yang dihipotesiskan.
Nilai GFI berkisar antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit), dan nilai
GFI ≥ 0.80 merupakan good fit lebih dari 0.6 adalah marginal fit.

Pengujian Reliabilitas

Reliabilitas merupakan ukuran mengenai konsistensi internal dari indikator-


indikator dari sebuah konstruk. Reliabilitas diuji dengan construct reliability atau
variance extracted.
Construct reliability merupakan kuadrat jumlah estimasi terstandar seluruh
indikator yang dijelaskan oleh variabel laten dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

Construct Reliabilit y 
 standardize loading  2

 standardize loading    j
2

Sedangkan variance extracted mencerminkan jumlah varian seluruh indikator


yang dijelaskan oleh variabel laten dan dihitung dengan rumus sebagai berikut:

 standardize loading  2

Variance Extracted 
 standardize loading  j
2

Sementara εj merupakan measurement error yang dapat dihitung dengan


formula εj = 1 – [standardize loading]2. Secara umum, nilai construct reliability
yang dapat diterima adalah ≥ 0.700 dan variance extracted ≥ 0.500 (Hair et al.
2006). Dalam penelitian ini, uji reliabilitas yang digunakan adalah construct
reliability.

Structural Equation Modeling (SEM)

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Structural Equation


Modeling (SEM). SEM merupakan alat dalam statistika untuk memeriksa
sekumpulan hubungan antara satu atau lebih variabel independen dan variabel
dependen baik variabel itu bersifat kontinu atau diskrit”. SEM merupakan suatu
teknik statistik untuk mempelajari hubungan sebab akibat antar variabel laten
51

(unobservable variables). Variabel laten adalah variabel yang dibentuk atau


dijelaskan oleh variabel indikator (observable variable). Nama lain dari variabel
laten adalah faktor atau construct variable. Sedangkan nama lain dari observable
variable adalah measurement variable, indicator variable, atau manifest. Pada
prinsipnya SEM merupakan gabungan antara analisis faktor dan analisis jalur.
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah second order Structural
Equation Modeling (SEM), yaitu suatu metode analisis pemodelan SEM dimana
variabel laten yang digunakan diukur menggunakan variable laten lain. Perbedaan
dengan first order Structural Equation Modeling (SEM) ada pada variabel yang
digunakan sebagai pengukurnya. Pada first order variabel laten diukur oleh
indikator, sedang pada second order variabel laten diukur menggunakan variabel
laten yang lain, dan baru variabel laten kedua tersebut diukur menggunakan
variabel indikator. Ada beberapa istilah yang sama artinya dengan SEM. Dalam
teknik SEM dikenal beberapa istilah untuk variabel random yang digunakan
dalam SEM yaitu:
1. Variabel laten, yaitu konsep yang tidak dapat diukur secara langsung
melainkan diukur oleh variabel-variabel teramati yang secara teoritis
membentuk variabel laten tersebut. Variabel laten sering disebut dengan
berbagai istilah seperti variabel tak teramati, faktor atau konstruk. Variabel
laten pada penelitian ini adalah variabel ketahanan pangan nasional, distribusi
pangan, industri maritim, availability, affordability, quality and safety,
pengelolaan sistem, pengembangan sistem, injasmar, industri pangan strategis,
dan perkapalan. Berdasarkan peranannya dalam model, variabel-variabel laten
yang digunakan dalam SEM dibedakan menjadi variabel eksogen dan variabel
endogen. Variabel eksogen adalah variabel yang tidak dipengaruhi oleh
variabel lain (antecedent) di dalam model (variabel industri maritim dan
distribusi pangan). Sedangkan variabel endogen adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel-variabel /lainnya di dalam model (variabel distribusi
pangan dan variable ketahanan pangan nasional (NFS)). Berbeda dengan
model linier, SEM memungkinkan adanya korelasi antar variabel laten
eksogen.
2. Variabel teramati (variable manifest/indicator), yaitu variabel yang dapat
diukur secara langsung seperti pendapatan, usia dan harga. Variabel teramati
yang membentuk variabel laten disebut indikator atau variabel manifest.
3. Variabel error adalah variabel yang mempresentasikan variabilitas dari
variabel laten yang tidak dapat dijelaskan oleh indikator pembentuknya.
Hair (2010) mengajukan tahapan pemodelan persamaan struktural dan
menjadi tujuh langkah, sebagai berikut:
1. Pengembangan model berbasis teori.
2. Pengembangan diagram jalur (path diagram) untuk menunjukkan hubungan
kausalitas.
3. Konversi diagram jalur menjadi persamaan struktural.
4. Pemilihan matriks input dan teknik estimasi atas model yang diusulkan.
5. Menilai identifikasi model struktural.
6. Evaluasi model estimasi dengan kriteria goodnessoffit.
7. Interpretasi dan modifikasi model.
52

Pada dasarnya ketujuh langkah tersebut adalah langkah sistematis guna


menguji kecocokan antara model acuan yang disusun berdasarkan diagram
kerangka pemikiran sesuai dengan teori yang sudah ada dengan model taksiran
yang dihitung berdasarkan data sampel. Indeks kecocokan model (goodness of fit
index) dijadikan sebagai acuan untuk mengukur tingkat kecocokan antara kedua
model tersebut.
Ketujuh langkah di atas secara teknis penerapannya akan berbeda-beda satu
sama lain bergantung dari software atau program SEM yang digunakan. Software
yang paling sering digunakan oleh para peneliti untuk melakukan analisis SEM
yaitu LISREL dan AMOS. Dalam penelitian ini perangkat lunak (software) yang
digunakan untuk analisa data yaitu SPSS dan AMOS 21.0. Dalam hal ini SPSS
digunakan sebagai tahap persiapan data sebagai bahan input data untuk program
AMOS 21.0.

1. Tahap persiapan data (data preparation) dengan bantuan Software SPSS.


Tahap ini merupakan penjabaran dari tahap pengumpulan data dari
kuesioner ke dalam data softcopy dalam format file SPSS (*.sav). Dalam
rangka menghindari heterogenitas varians maka data ini terlebih dahulu di
transformasi ke dalam nilai-nilai z-score yang dihitung dengan cara
mengurangi nilai data dengan nilai rata-ratanya, kemudian dibagi dengan
standar deviasinya. Perhitungan z-score dengan perumusan :

Dengan
µ = rata-rata skor
 = standar deviasi

Hasil transformasi ini akan mendekati normal apabila ukuran sampel


cukup besar sehingga nilai rata-rata dan standar deviasi sampel akan
mendekati nilai rata-rata dan standar deviasi populasi objek penelitian.
Setelah dilakukan transformasi dengan menggunakan z-score,
selanjutnya dilakukan pengecekan distribusi normalitas data dengan cara yang
paling sederhana dengan menggunakan diagram QQ-Plot yaitu plot persentil
dari distribusi normal standar terhadap persentil sesuai data yang diamati. Jika
pengamatan mengikuti sekitar distribusi normal, yaitu apabila nilai data
observasi berada disekitar garis diagonal (expected normal score) maka data
dianggap mendekati distribusi normal.
Asumsi distribusi normalitas data ini penting karena dalam penelitian ini
akan digunakan metode penaksiran Maximum Likelihood (ML), data tersebut
harus memenuhi asumsi normalitas.

2. Tahap analisis SEM (Structural Equation Modeling) dengan bantuan software


AMOS 21.0.
Pada tahap ini adalah tahap inti dalam analisis SEM yaitu dimulai
dengan menterjemahkan model diagram kerangka pemikiran ke dalam
diagram SEM yang meliputi model pengukuran dan model persamaan
53

struktural. Terdapat beberapa kaidah dalam menggambarkan diagram SEM di


dalam AMOS 21.0. antara lain :
a. Setiap variabel manifest/ indikator/ observed variable digambarkan
dengan lambang kotak persegi panjang.
b. Setiap variabel laten digambarkan dalam bentuk bulatan/elips
c. Panah satu arah melambangkan kausal model / model regresi dengan arah
pangkal panah dari variabel exsogen dan ujung panah ke variabel endogen
d. Panah dua arah menunjukkan hubungan korelasi antara dua variabel.
e. Setiap variabel manifest yang dijadikan sebagai indikator suatu variabel
laten memiliki variable error yang biasa dilambangkan dengan huruf d
untuk laten eksogen dan huruf e untuk laten endogen.
f. Setiap laten endogen memiliki parameter error yang biasanya
dilambangkan dengan z.
Setelah terbentuknya diagram model SEM dalam software AMOS 21.0,
selanjutnya adalah menentukan input data yang sudah dipersiapkan pada tahap
data preparation. Proses analisis menggunakan model SEM dapat disederhanakan
bahwa untuk memperoleh persamaan struktural, diawali dengan mengolah data
dari hasil kuesioner dengan menggunakan bantuan software statistik berupa SPSS
maupun AMOS 21.0. Dari hasil pengolahan tersebut akan diperoleh dua output
yang berupa estimasi persamaan struktural dan grafik model SEM.
Pada estimasi parameter dalam persamaan struktural digunakan metode
Maximum Likelihood. Dalam statistik, estimasi Maximum Likelihood adalah
metode estimasi parameter dari model statistik dengan menggunakan mean dan
varians sebagai parameter dan menemukan nilai-nilai parameter tertentu yang
membuat hasil-hasil paling umum digunakan dalam estimasi parameter karena
secara asimtotik pengamatan yang paling mungkin (diberikan model). Metode
Maximum Likelihood (yaitu pada data banyak) tidak bias dan estimator yang
diperoleh konsisten serta estimatornya mendekati distribusi normal.
Langkah-langkah analisis SEM dalam penelitian ini dapat digambarkan
dalam diagram pada Gambar 10.
54

Gambar 10 Langkah teknis analisis SEM

Output Goodness of fit berupa ukuran kecocokan model teori & model
taksiran berdasar data yang dalam hal ini dipakai Chi-Square, CMIN/DF,
RMSEA, GFI, & AGFI.
Chi-Square (2) merupakan statistik digunakan untuk menguji kedekatan
kecocokan antara matriks kovarian sampel S dengan matriks kovarian model
(). Uji statistik 2 yang digunakan adalah:

2 = (n-1)F(S,()).

Nilai 2 semakin kecil semakin baik.


55

CMIN/DF (Normed Chi-Square) adalah ukuran yang diperoleh dari nilai


chi-square dibagi dengan derajat kebebasan. Perumusan CMIN/DF adalah:

dengan :
n = Banyak data
S = Matriks kovarians sampel
= Matriks kovarians model

Menurut Hair et al. (2006) nilai yang direkomendasikan untuk menerima


kecocokan sebuah model adalah nilai CMIN/DF yang lebih kecil atau sama
dengan 2.0.
RMSEA yaitu Root Mean Square Error of Approximation yang
dikembangkan oleh Steiger dan Lind (1980) dan saat ini merupakan salah satu
pengukur goodness of fit dari suatu model yang sangat informatif dan dirumuskan
sebagai berikut.

,
dengan :

= dan df adalah derajat kebebasan

Nilai RMSEA ≤0.050 disebut dengan closed fit, 0.050 < RMSEA ≤0.080
disebut good fit dan 0.08 < RMSEA ≤ 0.100 disebut sebagai marginal fit serta
RMSEA ≥ 0.100 disebut poor fit.
GFI yaitu Goodness of Fit Index yang dapat dikategorikan sebagai ukuran
kecocokan absolut yang dihitung dengan membandingkan model yang
dihipotesiskan dengan tidak ada model sama sekali (Joreskog dan Sorbom (1984)
dan dikembangkan Tanaka dan Huba (1985) dalam Ghozali(2011)). Perumusan
dari GFI adalah :

dengan :
: Nilai minimum F untuk model yang dihipotesiskan
: Nilai minimum F, ketika tidak ada model yang dihipotesiskan.
Nilai GFI berkisar antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit), dan nilai
GFI ≥ 0.80 merupakan good fit lebih dari 0.6 adalah marginal fit.
56

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Responden

Penelitian ini mempelajari tentang peranan industri maritim terhadap sistem


distribusi pangan untuk meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional.
Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat bahwa selama ini program
ketahanan pangan sudah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dan oleh FAO,
akan tetapi sampai saat ini problem ketahanan pangan masih belum dapat teratasi
terutama untuk daerah-daerah terpencil. Daerah yang mempunyai kerentanan
terhadap ketahanan pangan telah dipetakan oleh Dewan Ketahanan Pangan
Nasional bekerjasama dengan FAO, dimana sebagian besar daerah yang
mempunyai kerentanan terhadap ketahanan pangan adalah daerah kepulauan
terpencil yang sulit dijangkau oleh moda transportasi darat dan udara. Mengingat
wilayah nusantara sebagian besar merupakan kepulauan, maka sudah seharusnya
pemerintah mengembangkan sistem distribusi berbasis kemaritiman.
Pengumpulan data dilaksanakan sejak tanggal 19 Juli 2014 hingga 19
September 2014. Penelitian diawali dengan wawancara pendahuluan terhadap
stakeholder yang memahami tentang permasalahan industri maritim dan sistem
ketahanan pangan. Penelitian dilakukan dengan mengirimkan kuesioner kepada
responden untuk diisi dan dikembalikan lagi kepada peneliti. Responden dalam
penelitian ini terdiri dari para pemangku kebijakan di bidang ketahanan pangan
dan industri maritim baik di pusat maupun daerah. Indikator yang akan diestimasi
dalam penelitian ini sebanyak 38 sehingga data yang diperlukan menurut Ghozali
(2013) adalah 5 sampai 10 kali indikator yang akan diestimasi yaitu minimal 190
responden. Pada penelitian ini responden yang mengisi kuesioner yang berhasil
dikumpulkan sebanyak 256 responden. Penyebaran sebanyak itu dimaksudkan
agar memenuhi jumlah minimal data yang diperlukan sekaligus mengantisipasi
adanya data yang tidak valid. Dari 256 kuesioner yang disebar, sebanyak 248
kuesioner yang diisi dengan benar, dan terdapat sebanyak 8 kuesioner yang tidak
valid karena tidak diisi dengan lengkap. Kuesioner yang valid sebanyak 248
terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah termasuk DPRD (Provinsi
dan Kabupaten), dan unsur lain (BUMN, perusahaan pelayaran, industri
perkapalan) sehingga menurut Ghozali (2013) jumlah tersebut sudah memenuhi
syarat jumlah responden yang diperlukan.
Berdasarkan pengalaman kerja di bidang ketahanan pangan (Tabel 7),
sebanyak 68% telah bekerja lebih dari 5 tahun di bidang ketahanan pangan, 23%
berpengalaman antara 2 sd 5 tahun, sedang yang berpengalaman kurang dari 2
tahun hanya 9%. Hal ini menunjukkan bahwa responden dapat dikatakan
memahami permasalahan ketahanan pangan, apalagi jabatan yang saat ini
diemban sebagian besar sebagai pengambil keputusan.
57

Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan pengalaman

Lama % Jumlah responden


Kurang dari 2 th 10% 25
2 sd 4 22% 54
5 sd 7 33% 83
8 sd 10 25% 62
Lebih dari 10 th 10% 24
Grand Total 248

Sebagian besar responden tergolong berusia matang (diatas 41 tahun), 82%


responden berusia 41 tahun keatas. Kenyataan ini menunjukan bahwa responden
telah memiliki pengalaman kerja yang memadai. Sebaran usia responden tampak
membentuk kurva normal dengan nilai tengah pada usia antara 46 hingga 50 tahun
sebanyak 29%. Sebanyak 14% responden berada pada rentang usia antara 41
hingga 45 tahun dan 31% responden berada pada rentang usia antara 51 hingga 55
tahun. Pada penelitian juga ditemui responden yang berusia diatas 55 tahun (8%)
dan dibawah 30 tahun (<1%). Responden yang berusia dibawah 30 tahun berasal
dari unsur anggota DPRD, sedang yang dari unsur eksekutif berada pada rentang
41 sampai 55 tahun. Hal ini disebabkan responden dari unsur eksekutif merupakan
pejabat karier.

Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan usia

Usia % Jumlah responden


< 30 tahun 0.81% 2
31 - 35 tahun 4.44% 11
35 - 40 tahun 10.89% 27
41 - 45 tahun 12.90% 32
46 - 50 tahun 29.44% 73
51 - 55 tahun 32.26% 80
> 55 tahun 8.47% 21
Tidak menjawab 0.81% 2
Grand Total 100% 248

Lebih dari separo responden telah menyelesaikan pendidikannya hingga


pascasarjana (51%) dimana jumlah ini tergolong tinggi. Sedangkan 34%
responden yang lain menamatkan pendidikannya hingga jenjang sarjana.
Responden yang menamatkan pendidikannya hingga jenjang diploma hanya
sebesar 7%. Sedangkan sisanya mengenyam pendidikan SMA. Responden yang
berpendidikan akademi kebawah merupakan responden dari unsur pelayaran
rakyat, dan sebagian dari anggota DPRD.
58

Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir


Pendidikan % Jumlah responden
SMA 8.47% 21
Akademi 5.24% 13
Sarjana 33.87% 84
S2 (Magister ) 49.19% 122
S3 (Doktor) 2.82% 7
Tidak menjawab 0.40% 1
Grand Total 100.00% 248

Model Konseptual Sistem Ketahanan Pangan Nasional

Model konseptual peranan Industri Maritim pada Distribusi Pangan di


Wilayah Terpencil untuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional dapat ditunjukkan
pada Gambar 11.

Gambar 11 Model konseptual pengaruh industri maritim terhadap sistem


ketahanan pangan nasional

SEM merupakan salah satu metode pengujian statistik parametrik, dimana


diperlukan data yang akan digunakan sebagai masukan (inputing) model harus
memenuhi kriteria-kriteria yang dipersyaratkan untuk dapat menggunakan metode
statistik parametrik. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah:
1. Normalitas data
2. Evaluasi outlier
3. Evaluasi multikolonieritas
4. Estimasi nilai parameter
5. Uji validitas dan reliabilitas
59

Pada model SEM pengujian dilakukan terhadap setiap variabel laten yang
membentuk model. Setelah semua variabel laten yang membentuk model
dilakukan pengujian dan dinyatakan baik (fit), maka baru dapat dilakukan
penggabungan variabel-variabel laten tersebut kedalam model secara simultan.
Sebelum model dilakukan pengujian secara simultan (terintegrasi), maka
harus dilakukan pengujian secara individu terhadap tiap variabel laten yang
membentuk model ketahanan pangan lengkap menggunakan Analisa Faktor
Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis). Tujuan dari pengujian variabel
laten secara individual menggunakan Analisa Faktor Konfirmatori adalah untuk
mengetahui/mengkonfirmasi indikator yang mampu mengukur variabel laten dan
menguji validitas variabel laten tersebut sehingga didapatkan faktor yang benar-
benar sesuai dengan apa yang ingin dijelaskan. Uji statistik hasil pengolahan
dengan SEM dilakukan dengan melihat nilai uji kesesuaian model dan tingkat
signifikansi hubungan antar variabel yang ditunjukkan melalui nilai p-value
masing-masing hubungan antar variabel.
Melalui keluaran hasil pengolahan data, variabel indikator dikatakan
signifikan terhadap variabel laten karena nilai p-value yang lebih kecil
dibandingkan nilai taraf nyata atau α yang digunakan yaitu sebesar 0,05. Hal ini
berarti bahwa terdapat hubungan kausalitas antara variabel indikator dengan
variabel laten.

Variabel Laten Ketahanan Pangan

Ketahanan Pangan merupakan variabel laten order ke dua (Second Order


Latent Variable) yang dijelaskan oleh 3 variabel laten yaitu (1) Availibility, (2)
Accesability, dan (3) Quality and Safety. Sebelum dilakukan pemodelan struktural
secara simultan, maka harus dilakukan validasi model secara individual, sehingga
dapat disusun analisis faktor konfirmatori seperti terlihat pada Gambar 15.

Gambar 12 Variabel laten ketahanan pangan nasional (national food


security)
Dimensi ketersediaan (availability) mengukur kecukupan pasokan pangan
nasional, risiko gangguan pasokan, kapasitas nasional untuk menyebar luaskan
atau mendistribusikan makanan, dan upaya penelitian dan pengembangan untuk
60

meningkatkan hasil pertanian. Dimensi Ketersediaan diukur menggunakan 7


indikator yaitu:
Y11: Kecukupan pasokan (Sufficiency of supply)
Y12: Alokasi penelitian dan pengembangan bidang ketahanan pangan
(Public expenditure on agricultural research and development)
Y13: Infrastruktur pertanian (Agricultural infrastructure)
Y14: Ketidakpastian produksi pertanian (Volatility of agricultural
production)
Y15: Resiko stabilitas politik (Political stability risk)
Y16: Tingkat korupsi (Corruption)
Y17: Kapasitas penyerapan pangan di perkotaan (Urban absorption
capacity)

Uji validitas variabel laten ketersediaan (availability) menggunakan


Confirmatory Factor Analysis (CFA) menghasilkan output yang ditunjukkan oleh
Gambar 13.

Gambar 13 Variabel laten ketersediaan (availibility)

Ringkasan fitting model hasil uji Confirmatory Factor Analysis terhadap


konstruk availibility.

Tabel 10 Tabel kebaikan model variabel ketersediaan (Availibility)


Ukuran Standar Hasil Perhitungan Kesimpulan
Goodness Of Fit Kebaikan
CHI-SQUARE kecil 64.717 Tidak fit
RMSEA ≤ 0.080 0.340 Tidak fit
GFI ≥ 0.900 0.915 Tidak fit
CFI ≥ 0.900 0.740 Tidak fit
CMIN/DF ≤ 2.000 4.623 Tidak fit

Pada Tabel 10 tampak bahwa model belum fit, hal ini diindikasikan
dengan semua indikator fitting model tidak dapat dipenuhi. Loading factor dari
indikator Y15 dan Y17 sangat kecil yaitu 0.1 dan 0.08 yang berarti indikator
tersebut tidak dapat digunakan untuk mengukur variabel konstruknya dan harus
dikeluarkan dari model. Perbaikan model dilakukan dengan mengeluarkan
61

indikator yang mempunyai loading factor paling kecil. Setelah kedua indikator
dikeluarkan dari model, maka dilakukan pengujian ulang terhadap model dan
hasilnya ditunjukkan oleh Gambar 14.

Gambar 14 Variabel laten ketersediaan (availibility) setelah perbaikan

Tabel 11 Hubungan variabel ketersediaan (availibility) terhadap


indikatornya.

Estimate Loading S.E. C.R. P Label


Factor
Y12 1.141 0.663 0.175 6.533 *** par_1
Y13 1.371 0.800 0.212 6.465 *** par_2
Y14 0.390 0.286 0.115 3.397 *** par_3
Y11 1.000 0.591
Y16 0.378 0.256 0.123 3.063 0.002 par_4

Tabel 12 Nilai kebaikan model variabel ketersediaan (Availibility) setelah


dilakukan perbaikan

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 8.032 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.055 Fit
GFI ≥ 0.900 0.984 Fit
CFI ≥ 0.900 0.979 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 1.606 Fit

Pada Tabel 12 terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
dipenuhinya semua indikator fitting model, sehingga dapat disimpulkan bahwa
indikaator Y11, Y12, Y13, Y14, dan Y16 terbukti merupakan indikator yang valid
yang dapat digunakan untuk mengukur variabel ketersediaan (availibility). Dari
hasil pengujian terhadap data penelitian mengunakan CFA diatas terlihat bahwa
indikator Y15 yaitu resiko stabilitas politik dan Y16 yaitu penyerapan pangan di
perkotaan secara statistik tidak signifikan, sehingga kedua variabel bukan
62

merupakan indikator untuk mengukur variabel tingkat ketersediaan pangan


sehingga harus didrop dari model. Selanjutnya diukur reliabilitas variabel.

Cunstruct Reliability 
 standardize loading 
2

 standardize loading 2   εj

Cunstruct Reliability 
 2.596   0.700
2

 2.596   3.420
2

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur


secara reliabel.
Dimensi affordability mengukur kemampuan konsumen untuk membeli
makanan, kerentanan mereka terhadap ketidakpastian harga, dan adanya program
dan kebijakan untuk mendukung mereka ketika ketidakpastian harga terjadi.
Dimensi affordability diukur mengunakan 6 indikator, yaitu:
Y21: Proporsi pengeluaran belanja rumah tangga untuk bahan makan dari
total pengeluaran (Food consumption as a proportion of total
household expenditure)
Y22: Proporsi populasi yang hidup dibawah garis kemiskinan (Proportion
of population living under or close to the global poverty line)
Y23: GDP per kapita (at purchasing power parity, or PPP, exchange rates)
Y24: Tarif import hasil pertanian (Agricultural import tariffs)
Y25: Program jaring pengaman pangan (Presence of food safety net
programmes)
Y26: Akses ke pembiayaan bagi petani (Access to financing for farmers)

Uji validitas terhadap variabel affordability menggunakan Confirmatory


Factor Analysis menghasilkan output sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 15.

Gambar 15 Variabel laten keterjangkauan (affordability)


63

Tabel 13 Nilai kebaikan model variabel keterjangkauan (Affordability)

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 109.529 Tidak fit
RMSEA ≤ 0.080 0.193 Tidak fit
GFI ≥ 0.900 0.890 Marginal Fit
CFI ≥ 0.900 0.772 Marginal Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 12.170 Tidak fit

Pada Tabel 13 tampak bahwa model belum fit, hal ini diindikasikan dengan
semua indikator fitting model tidak dapat dipenuhi. Hasil pengolahan data masih
diketemukan indikator yang mempunyai loading factor yang < 0.500, yaitu Y24
dengan loading factor 0.390 dan Y25 dengan loading factor 0.310, sehingga
menurut Ghozali (2013) indikator tersebut harus didrop dari model. Indikator
Y24 adalah tarif impor hasil pertanian dan Y25 yaitu program jaring pengaman
pangan tidak terbukti sebagai indikator yang baik untuk mengukur variabel laten
Affordability (kemampuan konsumen untuk membeli makanan). Hal ini memberi
bukti bahwa ketahanan pangan secara nasional tidak dipengaruhi oleh tarif impor
hasil pertanian dan tidak dipengaruhi pula oleh program jaring pengamanan
pangan. Hasil pengujian ini memberi bukti bahwa program jaring pengaman
pangan yang seharusnya dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan belum
tepat sasaran, dan belum dapat menjangkau masyarakat yang berada di daerah
terpencil, karena program yang semula ditujukan untuk meningkatkan sistem
ketahanan pangan belum bisa mengatasi permasalahan kerentanan pangan
didaerah terpencil. Setelah dilakukan perbaikan model, maka model hasil
perbaikan harus dilakukan pengujian ulang dan hasilnya ditunjukkan pada
Gambar 16.

Gambar 16 Variabel laten keterjangkauan (affordability) setelah


dilakukan perbaikan
64

Tabel 14 Nilai kebaikan model variabel keterjangkauan (Affordability)


setelah dilakukan perbaikan

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 0.154 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.000 Fit
GFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 0.154 Fit

Tabel 15 Hubungan variabel keterjangkauan (Affordability) terhadap


indikatornya.

Estimate Loading S.E. C.R. P Label


Factor
Y21 1.000 0.793
Y22 1.157 0.783 0.112 10.368 *** par_1
Y23 0.898 0.742 0.088 10.216 *** par_2
Y26 0.727 0.460 0.119 6.119 *** par_3

Pada Tabel 15 terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
dipenuhinya semua indikator fitting model dan nilai p value 0.694, sehingga dapat
disimpulkan bahwa indikator Y21, Y22, Y23, dan Y26 terbukti merupakan
indikator yang valid yang dapat digunakan untuk mengukur variabel
affordability. Selanjutnya diukur reliabilitas variabel.

Construct Reliabilit y 
 standardize loading  2

 standardize loading    j
2

Cunstruct Reliability 
 2.778   0.830
2

 2.778   1,624
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.830 ≥ 0.700 dapat


disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.
Dimensi Quality and Safety mengukur apa yang sering disebut sebagai
"utility" dalam istilah ilmu ekonomi. Dimensi ini menilai keberagaman dan rata-
rata kualitas nutrisi makanan, serta keamanan makanan. Dimensi Quality and
Safety diukur menggunakan 5 indikator, yaitu:
Y31: Keragaman makanan (Diet diversification)
Y32: Komitmen pemerintah untuk meningkatkan standar nutrisi
masyarakat (Government commitment to increasing nutritional
standards)
Y33: Ketersediaan mikronutrien (Micronutrient availability)
Y34: Kualitas protein (Protein quality)
Y35: Keamanan pangan (Food safety)
65

Uji validitas terhadap variabel Quality and Safety menggunakan


Confirmatory Factor Analysis menghasilkan output sebagaimana ditujukkan oleh
Gambar 17.

Gambar 17 Variabel laten kualitas dan keamanan pangan (quality and


safety).

Tabel 16 Nilai kebaikan model variabel keamanan pangan (quality and


safety).

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 42.373 Tidak Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.192 Marginal Fit
GFI ≥ 0.900 0.923 Fit
CFI ≥ 0.900 0.869 Tidak Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 8.475 Tidak Fit

Pada Tabel 16 tampak bahwa model belum fit, hal ini diindikasikan bahwa
hanya satu indikator saja yang fit yaitu GFI dan satu indikator yang marginal fit
yaitu RMSEA sedang indikator yang lain masih belum memenuhi. Loading factor
dari semua indikator semua > 0.5 sehingga semua indikator harus dipertahankan.
Walaupun semua indikator mempunyai loading factor yang besar, akan tetapi
karena belum memenuhi uji fitting model, maka model harus dilakukan perbaikan
dengan menggunakan petunjuk pada modification indices. Dari tabel output
AMOS 21 tersebut terdapat 2 indikator yang mempunyai modification indices
besar yaitu jika e37 dan e36 dihubungkan, serta e38 dan e36 dihubungkan. Arti
dari hal ini adalah bahwa error 37 yang merupakan error dari indikator Y34 yaitu
kualitas protein mempunyai hubungan perilaku yang identik dengan error dari e36
yang merupakan error dari variabel Y33 yaitu indikator ketersediaan
mikronutrien.
66

Tabel 17 modification indices variabel kualitas dan keamanan

M.I. Par Change


e35 <--> e34 7.761 0.054
e37 <--> e35 8.357 -0.053
e37 <--> e36 16.629 0.071
e38 <--> e35 9.615 0.068
e38 <--> e36 11.063 -0.068

Hasil output AMOS 21.0 pada modification indices terdapat nilai model
hasil perbaikan harus dilakukan pengujian ulang terhadap model dan hasilnya
sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 18.

Gambar 18 Variabel laten kualitas dan keamanan pangan (quality and


safety) setelah dilakukan perbaikan.

Tabel 18 Nilai kebaikan model variabel keamanan pangan (quality and


safety) setelah dilakukan perbaikan.

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 5.642 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.061 Fit
GFI ≥ 0.900 0.990 Fit
CFI ≥ 0.900 0.993 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 1.881 Fit

Pada Tabel 18, yaitu tabel kebaikan model setelah dilakukan perbaikan
dengan merujuk pada tabel modification indices yaitu dengan mengasosiasikan
Y33 dengan Y34, dan Y33 dengan Y35 karena mempunyai indeks MI paling
besar. Setelah dilakukan perbaikan dan dilakukan pengujian terlihat bahwa model
sudah fit yang ditandai dengan dipenuhinya semua indikator fitting model,
sehingga dapat disimpulkan bahwa indikaator Y31, Y32, Y33, Y34, dan Y35
67

terbukti merupakan indikator yang valid yang dapat digunakan untuk mengukur
variabel kualitas dan keamanan (quality and safety). Selanjutnya diukur
reliabilitas variabel berikut.
 standardiz e loading  2

Cunstruct Reliability 
 standardiz e loading    εj
2

Cunstruct Reliability 
 3.226   0.820
2

 3.226   2.230
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.820 ≥ 0.700 dapat


disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.
Sedangkan hasil pengolahan data secara simultan menggunakan second
order structural equation model terhadap variabel ketahanan pangan ditunjukkan
oleh Gambar 19.

Gambar 19 Model second order SEM sistem ketahanan pangan nasional (NFS)

Tabel 19 Nilai kebaikan model variabel ketahanan pangan nasional (NFS)


.
Ukuran Standar Hasil Kesimpulan
Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 78.736 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.022 Fit
GFI ≥ 0.900 0.954 Fit
CFI ≥ 0.900 0.991 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 1.109 Fit
68

Tabel 20 Hubungan variabel laten sistem ketahanan pangan nasional (NFS)


terhadap variabel laten pembentuknya.

Estimate Loading S.E. C.R. P Label


Factor
AVAILIBILITY 0.354 0.334 0.094 3.788 *** par_1
AFFORDABILITY 5.074 0.981 0.41 12.373 *** par_2
QUALITY AND 0.186 0.183 0.08 2.314 0.021 par_3
SAFETY

Pada Tabel 20 terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
dipenuhinya semua indikator fitting model, sehingga dapat disimpulkan bahwa
variabel laten availibility, affordability, dan quality and safety merupakan variabel
laten yang valid untuk digunakan mengukur variabel laten lain yaitu National
Food Security dengan menggunakan second order SEM. Selanjutnya diukur
reliabilitas variabel.

 standardiz e loading  2

Cunstruct Reliability 
 standardiz e loading    εj
2

Cunstruct Reliability 
 2.912  0.980
2

 2.912  0.173
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.980 ≥ 0.700 dapat


disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.

Variabel Distribusi Pangan

Distribusi pangan dilakukan melalui pengembangan sistem distribusi pangan


yang dapat menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
secara efektif dan efisien. Pengelolaan sistem distribusi pangan harus dapat
mempertahankan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat. Mengacu pada UU No 18 Tahun 2012
tersebut, maka keberhasilan dari distribusi pangan dapat dilihat dari dua aspek
penting yaitu pengembangan sistem distribusi dan pengelolaan sistem distribusi.
Indikator kinerja dari distribusi pangan sesuai pasal 49 UU No 18 tersebut adalah:
Variabel pengembangan sistem diukur menggunakan indikator:
X41: Terwujudnya pengembangan sistem distribusi Pangan melalui
pelayanan transportasi yang efektif dan efisien.
X42: Adanya pengembangan sistem regulasi dari Pemerintah daerah yang
mempermudah bongkar muat produk Pangan
X43: Tersedianya pengembangan sistem sarana dan prasarana untuk
distribusi Pangan terutama Pangan Pokok.
X44: Tersedianyan pengembangan sistem lembaga distribusi Pangan di
masyarakat.
69

Uji validitas terhadap variabel pengembangan sistem menggunakan


Confirmatory Factor Analysis menghasilkan output sebagaimana ditunjukkan
oleh Gambar 20.

Gambar 20 CFA variabel pengembangan sistem

Tabel 21 Nilai kebaikan model variabel pengembangan sistem

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 0.591 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.000 Fit
GFI ≥ 0.900 0.999 Fit
CFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 0.295 Fit

Tabel 22 Hubungan variabel laten pengembangan sistem terhadap


indikatornya.

Estimate Loading Factor S.E. C.R. P Label


X44 1.000 0.745
X43 1.128 0.767 0.121 9.309 *** par_1
X42 1.075 0.742 0.116 9.235 *** par_2
X41 0.888 0.638 0.109 8.175 *** par_3

Pada tabel diatas terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
dipenuhinya semua indikator fitting model, sehingga dapat disimpulkan bahwa
indikator X41, X42, X43, dan X44 terbukti merupakan indikator yang valid untuk
mengukur variabel pengembangan sistem. Selanjutnya diukur reliabilitas variabel.

 standardiz e loading  2

Cunstruct Reliability 
 standardiz e loading    εj
2
70

Cunstruct Reliability 
 2.892  0.810
2

 2.892  1.90
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.81 ≥ 0.7 dapat


disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.
Selanjutnya untuk variabel pengelolaan sistem diukur menggunakan
indikator:
X51: Terwujudnya pengelolaan sistem distribusi Pangan melalui
pelayanan transportasi yang efektif dan efisien.
X52: Adanya pengelolaan sistem regulasi dari Pemerintah daerah yang
mempermudah bongkar muat produk Pangan
X53: Tersedianya pengelolaan sistem sarana dan prasarana untuk
distribusi Pangan terutama Pangan Pokok.
X54: Tersedianya pengelolaan sistem lembaga distribusi Pangan di
masyarakat.
Uji validitas terhadap variabel pengelolaan sistem menggunakan
Confirmatory Factor Analysis menghasilkan output sebagaimana dijelaskan oleh
Gambar 21.

Gambar 21 CFA variabel pengelolaan sistem

Tabel 23 Nilai kebaikan model variabel pengelolaan sistem

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 29.257 Tidak Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.259 Tidak Fit
GFI ≥ 0.900 0.928 Fit
CFI ≥ 0.900 0.921 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 14.628 Tidak Fit

Pada Tabel 23 terlihat bahwa model belum fit yang ditandai dengan belum
dipenuhinya beberapa indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
71

disimpulkan bahwa indikator X51, X52, X53, dan X54 belum terbukti sebagai
indikator yang valid untuk mengukur variabel pengelolaan sistem. Untuk itu
maka harus dilakukan perbaikan dengan menggunakan petunjuk dari modification
indices. Hasil perbaikan model ditunjukkan pada gambar 22.

Gambar 22 CFA variabel pengelolaan sistem setelah perbaikan

Table 24 Nilai kebaikan model variable pengelolaan sistem setelah perbaikan


model
Ukuran Standar Hasil Kesimpulan
Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 0.002 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.000 Fit
GFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 0.002 Fit

Tabel 25 Hubungan variabel laten pengelolaan sistem terhadap indikatornya.

Estimate Loading Factor S.E. C.R. P Label


X54 1.000 0.636
X53 1.567 0.931 0.181 8.644 *** par_1
X52 1.089 0.630 0.108 10.083 *** par_2
X51 1.101 0.735 0.126 8.714 *** par_3

Pada Tabel 25, yaitu tabel kebaikan model setelah dilakukan perbaikan
model terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan dipenuhinya semua
indikator fitting model, sehingga dapat disimpulkan bahwa indikaator X51, X52,
X53, dan X54 terbukti merupakan indikator yang valid yang dapat digunakan
untuk mengukur variabel pengelolaan sistem. Selanjutnya dilakukan pengukuran
reliabilitas variabel.
72

 standardiz e loading  2

Cunstruct Reliability 
 standardiz e loading    εj
2

Cunstruct Reliability 
 2.932  0.830
2

 2.932  1.79
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.830 ≥ 0.700 dapat


disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.
Sedangkan hasil pengolahan data secara simultan menggunakan second
order structural equation model terhadap variabel distribusi pangan sebagaimana
ditunjukkan oleh Gambar 23.

Gambar 23 CFA second order Structural Equation Model (SEM)


variabel laten distribusi pangan

Tabel 26 Nilai kebaikan model second order Structural Equation Model (SEM)
variabel laten distribusi pangan

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 184.652 Kurang baik
RMSEA ≤ 0.080 0.186 Kurang baik
GFI ≥ 0.900 0.835 Marginal Fit
CFI ≥ 0.900 0.826 Marginal Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 9.233 Kurang baik

Pada Tabel 26 diatas terlihat bahwa model belum fit yang ditandai dengan
belum dipenuhinya beberapa indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel laten pengembangan sistem dan variabel laten
pengelolaan sistem belum terbukti sebagai indikator yang valid untuk mengukur
variabel laten lain yaitu distribusi pangan melalui second order SEM. Untuk itu
73

maka harus dilakukan perbaikan dengan menggunakan petunjuk dari modification


indices. Output yang berupa modification indices memberikan informasi untuk
dapat mengurangi nilai Chi-Square dengan jalan mengasosiasikan nilai error,
dalam model ini yang diasosiasikan adalah e8 dengan e6, e1 dengan z2. Setelah
diasosiasikan maka model hasil perbaikan dijalankan lagi. Hasil perbaikan model
ditunjukkan pada Gambar 24.

Gambar 24 CFA second order Structural Equation Model (SEM)


variabel laten distribusi pangan setelah perbaikan model

Tabel 27 Nilai kebaikan model second order Structural Equation Model (SEM)
variabel laten distribusi pangan setelah perbaikan model

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 25.976 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.047 Fit
GFI ≥ 0.900 0.969 Fit
CFI ≥ 0.900 0.989 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 1.443 Fit

Tabel 28 Hubungan variabel laten distribusi pangan terhadap variabel laten


pengelolaan sistem dan pengembangan sistem
Estimate Loading S.E. C.R. P Label
Factor
PENGELOLAAN_SISTEM 1.559 0.842 0.144 10.799 *** par_7
PENGEMBANGAN_SISTEM 1.843 0.879 0.155 11.896 *** par_8

Pada Tabel 28 diatas terlihat bahwa model sudah memenuhi kriteria


kesesuaian model yang berarti model sudah fit yang ditandai dengan telah
74

dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat


disimpulkan bahwa variabel laten pengembangan sistem dan variabel laten
pengelolaan sistem terbukti sebagai indikator yang valid untuk mengukur
variabel laten lain yaitu distribusi pangan melalui second order SEM. Selanjutnya
dilakukan pengukuran reliabilitas variabel.

 standardiz e loading  2

Cunstruct Reliability 
 standardiz e loading    εj
2

Cunstruct Reliability 
 1.721  0.850
2

 1.721  0.518
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.850 ≥ 0.700 dapat


disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.

Variabel Industri Maritim

Komponen utama dari industri maritim yang terkait langsung dengan sistem
ketahanan pangan terutama menyangkut distribusi pangan dapat dikelompokkan
menjadi 3 klaster industri yaitu: industri jasa maritim, industri perkapalan, dan
industri pangan strategis (perikanan dan beras).
Industri jasa maritim berkaitan dengan kegiatan usaha bidang jasa yang
berhubungan dengan sektor kelautan. Industri jasa maritim meliputi:
X11: Industri Pelabuhan
X12: Industri Pergudangan
X13: Industri Pelayaran
X14: Industri Pariwisata.
Uji validitas terhadap variabel industri jasa maritim menggunakan
Confirmatory Factor Analysis menghasilkan output sebagaimana ditunjukkan
oleh Gambar 25.

Gambar 25 CFA variabel laten Injasmar terhadap indikatornya


75

Tabel 29 Nilai kebaikan model variabel laten Injasmar

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 11.584 Marginal Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.142 Tidak Fit
GFI ≥ 0.900 0.975 Fit
CFI ≥ 0.900 0.973 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 5.792 Tidak Fit

Pada Tabel 29 terlihat bahwa model belum fit yang ditandai dengan belum
dipenuhinya beberapa indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa indikator X11, X12, X13, dan X14 belum terbukti sebagai
indikator yang valid untuk mengukur variabel laten injasmar. Untuk itu maka
harus dilakukan perbaikan dengan menggunakan petunjuk dari modification
indices. Perbaikan dilakukan dengan mengasosiasikan e3 dengan e4, dan model
dijalankan lagi. Hasil perbaikan model ditunjukkan pada Gambar 26.

Gambar 26 CFA variabel laten Injasmar terhadap indikatornya setelah


perbaikan model

Tabel 30 Nilai kebaikan model variabel laten Injasmar setelah perbaikan


model
Ukuran Standar Kebaikan Hasil Kesimpulan
Goodness Of Fit Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 0.005 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.000 Fit
GFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 0.005 Fit

Pada tabel diatas terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
telah dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa bahwa indikator X11, X12, X13, dan X14 terbukti sebagai
76

indikator yang valid untuk mengukur variabel laten injasmar. Selanjutnya


dilakukan pengukuran reliabilitas variabel.

Tabel 31 Hubungan variabel laten Injasmar terhadap indikatornya

Estimate Loading Factor S.E. C.R. P Label


X11 1.000 0.781
X12 1.052 0.791 0.098 10.726 ***
X13 0.950 0.760 0.091 10.458 ***
X14 0.675 0.569 0.087 7.763 ***

 standardiz e loading  2

Cunstruct Reliability 
 standardiz e loading    εj
2

Cunstruct Reliability 
 2.901  0.820
2

 2.901  1.860
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.820 ≥ 0.700


dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.
Industri perkapalan yang terkait langsung dengan sistem ketahanan pangan
nasional dapat diukur menggunakan indikator:
X2 : Industri Kapal
X22 : Industri Peralatan dan Perlengkapan Kapal
X23 : Industri Perbaikan Kapal
X24 : Industri Pembuatan dan Pemeliharaan Perahu Pesiar, rekreasi dan
Olahraga
Uji validitas terhadap variabel industri perkapalan menggunakan
Confirmatory Factor Analysis menghasilkan output sebagaimana ditunjukkan
oleh Gambar 27.

Gambar 27 CFA variabel laten industri perkapalan terhadap indikatornya


77

Tabel 32 Nilai kebaikan model variabel laten industri perkapalan terhadap


indikatornya

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 1.368 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.000 Fit
GFI ≥ 0.900 0.997 Fit
CFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 0.684 Fit

Pada Tabel 32 diatas terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
telah dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa indikator X21, X22, X23, dan X24 terbukti sebagai indikator
yang valid untuk mengukur variabel laten industri perkapalan. Selanjutnya
dilakukan pengukuran reliabilitas variabel yang didasarkan dari data pada Tabel
33 yang merupakan output pengolahan data dengan AMOS Ver. 21.0

Tabel 33 Hubungan variabel laten industri perkapalan terhadap indikatornya

Estimate Loading Factor S.E. C.R. P Label


X24 1.000 0.538
X23 1.524 0.836 0.198 7.709 *** par_1
X22 1.588 0.871 0.203 7.804 *** par_2
X21 1.391 0.768 0.187 7.424 *** par_3

 standardiz e loading  2

Cunstruct Reliability 
 standardiz e loading    εj
2

Cunstruct Reliability 
 3.013  0.850
2

 3.013  1.660
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.850 ≥ 0.700 dapat


disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.
Sedang kelompok industri pangan strategis meliputi:
X31: Industri Penangkapan Ikan/ Hasil Laut
X32: Industri Pengolahan Ikan/ Hasil Laut
X33: Industri Pemasaran Ikan/Hasil Laut.
X34: Industri Pangan Nasional

Uji validitas terhadap variabel industri pangan strategis menggunakan


Confirmatory Factor Analysis menghasilkan output sebagaimana ditunjukkan
oleh Gambar 28.
78

Gambar 28 CFA variabel laten Industri pangan strategis terhadap


indikatornya

Tabel 34 Nilai kebaikan model variabel laten Industri Pangan Strategis


terhadap indikatornya

Ukuran Standar Hasil Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 1.951 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.000 Fit
GFI ≥ 0.900 0.996 Fit
CFI ≥ 0.900 1.000 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 0.975 Fit

Pada Tabel 34 terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan telah
dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa bahwa indikator X31, X32, X33, dan X41 terbukti sebagai
indikator yang valid untuk mengukur variabel laten industri pangan strategis.
Selanjutnya dilakukan pengukuran reliabilitas variabel sebagai berikut.
Sedangkan hasil pengolahan data secara simultan menggunakan second
order structural equation model terhadap variabel industri maritim ditunjukkan
oleh Gambar 32.
79

Gambar 29 CFA second order Structural Equation Model (SEM)


variabel laten industri maritim

Tabel 35 Nilai kebaikan model second order Structural Equation Model


(SEM) variabel laten industri maritim

Ukuran Standar Hasil Perhitungan Kesimpulan


Goodness Of Fit Kebaikan
CHI-SQUARE kecil 252.030 Tidak Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.126 Tidak Fit
GFI ≥ 0.900 0.855 Marginal Fit
CFI ≥ 0.900 0.875 Marginal Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 4.755 Tidak Fit

Pada Tabel 35 diatas terlihat bahwa model belum fit yang ditandai dengan
belum dipenuhinya beberapa indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel laten injasmar, perkapalan, dan variabel laten industri
pangan strategis belum terbukti sebagai indikator yang valid untuk mengukur
variabel laten lain yaitu industri maritim melalui second order SEM. Untuk itu
maka harus dilakukan perbaikan dengan menggunakan petunjuk dari modification
indices. Hasil perbaikan model ditunjukkan oleh Gambar 30.
80

Gambar 30 CFA second order Structural Equation Model (SEM) variabel laten
induatri maritim setelah dilakukan perbaikan

Tabel 36 Nilai kebaikan model second order Structural Equation Model (SEM)
variabel laten industri maritim setelah dilakukan perbaikan

Ukuran Standar
Hasil Perhitungan Kesimpulan
Goodness Of Fit Kebaikan
CHI-SQUARE kecil 92.354 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.071 Fit
GFI ≥ 0.900 0.927 Fit
CFI ≥ 0.900 0.969 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 1.965 Fit

Sedangkan hasil pengolahan data secara simultan menggunakan second


order structural equation model terhadap variabel industri maritim ditunjukkan
pada Tabel 37.

Tabel 37 Hubungan variabel laten industri maritim terhadap variabel laten


injasmar, industri perkapalan, dan industri pangan strategis.
Loading
Estimate S.E. C.R. P Label
Factor
INJASMAR 4.178 0.973 0.416 10.048 *** par_1
PERKAPALAN 1.106 0.742 0.145 7.606 *** par_2
PANGAN_STRATEGIS 2.385 0.922 0.446 5.347 *** par_3
81

Pada Tabel 37 diatas terlihat bahwa model sudah fit yang ditandai dengan
telah dipenuhinya semua indikator penting dari fitting model, sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel laten injasmar, perkapalan, dan variabel laten industri
pangan strategis terbukti sebagai indikator yang valid untuk mengukur variabel
laten lain yaitu industri maritim melalui second order SEM. Selanjutnya dilakukan
pengukuran reliabilitas variabel sebagai berikut.

 standardiz e loading  2

Cunstruct Reliability 
 standardiz e loading    εj
2

Cunstruct Reliability 
 2.41  0.850
2

 2.41  1.050
2

Dengan demikian karena hasil perhitungan reliability = 0.850 ≥ 0.700 dapat


disimpulkan bahwa variabel tersebut sudah terukur secara reliabel.

Evaluasi Kesesuaian terhadap Model Lengkap

Model yang diusulkan dalam penelitian ini kemudian diterjemahkan ke


dalam model SEM menjadi model bagian pertama dalam penelitian ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara pendahuluan dan pengisisan
kuisioner yang kemudian diolah dengan menggunakan software Amos 21.0
diperoleh path diagram sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 31.

Gambar 31 Output path diagram model penelitian


82

Kebaikan dan kecocokan model dalam SEM menggunakan kriteria


goodness of fit diantaranya Chi-Square, CMIN/DF, RMSEA, dan GFI. Beberapa
ukuran tersebut saling memberikan penguatan untuk penyimpulan kebaikan dan
kecocokan model.
Dari hasil perhitungan dengan AMOS 21.0 model di atas, tampak ukuran
Goodness of Fit dirangkum dalam Tabel 38 sebagai berikut:

Tabel 38 Nilai kebaikan model second order Structural Equation Model


(SEM) model penelitian lengkap

Ukuran Goodness Of Standar Hasil


Kesimpulan
Fit Kebaikan Perhitungan
CHI-SQUARE kecil 735.186 Fit
RMSEA ≤ 0.080 0.055 Fit
GFI ≥ 0.900 0.842 Marginal Fit
CFI ≥ 0.900 0.928 Fit
CMIN/DF ≤ 2.000 1.447 Fit

Berdasarkan lima ukuran kebaikan model di atas, tampak bahwa secara


keseluruhan model sudah baik. Dengan demikian model dapat digunakan untuk
analisis pengaruh industri maritim dan distribusi pangan terhadap ketahanan
pangan nasional. Makna dari hasil penelitian ini adalah bahwa model yang telah
disusun secara keseluruhan adalah sudah baik yang ditandai dengan dipenuhinya
semua indikator/ ukuran fitting model yaitu bahwa penelitian ini telah
menghasilkan suatu kebaruan berupa model baru.
Pada model tersebut dalam menjelaskan pengaruh antara industri maritim
dengan sistem ketahanan pangan nasional dapat dijelaskan secara bersama-sama
pengaruh variabel pada keseluruhan model di atas. Semua variabel berpengaruh
positif dalam kontribusinya terhadap sistem ketahanan pangan. Model dapat
menjelaskan pengaruh secara langsung antara variabel laten industri maritim
terhadap ketahanan pangan nasional. Selain pengaruh langsung model juga dapat
menjelaskan pengaruh tidak langsung antara industri maritim terhadap ketahanan
pangan nasional dengan melalui variabel laten lain yaitu melalui variabel
distribusi pangan.
Selanjutnya, akan dilakukan pengujian secara terpisah maupun secara
serentak. Pengujian secara terpisah dimaksudkan untuk mengetahui apakah
variabel-variabel laten yang digunakan untuk membangun model tersebut
berpengaruh terhadap ketahanan pangan nasional atau tidak. Berikut data hasil
perhitungan dengan AMOS 21.0
83

Tabel 39 Hasil Perhitungan Model Lengkap


Estimat
S.E. C.R. P Label
e
DISTRIBUSI_PANGAN <-- INDUSTRI_MARITIM 0.440 0.128 3.430 *** par_4

NFS <-- INDUSTRI_MARITIM 0.131 0.119 1.095 0.002 par_2

NFS <-- DISTRIBUSI_PANGAN 0.476 0.100 4.778 *** par_3

AVAILIBILITY <-- NFS 0.313 0.084 3.700 *** par_5

AFFORDABILITY <-- NFS 3.873 0.407 9.509 *** par_6


QUALITY_AND_SAFE
<-- NFS 0.103 0.074 1.381 0.017 par_7
TY
INJASMAR <-- INDUSTRI_MARITIM 3.183 0.556 5.719 *** par_8

PERKAPALAN <-- INDUSTRI_MARITIM 1.342 0.365 3.673 *** par_9

PANGAN_STRATEGIS <-- INDUSTRI_MARITIM 0.509 0.312 1.63 0.003 par_10

BANG_SISTEM <-- DISTRIBUSI_PANGAN 0.278 0.075 3.705 *** par_11

KELOLA_SISTEM <-- DISTRIBUSI_PANGAN 3.786 0.448 8.442 *** par_12

Keterangan:
*** = nilai probability signifikan pada α = 5%

Berdasarkan Tabel 39 di atas, hasil pemodelan dengan menggunakan AMOS


21.0 tersebut dapat menjawab hipotesis. Agar lebih jelas dapat disajikan model
akhir yang telah dihasilkan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 32.

Gambar 32 Model persamaan struktural berdasarkan kerangka pemikiran


beserta nilai parameter dan hasil uji statistik
84

Dari model di atas dihasilkan persamaan sebagai berikut :


Distribusi Pangan = 0.440 * Industri Maritim
NFS = 0.131* Industri Maritim + 0.476 * Distribusi Pangan

Tabel 40 Direct effect model output pengolahan data pada AMOS 21.0

X1 X2 Y X21 X22 X11 X12 X13 Y1 Y2 Y3


X2 0.484 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Y 0.131 0.471 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X21 0 3.776 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X22 0 0.276 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X11 0.490 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X12 1.347 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X13 3.195 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Y1 0 0 0.102 0 0 0 0 0 0 0 0
Y2 0 0 3.875 0 0 0 0 0 0 0 0
Y3 0 0 0.311 0 0 0 0 0 0 0 0

Direct effect menunjukkan nilai loading factor untuk tiap variabel terhadap
variabel lain secara langsung. Nilai tersebut merupakan suatu besaran yang
menyatakan tingkat kontribusi suatu variabel terhadap perubahan nilai variabel
lain.

Tabel 41 Total effects dari output AMOS 21.0 model penelitian

X1 X2 Y X21 X22 X11 X12 X13 Y1 Y2 Y3


X2 0.434 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Y 0.336 0.471 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X21 1.639 3.776 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X22 0.120 0.276 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X11 0.490 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X12 1.347 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X13 3.195 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Y1 0.034 0.048 0.102 0 0 0 0 0 0 0 0
Y2 1.302 1.827 3.875 0 0 0 0 0 0 0 0
Y3 0.104 0.147 0.311 0 0 0 0 0 0 0 0
Dimana:
X1 = INDUSTRI_MARITIM X13= INJASMAR
X2 = DISTRIBUSI_PANGAN Y1= QUALITY_AND_SAFETY
Y= NFS Y2= AFFORDABILITY
X21 = PENGELOLAAN_SISTEM Y3= AVAILIBILITY
X22 = PENGEMBANGAN_SISTEM
X11 = INDUSTRI_PANGAN_STRATEGIS
X12= PERKAPALAN
85

Total effect menunjukkan nilai loading factor untuk tiap variabel terhadap
variabel lain secara total. Nilai tersebut merupakan suatu besaran yang
menyatakan tingkat kontribusi suatu variabel secara bersama-sama dengan
variabel lain yang sama-sama berkontribusi terhadap perubahan nilai variabel lain.

Pengaruh Langsung Industri Maritim


terhadap National Food Security (NFS)

Hipotesis yang pertama yang diteliti adalah pengaruh langsung industri


maritim terhadap National Food Security (NFS). Hasil penelitian yang
ditunjukkan pada Tabel 40 menjelaskan bahwa Industri Maritim memiliki
pengaruh langsung terhadap National Food Security (NFS). Hal itu dapat
ditunjukkan dengan nilai Estimate = 0.131 dengan CR = 1.095 dan P = 0.002.
Dengan demikian pengaruh langsung Industri Maritim terhadap National Food
Security (NFS) dalam model keseluruhan pengaruh tersebut nyata, dan
menghasilkan pengaruh yang signifikan. Oleh karena itu implikasinya adalah
untuk meningkatkan National Food Security (NFS) dapat diupayakan melalui
peningkatan Industri Maritim dan pelaksanaannya dengan mengacu model yang
telah disusun. Dengan demikian maka H1 terbukti.
Model pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan dapat
dituliskan sebagai berikut:

NFS = 0.131* Industri Maritim

Pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengaruh industri maritim terhadap


distribusi pangan dengan nilai estimasi 0.440 dengan CR = 3.430 dan P= 0.000
menunjukkan bahwa secara statistik signifikan. Dengan demikian pengaruh
industri maritim terhadap distribusi pangan dalam model keseluruhan, bahwa
pengaruh tersebut nyata, dan menghasilkan pengaruh yang signifikan. Oleh
karena itu implikasinya adalah untuk meningkatkan distribusi pangan dapat
diupayakan melalui peningkatan industri maritim dan pelaksanaannya dengan
mengacu model yang telah disusun. Dengan demikian maka H2 terbukti.
Model pengaruh industri maritim terhadap distribusi pangan dapat
dituliskan sebagai berikut:

Distribusi Pangan = 0.440 * Industri Maritim

Pengaruh Distribusi Pangan terhadap National Food Security (NFS)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengaruh distribusi pangan


terhadap Ketahanan Pangan Nasional (NFS) dengan nilai estimasi 0.476 dengan
CR = 4.778 dan P = signifikan, hal ini menunjukkan bahwa secara statistik
pengaruh tersebut signifikan. Dengan demikian pengaruh distribusi pangan
terhadap National Food Security (NFS) dalam model terbukti nyata dan
signifikan. Oleh karena itu implikasinya adalah untuk meningkatkan Ketahanan
86

Pangan dapat diupayakan melalui peningkatan Distribusi Pangan dan


pelaksanaannya dengan mengacu model yang telah disusun. Dengan demikian
maka H3 terbukti.
Model pengaruh Distribusi Pangan terhadap Ketahanan Pangan Nasional
(NFS) dapat dituliskan sebagai berikut:

NFS = 0.476 * Distribusi Pangan

Pengaruh Industri Maritim terhadap


National Food Security (NFS) melalui Distribusi Pangan

Hipotesis yang keempat yang diteliti adalah pengaruh langsung industri


maritim terhadap National Food Security (NFS). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa industri maritim mempunyai pengaruh langsung terhadap National Food
Security (NFS) dengan loading factor sebesar 0.131, sedang pengaruh tidak
langsung industri maritim terhadap NFS sebesar 0.210 dengan tingkat probability
signifikan. Karena loading factor pengaruh tidak langsung lebih besar daripada
pengaruh langsung, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh industri maritim
terhadap ketahanan pangan nasional (NFS) tidak secara langsung tapi dimediasi
oleh distribusi pangan. Dengan demikian maka pengaruh industri maritim
terhadap National Food Security (NFS) melalui distribusi pangan dalam model
keseluruhan adalah nyata, dan menghasilkan pengaruh yang signifikan. Oleh
karena itu implikasinya adalah untuk meningkatkan National Food Security
(NFS) dapat diupayakan melalui peningkatan industri maritim yang berkaitan
langsung dengan peningkatan distribusi pangan dan pelaksanaannya mengacu
pada model yang telah disusun. Dengan demikian maka H4 terbukti.

Pengaruh Industri Maritim dan Distribusi Pangan terhadap


National Food Security (NFS)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri maritim dan distribusi pangan


memiliki pengaruh terhadap National Food Security (NFS). Hal itu dapat
ditunjukkan dengan nilai estimate = 0.131 dengan CR = 1.095 dan P = 0.002
untuk variabel industri maritim, dan nilai estimate = 0.476 dengan CR = 4.778,
dan P = signifikan. Dengan demikian maka pengaruh industri maritim dan
distribusi pangan terhadap National Food Security (NFS) dalam model
keseluruhan adalah nyata, dan menghasilkan pengaruh yang signifikan. Oleh
karena itu implikasinya adalah untuk meningkatkan National Food Security
(NFS) dapat diupayakan melalui peningkatan industri maritim dan dengan
peningkatan sistem distribusi pangan secara bersama dan pelaksanaannya
mengacu pada model yang telah disusun.
Model pengaruh industri maritim terhadap distribusi pangan dapat dituliskan
sebagai berikut:
NFS = 0,131* Industri Maritim + 0.476 * Distribusi Pangan
Hasil pengolahan data yang telah dibahas membuktikan bahwa terdapat
pengaruh langsung yang nyata antara variabel Industri Maritim terhadap variabel
Ketahanan Pangan Nasional (NFS) dengan loading factor 0.131, begitu juga telah
87

dapat dibuktikan bahwa terdapat pengaruh yang nyata antara variabel Industri
Maritim terhadap Distribusi Pangan dengan loading factor 0.440. Selain itu
pengaruh variabel Distribusi Pangan terhadap Ketahanan Pangan Nasional secara
nyata juga telah terbukti dengan loading factor sebesar 0.476. Sehingga model
pengaruh Industri Maritim terhadap Sistem Ketahanan Pangan Nasional dapat
digunakan.
Pada model penelitian ini, dapat dikemukakan pengaruh dari Industri
Maritim terhadap Ketahanan Pangan baik secara langsung maupun melalui
Distribusi Pangan. Pengaruh langsung dari variabel Industri Maritim terhadap
Ketahanan Pangan Nasional mempunyai loading factor sebesar 0.131, sedang
pengaruh Industri Maritim terhadap Ketahanan Pangan melalui Distribusi Pangan
sebesar 0.44 x 0.476 = 0.210, artinya pengaruh langsung mempunyai loading
factor yang lebih kecil dari pengaruh tidak langsung yaitu dengan loading factor
0.210. Hasil temuan dari penelitian ini memberikan informasi bahwa Industri
Maritim akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Sistem Ketahanan
Pangan Nasional melalui sistim Distribusi Pangan, sehingga kebijakan dan upaya
yang harus dilakukan untuk meningkatkan Sistem Ketahanan Pangan Nasional
terkait dengan Industri Maritim adalah fokus pada industri maritim yang dapat
meningkatkan sistem distribusi.

5 IMPLIKASI MANAJERIAL

Penelitian ini menghasilkan temuan-temuan yang perlu ditindak lanjuti agar


mempunyai dampak positif terhadap perbaikan sistem ketahanan pangan nasional
secara sistemik. Hasil pengolahan data penelitian menunjukkan adanya pengaruh
yang signifikan antara Industri Maritim terhadap Sistem Ketahanan Pangan
Nasional, yang ditunjukkan oleh nilai loading factor dan nilai peluang yang
signifikan.

Implikasi terhadap Program Ketahanan Pangan Nasional

Hasil pengolahan data menggunakan Confirmatory Factor Analysis terhadap


variabel ketahanan pangan nasional, didapatkan bahwa loading factor dari
variabel keterjangkauan bahan pangan (affodability) paling besar yaitu 0.980. Hal
ini menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan yang menyebabkan kondisi
ketahanan pangan nasional adalah keterjangkauan atau akses terhadap bahan
pangan, baru diikuti oleh ketersediaan bahan pangan. Implikasi manajerial dari
temuan ini adalah bahwa kebijakan pemerintah dalam hal persoalan ketahanan
pangan semestinya memprioritaskan pada program yang akan dapat mempercepat
dan menjamin masyarakat untuk dapat menjangkau bahan pangan.
Keterjangkauan mempunyai makna bahwa walaupun bahan pangan tersedia
dengan melimpah akan tetapi jika masyarakat tidak mampu untuk membelinya,
maka akan terjadi kerawanan pangan di masyarakat tersebut. Salah satu program
pemerintah yang harus menjadi prioritas adalah mempercepat terwujudnya sistem
logistik nasional yang diselaraskan dengan program pemerintah saat ini yaitu
88

poros maritim dan tol lautnya agar dapat menjangkau wilayah terpencil sehingga
dapat menjamin ketersediaan bahan pangan sekaligus terjangakau oleh
kemampuan masyarakat untuk membelinya sehingga akan dapat meningkatkan
ketahanan pangan dan pada akhirnya akan meningkatkan meningkatkan sistem
ketahanan nasional.
Aspek penting dari penelitian ini terutama pada dimensi affordability yang
mengukur kemampuan masyarakat untuk membeli makanan, kerentanan
masyarakat terhadap ketidakpastian harga, dan kebijakan pemerintah untuk
mengatasi ketidakpastian harga. Selama ini pemerintah sudah sering membuat
kebijakan yang diperuntukkan untuk mengatasi gejolak harga di pasar yang sering
terjadi, yaitu melalui program operasi pasar. Operasi pasar dilakukan bukan hanya
karena kelangkaan bahan pangan di pasar, akan tetapi dilakukan oleh pemerintah
karena terjadi kenaikan harga pangan yang tidak terkendali dan tidak terjangkau
oleh masyarakat yang kebanyakan disebabkan karena permainan spekulan (Dodge
dan Gemessa, 2012). Temuan yang menarik pada dimensi ini adalah hasil
penelitian menunjukkan bahwa operasi pasar dan bantuan langsung kepada
masyarakat melalui program Jaring Pengaman Pangan yaitu program beras miskin
(raskin) yang termasuk pada program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang selama
ini telah dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas harga ternyata tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan masyarakat untuk mengakses
pangan (affordability) yang ditunjukkan oleh kecilnya nilai loading factor
indikator-indikator tersebut. Temuan ini memperkuat sinyalemen dari beberapa
kalangan yang menyatakan bahwa program Jaring Pengaman Sosial (JPS) selama
ini belum tepat sasaran dan perlu dilakukan evaluasi menyeluruh dan perlu
dilakukan pembenahan sehingga kedepan akan lebih berdayaguna dan dapat
menjadi program unggulan untuk peningkatan ketahanan pangan nasional.
Program JPS tersebut sudah lama dilaksanakan oleh pemerintah dengan dana yang
dihimpun dari Asian Development bank (ADB), Bank Dunia, United Nations
International Children's Emergency Fund (UNICEF), masyarakat dan pemerintah
(ADB dan IFRI, 2009; ADB, 2011). Pada tahun 2015 melalui RAPBN pemerintah
telah mengalokasikan anggaran untuk JPS yang tidak sedikit yaitu sebesar Rp.
22.56 triliun. Dana sebesar itu diharapkan dapat mengatasi masalah
keterjangkauan masyarakat terhadap pangan secara nasional. Temuan pada
penelitian ini yang yaitu belum signifikannya program pemerintah untuk
mengatasi kerawanan pangan di kepulauan terpencil memerlukan kajian lebih
lanjut, sehingga pemerintah dapat merumuskan kebijakan, strategi dan
implementasi program jaring pengaman sosial yang lebih sesuai agar program
tersebut tepat sasaran, memiliki efisiensi yang lebih tinggi termasuk
pengamanannya, sehingga dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan
secara nasional. Melalui rencana aksi nasional pangan dan gizi 2011-2015,
pemerintah telah merumuskan kebijakan pangan dan gizi yang disusun melalui
pendekatan lima pilar pembangunan yang meliputi (1) perbaikan gizi masyarakat;
(2) aksesibilitas pangan; (3) mutu dan keamanan pangan; (4) perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS), dan (5) kelembagaan pangan dan gizi. Kebijakan tersebut
adalah peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui
ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan
sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi lintas
bidang dan lintas program serta kemitraan (Bappenas, 2011).
89

Pada variabel ketersediaan pangan (availability) yang diukur menggunakan


tujuh indikator, hasil uji CFA ternyata terdapat 2 indikator yang tidak berpengaruh
secara signifikan yang ditunjukkan oleh nilai loading factor yang lebih kecil dari
0.500 dan belum dipenuhinya ukuran kebaikan model. Indikator tersebut yaitu
resiko stabilitas politik dan kapasitas penyerapan pangan di perkotaan. Implikasi
manajerial dari temuan ini adalah bahwa permasalahan politik negara selama ini
tidak secara signifikan mempengaruhi ketersediaan pangan di daerah terpencil,
begitu juga dengan besarnya kapasitas daya serap pangan di perkotaan. Hal ini
mengindikasikan bahwa kelangkaan pangan dan mahalnya harga pangan di daerah
terpencil tidak dipengaruhi oleh stabilitas politik dan juga tidak disebabkan karena
besarnya permintaan pangan di kota, sehingga harus dilakukan pengkajian yang
komprehensif untuk merumuskan kebijakan dalam rangka peningkatan
ketersediaan pangan di daerah terpencil.

.
Implikasi terhadap Kebijakan Sektor Industri Maritim

Hasil pengolahan data terhadap model penelitian menggunakan SEM


menunjukkan bahwa terdapat pengaruh industri maritim terhadap National Food
Security (NFS) baik secara langsung maupun tidak langsung dengan melalui
distribusi pangan. Uji kesesuaian model juga menunjukkan bahwa model telah fit
secara statistik. Pengaruh industri maritim terhadap ketahanan pangan nasional
yang tidak langsung dengan melalui distribusi pangan menunjukkan nilai
koefisien yang lebih besar yaitu 0.210 dibandingkan pengaruh secara langsung
yaitu 0.131, hal ini berarti bahwa industri maritim mempunyai pengaruh terhadap
ketahanan pangan tetapi harus melalui distribusi pangan. Ditemukan bahwa
variabel industri jasa maritim mempunyai loading factor yang paling besar yaitu
0.880, sedang yang memiliki loading factor terkecil dari keempat indikator
variabel industri jasa maritim adalah industri pariwisata yaitu 0.570.
Implikasi manajerial dari temuan ini adalah bahwa peningkatan sektor
industri maritim tidak dapat secara langsung berpengaruh terhadap ketahanan
pangan akan tetapi harus melalui distribusi pangan. Perbaikan di sektor industri
maritim dapat meningkatkan sistem distribusi pangan dan dengan meningkatnya
sistem distribusi pangan maka sistem ketahanan pangan nasional akan meningkat.
Sektor industri maritim yang harus mendapat perhatian adalah sektor industri
maritim yang mempunyai loading factor terbesar yaitu industri jasa maritim.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tiga dari empat indikator yang
digunakan untuk mengukur variabel industri jasa maritim yaitu industri
pelabuhan, pergudangan, dan pelayaran mempunyai loading factor yang besar,
sedang indikator pariwisata mempunyai loading factor paling kecil. Implikasi
manajerial dari temuan ini adalah untuk meningkatkan distribusi pangan dalam
rangka meningkatkan ketahanan pangan, maka sektor injasmar harus menjadi
prioritas. Sedangkan sektor injasmar yang harus diprioritaskan adalah sektor yang
berkaitan langsung dengan sistem distribusi yaitu industri pelabuhan, industri
pergudangan, dan industri pelayaran.
Temuan ini akan menuntun otoritas pengambil kebijakan dalam
merumuskan kebijakan yang baik dan tepat sasaran. Kebijakan yang perlu
90

menjadi perhatian serius pada sektor industri maritim adalah industri maritim
yang dapat mendukung sistem distribusi pangan.
Hasil dari penelitian ini juga sudah sejalan dengan kebijakan pemerintah
dengan program poros maritimnya, yang akan membangun tol laut yang dapat
menghubungkan seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Pemerintah juga telah
menerbitkan Sistem Logistik Nasional (sislognas) yang terintegrasi dalam
program MP3EI. Pada akhir Mei 2011, pemerintah menerbitkan MP3EI atau
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang
ditetapkan dengan Peratuan Presiden Nomor 32 Tahun 2011. MP3EI bertujuan
untuk membentuk integrasi pembangunan yang disusun berdasarkan optimisme
pemerintah dalam melihat posisi Indonesia di mata internasional. Masterplan ini
dimaksudkan juga untuk mendorong visi Indonesia menjadi 10 negara terbesar
dunia di tahun 2025. MP3EI memiliki 3 strategi utama yaitu: (1) Peningkatan
Potensi Ekonomi Wilayah melalui Koridor Ekonomi; (2) Penguatan Konektivitas
Nasional dan (3) Penguatan Kemampuan SDM dan IPTEK Nasional.
Tindak lanjut dari strategi penguatan konektivitas nasional, pemerintah
menyusun program sistem logistik nasional yang telah ditetapkan menjadi
kebijakan nasional melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak
Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Cetak biru ini merupakan
kebijakan yang akan menjadi acuan bagi Menteri, Pimpinan Lembaga Non
Kementerian, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam rangka penyusunan
kebijakan dan rencana kerja yang terkait dengan pengembangan Sistem Logistik
Nasional di bidang masing-masing Kementerian/Lembaga Pemerintah Non
Kementerian maupun dalam pembangunan daerah. Dokumen Sislognas juga
menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan. Pengaturan sistem
logistik nasional sangat penting dan mendesak mengingat logistik merupakan
sektor ekonomi pendukung utama. Kegiatan utama logistik meliputi: pengadaan,
penyimpanan, persediaan, pengangkutan, pergudangan, pengemasan, keamanan,
dan penanganan barang dan jasa baik dalam bentuk bahan baku, barang antara,
dan barang jadi.
Strategi utama dari poros maritim diharapkan tidak ada kontradiksi dengan
program MP3EI, justru dapat mendorong percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi Indonesia. Oleh karena itu kebijakan poros maritim dengan tol lautnya
dapat berlandaskan pada MP3EI, sehingga postur poros maritim dengan tol
lautnya dapat segera diwujudkan.
Pada RAPBN 2015 pemerintah berencana membangun jalan baru sepanjang
240,94 km, peningkatan kapasitas jalan sepanjang 2.471,2 km, dan pembangunan
jembatan sepanjang 11.716 m. Selain itu pemerintah juga akan membangun 265
km jalur kereta api baru. Kebijakan pada sektor udara pemerintah juga akan
membangun 5 bandar udara baru, pengembangan dan rehabilitasi 51 bandar udara
serta pelayanan 145 rute perintis. Pembangunan sektor udara dan darat merupakan
penghubung dari pembangunan sektor laut. Untuk sektor laut, pemerintah selama
tahun 2015 akan membangun 59 sarana dan prasarana dermaga, dan
pembangunan serta peningkatan 26 pelabuhan perintis. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemerintah menyadari pembangunan sistem transportasi merupakan
infrastruktur penting untuk dapat meningkatkan sistem distribusi di Indonesia
yang pada akhirnya dapat meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap
pangan baik dari segi ketersediaan maupun dari segi kemampuan untuk membeli.
91

Implikasi dari temuan penelitian ini, yaitu pemerintah harus sekuat tenaga
memperkuat sistem distribusi pangan untuk dapat meningkatkan ketahanan
pangan di daerah terpencil. Pemerintah juga harus lebih fokus terhadap kebijakan
dalam melaksanakan program sistem logistik nasional dan MP3EI terutama
memperkuat strategi utama poin 2 yaitu Penguatan Konektivitas Nasional yang
merupakan kunci suksesnya sistem distribusi secara nasional. Melihat kondisi
geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan, maka konektivitas nasional hanya
akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan melalui mode
transportasi laut, sehingga kebijakan yang harus dibuat adalah meningkatkan
industri maritim yang terkait langsung dengan sistem distribusi pangan secara
nasional yaitu sektor industri perkapalan, industri pelabuhan dan pergudangan.
Sektor industri maritim tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap
tercapainya program sistem logistik nasional. Melihat kenyataan ini, maka
program tol laut yang menjadi implementasi konsep poros maritim adalah
merupakan langkah yang tepat untuk dilaksanakan.

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil pengolahan data terhadap variabel-variabel yang digunakan dalam


model penelitian ketahanan pangan menggunakan metode SEM, model yang diuji
menggunakan data empiris, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa model
telah memenuhi semua persyaratan kebaikan (goodness of fit), sehingga dapat
disimpulkan bahwa model fit dan dapat digunakan sebagai model yang baik. Dari
hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap model penelitian dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Industri Maritim mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan
pangan nasional. Dengan demikian pengaruh Industri Maritim terhadap
ketahanan pangan nasional tersebut nyata, dan menghasilkan pengaruh
yang signifikan.
b. Model penelitian menunjukkan bahwa sistem distribusi pangan di daerah
terpencil mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan
pangan nasional. Indikasi adanya pengaruh yang cukup besar tersebut
ditunjukkan dengan nilai loading factor yang cukup besar dan probability
yang signifikan.
c. Industri maritim mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem
distribusi pangan di daerah terpencil. Indikasi adanya pengaruh yang
cukup besar tersebut ditunjukkan dengan nilai loading factor yang cukup
besar dengan probability yang signifikan.
d. Industri maritim berpengaruh terhadap sistem ketahanan pangan nasional
melalui sistem distribusi pangan. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai
loading factor pengaruh langsung industri maritim terhadap sistem
ketahanan pangan nasional yang lebih kecil dari nilai loading factor
industri maritim terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem
distribusi pangan. Total affect pengaruh variabel industri maritim terhadap
92

sistem ketahanan pangan nasional adalah sebesar 0.332. Hal ini


menunjukkan bahwa industri maritim mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional di Indonesia.
e. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan dalam merumuskan
strategi untuk meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional yang
melibatkan industri maritim. Penelitian menghasilkan temuan bahwa
industri maritim mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem
ketahanan pangan nasional melalui sistem distribusi pangan. Untuk itu
strategi yang tepat untuk meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional
sektor maritim adalah dengan meningkatkan perbaikan pada subsektor
yang terkait langsung terhadap sistem distribusi yaitu industri pelabuhan,
perkapalan, dan pergudangan.

Saran

Penelitian ini telah dapat mengungkapkan temuan-temuan penting dalam


rangka meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional. Saran yang berkaitan
dengan temuan penelitian ini dapat ditujukkan kepada peneliti berikutnya maupun
kepada otoritas pengambil kebijakan di bidang ketahanan pangan.
a. Saran kepada peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian terhadap
sistem ketahanan pangan nasional dapat menggunakan hasil temuan
pada penelitian ini untuk melakukan penelitian lanjutan dengan lebih
menfokuskan pada program sistem logistik nasional dan program
MP3EI.
b. Saran kepada otoritas pengambil kebijakan, hasil temuan dari penelitian
ini dapat digunakan sebagai acuan dalam merumuskan strategi dan
upaya dalam rangka meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional
agar lebih efisien dan tepat sasaran.

Keterbatasan Penelitian

Terdapat beberapa keterbatasan atau limitasi pada penelitian ini. Penelitian


ini hanya meneliti pengaruh industri maritim dan distribusi pangan terhadap
ketahanan pangan nasional, sehingga hasil penelitian belum dapat mengungkap
informasi secara komprehensif tentang variabel lain yang juga mempunyai
pengaruh terhadap ketahanan pangan nasional. Untuk dapat mengungkap secara
komprehensif dan lengkap maka diperlukan suatu model penelitian yang
melibatkan lebih banyak lagi variabel lain yang mempunyai kemungkinan dapat
mempengaruhi sistem ketahanan pangan diluar variabel industri maritim.
93

DAFTAR PUSTAKA

[ADB] Asian Development Bank. 2011. Regional cooperation for food security:
the case of emergency rice reserves in the ASEAN plus three. ADB
Sustainable Development Working Paper Series No. 18.
[ADB] Asian Development Bank dan [IFPRI] International Food Policy Research
Institute. 2009. Building Climate Resilience in The Agriculture Sector in
Asia and The Pacific. Mandaluyong City (PH): ADB dan IFPRI.
Adelman, Irma and Berck P. 1990. Food security policy in a stochastic world,
Journal of Development Economics, Elsevier. 34(1-2): 25-55.
Afandi MN. 2008. Pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap ketahanan
pangan di Jawa Barat [tesis]. Bandung (ID): Institut teknologi Bandung
Agustinus, 2007. Model Pengambilan Keputusan Pengembangan Pelabuhan Wani
[Tesis]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Alexander P. 1998. The naval of the perahu: meaning and values in the maritime
trading economy of a butonese village. The Australian Journal of
Anthropology. 9(2): 242-248.
Alard AL. 2012. The contribution of small farms and commercial large farms to
the food security of Trinidad and Tobago [tesis].Chicago (US): DePaul
University
Allison. EH. 2011. Aquaculture, fisheries, poverty and food security. Working
Paper 2011 – 65.
Andreyeva T, Long MW, and Brownell K., 2010. The impact of food prices on
consumption: A systematic review of research on the price elasticity of
demand for food. American Journal of Public Health. 100(2):216-222.
Arief T. 2010. Pengembangan model distribusi barang bantuan kepada korban
bencana dengan transportasi darat menggunakan sistem dinamik. [Tesis],
Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Arendt SW, Sneed PJ. 2008. Employee motivators for following food safety
practices: pivotal role of supervision. Journal Food Protein. 28:704–711.
Ariningsih E. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan
Pangan. Bogor (ID) : Insitut Pertanian Bogor
[BPS] Badan Pusat Statistik. Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi 2005-
2035. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. UNDP Laporan Indeks Pembangunan Manusia
Tahun 2008. Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik.
[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2011. Identifikasi Kebutuhan
Investasi Perencanaan Pengembangan Investasi Terpadu Logistik
Pergudangan. Jakarta (ID): BKPM.
Bappenas. 2012. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2016. Jakarta
(ID): Bappenas
Barnett BJ, Coble KH. 2011. Understanding regional differences in farm policy
preferences. American Journal of Agriculture Economics. 94 (2): 528–534.
Barrett CB. 2002. Food security and food assistance programs. Gardner, Rauser
GC, editor. Handbook of Agricultural Economics 2 : 2103–2190.
94

Benton WC, Maloni M. 2005. The influence of power driven buyer/seller


relationships on supply chain satisfaction. Journal of Operations
Managements. 23: 1-22.
Berry ST, Levinsohn J, Pakes A. 2004. Estimating differentiated product demand
systems from a combination of micro and macro data: The new car model.
Journal of Political Economy. 112(1): 68–105.
Bergheim K, Nielsen MB, Mearns K, Eid J. 2015. The relationship between
psychological capital, job satisfaction,and safety perceptions in the maritime
industry. Jornal of Safety Science. 74: 27-36.
Bickel G, Carlson S, Nord M. 1999. Household food security in the United States
1995-1998: Advance Report. USDA, Food and Nutrition Service. [Internet].
[diunduh 2013 Mei 21]. Tersedia pada: www.fns.usda.gov/oane/menu/published/
foodsecurity/ foodsec98.pdf
Bickel G, Nord M, Price C, Hamilton WL, Cook JT. 2000. Guide to Measuring
Household Food Security, Revised 2000. USDA, Food and Nutrition
Service. [Internet]. [diunduh 2013 Mei 21]. Tersedia pada:
www.fns.usda.gov/fsec/files/ fsguide.pdf
Bulte EH, Damania R, Lo´pez R. 2007. On the gains of committing to
inefficiency: Corruption, deforestation and low land productivity in Latin
America. Journal of Environment Management. 54(3): 277–295.
Canavari M, Centonze R, Hingley M, Spadoni R. 2010. Traceability as part of
competitive strategy in the fruit supply chain. British Food Journal. 112(2):
171-86.
Carter CR, Rogers DS. 2008. Sustainable supply chain management: toward new
theory in logistics management. International Journal of Physical
Distribution & Logistics Management. 38(5): 360-87.
Cheway TG. 2013. Sustainable Livelihood as an Important Factor in Food
Security and Community Development in Bogos Region- Eritrea[tesis].
Canada (CA): University of Manitoba
Coates J, Frongillo EA, Rogers BL. (2006) Commonalities in the experience of
household food insecurity across cultures: what are measures missing?.
Journal of Nutrition. 136(5): 1438S–1448S.
Cunningham S. 2009. Wealth-based fisheries management: using fisheries wealth
to orchestrate sound fisheries policy in practice. Journal of Marine Resource
Economics. (24): 271-287.
Deaton A. 1989. Rice prices and income distribution in Thailand: a non-
parametric analysis. Economic Journal. 99 (395): 1–37.
Departemen Pertanian. 2010, Rencana Pembangunan Pertanian 2010-2014.
Jakarta (ID) : Deptan
Derrickson J. 2000. Face validity of the core food security module with Asians
and Pacific Islanders. in Journal of Nutrition Education. 32(1): 21-30.
Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme. 2005. Peta Kerawanan
Pangan Indonesia (FIA). Jakarta (ID) : Dewan Ketahanan Pangan dan
World Food Programme.
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan
Pangan Nasional. Jakarta (ID) : Dewan Ketahanan Pangan.
Dewan Ketahanan Pangan Nasional. 2009, Indonesia Tahan Pangan dan Gizi
2015. Jakarta (ID): Dewan Ketahanan Pangan Nasional
95

Dewan Ketahanan Pangan. 2009, Kebijakan Umum Ketahanan Pangan


2010 -2014. Jakarta (ID): Dewan Ketahanan Pangan
Dewan Ketahanan Pangan, World Food Programme. 2005. Peta Kerawanan
Pangan Indonesia (FIA). Jakarta (ID): Dewan Ketahanan Pangan dan World
Food Programme
Dinas Hidro Oceanografi TNI AL. 2005. Perananan Strategis Dinas Hidro-
Oseanografi Angkatan Laut Sebagai Lembaga Hidrografi Nasional. Dinas
Hidro-Oseanografi Angkatan Laut. Jakarta(ID): Dinas Hidro-Oseanografi
Angkatan Laut
Dodge A, Gemessa S. 2012. Food Security and Rice Price Stabilization in
Indonesia: Analysis of Policy Responses.Massachusetts (US): Harvard
University
Dornkornchum S. Thiengkamol N, Thiengkamol C. 2012a. causal relationship
model of environmental conservation behavior integrated with LCA
knowledge. European Journal of Social Sciences. 33(1): 5-16.
Dyck AJ, Sumaila UR. 2010. Economic impact of ocean fish populations in the
global fishery. Journal of Bioeconomics. (12): 227–243.
Early R. 2002. Food ethics: a decision-making tool for the food industry?.
International Journal of Food Science and Technology. 37(4): 339-346.
Economist Intelligence Unit. 2012. Global Food Securoty Index: An Assesment of
Food Affordability, Availibility and Quality. A report from Economist
Intelligence Unit. New York (US): Economist Intelligence Unit Ltd.
[FAO] World Food Organization. 2006a. “Food Security.” Policy Brief, no. 2
(June). Rome (IT): Food and Agriculture Organization.
[FAO] World Food Organization. 2006b. Measuring vulnerability to food
insecurity, ESA Working Paper No. 06-12. Rome (IT): Food and Agriculture
Organization.
[FAO] World Food Organization. 2008. The State of Food Insecurity in theWorld
2008. High Food Prices and Food Security: Threats and Opportunities.
Rome, (IT): FAO.
[FAO] World Food Organization. 2009. The State of Food Insecurity in the World
2009. Economic Crises: Impacts and Lessons Learned. Rome, (IT): FAO.
[FAO] Food and Agriculture Organization, [IFAD] International Fund for
Agricultural Development, [WFP] World Food Programme . 2013. The State
of Food Insecurity in the World 2013. The multiple dimensions of food
security. Rome,(IT).
Ferdinand A, 2005. Structural EquationModeling Dalam Penelitian Manajemen,
edisi ke- 3. Universitas Diponegoro, Semarang.
Freedman DA, Blake C, Liese, A. 2011. Developing a multicomponent model of
nutritiousfood access and related implications for community and policy
practice. Journal of Community Practice, 21 (4): 379-409.
Fritz M, Schiefer G. 2009.Tracking, tracing, and business process interests in
food commodities: a multi-level decision complexity. International Journal
of Production Economics. 117(1): 317-29.
FSIS. 2005. Model Security Plan for Import Establishment. US Government and
Agriculture Food Safety and Inspection Service . New York (US): US
Department of Agriculture.
96

Fumero MAS, Ramos AM, Dominguez M, Rodrı´guez JR. 2012. The


configuration of power in vertical relationships in the food supply chain in
the Canary Islands An approach to the implementation of food traceability.
British Food Journal. 114(8): 1128-1156.
Fujii T. 2013. Impact of food inflation on poverty in the Philippines. Journal of
Food Policy. 39: 13-27.
Garcı´a AM, Sanfiel A, Oreja JR. 2006. Size and interorganizational relationships
in the Canary Islands’ food industry: from confrontation to collaboration.
British Food Journal. 108(11): 931-50.
Gautama IGA. 2011. Evaluasi perkembangan wisata bahari di Pantai Sanur[tesis].
Denpasar (ID) : Universitas Udayana.
Ghozali I. 2010. Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan
Program Amos 21.0. Semarang (ID). Badan penerbit Undip Semarang.
Global Food Security Index. 2013. An annual measurement of the state of global
food security. The economist Intelligent Unit Limited. [Internet]. [diunduh
2013 Juni 11]. Tersedia pada: http://www.indiaenvironmentportal.org.in/
content/ 379619/global-food-security-index-2013-an-annual-measure-of-the-
state-of-global-food-security/
Gunther M. 2014. The Dynamics of the Norwegian maritime industry. Lund (SE)
: Lund University
Hair JF, Black WC, Babin BJ, Anderson RE, R Tatham. 2010. Multivariat Data
Analysis. 17th ed : New Jersey (US) : Prentice Hall.
Hamelin AM, Habicht JP, Beaudry M: Food Insecurity: consequences for the
household and broader social implications. Journal of Nutrition. 129:525S–
528S.
Harland CM. 1996. Supply chain management: relationships, chains and
networks. British Journal of Management. 7: S63-S80.
Harniati. 2007. Tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem dan
implikasinya pada kebijakan pengurangan kemiskinan [disertasi].Bogor (ID)
: Institut Pertanian Bogor
Helms M. 2004. Food sustainability, food security and the environment. British
Food Journal. 106(5): 380-387.
Herdiawan D. 2012. Ketahanan Pangan dan Radikalisme. Republika, Jakarta (ID).
Hetherington C, Flin R, Mearns K. 2006. Safety in shipping: the human element.
Journal of Safety Research. 37: 401–411.
[IFPRI] International Food Policy Research Institute. 2001. Sustainable Food
Security for All by 2020. Washington, DC (US).
Ilham N. 2006. Efektivitas kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan
dan dampaknya pada stabilitas ekonomi makro [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
Indonesian Food Policy Program. 2002. Food security in an era of
decentralization : historical lessons and policy implications for Indonesia,
Working Paper No. 7.
Ireland JD, Moller A. 2000. Review of international food classification and
description. Journal of Food Composition and Analysis. (13): 529–538.
Islam MDS. 2008. From sea to shrimp processing factories in Bangladesh : gender
and employment at the bottom of a global commodity chain. Journal of
South Asian Developmen. 3(2): 211-236.
97

Jamhari. 2011. Determinants Of Household Food Security In Indonesia: An


Ordinal Logistic Model. 7th ASAE International Conference. 2011 Oktober
13-15; Hanoi,Vietnam. Hanoi (VN): ASAE
Karkainen T. 2000. Food security constrained by water. Helsinki (FI): Helsinki
University of Technology
Keenan. 2009. Food security measures. White Paper Prepared for U.S.
Department of Agriculture. Forthcoming.
Kementerian Keuangan RI. 2014. Rancangan Anggaran Pendapatan Negara
(RAPBN) 2015. Jakarta (ID): Kemenkeu RI
Kementerian Keuangan RI. 2003. Permenku No. 370/KMK.03/2003 tentang
Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak
Tertentu. Jakarta (ID): Kemenkeu RI
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. 2011. Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jakarta (ID):
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. 2012. Statistik Perikanan dan Kelautan
2012. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
Kementerian Perdagangan RI. 2012. Market Opportunity of Indonesian Marine
Products In Korea. 2012 Yoesu Mega Expo. 2012 Mei 12 Yeosu, Korea
Selatan. Jakarta (ID): Kementerian Perdagangan RI
Kementerian Pertanian RI. 2014. Statistik Pertanian 2014. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian RI
Kementerian Pertanian. 2012. UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Jakarta
(ID) : Kementerian Pertanian.
Kementerian Perindustrian. 1984. UU RI No 5 Tahun 1984 Tentang
Perindustrian. Jakarta (ID) : Kementerian Perindustrian.
Kementerian Perhubungan. 2008. UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Jakarta (ID): Kementerian Perhubungan.
Kim K & Kim MK. 2009. Development and validation of food security measure.
Korean Journal of Nutrition. 42: 374–385.
Kim K, Kim MK, Shin YJ, Lee SS. 2011. Factors related to household food
insecurity in the Republic of Korea. Journal of Public Health Nutrition.
14(6): 1080–1087.
Kosuri K. 2011. Improving collaboration in maritime operations using business
process modeling notation. Norway (NO): The Norwegian University
Kruemas T. 2012. Causal relationship model of food security management.
Mediterranean Journal of Social Sciences. 3 (11)
Korhonen. 1999. Food security among rural Appalachian families with school-
aged children: A pilot study. Journal of the American Dietetic Association.
99:A-62.
Lambert D, Cooper M, Pagh J. 1998. Supply chain management, implementation
issues and research opportunities. International Journal of Logistics
Management. 9(2):1-19.
Lewis S. 1992. Food security, environment, poverty, and the world’s children.
Journal of Nutrition Education (Suppl). 241: 3S–5S.
98

Lima MGB. 2008. Sustainable food security for local communities in the
globalized era: a comparative examination of Brazilian and Canadian case
studies. Ontario (CA): University of Waterloo
Linton JD, Klassen RD, Jayaraman V. 2007. Sustainable supply chains: an
introduction. Journal of Operations Management. 25:1075-1082.
Lugten G, Andrew NA. 2008. Maximum sustainable yield of marine capture
fisheries in developing archipelagic states: balancing law, science, politics
and practice. The International Journal of Marine and Coastal Law. 23(1):
1-37.
Mai N, BogasonS, Arason S, Árnason S, Matthiasson T. 2010. Benefits of
traceability in fish supply chains-case studies. British Food Journal. 112:
976-1002.
Maleha dan Susanto. 2006. Kajian konsep ketahanan pangan. Jurnal Protein.
13(2): 1-29.
Maanema M. 2003. Model Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus di Pulau
Pari Kepulauan seribu) [disertasi] .Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Ma’sitasari. 2009. Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-
Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau
Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) [Disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Manning L, Baines RN. 2004b. Effective management of food safety and quality.
British Food Journal. 106(8): 598-606.
Manning L, Baines RN, Chadd SA. 2006. Ethical modelling of the food supply
chain. British Food Journal. 108(5): 358-70.
Manning L, Baines RN, Chadd SA. 2006. Quality assurance models in the food
supply chain. British Food Journal. 108(2): 91-98.
Martin W, Anderson K. 2012. Export Restrictions and Price Insulation During
Commodity Price Booms. American Journal of Agricultural Economics.
94(1): 74-93
Marucheck A, Greis N, Mena C, Cai L. 2007. Product safety and security in the
global supply chain: challenges and research opportunities. Journal of
Operations Management. 29: 707-720.
Matopoulos A, Vlachopoulou M, Manthou V, Manos B. 2007. A conceptual
framework for supply chain collaboration: empirical evidence from the
agrifood industry. Supply Chain
McMeekin T, Baranyi J, Bowman J, Dalgaard P, Kirk M, Ross T, Schmid S,
Zwietering M. 2006. Information systems in food safety management.
International Journal of Food Microbiology. 112: 181-194.
Mezzetti M, Billari FC. 2005. Bayesian correlated factor analysis of socio-
demographic indicators. Journal of Statistical Methods and Application. 14:
223−241.
Mohanty S, Peterson E. 2005. Food security and government interventions a
study of indian grain markets. International Journal Trade & Economic
Development. 14(3): 337-352.
Mukundan H. 2007. A Comparative Study of Maritime Operation in India [tesis].
Massachusett (US): Massachusetts Instistute of Tecnology
Murray-Rust D, Dendoncker N, Dawson TP, Acosta-Michlik L, Karali E. 2011.
Conceptualising the analysis of socio-ecological systems through ecosystem
99

services and agent-based modelling. Journal of Land Use Science. 6(2–3):


83–99.
Muller M, Tagtow A, Roberts S, Macdougall E. 2009. Aligning food systems
policies to advance public health. Journal of Hunger and Environmental
Nutrition 4 (2): 225–240.
Mulyono S. 2010. Dampak pembangunan infrastruktur jalan terhadap
perekonomian dan distribusi pendapatan intra dan interregional kawasan
barat dan timur Indonesia: suatu analisis model interregional social
accounting matrix [disertasi] .Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Ningsi BAW. 2012. Indonesian Food Security Modeling Using Path Modelling
Partial Least Square (PLS-PM). Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Nurmalia R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional [disertasi].Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Nurbaya S. 2013. Sistem Logistik Nasional (sislognas) dan Tinjauan Logistik
Maritim. Jakarta (ID) : Lemhanas RI.
Paonganan. 2014. Perspektif Menuju Masa Depan Maritim Indonesia. Jakarta
(ID) : Yayasan Institut Maritim Indonesia.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor: KM.49 Tahun 2005
tentang Sistem Transportasi Nasional. Jakarta (ID) : Kemenhub RI.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru
Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Jakarta (ID) : Sekneg RI.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.15/Men/2012 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan
Perikanan Tahun 2010-2014. Jakarta (ID) : Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 2001 Tentang Kepelabuhan. Jakarta (ID) :
Sekneg RI.
Pouliot S, Summer DA. 2008. Traceability, liability, and incentives for food
safety and Quality. American Journal of Agricultural Economics. 90(1):
15-27.
Prihandoko WG. 2011. Indonesia 2009 food security modeling using logistic
regression analysis [tesis].Surabaya(ID): ITS
Purwaningsih Y. 2008. Ketahanan pangan: situasi, permasalahan, kebijakan dan
pemberdayaan masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 9(1),1-27.
Purwanti P. 2008. Simulasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi dan Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Nelayan Skala Kecil di Jawa Timur [disertasi]
Malang(ID): Universitas Brawijaya
Raharto S. 2013. Indikator dan Strategi Ketahanan Pangan Desa, [Internet].
[diunduh 2014 Januari 23]. Tersedia pada: http://prasetya.ub.ac.id/berita/
Disertasi-Sugeng-Raharto-Indikator-dan-Strategi-Ketahanan-Pangan-Desa-
3247-id.html [diakses pada Mei 2013].
Roach KQ, Kirton RM. 2011. Assessing the potential for increased and enhanced
maritime transportation in Latin America and the Caribbean: A case study of
Trinidad and Tobago and Venezuela. World Journal of Science, Technology
and Sustainable Development. 8(1): 234-239.
100

Roos N. 2007. The role of fish in food-based strategies to combat vitamin A,


calcium and mineral deficiencies in developing countries. Journal of
Nutrition. (137): 1106-1109.
Rosyid D. 2009. Jembatan Selat Sunda: Blunder Konsep dan Teknomik,
Menggagas untuk Indonesia yang Lebih Baik. [Internet]. [diunduh 2014 Maret
29]. Tersedia pada: http://danielrosyid.com/jembatan-selat-sunda-blunder-
konsep-dan-teknomik.html .
Rustantra IW, Napitupulu TA, Bourgius R. 2008. The Impact of Support for
Import on Food Security in Indonesia. Bogor (ID): UNESCAP-CAPSA.
UN.
Sabarella. 2009. Structural equation model of food insecurity. Jurnal Informatika
Pertanian. 18(1): 19-34
San Diego Regional Economic Development Corporation and The Maritime
Alliance. 2012. San Diego Maritime Industry Report 2012. San Diego (US):
ERISS Corp.
Sahrial. 2005. Perspektif pembangunan agroindustri pangan di propinsi Jambi :
suatu model kajian strategi industrialisasi pertanian melalui dukungan
kawasan sentra produksi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Sekaran U. 2002. Research Method for Business: A Skill Building Approach (4th
ed). Illinois (US): John Willey and Son.CH2
Shapouri S. 2010. Food security assessment 2010-20. Washington DC (US): US
Dept. of Agriculture/Economic Research Service.
Ship Management International. 2006. KPIs The key to overcoming industry
apathy? Issu No. 3 September/October 2006.
Singh S. 2005. Food Security-Effectiveness of THE Public Distribution System in
India [tesis]. Slovenia (SI): university of Ljubljana
Smith LC, Subandoro A. 2007. Measuring Food Security Using Household
Expenditure Surveys. Food Security in Practice Technical Guide Series.
Washington, DC (US): International Food Policy Research Institute.
Srinivasan UT. 2010. Food security implications of global marine catch losses
due to overfishing. Journal of Bioeconomics. 12(3): 183-200.
Sowman M, Cardoso P. 2010. Small-scale fisheries and food security strategies in
countries in the Benguela Current Large Marine Ecosystem (BCLME)
region: Angola, Namibia and South Africa. Journal of Marine Policy. (34):
1163–1170.
Stata Corp. 2011. Stata: Structural Equation Modeling Reference Manual,
Release 12. College Station (TX): StataCorp LP.
Steenkamp JB, van Trijp HCM. 1996. Quality guidance: A consumer-based
approach to food quality improvement using partial least squares. European
Review of Agricultural Economics. 23, 195–215.
Sukandar, Dadang, Briawan D, Heryatno Y, Ariani M dan Andestina MD, 2001.
Kajian Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga: di Propinsi J
awa Tengah. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG ). Bogor
(ID): Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor.
Sumarwan U, Daryanto A, Achsani NA, Suhendi, Fami I, Nuryartono N, Tobing
A, Kristiadi A, Herdiyanto AT, Herdiawan D. 2014. Metode Riset Bisnis
dan Konsumen. Bogor (ID): IPB Press
101

Supit H. 2009. Pedoman Khusus Keamanan dan Keselamatan Pelayaran. Jakarta


(ID): Bakorkamla
Syarief. 1999. “Membenahi Konsep Ketahanan Pangan Indonesia:
Pembangunan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal”.
Jakarta (ID) :Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (PERGIZI PANGAN)
Indonesia dan Center For Regional Resource Development dan community
Empowerment
Tadesse E. 2007. Civil Society and Food Security: a case of NGOs role in
Ethiopia rural marking [tesis]. Bologna (IT): Bologna University
Talley WK. 2013. Maritime transport chains: carrier, port and shipper choice
effects. International Journal of Production Economics. 151: 101-113.
Tambunan T. 2008b. Ketahanan Pangan di Indonesia, Inti Permasalahan dan
Alternatif Solusinya. Mataram (ID) : Naskah Konggres ESEI
Tarasuk VS, Beaton GH.1999. Household food insecurity and hunger among
families using food banks. Canadian Journal of Public Health. 90(2):
109-113
Thiengkamol N. 2010. Urban community development with food security
management: A case of Bang Sue District in Bangkok. Journal of the
Association of Researcher. 15 (2), 109-117.
Thiengkamol N. 2011a. Development of a food security management model for
agricultural community. Journal of Canadian Social Science. 7(5): 122-136
Thiengkamol N. 2011b. Development of model of environmental education and
inspiration of public consciousness influencing to global warming
alleviation. European Journal of Social Sciences. 25 (4):506-514.
Thiengkamol N. 2011c. Model of psychological state affecting to global warming
alleviation. Journal of Canadian Social Science. 7(6): 89-95.
Thiengkamol N. 2012. Development of food security management for
undergraduate student Mahasarakham University. European Journal of
Social Sciences, 27 (2):246-252.
Tumpracha K, Thiengkamol N. 2012. Causal relationship model of food security
management. Meditteranean Journal of Social Sciences. 3 (11): 625-636
Van der Vorst JGAJ, Beulens AJM. 2002. Identifying sources of uncertainty to
generate supply chain redesign strategies. International Journal of Physical
Distribution & Logistics Management. 32(6): 409-30.
Vickery SK, Jayaram J, Droge C, Calantone R. 2003. The effects of an integrative
supply chain strategy on customer service and financial performance: an
analysis of direct versus indirect relationships. Journal of Operations
Management. 21: 532-539.
Walakira DD. 2012. Simple stochastic models of food insecurity due to climate
change. Journal of Mathematics. 5(1): 77-89
Wangsadinata, W. 2009. Advanced suspension bridge technology and the
feasibility of the Sunda Strait Bridge. Kawasan Strategis Infrastruktur Selat
Sunda. [Internet]. [diunduh 2013 Maret 29]. Tersedia pada:
http://sundastraitbridge.com /testimonial/view/ advanced-suspension-bridge-
technology-the-feasibility-of-the-sunda-strait-bridge.
Wantasen A. 2008. Kajian Pemanfaatan Pulau Kecil Berbasis Kesesuaian dan
Daya Dukung (Kasus Gugus Pulau Desa Talise di Minahasa Utara, Sulawesi
Utara) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
102

Warr PG. 2011. Food security vs. food self-sufficiency: the Indonesian case. The
Indonesia Quarterly. 39(1): 56–71.
World Bank. 2014. Connecting to Compete 2014: Trade Logistics in the Global
Economy. The International Bank for Reconstruction and Development/ The
World Bank 1818 H Street NW. Washington DC (US).
World Food Programme. 2009. Comprehensive Food Security and Vulnerability
Analysis Guidelines, Ed ke-1.Rome (IT): World Food Programme.
World Food Programme. 2009. Emergency Food Security Assessment Handbook,
Ed ke-2. Rome (IT): World Food Programme.
World Food Programme. 2010. A Food Security and Vulnerability Atlas of
Indonesia (FSVA) Rome (IT): World Food Programme.
World Food Programme (WFP) Indonesia. 2013. Bersama Membangun
Ketahanan Pangan. Rome (IT): World Food Programme.
Yahya A. 2001. Perikanan Tangkap Indonesia. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 20].
Tersedia pada: http:// tumoutou.net/3_sem1_012/ali_yahya.htm.
Zuniga SM. 2007. Cultural Factors Affecting Food Preference: The Case Of
Tarwi in Three Quechua Speaking Areas of Peru [tesis]. Tennessee (US):
Vanderbilt University
103

RIWAYAT HIDUP

Didit Herdiawan, saat ini menjabat sebagai Wakil


Gubernur Lemhannas RI dengan pangkat Laksamana
Madya TNI, dilahirkan di Surabaya 53 tahun yang lalu
sebagai anak ke 2 dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak
Laksamana Pertama TNI Drs A.M. Ashaf Abdullah,
MBA dan Ibu R.A. Noekmijati. Penulis menikah dengan
Widyastuti, SE, dan telah dikaruniai tiga orang putri
yaitu Herdianti Merilla Putri, SE, (menikah dengan
Armaidi Makawi, SE), Hastuti Viana Putri dan Herdini
Aprilia Putri.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
sampai dengan Sekolah Menengah Atas di Jakarta lulus pada tahun 1980. Penulis
juga telah menyelesaikan Program Strata 1 di Surabaya dan Program Strata 2
Magister Bussines lulus pada tahun 1990. Pada tahun 2011, penulis mengikuti
Program Doktor Manajemen Bisnis pada Institut Pertanian Bogor.
Penulis adalah lulusan Akademi Angkatan Laut Angkatan 29 Tahun 1984.
Selanjutnya, untuk menambah pengalaman dan wawasan sebagai perwira TNI
Angkatan Laut, berbagai pendidikan dan kursus telah dilalui, antara lain Kursus
Perwira Remaja, Intro of Computer System, Kursus Programming Computer,
Data Base Management System, Kursus TPO MK-46 di San Diego USA,
Pendidikan Spesialis Perwira/SBA, Diklapa-II/Koum, Joint Service Command
and Staff College UK dan King College London University, SPACE WARFARE
dan FBI Academy Short Course USA, Operation Planning of War Officer course
Italia, Sekolah Staf dan Komando TNI serta Lemhannas RI.
Sebagai perwira TNI Angkatan Laut, riwayat karir penulis sebagian besar
dihabiskan pada lingkungan Armada RI dan Lembaga Pendidikan TNI Angkatan
Laut, antara lain berbagai jabatan di KRI mulai Perwira Divisi, Palaksa sampai
dengan Komandan Kapal Perang RI, terakhir sebagai Komandan KRI NUKU-
373. Jabatan lain yang pernah diemban yaitu Direktur Sekolah Senjata bawah Air
Kobangdikal, Direktur Sekolah Lanjutan Perwira Kobangdikal, Komandan Pusat
Latihan Elektronika dan Pengendalian Senjata Kobangdikal, Asops Pangkalan
Utama VIII Ambon, Komandan Satkor Armabar, ADC Presiden RI, Komandan
Gugus Tempur Laut Armada Barat, Kepala Staf Koarmabar, Panglima Komando
Lintas Laut Militer, Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Wakil
Kepala Staf Angkatan Laut dan sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur
Lemhannas RI.
Atas berbagai jasa dan prestasi di kedinasan, penulis memperoleh
anugerah beberapa bintang kehormatan dan tanda jasa, antara lain Bintang
Dharma, Bintang Yudha Dharma Pratama, Bintang Yudha Dharma Nararya,
Bintang Jalasena Pratama, Bintang Jalasena Nararya, Satya Lencana GOM VII,
Satya Lencana Seroja, Satya Lencana Kesetiaan VIII, XVI dan XXIV Tahun,
Satya Lencana Dwidja Sistha, Satya Lencana Dwidja Sistha I dan II, Satya
Lencana Bhakti Sosial, Satya Lencana Wira Karya, Satya Lencana Wira Siaga,
104

Satya Lencana Wira Dharma (Perbatasan), Satya Lencana Wira Nusa, Satya
Lencana Wira Karya (Somalia), Satya Lencana Dharma Nusa, Satya Lencana
Dharma Nusa II dan Satya Lencana Kesetiaan Melati. Penulis juga menerima
penghargaan dari luar negeri yaitu RTA Honorary Parachutist Badge Thailand,
US Navy Seal dan Honorary PWO Course Australia.

Anda mungkin juga menyukai