Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING

OLEH

Wirda Zamira Lubis

140100107

PEMBIMBING

Dr. dr. Juliandi Harahap, MA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU

KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING

OLEH

Wirda Zamira Lubis

140100107

PEMBIMBING

Dr. dr. Juliandi Harahap, MA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU

KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019
STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING

“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi

persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di

Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas


Sumatera Utara.”

OLEH

Wirda Zamira Lubis

140100107

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU

KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING

Nama : Wirda Zamira Lubis

NIM : 140100107

Medan, 29 Maret 2019

Pembimbing

Dr. dr. Juliandi Harahap, MA

NIP: 197007021998021001
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Strategi Pencegahan Stunting”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas / Ilmu Kedokteran
Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada supervisor


kami, Dr. dr. Juliandi Harahap, MA, yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat
selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, baik dari segi isi maupun tata bahasa, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih

Medan, 29 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I LATAR BELAKANG ............................................................................ 1

Tujuan Makalah ........................................................................................ 3

Manfaat Makalah ...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 4

Definisi Stunting ....................................................................................... 4

Faktor Risiko Stunting .............................................................................. 9

Diagnosis Stunting .................................................................................. 10

Upaya Pencegahan Stunting ................................................................... 13

Kebijakan Penanganan Stunting di Indonesia ........................................ 14

Strategi Penanganan Stunting ................................................................. 16

BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 19


BAB I

LATAR BELAKANG

Indonesia masih menghadapi masalah gizi, seperti negara-negara


berkembang lainnya, terutama pada balita dan perempuan hamil. Masalah gizi ini
tidak hanya disebabkan oleh kekurangan zat gizi makro, tetapi juga zat gizi mikro.
Stunting (tubuh pendek) pada balita merupakan manifestasi dari kekurangan zat
gizi kronis, baik saat pre- maupun post-natal. Stunting merupakan hambatan
pertumbuhan yang diakibatkan oleh selain kekurangan asupan zat gizi juga
adanya masalah kesehatan. Stunting adalah suatu proses yang berdampak pada
perkembangan anak mulai dari tahap dini, yakni saat konsepsi hingga tahun ke-3
atau ke-4 kehidupan anak, di mana keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor
penting dari pertumbuhan anak. Stunting pada usia dini berhubungan dengan
kejadian kemunduran mental pada tingkat kecerdasan anak, perkembangan
psikomotorik dan kemampuan motorik yang baik. Juga bisa menurunkan
kemampuan kerja pada saat usia dewasa (Rosmalina, Y. dkk. 2017).

Setiap negara didunia mengalami masalah gizi tersendiri. 22,2% (150,8


juta) balita mengalami stunting. 7,5% (50,5 juta) balita dunia mengalami wasting,
dan 5,6% (38,3 juta) balita mengalami overweight (Global Nutrition Report,
2018). Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari
Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6
juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%)
dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%) (Kemenkes RI. 2018).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan triple ganda permasalahan


gizi, yaitu stunting (30,8%), wasting (10,2%), dan overweight (8,0%) (Riskesdas.
2013). Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun
terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi
lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek
mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun
2017. Prevalensi balita stunting di Indonesia merupakan peringkat 3 tertinggi di
asia tenggara setelah Timor Leste (50,2%), India (38,4%) (Kemenkes RI. 2018).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan penurunan


prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4% selama periode 5 tahun, yaitu
dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Sedangkan untuk balita berstatus
normal terjadi peningkatan dari 48,6% (2013) menjadi 57,8% (2018). Adapun
sisanya mengalami masalah gizi lain. Hal ini berarti pertumbuhan yang tidak
maksimal dialami oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau 1 dari 3 anak
Indonesia mengalami stunting dan lebih dari 1/3 anak berusia di bawah 5 tahun di
Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata Global Nutrition Report 2016
mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari
132 negara (Kemenko PMK. 2018).

Dampak dari gangguan pada masa bayi dan anak, khususnya stunting
dapat menyebabkan gangguan perkembangan kognitif dan meningkatnya risiko
terhadap penyakit infeksi dan lebih lanjut kematian. Stunting juga berhubungan
dengan performa sekolah, bahkan, pada tingkat lanjut dapat menurunkan tingkat
produktivitas di masa dewasa.

Stunting juga merefleksikan gangguan pertumbuhan sebagai dampak dari


rendahnya status gizi dan kesehatan pada periode pre- dan post-natal. UNICEF
framework menjelaskan tentang faktor penyebab terjadinya malnutrisi. Dua
penyebab langsung stunting adalah faktor penyakit dan asupan zat gizi. Kedua
faktor ini berhubungan dengan faktor pola asuh, akses terhadap makanan, akses
terhadap layanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Namun, penyebab dasar dari
semua ini adalah terdapat pada level individu dan rumah tangga tersebut, seperti
tinggkat pendidikan, pendapatan rumah tangga. Banyak penelitian cross-sectional
menemukan hubungan yang erat antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi
anak.

Di negara-negara di Asia Tenggara terdapat kesepakatan upaya untuk


menurunkan masalah stunting dengan meningkatkan diversifikasi pangan,
pemberian makanan yang difortifikasi pada ibu hamil dan ibu menyusui dan pada
anak usia 6-23 bulan. Pemerintah untuk melakukan suatu program tentu tidak
bisa bertumpu atau berpatokan pada hasil satu penelitian. Oleh karena itu perlu
suatu review terhadap penelitian yang serupa bila memang sudah banyak
penelitian terhadap pencegahan stunting ini. Review ini akan bermanfaat bagi
pemegang kebijakan untuk mendapatkan suatu program penanggulangan stunting
yang lebih tepat dan effisien. Review bertujuan mendapatkan cara pencegahan
terjadinya stunting pada anak di bawah tiga tahun (batita) memperoleh data efikasi
zat gizi makro atau zat gizi mikro untuk mencegah terjadinya stunting pada bayi
dan anak batita. Keberhasilan upaya pencegahan masalah stunting tergantung
pada desain penelitiannya, bahan dan dosis intervensi yang dilakukan serta
lamanya pemberian zat gizi. Dengan mengkaji artikel-artikel penelitian tentang
pencegahan stunting tersebut diharapkan akan menghasilkan informasi efikasi
terbaik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga dapat
diaplikasikan sebagai kebijakan secara nasional (Rosmalina, Y. dkk. 2017).

1.2 Tujuan Makalah

Tujuan penyusunan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai


Strategi Pencegahan Stunting. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi
persyaratan kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat Makalah

Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis maupun pembaca


khususnya peserta KKS di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stunting

Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak,
hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai
dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted).
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi
yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi (Rachim, A. dkk. 2017).

Stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak yang berusia 0 hingga


59 bulan yang tingginya berada dibawah -2 standar deviasi (sedang) dan -3
standar deviasi (berat) dari median pertumbuhan anak WHO (Unicef, 2002).

Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk lain dari
kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi
sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Anak yang mengalami stunting sering
terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun sebenarnya tinggi
badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya.
Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan zat-zat gizi
yang tidak cukup atau penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya.
Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi
yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang,
rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat
menghambat pertumbuhan (Ariyanti, S. 2015).

2.2 Faktor Risiko Stunting

Faktor Risiko Stunting Berdasarkan kerangka pikir Unicef ada dua faktor
yang menyebabkan terjadinya masalah gizi yakni faktor langsung dan tidak
langsung. Faktor langsung ada dua yakni konsumsi makanan dan status kesehatan
yang saling berpengaruh. Faktor langsung ini disebabkan oleh faktor tidak
langsung yaitu pola konsumsi anak, pola asuh dan pelayanan kesehatan serta
keadaan lingkungan (Hutasoit, H. 2012).

a. Pola Asuh Anak

Tumbuh kembang anak yang optimal membutuhkan dukungan


pengasuhan yang berkualitas, salah satunya adalah pola asuh makan anak dan pola
asuh perawatan anak. Faktor penyebab langsung yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan anak adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan
komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang
dan aman. Kebutuhan zat gizi adalah konsumsi energi yang berasal dari makanan
yang diperlukan tubuh untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia
mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktifitas yang sesuai
untuk memelihara fisik. Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan oleh
perilaku pengasuhnya. Kekurangan gizi bisa pula muncul akibat ketidaktahuan.
Perilaku ibu dalam memberikan pola asuh makan anak berhubungan dengan
pengetahuan ibu tentang pola asuh anak yang baik. Pengetahuan merupakan hasil
dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu.
Perilaku ibu dalam mengasuh anak akan baik apabila pengetahuan gizi ibu juga
baik.

Oleh karena itu, apabila praktek pengasuhan makan yang diterapkan ibu
kurang dapat menciptakan suasana atau situasi makan yang menyenangkan
apalagi disertai perilaku yang sering memaksa, akibatnya anak tidak mau makan
bahkan menolak sama sekali. Keadaan ini pada akhirnya mempengaruhi konsumsi
makan anak yang kurang memenuhi anjuran dengan tingkatan umur anak bahkan
seringkali dibawah standar yang berlaku (Suhardjo, 2002).

Pola asuh makan dimulai sejak anak lahir yakni melalui pemberian ASI
Eksklusif, kolosrtum dan usia penyapihan. ASI (Air Susu Ibu) merupakan
makanan pertama dan utama bagi bayi. ASI merupakan makanan yang paling
ideal bagi bayi karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi.
Pemberian ASI dengan tepat kepada bayi akan memberikan banyak dampak
positif bagi kesehatan dan proses tumbuh kembangnya (Hutasoit, H. 2012).

Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu


(Delayed initiation) akan meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif
didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa suplementasi makanan maupun
minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu selain ASI. IDAI
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk
mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat makanan
pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan.
Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan
terhadap asupan nutrisi penting pada bayi (Rachim, A. dkk. 2017).

Pada tingkat makro, konsumsi makanan individu dan keluarga yang biasa
dimakan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh tingkat
produksi dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu
dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat
menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi
makanan keluarga. Tidak tersedianya makanan secara adekuat terkait langsung
dengan keadaan sosial ekonomi. Kemiskinan sangat identik dengan tidak
tersedianya makanan yang adekuat (Hutasoit, H. 2012). Kualitas makanan yang
buruk meliputi kualitas micronutrient yang buruk, kurangnya keragaman dan
asupan pangan yang bersumber dari pangan hewani, kandungan tidak bergizi, dan
rendahnya kandungan energi pada complementary foods (Rachim, A. dkk. 2017).

b. Faktor keluarga dan faktor maternal

Stunting dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama pre konsepsi,


kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu yang pendek,
infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa, IUGR dan persalinan prematur, jarak
persalinan yang dekat, dan hipertensi. Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh
stimulasi dan aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk,
ketidakamanan pangan, alokasi pangan yang tidak tepat, rendahnya edukasi
pengasuh (Rachim, A. dkk. 2017).
c. Berat Badan Lahir Rendah

Keadaan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat badan bayi yang
lahir dibawah 2500 gram. Ada dua keadaan BBLR yaitu:

1) Bayi lahir kecil karena kurang bulan (prematur) yaitu bayi baru lahir pada umur
kehamilan antara 28-36 minggu bayi lahir kurang bila mempunyai organ dan alat-
alat tubuh yang bulan berfungsi normal untuk mempertahankan hidup diluar
rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang
sempurna, prognosisnya yang memburuk.

2) Bayi lahir kecil untuk masa kehamilan yaitu bayi lahir kecil akibat retardasi
pertumbuhan janin dalam rahim, organ dan alat-alat tubuh bayi kecil masa
kehamilan cukup sudah matang (mature) dan berfungsi lebih baik dibandingkan
dengan bayi lahir kurang bulan, walaupun berat badan sama.

BBLR dapat merusak fungsi kekebalan tubuh anak, perkembangan


kognitif, dan meningkatkan risiko terhadap penyakit diare, pneumonia, dan
penyakit infeksi lainnya. Kejadian stunting berhubungan dengan berat badan lahir
yang rendah. Bayi yang lahir dengan berat badan yang rendah juga memiliki
kemungkinan yang kecil untuk memulai menyusui dan lebih mungkin untuk
disapih lebih awal. BBLR disebabkan karena kekurangan gizi pada masa
kehamilan sehingga mengakibatkan anak yang BBLR mengalami keterlambatan
dalam pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, dan gangguan perkembangan
kognitif . Keadaan gizi yang buruk sewaktu janin di dalam kandungan dan setelah
dilahirkan, mempunyai pengaruh sangat besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak dimasa yang akan datang.

Bayi BBLR berisiko untuk mengalami proses hidup dimasa depan kurang
baik, memiliki resiko meninggal dalam usia balita dan bila tidak meninggal bayi
BBLR akan tumbuh lebih lambat, apalagi jika kekurangan ASI eksklusif dan
makanan pendamping ASI yang tidak cukup, maka bayi BBLR cenderung besar
menjadi balita dengan status gizi rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup
dalam lima tahun pertama akan mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh
kembang secara jangka panjang kehidupan dibandingkan bayi non BBLR
(Hutasoit, H. 2012).

d. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada tingkah laku yang baik.
Tingkat pendidikan orang tua yang rendah memiliki konsekuensi terhadap
rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Nurmiati (2006) dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu
dan ayah yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan
penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan
makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan
tingkat pengetahuan gizi yang rendah.

Banyak orang tua yang memberikan makan kepada anak-anak sebatas


supaya kenyang, sementara komposisinya tidak disesuaikan dengan kebutuhan
gizinya. Rendahnya pendidikan juga seringkali menyebabkan kebiasaan,
kepercayaan, pantangan, dan tahayul yang keliru. Adanya pantangan
mengonsumsi makanan tertentu yang salah dalam pemberian makan anak akan
sangat merugikan dan menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan
gizi yang cukup. Pendidikan sangat penting bagi ibu rumah tangga yang turut
bertanggung jawab akan keadaan gizi setiap anggota keluarga.

Hasil penelitian Katryn,dkk (2011) menunjukkan bahwa tingkat


pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan pangan. Orang yang
berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam
jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah.

e. Besar Keluarga

Jumlah keluarga yang banyak akan semakin menjadi faktor risiko


terjadinya masalah gizi karena akan mempengaruhi jumlah konsumsi gizi dan
faktor kemiskinan akan meningktkan resiko keluarga besar mengalami gangguan
gizi. Pangan yang tersedia pada sebuah keluarga yang besar mungkin hanya cukup
untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut (Hutasoit, H. 2012).
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin merupakan kelompok
paling rawan kurang gizi di antara anggota keluarganya. Anak yang paling kecil
biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Seandainya anggota
keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang. Usia 1 -6 tahun
merupakan masa yang paling rawan. Kurang energi protein berat akan sedikit
dijumpai pada keluarga yang jumlah anggota keluarganya lebih kecil (Hutasoit, H.
2012).

f. Kemiskinan

Beberapa faktor penyebab masalah gizi adalah kemiskinan. Kimiskinan


dinilai mempunyai peran penting yang bersifat timbal balik sebagai sumber
permasalahan gizi yakni kemiskinan menyebabkan kekurangan gizi sebaliknya
individu yang kurang gizi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
mendorong proses kemiskinan. Hal ini disebabkan apabila seseorang mengalami
kurang gizi maka secara langsung akan menyebabkan hilangnya produktifitas
kerja karena kekurangan fisik, menurunnya fungsi kognitif yang akan
mempengaruhi tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi keluarga. Dalam
mengatasi masalah kelaparan dan kekurangan gizi, tantangan yang dihadapi
adalah mengusahakan agar masyarakat miskin, terutama ibu dan anak balita dapat
memperoleh bahan pangan cukup dengan gizi yang seimbang dan harga yang
terjangkau (Hutasoit, H. 2012).

g. Infeksi

Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik seperti
diare, enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernafasan
(ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan inflamasi
(Rachim, A. dkk. 2017). Anak yang tidak mengkonsumsi zat gizi yang dibutuhkan
oleh tubuh akan mengakibatkan daya tubuh anak rendah sehingga mudah
terserang penyakit infeksi, sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan ISPA
akan mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik
(Hutasoit, H. 2012).

h. Kelainan endokrin
Terdapat beberapa penyebab perawakan pendek diantaranya dapat berupa
variasi normal, penyakit endokrin, displasia skeletal, sindrom tertentu, penyakit
kronis dan malnutrisi. Pada dasarnya perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu
variasi normal dan keadaan patologis.

Kelainan endokrin dalam faktor penyebab terjadinya stunting berhubungan


dengan defisiensi GH, IGF- 1, hipotiroidisme, kelebihan glukokortikoid, diabetes
melitus, diabetes insipidus, rickets hipopostamemia. Pada referensi lain dikatakan
bahwa tinggi badan merupakan hasil proses dari faktor genetik (biologik),
kebiasaan makan (psikologik) dan terpenuhinya makanan yang bergizi pada anak
(sosial). Stunting dapat disebabkan karena kelainan endokrin dan non endokrin.
Penyebab terbanyak adalah adalah kelainan non endokrin yaitu penyakit infeksi
kronis, gangguan nutrisi, kelainan gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan
faktor sosial ekonomi (Rachim, A. dkk. 2017).

2.3 Diagnosis Stunting

Antropometri berasal dari kata “anthropos” (tubuh) dan “metros” (ukuran)


sehingga antropometri secara umum artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari
sudut pandang gizi, maka antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan gizi (Rachim, A. dkk. 2017).

Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan
cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energy.

Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan


menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score).
Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan
diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan
hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek
dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan ini menggunakan standar Z score
dari WHO. Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan
pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely
stunted (sangat pendek).

Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan


per umur (TB/U).

I. Sangat pendek : Zscore < -3,0

II. Pendek : Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0

III. Normal : Zscore ≥ -2,0

Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan


indikator TB/U dan BB/TB.

I. Pendek-kurus : -Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0

II. Pendek -normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d
2,0

III. Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 (Rachim, A. dkk.


2017).
Kurva WHO yang digunakan dalam menentukan stunting.

Gambar 1. Kurva WHO berdasarkan panjang badan atau tinggi badan yang
dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score) anak laki-laki umur 0 bulan –
5 tahun (https://www.who.int/childgrowth/standards/chts_lhfa_girls_z/en/)

Gambar 1. Kurva WHO berdasarkan panjang badan atau tinggi badan yang
dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score) untuk anak laki-laki umur 0
bulan – 5 tahun.

Gambar 2. Kurva WHO berdasarkan panjang badan atau tinggi badan yang
dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score) untuk anak perempuan umur 0
bulan – 5 tahun.
2.4 Upaya Pencegahan Stunting

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals


(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu
menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta
mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka
stunting hingga 40% pada tahun 2025.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai


salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39
Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi
stunting di antaranya sebagai berikut:

1. Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;

b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;

c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan; d. Menyelenggarakan


program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien
(TKPM);

e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);

f. Pemberantasan kecacingan;

g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku


KIA; h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan
ASI eksklusif; dan

i. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2. Balita

a. Pemantauan pertumbuhan balita;


b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita;

c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan

d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3. Anak Usia Sekolah

a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);

b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;

c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan

d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba

4. Remaja

a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat


(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba;
dan

b. Pendidikan kesehatan reproduksi.

5. Dewasa Muda

a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);

b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan

c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak


merokok/mengonsumsi narkoba (Kemenkes RI. 2018).

2.5 Kebijakan Penanganan Stunting di Indonesia

Stunting disebabkan oleh faktor Multidimensi yaitu:

- Praktek pengasuhan yang tidak baik


- Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (Ante Natal Care),
Post Natal dan pembelajaran dini yang berkualitas
- Kurangnya akses ke makanan bergizi
- Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi

Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus pada 1000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK), yang mengedepankan upaya bersama antara
pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian
pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan
perbaikan gizi masyarakat. Peta Jalan Percepatan Perbaikan Gizi terdiri dari empat
komponen utama yang meliputi advokasi, penguatan lintas sektor, pengembangan
program spesifik dan sensitif, serta pengembangan pangkalan data.

3 Komponen utama penanggulangan stunting melalui 1000 hari pertama


kehidupan:

a. Pola Asuh

Meliputi pemberian pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan


pada masa kehamilan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD) segera setelah lahir, ASI
eksklusif selama 6 bulan, melanjutkan menyusui sampai usia 2 tahun atau lebih,
pemberian makanan pendamping ASI yang cukup dan sesuai umur anak, layanan
kesehatan yang baik, seperti: posyandu, imunisasi.

b. Pola Makan

Pemberian makanan sesuai dengan isi piringku, yaitu: makanan pokok 2/3
dari ½ piring, lauk-pauk 1/3 dari ½ piring, sayur dan buah-buahan ½ piring.

c. Sanitasi

Meliputi air bersih, jamban keluarga, dan cuci tangan pakai sabun.

Intervensi gizi baik yang bersifat langsung (spesifik) dan tidak langsung
(sensitif) perlu dilakukan secara bersama-sama oleh kementerian/lembaga serta
pemangku kepentingan lainnya.

5 pilar penanganan stunting:

- Komitmen dan visi pimpinan tertinggi Negara


- Kampanye nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku,
komitmen politik dan akuntabilitas
Tujuan: meningkatkan kesadaran dan mengubah perilaku masyarakat
untuk mencegah stunting di periode 1000 HPK
- Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional, daerah, dan
masyarakat. Dengan intervensi gizi spesifik dan sensitif
- Mendorong kebijakan “Nutritional Food Security” kementan dan
kemenkes
- Pemantauan dan Evaluasi

2.6. Strategi Mengatasi Stunting (Kemenkes RI. 2018).

Merujuk pada pola pikir UNICEF/Lancet, masalah stunting terutama


disebabkan karena ada pengaruh dari pola asuh, cakupan dan kualitas pelayanan
kesehatan, lingkungan, dan ketahanan pangan, maka berikut ini mencoba untuk
membahas dari sisi pola asuh dan ketahanan pangan tingkat keluarga.

Dari kedua kondisi ini dikaitkan dengan strategi implementasi program


yang harus dilaksanakan. Pola asuh (caring), termasuk di dalamnya adalah Inisiasi
Menyusu Dini (IMD), menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan pemberian
ASI dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2
tahun merupakan proses untuk membantu tumbuh kembang bayi dan anak.

Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh ini ada pada Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 128, Peraturan
Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/MENKES/52/2015.

Amanat pada UU Nomor 36 Tahun 2009 adalah:

a. Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan selama


6 bulan, kecuali atas indikasi medis.
b. Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

Amanat UU tersebut diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2013 tentang ASI


yang menyebutkan:

a. Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif.


Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk menjamin
pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan
sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangannya, memberikan perlindungan kepada
ibu dalam memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan meningkatkan
peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, dan
pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif.

b. Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan


wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru lahir
kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Inisiasi menyusu dini
sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara meletakkan bayi secara
tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada kulit
ibu.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur: 1) Tanggung jawab pemerintah,


pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; 2) Air Susu
Ibu Eksklusif; 3) Penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya; 4) Tempat
kerja dan tempat sarana umum; 5) Dukungan masyarakat; 6) Pendanaan; dan 7)
Pembinaan dan pengawasan.

Strategi ke depan terkait dengan pola asuh, maka direkomendasikan


beberapa hal antara lain:

1. Melakukan monitoring pasca pelatihan konselor menyusui utamanya di


tingkat kecamatan dan desa;

2. Melakukan sanksi terhadap pelanggar PP tentang ASI;


3. Melakukan konseling menyusui kepada pada ibu hamil yang datang ke
ante natal care/ANC (4 minggu pertama kehamilan) untuk persiapan
menyusui;

4. Meningkatkan kampanye dan komunikasi tentang menyusui;

5. Melakukan konseling dan pelatihan untuk cara penyediaan dan


pemberian MP-ASI sesuai standar (MAD).
BAB III
KESIMPULAN

Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak,
hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai
dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted).13
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi
yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi.

Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus pada 1000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK) merupakan upaya utama dalam pecegahan stunting di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, S. 2015. Analisis Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Muara Tiga Kab. Pidie. Universitas Sumatera
Utara

Rosmalina, Y. Luciasari, E. Aditianti. Ernawati, F. 2017.Upaya Pencegahan dan


Penanggulangan Batita Stunting: A Systematic Review

Global Nutrition Report, 2018. Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Stunting


di Indonesia.
https://www.persi.or.id/images/2019/data/FINAL_PAPARAN_PERSI_22_FEB_2
019_Ir._Doddy.pdf diakses 28 Maret 2019

Hutasoit, Henny. 2012. Analisis Faktor Risiko Stunting pada Anak Sekolah Dasar
Kab. Tapanuli Utara. Universitas Sumatera Utara

Kemenkes RI. 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Buletin


Jendela Data dan Informasi Pengobatan.
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/
Buletin-Stunting-2018.pdf diakses 28 Maret 2019

Kemenko PMK. 2018. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil


(Stunting) Periode 2018-2024.
tnp2k.go.id/.../files/.../Stranas%20Percepatan%20Pencegahan%20Anak%2
0Kerdil.pdf

diakses 28 Maret 2019

Rachim, A. Pratiwi, R. 2017. Hubungan Konsumsi Ikan Terhadap Kejadian


Stunting pada Anak Usia 2-5 Tahun.

Unicef. 2002. http://unicef.in/whatwedo/10/stunting diakses pada 28 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai