Anda di halaman 1dari 17

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS HUKUM

MAKALAH

Perspektif Pembuktian Terbalik Pada Gugatan Strict Liability dalam Penegakan


Hukum Perdata Lingkungan Hidup
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Konsentrasi Hukum Pembuktian Perdata
Dosen Pengampu : Dr. Sutanto, S.H., M.S.
Oleh :

Rakha Gurand

16/397715/HK/21037

YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan sektor industri di Indonesia saat ini
telah membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Modernisasi di sektor
industri memberikan beberapa manfaat positif seperti semakin terbukanya
lapangan pekerjaan, meningkatnya pendapatan masyarakat dan lain sebagainya,
akan tetapi di sisi lain modernisasi di sektor industri membawa dampak negatif
terutama terhadap lingkugan hidup yaitu pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan.
Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia seakan tidak berujung
pangkal. Belum lama ini terjadi kebakaran di Riau dan Kalimantan yang salah
satu penyebabnya adalah pembukaan lahan oleh para pelaku usaha tanpa
memperdulikan dampaknya terhadap lingkungan. Rakyat Indonesia sudah
sepantasnya mendapatkan hak atas lingkungan yang sehat dan pemerintah sudah
sepatutnya mengusahakan tercapainya hal tersebut sesuai perwujudan amanah
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.
Salah satu upaya penyelesaian permasalahan lingkungan hidup di
Indonesia adalah dengan menjamin kepastian hukum dalam penegakan
hukumnya. Penegakan hukum lingkungan sendiri merupakan upaya dalam
mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum
yang berlaku secara umum, baik melalui pengawasan dan penerapan secara
administasi, keperdataan, dan kepidanaan.1
Pengaturan kebijakan dalam menegakan hukum lingkungan di Indonesia
sendiri diaktualisasikan dengan diundangkannya peraturan yang mengatur
tentang lingkungan hidup, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mana secara
fungsional mengandung aspek administrasi, perdata dan pidana.

1
Komang Trie Krisnsari, I Ketut Mertha, 2013, “Penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan
Di Indonesia”, Vol. 01, No. 03, Mei, 2013, hlm. 2, OJS Kertha Semaya
Apabila dilihat dalam aspek keperdataan, hukum lingkungan secara
substansial memuat tentang ketentuan pemenuhan hak-hak keperdataan
seseorang, kelompok orang dan badan hukum perdata dalam kaitannya dengan
lingkungan hidup yang baik dan sehat, dimana apabila hak-hak keperdataan ini
dirugikan oleh pihak lain, maka dalam upaya melindungi hak tersebut digunakan
sarana hukum lingkungan keperdataan yang kemudian dapat memberikan hak
kepada penggugat untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atau tindakan
pemulihan lingkungan terhadap pencemaran yang telah terjadi.
Salah satu konsep gugatan keperdataan lingkungan hidup sebagaimana
yang termuat dalam UUPPLH adalah konsep strict liability atau tanggung jawab
mutlak. Dalam pandangan umum, konsep strict liability sendiri dianggap bahwa
penggugat tidak dibebani rumitnya pembuktian unsur kesalahan. Adanya
kausalitas antara kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan tergugat cukup
menjadi modal untuk menghukum tergugat. Permasalahan timbul mengingat di
dalam Pasal 1865 KUHPerdata ada kewajiban bagi penggugat untuk
membuktikan unsur kesalahan dalam gugatannya.
Asas tanggung jawab mutlak (strict liability) sendiri merupakan prinsip
pertanggungjawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama, yakni
berasal dari sebuah kasus di Inggris (Rylands v. Fletcher) pada tahun 1868. 2
Kemudian asas ini diadopsi dalam berbagai peraturan perundangan nasional dan
konvensi-konvensi internasional. Indonesia menundukkan diri untuk
menerapkan asas ini sebagai pihak atau peratifikasi dan konvensi internasional,
yang kemudian secara tegas mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan
nasional. Bermula dari UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur mengenai
pertanggungjawaban secara mutlak (strict liability) atas perbuatan pencemaran
dan perusakan lingkungan, akan tetapi asas strict liability tersebut belum dapat
2
Harjasoemantri, Koesnadi. 1998. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Paper presented at the
Lokakarya Legal Standing & Class Action, Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Hlm 1.
diterapkan secara maksimal guna mendapatkan ganti kerugian terhadap kerugian
yang diderita oleh korban pencemaran serta biaya pemulihan lingkungan hidup
yang tercemar itu sendiri.3
Munculnya tanggungjawab tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat ini,
James Krier menyatakan :
“The doctrine of strict liability for abnormally dangerous activities can be of
assistance in many cases of environmental damage, strict liability is, of course,
more than a burden-shifting doctrine, since it not only relieves the plaintiff of the
obligation to prove fault but forcloses the defendant proving the absecne of
fault.”4
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penulis bermaksud untuk
membahas mengenai bagaimanakah perspektif pembuktian terbalik kesalahan
dalam gugatan strict liability berkaitan dengan penegakan hukum perdata
lingkungan hidup.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dijabarkan di atas, maka
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana perspektif hukum perdata dan hukum lingkungan
memandang pembuktian terbalik kesalahan dalam gugatan strict
liability?
2. Bagaimana keterkaitan antara prinsip pembuktian terbalik kesalahan
dalam gugatan strict liability dengan sengketa lingkungan hidup di
Indonesia?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perspektif hukum perdata dan hukum lingkungan
memandang pembuktian terbalik kesalahan dalam gugatan strict liability;

3
Ade Risha R, Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Perdata Lingkungan
di Indonesia, hlm 1-2.
4
Imamulhadi, Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Preacautionary Dalam Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup Di Pengadilan, Mimbar Hukum. Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013, hlm 417-432.
2. Mengetahui urgensi prinsip pembuktian terbalik kesalahan dalam
gugatan strict liability dengan permasalahan lingkungan hidup yang
terjadi di Indonesia.

D. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai perspektif hukum nasional, khususnya hukum perdata dan hukum
lingkungan tentang pembuktian terbalik kesalahan dalam gugatan strict liability
serta untuk memberi pengetahuan tambahan bagi pembaca mengenai urgensi
prinsip pembuktian terbalik kesalahan dalam gugatan strict liability.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Lingkungan Terhadap Pembuktian


Terbalik dalam Gugatan Strict Liability
Dalam mengkaji persoalan pembuktian terbalik dalam gugatan strict
liability (tanggung jawab mutlak), sebaiknya terlebih dahulu mencermati
berbagai persoalan yang mencakup sejarah serta penerapan prinsip tanggung
jawab mutlak (strict liability) di Indonesia.
1. Sejarah Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Strict liability atau yang sering diterjemahkan sebagai tanggung jawab
mutlak mengandung makna bahwa tanggung jawab hadir kepada tergugat
tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya. Adapun strict liability ini
diartikan juga sebagai tanggung jawab terbatas karena dikaitkan dengan
asuransi, dimana kerugian akan ditanggung terbatas yaitu sampai nilai
asuransi yang dipertanggungkan.
Berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak, seseorang dapat dimintai
pertanggung jawaban ketika kerugian terjadi, terlepas dari unsur kesalahan
yang harus dibuktikan pada dirinya. Dalam berbagai literatur prinsip
tanggung jawab mutlak ini seringkali diperinci menjadi 2 (dua) prinsip,
yaitu strict liability principle dan absolute liability principle. Penggunaan
kedua istilah tersebut sering dipergunakan secara bergantian tanpa
mengadakan pembedaan yang tegas antara keduanya.
Penggunaan istilah absolute liability lebih dahulu disampaikan oleh John
Salmond pada tahun 1907, sedangkan istilah strict liability pertama kali
dikemukakan pada tahun 1926 oleh W.H. Winfield.5 Pendapat W.H.
Winfield mengenai strict liability tersebut didukung oleh G.H.L. Fridman
karena banyaknya alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk
membebaskan diri dari kewajiban bertanggung jawab (usual defenses)
dalam absolute liability, walaupun tidak diperlukan adanya unsure

5
Carrie da Silva, 2006, The Continuing Life of Rylands v Fletcher: a Comparative Analysis of The
Development and Enduring Use of The Rule in Rylands v Fletcher in England and Wales and the
Common Law World, Wadham College, Oxford, hlm.4
kesalahan. Masih menurut Fridman, bahwa suatu sistem tanggung jawab
tanpa kesalahan lebih tepat disebut sebagai stict liability karena ia disertai
dengan berbagai pengecualian yang sudah secara umum diakui sebagai
alasan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab (usual defenses).6
Sementara itu prinsip tanggung jawab mutlak dalam sebuah
pertanggungjawaban sendiri sudah lama dikenal dalam Hukum Perdata pada
sistem hukum common law perkembangannya berawal dari kasus
Rylands vs Fletcher di Inggris tahun 1868.7 Dimana keputusan Court of
Exchenquer Chamber menyatakan bahwa kegiatan atau aktivitas yang
mengandung bahaya atau risiko, apabila mengakibatkan kerugian bagi orang
lain, dianggap telah memenuhi unsure kesalahan. Hal tersebut diperkuat lagi
pada tingkat kasasi, House of Lord berpendapat bahwa pemanfaatan sumber
daya alam oleh tergugat bersifat di luar kelaziman (non natural use) dan
tergugat bertanggung jawa atas kerugian yang ditimbulkan. Pertimbangan
House of Lord menyimpulkan kriteria implementasi strict liability bahwa
suatu penggunaan terhadap sumber daya alam apabila dilakukan secara
tidak lazim dan kemudian menimbulkan kerugian pada orang lain maka
dapat dikenai pertanggungjawaban secara strict liability.
Pada sistem hukum Belanda padanan ajaran strict liability adalah risico-
aansprakelijkheid atau tanggung jawab berdasarkan risiko. Tanggung jawab
ini merupakan bentuk tanggung jawab yang tidak didasarkan pada unsure
kesalahan dan berlaku secara terbatas hanya untuk kegiatan pengelolaan
bahan berbahaya; instalasi pengelolaan limbah; dan kegiatan tambang
pengeboran. Adapun batasan yang berlaku pada ajaran ini adalah apabila:
(1) kerugian timbul akubat perang, kekacauan, pembangkangan, dan
pemberontakan; (2) kerugian karena peristiwa alam luar biasa; (3) kerugian
akibat mematuhi perintah penguasa; (4) kerugian akibat perbuatan si korban
sendiri dan (5) kerugian akibat perbuatan pihak ketiga.8

6
Ibid, hlm.6
7
Rudiger Lummert, sebagaimana dikutip Suparto Wijoyo, 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan
(Settlement of Environmental Disputes), Airlangga University Press, Surabaya, hlm.31.
8
Imamulhadi, Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary dalam Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Pengadilan, hlm. 420.
Beberapa konvensi internasonal pun mengatur mengenai ajaran
pertanggungjawaban terhadap kerugian akibat kerusakan lingkungan yakni
sebagai berikut:
1. Konvensi tentang Pertanggungjawaban Pihak Ketiga di Bidang
Energi Nuklir (Convention on Third Party Liability in the Field of
Nuclear Energy, 29 Juli 1960, Paris). Berdasarkan konvensi ini,
penggugat terbebas dari kewajiban untuk membuktikan adanya
unsure kesalahan (fault and negligence). Akan tetapi penganggung
jawab terbebas dari tanggung jawab apabila kerugian timbul akibat
act of armen conflict, hostilities, dan civil war.
2. Konvensi tentang Pertanggungjawaban sipil atas Kerugian yang
diakibatkan oleh Nuklir (Convention on Civil Liability for Nuclear
Damage, 21 Mei 1963, Viena) yang mengandung absolute liability
principle.
3. Konvensi Internasional tentang Pertanggungjawaban Sipil atas
Kerugian Pencemaran Minyak (Civil Liability for Oil Pollution
Damage, 29 November 1969, Bussels). Dalam konvensi ini timbul
pandangan bahwa ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan
hukum karena kelalaian sulit dibuktikan. Oleh karena itu Penggugat
tidak dibebani tanggung jawab pembuktian, kecuali jika:9
(1) Kecelakaan timbul karena perang, persengketaan senjata, perang
saudara, pemberontakan, atau bencana alam.
(2) Jika kecelakaan diakibatkan karena perbuatan atau kelalaian
pihak ketiga dengan maksud untuk menimbulkan kerugian
tersebut.
(3) Jika kecelakaan timbul oleh perbuatan atau kelalaian dari korban
sendiri.
4. Konvensi tentang Pertanggungjawaban Internasional atas Kerugian
yang disebabkan atas Obyek Ruang Angkasa (Convention of
International Damage Caused by Space Objects, 29 Maret 1972,

9
Koesnadi Hardjasoemantri, 2005, Hukum Tata Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta,
hlm. 415.
Geneve). Konvensi ini tidak mengenal alasan pemaaf (defenses) dan
tidak mengenalkan batas jumlah tanggung jawab atas kerugian.
5. Konvensi Pergerakan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya
Beracun (Convention on the Control of Transboundary Movements of
Hazardous Wastes and Their Disposal, 22 Maret 1989). Dalam
konvensi ini diusulkan dua bentuk pertanggungjawaban meliputi
absolute liability dan strict liability.
6. Konvensi tentang Pertanggungjawaban Sipil terhadap Kerugian yang
Diakibatkan oleh Aktivitas yang Membahayakan Lingkungan
(Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities
Dangerous to the Environment, 21 Juni 1993, Lugano). Konvensi ini
menganut pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without
fault) dengan alasan pemaaf (defenses).
Latar belakang strict liability ini kemudian menunjukkan adanya
beberapa pemahaman yakni:
1. Strict liability sebagai tanggung jawab terkait dengan pembuktian
terbalik di pengadilan, sebagai tanggung jawab tanpa adanya unsur
kesalahan,. Dimana pembuktian terbalik ini hanyalah sebagai
konsekuensi atas tidak diwajibkannya penggugat membuktikan
kesalahan tergugat, dilain sisi untuk melihat secara terang sebuah
kegiatan telah mengakibatkan kerugian.
2. Strict liability ini dipahami sebagai tanggung jawab langsung dan
seketika tanpa memperhatikan unsur kesalahan dimana besarnya
pertanggungjawaban ini terbatas pada nilai kerugian yang
dipertanggungkan atau diasuransikan.
3. Tanggung jawab absolut sebagai tanggung jawab yang tidak terbatas,
dimana nilai kerugian yang wajib ditanggung tergugat tidak dibatasi
pada nilai yang dipertanggungkan atau diasuransikan.
Dalam ketiga pemahaman di atas, ketiganya menghendaki pembatasan
dalam implementasinya, yaitu terhadap kegiatan yang bersifat tidak lazim,
sangat berbahaya, dan memiliki resiko yang sangat tinggi.
Dalam perkembangannya di banyak negara, prinsip strict liability ini
pengaturannya senantiasa dikaitkan dengan undang-undang lingkungan
mengingat perlindungan lingkungan hidup menjadi prioritas yang harus
dilakukan agar kelangsungan sistem kehidupan terjaga.
Indonesia sendiri menundukkan diri untuk menerapkan prinsip ini
sebagai pihak atau peratifikasi dari konvensi internasional, dan kemudian
secara tegas mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Bermula dari UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

2. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di


Indonesia
Konsep strict liability merupakan hal yang relatif baru dalam sistem
hukum di Indonesia, karena konsep ini mula-mula hanya ada di negara yang
menganut common law system. Hal ini menyebabkan pemahaman berbagai
kalangan terhadap konsep ini masih belum cukup solid. Akibatnya,
penerapan konsep ini seringkali menimbulkan persoalan ketidakadilan,
karena tanggung jawab yang dimintakan kepada tergugat lebih dari apa yang
seharusnya dipikulnya (versarii in reilicita).
Pengaturan mengenai prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
pertama kali dikenal setelah diundangkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini diatur
sebagai respon atas keikutsertaan Indonesia dalam Konferensi Lingkungan
Hidup sedunia di Stockholm, Swedia, pada tahun 1972.
Terkait dengan penerapan asas tanggung jawab mutlak, Pasal 21 UU No.
4 Tahun 1982 menyatakan:
“Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu
tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada
saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.”
Dalam penjelasan Pasal 21 UU No. 4 Tahun 1982 menyatakan:
“Tanggung jawab mutlak dikenakan secara selektif atas kasus yang akan
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang dapat
menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena oleh ketentuan
yang dimaksud.”
Rumusan di dalam pasal di atas mengisyaratkan bahwa penerapan
prinsip tanggung jawab mutlak dilaksanakan secara selektif, bertahap, dan
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan yang ada, dalam hal ini prinsip
tanggung jawab mutlak disini dapat diterapkan pada kegiatan yang
memenuhi kriteria sebagai kegiatan yang mengandung resiko yang sangat
besar (abnormally dangerous activity).
Selanjutnya, pengaturan perkembangan di dalam masyarakat
menghendaki dibentuknya peraturan baru berkaitan dengan lingkungan
hidup, maka lahirlah UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dimana dalam UU No. 23 Tahun 1997 ini pengaturan
mengenai prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diatur di dalam
Pasal 35, yang menyatakan:
(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan
kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hdup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan Iingkungan
hidup;
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (l) jika yang
bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah
ini:
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia;
c. adanya tindakan pihak ke tiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam UU ini rumusan mengenai tanggung jawab mutlak dimaksudkan
bahwa unsure kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat,
dimana tergugat secara mutlak harus bertanggung jawab membayar ganti
rugi secara langsung dan seketika.
Rumusan pasal tersebut tidak memberikan batasan ganti kerugian
sehingga dianggap tidak secara konsekuen mengenal tanggung jawab
mutlak dalam arti strict liability saja melainkan juga absolute liability, untuk
itu kemudian di dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang notabene merupakan pengganti atas
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya
memperkenalkan tanggung jawab mutlak dalam arti strict liability,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 88 yang menyatakan:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.”
Dalam penjelasan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability
adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis
dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau
perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas
tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika
menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia
dana lingkungan hidup. Tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam
UUPPLH ini dikaitkan dengan kegiatan yang berhubungan dengan bahan
berbahaya dan beracun (B3).

B. Pembuktian Terbalik pada Gugatan Strict Liability dalam Sengketa


Lingkungan Hidup di Indonesia
Model tanggung jawab strict liability memiliki banyak kesamaan dengan
res ipsa locuitur (the thing speaks for itself), yang merupakan doktrin dalam
bidang pembuktian hukum perdata. Dalam hukum perdata pihak yang
mengajukan gugatan adalah pihak yang harus membuktikan kesalahan dari
tergugat, apabila merupakan kelalaian maupun kesengajaan.
Dalam sengketa lingkungan hidup, latar belakang penerapan strict
liability dimaksud adalah pemikiran bahwa dalam sengketa lingkungan hidup
penerapan liability based on fault principle sering menempatkan pihak
penggugat pada posisi yang lemah dalam mengupayakan hakny untuk
mendapatkan pemulihan atas kerugian yang ia terima. Dimana suatu perbuatan –
dalam hal ini perbuatan melawan hukum dapat dimintakan
pertanggungjawabannya untuk membayar ganti rugi apabila memenuhi unsur-
unsur yang telah ditentukan, yakni: (1) unsur perbuatan; (2) unsur melawan
hukum; (3) unsur kesalahan; (4) unsur kerugian; dan (5) adanya kausalitas antara
perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan.
Pada pokoknya, strict liability merupakan suatu prinsip tanggung jawab
yang sama sekali berbeda dengan prinsip liability based on fault yang mana
sangat menyulitkan korban dalam membuktikan bahwa terdapat kelalaian pelaku
yang berakibat pada kerugian yang dialami korban. Selain itu, salah satu
ketentuan hukum acara di Indonesia yang mengatur mengenai hukum
pembuktian adalah Pasal 163 HIR dan Pasal 1865 KUHPerdata yang pada
asasnya menentukan bahwa setiap orang yang mendalilkan maka ia pulalah yang
harus membuktikan dalilnya tersebut (actor incumbit pro batio). Akan tetapi
perkembangan dunia hukum saat ini tidak lagi menjadikan ketentuan Pasal 163
HIR dan Pasal 1865 KUHPerdata sebagai pedoman baku. Pedoman hakim saat
ini lebih menitikberatkan beban pembuktian kepada pihak yang paling sedikit
dirugikan.10
Pembuktian terbalik merupakan semacam metode pembuktian
sirkumstansial (circumstantial evidence), yakni suatu bukti tentang fakta dan
dari fakta-fakta mana suatu kesimpulan yang masuk akal ditarik, dimana dalam
pembuktian terbalik, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada
pihak tergugat.
Pandangan bahwa strict liability sebagai pembuktian terbalik kesalahan
(res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur sendiri pertama kali diterapkan di
Inggris sejak 1809, yakni dalam kasus Christie v. Grigg yang menerapkan
doktrin tersebut dalam kasus kelalaian pengangkut terhadap penumpang. Tujuan
dari doktrin ini bukan untuk membalikkan beban pembuktian dan juga bukan
untuk mengubah kriteria tanggung jawab, akan tetapi semata-mata untuk
mempermudah korban dalam hal membuktikan siapa yang bersalah dengan
menunjukkan bukti sirkumstansial.11
Dalam sengketa lingkungan hidup di Indonesia, strict liability
menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hal ini menggambarkan bahwa
pendekatan pembuktian yang dilakukan dalam sengketa lingkungan hidup
adalah pendekatan pembuktian terbalik kesalahan. Relevansi pembuktian
terbalik dalam sengketa lingkungan hidup ini cukup relevan karena
membuktikan suatu usaha/kegiatan telah menimbulkan kerugian bagi korban
akan sangat sulit. Posisi korban atau penggugat dalam hal ini tidak dapat
mengakses bukti-bukti kebersalahan pelaku atau tergugat, apalagi bukti-bukti
berada atau dalam akses dan kekuasaan pelaku yang sulit didapatkan oleh
korban.

10
Sandra Dini Febri Aristya, “Pembuktian Perdata dalam Kasus Malpraktik di Yogyakarta”, Mimbar
Hukum, November 2011, hlm.190.
11
Krisnadi Nasution, “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Penumpang Bus
Umum”, Mimbar Hukum, Vol. 26, No. 1, Februari 2014, hlm. 63.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Indonesia sendiri menundukkan diri untuk menerapkan prinsip strict liability
sebagai pihak atau peratifikasi dari konvensi internasional, dan kemudian
secara tegas mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Bermula dari UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam sengketa lingkungan hidup, hal ini diatur dalam
Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 dan dikaitkan dengan kegiatan yang
berhubungan dengan bahan berbahaya dan beracun (B3).
2. Dalam sengketa lingkungan hidup di Indonesia, strict liability menyatakan
bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hal ini menggambarkan bahwa
pendekatan pembuktian yang dilakukan dalam sengketa lingkungan hidup
adalah pendekatan pembuktian terbalik kesalahan. Relevansi pembuktian
terbalik dalam sengketa lingkungan hidup ini cukup relevan karena
membuktikan suatu usaha/kegiatan telah menimbulkan kerugian bagi korban
akan sangat sulit. Posisi korban atau penggugat dalam hal ini tidak dapat
mengakses bukti-bukti kebersalahan pelaku atau tergugat, apalagi bukti-
bukti berada atau dalam akses dan kekuasaan pelaku yang sulit didapatkan
oleh korban.

B. Saran
Penerapan Pasal 88 UUPPLH belum cukup memadai, karena asas
tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam pasal ini hanya dapat
diberlakukan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan yang mengandung
limbah B3 dan berpotensi mengakibatkan kerusakan yang besar, untuk itu
pedoman hakim saat ini sebaiknya lebih menitikberatkan beban pembuktian
kepada pihak yang paling sedikit dirugikan demi memenuhi rasa keadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005, Hukum Tata Lingkungan, Gadjahmada University


Press, Yogyakarta.

Wijoyo, Suparto, 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of


Environmental Disputes), Airlangga University Press, Surabaya.

Silva, de Carri, 2006, The Continuing Life of Rylands v Fletcher: a Comparative


Analysis of The Development and Enduring Use of The Rule in Rylands v Fletcher
in England and Wales and the Common Law World, Wadham College, Oxford.

Aristya, Sandra Dini Febri. 2011. “Pembuktian Perdata dalam Kasus Malpraktik di
Yogyakarta”. Yogyakarta: Mimbar Hukum.

Imamulhadi. 2013. “Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Preacautionary Dalam


Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Pengadilan”. Yogyakarta: Mimbar
Hukum.

Nasution, Krisnadi. 2014. “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap


Penumpang Bus Umum”. Yogyakarta: Mimbar Hukum.

Republik Indonesia. Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup. UU Nomor 4 tahun 1982. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1982 Nomor 12 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3215.

Republik Indonesia. Undang-undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU


Nomor 23 tahun 1997. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
68 Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3699.

Republik Indonesia. Undang-undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup. UU Nomor 32 tahun 2009. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059.

Anda mungkin juga menyukai