Anda di halaman 1dari 16

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

MAKALAH

Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup Terhadap Izin Lingkungan (Studi

Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara

Terhadap Gubernur Sumatera Utara atas Pemberian Izin Lingkungan untuk PT.

North Sumatera Hydro Energy)

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah konsentrasi Penyelesaian Sengketa

Lingkungan

Oleh :

RAKHA GURAND

16/397715/HK/21037

YOGYAKARTA

2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................................

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................

1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................................

1.4. Manfaat Penulisan .................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................................

3.2. Saran ......................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Kasus lingkungan hidup yang merugikan seluruh lapisan masyarakat seringkali

bermula karena adanya proses perizinan yang salah dan melanggar peraturan

perundang-undangan. Untuk itu penegakan hukum lingkungan merupakan instrumen

penting guna mendukung kesinambungan lingkungan hidup.

Dalam hukum lingkungan, penegakan hukum merupakan suatu upaya untuk

mencapai ketaatan (compliance) terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan

hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan

sanksi administrasi, perdata, dan pidana.1 Penegakan hukum lingkungan dalam rangka

pengendalian pencemaran lingkungan ini kemudian dapat dibedakan dalam tiga aspek:

(i) penegakan hukum lingkungan administratif oleh aparatur pemerintah; (ii) penegakan

hukum lingkungan kepidanaan yang dilakukan melalui prosedur yuridis peradilan; dan

(iii) penegakan hukum lingkungan keperdataan serta “environmental disputes

resolution” yang ditempuh secara litigasi maupun nonlitigasi.2

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum lingkungan, terdapat suatu mekanisme

gugatan yang dapat dilakukan oleh organisasi lingkungan hidup, yaitu hak gugat

organisasi lingkungan hidup yang merupakan upaya memulihkan keadaan (remedial

action) dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Secara umum hak gugat

1
Fajar Winarni, 2008, Penggunaan Legal Standing Organisasi Lingkungan Hidup Dalam Rangka
Penegakan Hukum Lingkungan, MIMBAR HUKUM, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Vol. 20, No. 1,
Februari 2008, hlm. 151.
2
Joseph M. Schilling and James B. Hare, Code Enforcement: A Comprehensive Approach, Solano Press
Books, Point Arena, California, 1995, hlm. 32. Lihat juga Suparto Wijoyo, Wilda Prihatiningtyas, 2016,
Problematika Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Airlangga Development Journal, Universitas
Airlangga, Surabaya, hlm. 3.
organisasi lingkungan hidup (legal standing) ini merupakan mekanisme pengajuan

gugatan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai akibat pelanggaran atau

adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap lingkungan hidup. Hal ini

menunjukkan bahwa obyek-obyek alam diberikan hak hukum (legal rights) dan diakui

oleh hukum meskipun sebagai obyek yang inanimatif. Secara lebih lanjut, mekanisme

hak gugat organisasi lingkungan ini dapat dimaknai sebagai pendekatan perwalian

(guardianship approach) terhadap obyek-obyek alam guna kepentingan pelestarian

fungsinya.

Dalam prakteknya, gugatan dengan menggunakan mekanisme legal standing

organisasi lingkungan hidup telah beberapa kali dilakukan di Indonesia. Kasus-kasus

seperti : 1) Yayasan WALHI v. Inti Indrayon Utama (1988); 2) WALHI v. Gubernur

Jatim, Dirut Perum Perhutani, dan Bupati Mojokerto (2003); 3) WALHI v. Presiden RI

terkait Dana Reboisasi; 4) WALHI v. PT Freeport Indonesia (2000); dll telah

memberikan gambaran rasionalitas legal standing organisasi lingkungan hidup untuk

kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Namun beberapa kendala seperti

pembuktian dan perangkat pemulihan yang belum memadai menjadikan mekanisme ini

sulit dijalankan.

Selanjutnya, perkembangan gugatan lingkungan hidup yang awalnya hanya

dimaksudkan kepada gugatan aktual kini juga merambah kepada gugatan yang

potensial.3 Dimana gugatan potensial ini terkait dengan upaya penyelesaian sengketa

lingkungan hidup melalui peradilan administrasi. Dalam kasus pemberian izin

lingkungan misalnya, pengujian izin lingkungan yang diperkirakan akan memberikan

dampak buruk bagi fungsi lingkungan dapat diajukan pembatalannya dengan gugatan

3
Gugatan potensial adalah gugatan yang diajukan ke pengadilan dimana dasar gugatan adalah suatu
dampak yang belum terjadi atau dengan kata lain gugatan ini didasarkan pada dampak yang akan
dihasilkan terhadap lingkungan hidup.
melalui pengadilan tata usaha negara dengan mendasarkan pada alasan-alasan

pembatalan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-undang tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta mengacu pada alasan-alasan

pembatalan yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara itu

sendiri.

Berdasarkan apa yang penulis paparkan di atas, maka dalam tulisan ini penulis

mencoba memberikan gambaran mengenai implementasi hak gugat (legal standing)

organisasi lingkungan hidup terhadap izin lingkungan yang diterbitkan oleh pemerintah.

Sebagai fokus penulisan, penulis menggunakan studi kasus pemberian izin lingkungan

oleh Gubernur Sumatera Utara kepada PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE) yang

digugat oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara ke

Pengadilan Tata Usaha Negara.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, terdapat 2 permasalahan yang

perlu mendapatkan pengkajian terkait dengan hak gugat organisasi lingkungan hidup

terhadap izin lingkungan. Pertama, bagaimana rezim hukum lingkungan hidup di

Indonesia mengatur konsep hak gugat (legal standing) organisasi lingkungan hidup?

Kedua, bagaimana penerapan hak gugat organisasi lingkungan terhadap izin

lingkungan?

1.3.Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan daripada penulisan

makalah ini dapat dijabarkan sebagai berikut:


1) Untuk mengetahui bagaimana konsep hak gugat organisasi lingkungan hidup

diatur dalam rezim hukum di Indonesia.

2) Untuk mengetahui bagaimana penerapan hak gugat organisasi lingkungan

terhadap izin lingkungan sebagai obyek gugatan.

1.4.Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini dilakukan dengan harapan akan memberikan manfaat sebagai

berikut:

1) Memberi wawasan mengenai konsep hak gugat organisasi lingkungan dalam

rezim hukum Indonesia.

2) Memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai hak gugat organisasi

lingkungan, khususnya mengenai gugatan terhadap izin lingkungan.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup di Indonesia

UUD NRI 1945 secara tegas menjamin bahwa lingkungan hidup yang bersih dan

sehat merupakan hak asasi seluruh rakyat Indonesia. Ketentuan tersebut tertuang dalam

Pasal 28H UUD NRI 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hak atas lingkungan itulah yang

kemudian melandasi pembentukan peraturan perundang-undangan yang kemudian

mengakomodasi hak-hak warga negara dalam upaya perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup, salah satunya hak gugat organisasi lingkungan hidup (legal

standing).

Hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan salah satu bagian dari hukum

standing (standing law) yang banyak berkembang dibelahan dunia, terutama di negara-

negara penganut common law system. Kecakapan organisasi lingkungan hidup dimuka

pengadilan didasarkan pada suatu asumsi bahwa organisasi lingkungan hidup sebagai

wali (guardian) dari lingkungan. Pendapat ini berangkat dari teori yang dikemukakan

oleh Prof. Christopher D. Stone dalam artikelnya yang berjudul: “Should Trees Have

Standing?”. Dalam teorinya, Prof. Christopher D. Stone menyatakan bahwa obyek-

obyek alam memiliki hak hukum (legal right) dan sangatlah tidak bijaksana jika

dianggap sebaliknya hanya karena sifatnya yang inanimatif.4

4
Dokumentasi Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Legal Standing (Hak Gugat
Organisasi Lingkungan), http://referensi.elsam.or.id/2014/09/legal-standing-hak-gugat-organisasi-
lingkungan/, diakses pada 1 Maret 2019.
Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu hak orang

perorang atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat. 5 Legal

standing, Stangding tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak

seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai

penggugat dalam proses gugatan perdata (civil proceeding).6

Bahwa diterimanya pengembangan teori dan penerapan standing organisasi

lingkungan hidup ini setidaknya didasarkan pada dua faktor yakni: (i) Faktor

kepentingan masyarakat luas; (ii) Faktor penguasaan sumber daya alam oleh negara.7

Pasal 38 ayat (1) UUPLH memberikan dasar hukum terhadap hak gugat yang dilakukan

oleh organisasi lingkungan hidup tersebut, bahwa dalam rangka pengelolaan lingkungan

hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan

gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan

gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya

tuntutan ganti kerugian, kecuali biaya atau pengeluaran riil, yaitu biaya yang nyata-

nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.8

Selanjutnya, pengaturan mengenai hak gugat organisasi lingkungan hidup diatur

di dalam Pasal 92 ayat (1) UUPPLH yang berbunyi:

“Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan

untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.”

5
M. Achmad Santosa, Topic 7, Civil Leability for Environment Demage Indonesia, disampaikan pada
Pelatihan Hukum Lingkungan dan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, antara Indonesia –
Australia, Desember 1999 - September 2000.
6
Triwanto, 2009, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Menurut Menurut Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009, Wacana Hukum, Vol. VIII, No. 1, April 2019, hlm. 99.
7
Ibid.
8
Fajar Winarni, Op.cit. hlm.155
Hak gugat organisasi lingkungan sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 92

ayat (1) UUPPLH ini dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, sehingga tidak semua

organisasi lingkungan hidup dapat tampil sebagai standing bilamana syarat tersebut

tidak dipenuhi. Pasal 92 ayat (3) UUPPLH memberikan kriteria yang harus dipenuhi

oleh organisasi lingkungan hidup, dimana kriteria yang dimaksud adalah sebagai

berikut:

a. Berbentuk badan hukum;

b. Menegaskan di dalam anggaran dasar bahwa organisasi tersebut didirikan untuk

kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling

singkat 2 (dua) tahun.

Diberikannya hak gugat terhadap organisasi lingkungan hidup, diharapkan

organisasi lingkungan hidup tersebut dapat berperan dalam memperjuangkan upaya

pelestarian fungsi lingkungan melalui pengadilan.9

2.2. Penerapan Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Legal Standing) Terhadap

Izin Lingkungan Sebagai Obyek Gugatan di PTUN

Penegakan hukum lingkungan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009

adalah pengaturan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui hukum

administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Penyelesaian sengketa tersebut tidak

terlepas dari adanya perbuatan-perbuatan hukum yang melatarbelakangi adanya

9
Francisca Romana Harjiyatni dan Sunarya Raharja, 2014, Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam
Menyelesaikan Sengketa Lingkungan (Studi Gugatan Organisasi Lingkungan Hidup), MIMBAR
HUKUM, Fakultas Hukum UGM, Vol. 26, No. 2, hlm. 263
sengketa lingkungan hidup baik perbuatan hukum administrasi, perbuatan hukum

perdata, maupun perbuatan hukum pidana.10

Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara lain adalah

agar pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat di hentikan, ganti kerugian dapat

diberikan, serta penanggung jawab usaha/kegiatan menaati peraturan perundang-

undangan di bidang lingkungan hidup dan pemulihan lingkungan hidup dapat

dilaksanakan.11Sehingga bagian terbesar dari hukum lingkungan adalah hukum

administrasi.

Dalam ketentuannya seseorang atau badan hukum perdata ke Pengadilan Tata

Usaha Negara (PTUN) karena kepentingannya (atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat) dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang lingkungan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah

menjadi Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan adanya gugatan ke PTUN maka timbul yang namanya sengketa Tata

Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul di bidang Tata Usaha Negara antara orang

atau badan hukum perdata dengan Badan Hukum atau Pejabat Tata Usaha Negara,

akibat dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.12

Subjek dalam sengketa Tata Usaha Negara dimana sebagai pihak penggugat

adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya

10
Imron Supomo, 2018, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui PengadilanTata Usaha Negara,
Makalah Program Studi Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm.6-7.
11
Ibid¸hlm. 7-8.
12
Ibid, hlm. 8-9.
keputusan Tata Usaha Negara. Sedangkan pihak tergugat adalah Badan Hukum atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan putusan Tata Usaha Negara (biasanya

berupa keputusan tentang perijinan). Dimana tuntutan pokok dalam sengketa Tata

Usaha Negara adalah tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan itu

dinyatakan batal atau tidak sah.13

Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam gugatan TUN adalah: a) Keputusan

TUN yang digugat itu bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang

berlaku, b) Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum

pemerintahan yang baik.14

Asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana yang termuat dalam

ketentuan Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengemukakan

bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan: a) kepentingan umum; b)

kepastian hukum; c) kesamaan hak; d) keseimbangan hak dan kewajiban; e)

keprofesionalan; f) partisipatif; g) persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h)

keterbukaan; i) akuntabilitas; j) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k)

ketepatan waktu; l) kecepatan; m) kemudahan; n) keterjangkauan. Di samping itu

analisis dan penafsiran dilakukan dengan mendasarkan diri pada asas-asas umum

pemerintahan yang baik yang dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 30

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa asas-asas

umum pemerintahan yang baik meliputi asas: kepastian hukum, kemanfaatan,

ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan,

kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.15

13
Ibid, hlm.9.
14
Ibid.
15
Eny Kusdarini, 2018, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik pada Produk Hukum Perizinan
Investasi Pemerintah Daerah, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No.4, Vol. 24, hlm. 672.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini diperlukan dalam perumusan

kebijakan perizinan lingkungan. Apabila pengaturan dalam bentuk produk-produk

hukum daerah seperti peraturan daerah dan peraturan kebijaksanaan (beleidsregel)

daerah di bidang perizinan lingkungan itu tidak dilakukan dengan hati-hati dan

bijaksana sesuai dengan AAUPB, maka akan dapat merugikan bagi masyarakat yang

terkena dampak akibat pemberian izin usaha yang tidak dilakukan dengan bijaksana dan

mengindahkan asas kehatihatian serta asas-asas umum pemerintahan yang baik lainnya.

AAUPB merupakan asas-asas/prinsip-prinsip hukum, di samping itu juga merupakan

asas-asas/prinsip-prinsip kebijakan.16 Oleh karena itu, pengaturan kebijakan perizinan

lingkungan di daerah juga harus mengimplementasikan asas-asas umum pemerintahan

yang baik, mengingat bahwa perizinan merupakan instrumen penting bagi pemerintah

daerah untuk mengendalikan kegiatan di daerah supaya tidak merugikan masyarakat di

daerah.

Sebagaimana dikemukakan oleh Tatiek Sri Djatmiati, bahwa izin merupakan

instrumen yang biasa dipakai dalam bidang hukum administrasi, yang dimaksudkan

untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkan guna

mencapai tujuan konkret.17 Mengutip pendapat Ten Berge, Tatiek Sri Djatmiati

mengemukakan bahwa motivasi dalam penggunaan sistem izin adalah:18

a. keinginan untuk mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu,

misalnya izin bangunan;

b. mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);

16
Henk Addink, Gordon Anthony, Antoine Buyse & Cees Flinterman, et.al, Sourcebook HUMAN RIGHT
GOOD GOVERNANCE, SIM Special.
17
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Usaha Industri Di Indonesia, Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 1.
18
Ibid.
c. keinginan untuk melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang, izin

membongkar pada monumen-monumen);

d. hendak membagi benda-beda yang jumlahnya sedikit (izin penghunian daerah

pada penduduk); dan

e. pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin

berdasarkan Drank-en Horecawet, yang mana pengurus harus memenuhi

persyaratan tertentu”.

Prinsip penting dalam penyelenggaran administrasi pemerintahan menurut

Philipus M Hadjon yakni: (1) Berbasis kedaulatan rakyat, artinya terdapat ruang bagi

rakyat untuk berpatisipasi dalam pengambilan keputusan dan dalam kebijakan publik

(2) pembentukan kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan, potensi dan karkater

sosial ekonomi serta budaya rakyat (3) perimbangan kekuasaan dalam hubungan antar

lembaga sehingga dapat terjadi check and balances (4) pembagian kewenangan yang

jelas diantara bidang-bidang pemerintahan sesuai dengan tugas dan fungsinya yang

memiliki sinergi satu sama lain (5) fungsi manajemen pemerintahan yang berdasarkan

pada rasionalitas, objektivitas, efisiensi dan transparansi (6) lembaga legislatif yang

dapaat meningkatkan kemampuannya dalam melakukan fungsi kontrol, legislasi dan

perumusan kebijakan pemerintah (7) Penerapan prinsip akuntabilitas dalam

penyelenggaraan pemerintahan (8) prinsip-prinsip penetapan visi, misi dan tujuan yang

jelas dalam menetapkan strategi kebijakan yang responsif sesuai kebutuhan rakyat.19

Dalam hal perizinan lingkungan yang diterbitkan oleh pejabat Tata Usaha

Negara, izin lingkungan berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai

pengarah, perekayasa, dan perancang pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk mencapai

19
Sudardi, Konsep dan Materi Dari Segi Hukum Tata Negara Untuk Naskah Akademik RUU tentang
Administrasi Pemerintahan, Semiloka I kajian Reformasi Hukum Administrasi Pemerintahan,
Kementrian PAN, 27-28 April 2004.
tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan untuk menanggulangi

masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar izin dan

juga dapat berfungsi sebagai sarana yuridis untuk mencegah serta menanggulangi

pencemaran dan kerusakan lingkungan.20

Selanjutnya dalam konteks penegakan hukum penanganan masalah lingkungan

melalui perangkat hukum administrasi merupakan bagian dari penegakan hukum non

penal. Tujuan dari penegakan hukum lingkungan ini guna melakukan penataan

(compliance) dan perlindungan daya dukung ekosistem serta fungsi lingkungan hidup.

Untuk penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif, yaitu

upaya penegakan hukum guna mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Dan

secara represif, yaitu penegakan hukum dengan tindakan hukum kepada siapa yang

melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam peraturan perudang-undangan.21

Dalam kaitannya dengan kasus pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Sumatera

Utara kepada PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE) yang digugat oleh Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara ke Pengadilan Tata Usaha

Negara yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah perizinan tersebut telah sesuai dengan

konsep perizinan berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan memberi izin penguasa

memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan

tertentu yang sebenarnya dilarang.22 Sedangkan yang pokok dari izin dalam arti sempit

(izin) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan

20
Dahlia Kusuma Dewi, Alvi Syahrin, et.al, Izin Lingkungan dalam Kaitannya Dengan Penegakan
Administrasi Lingkungan dan Pidana Lingkungan berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), USU Law Journal, Vol. II, No.1
hlm. 127.
21
Syahrul Machmud, Penegakan Sanksi Lingkungan Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2012, hlm. 163.
22
NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Sanksi Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon,
Yuridika, Surabaya, hal.2.
agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan

teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap-tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah

untuk hanya memberi perkenan dalam keadaan-keadaan khusus, tetapi agar tindakan-

tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara-cara tertentu (dicantumkan

berbagai persyaratan dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan).23

Izin merupakan “Keputusan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara”. Ini berarti

bahwa dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam hubungan ini oleh

administrasi negara/pemerintah dicantumkan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban

tertentu yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak yang memperoleh izin.

Penolakan izin hanya dilakukan jika kriteria yang ditetapkan oleh penguasa tidak

dipenuhi atau bila karena suatu alasan tertentu tidak mungkin memberikan izin kepada

semua orang.24

Adapun gugatan administrasi hukum lingkungan terjadi karena kesalahan dalam

proses penerbitan suatu keputusan tata usaha negara yang berdampak penting terhadap

lingkungan. Gugatan administratif tersebut juga diajukan terkait dengan keputusan tata

usaha negara yang salah satunya mengenai badan atau pejabat tata usaha negara yang

menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

Gugatan tata usaha negara disamping sebagai sarana untuk menekan pejabat tata usaha

negara agar mematuhi prosedural, juga sebagai sarana perlindungan hukum bagi

rakyat.25 Misalkan kasus sengketa lingkungan ditemukan yurisprudensi pada suatu

organisasi yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan hidup dapat diterima

sebagai Penggugat, mengajukan gugatan mengatasnamakan kepentingan umum atau

23
Dahlia Kusuma Dewi, Alvi Syahrin, et.al, Op.Cit, hlm.128.
24
NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit., hlm.3
25
Philippus M. Hadjon, 1988, Perlindungan Sanksi Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya,
hlm. 5.
kepentingan orang banyak atau masyarakat (algemeen belang). Pada Pasal 93 ayat (1)

UUPPLH menyebutkan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan administrasi

terhadap keputusan tata usaha negara apabila:

a. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha

dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen

amdal;

b. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada

kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-

UPL; dan/atau

c. Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau

kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

Adapun tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan Tata Usaha Negara

mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara.26

26
Pasal 93 ayat (2) UUPPLH

Anda mungkin juga menyukai