Anda di halaman 1dari 24

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/316625521

PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA UNTUK KEBAKARAN HUTAN/LAHAN:


BEBERAPA PELAJARAN DARI MENTERI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
DAN KEHUTANAN (KLHK) VS PT. BUMI MEKAR HIJAU (BMH)

Article · October 2016


DOI: 10.24970/jbhl.v1n1.4

CITATIONS READS

0 1,344

1 author:

Andri Wibisana
University of Indonesia, Faculty of Law
25 PUBLICATIONS   24 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Andri Wibisana on 17 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Bina Hukum Lingkungan
P-ISSN 2541-2353, E-ISSN 2541-531X
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
PERKUMPULAN
PEMBINA HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA Artikel diterima: 05-05-2016, artikel direvisi: 12-07-2016, artikel diterbitkan: 24-10-2016
Indonesian Environmental Law Lecturer Association

PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA
UNTUK KEBAKARAN HUTAN/LAHAN: BEBERAPA PELAJARAN DARI
MENTERI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
(KLHK) VS PT. BUMI MEKAR HIJAU (BMH)
CIVIL LIABILI FOR FORES FIRE / LAND:
LESSONS LEARNED FROM HE MINIS ER OF
ENVIRONMEN AND FORES R VS P . BUMI MEKAR HIJAU (BMH)
Andri G. Wibisana*

Abstrak

A khir-akhir ini, Pengadilan Negeri Palembang menolak gugatan pemerintah melawan


perusahaan yang kawasan hutan konsesinya mengalami kebakaran hutan pada tahun 2014.
Pengadilan menolak gugatan dengan berbagai alasan, salah satunya adalah bahwa penggugat
telah gagal untuk membuktikan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Artikel ini adalah sebuah reaksi atas penafsiran yang sempit terhadap perbuatan melawan
hukum di Indonesia. Secara khusus, artikel ini menganalisis kemungkinan penerapan strict
liability terhadap kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Artikel ini menyimpulkan bahwa
ketentuan dalam berbagai undang-undang dan peraturan terkait dengan pencegahan dan
pengendalian terhadap kebakaran hutan mengindikasikan untuk dapat menerapkan prinsip
strict liability dalam kasus kebakaran hutan. Hal ini juga menunjukan adanya perbedaan
terhadap tafsiran strict liability secara luas di Indonesia, penerapan dari strict liability ditujukan
agar tergugat yang aktivitasnya dikategorikan sebagai diluar batas kewajaran dan berbahaya
dapat dimintai tanggung jawab terlepas dari unsur kesalahan, baik secara subjektif maupun
objektif. Tergugat bertanggung jawab walaupun dia melakukan kegiatannya secara sah dan
melakukan kegiatan dengan cara yang tidak melawan hukum. Artikel ini juga menyimpulkan
bahwa perbedaan konsep dari pergeseran dalam beban pembuktian kesalahan, dalam strict
liability tergugat masih bertanggung jawab meskipun dia dapat membuktikan bahwa dia tidak
bersalah.
Kata Kunci: perbuatan melawan hukum; strict liability; kebakaran hutan/lahan.

Abstract

R ecently, Palembang District Court rejected the Government civil lawsuit against a company whose
forest consession area underwent forest fires in 2014. he court rejected the lawsuit for various
reasons, one of which was that the plaintiff has failed to prove that the defendant has conducted an
unlawful act. his article is a reaction to such a narrow interpretation of negligence in Indonesian.
particular, this article analyzes the possibility of the use of strict liability on forest fires in Indonesia. he
article concludes that provisions in various laws and regulation addressing the prevention and control

* Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kota Depok, Jawa Barat 16424, e-mail: andri.
gunawan@ui.ac.id
Andri G. Wibisana 37
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

of forest fires indicate the support of the use of strict liability in case of forest fires. It also shows that
contrary to the commonly held interpretation of strict liability in Indonesia, the application of strict
liability means that the defendant whose activity is characterized as abnormally dangerous activity will
be held liable regardless for fault, both in subjective and objective senses. he defendant is liable although
he was engaged in a lawfull activity and carried out the activity in a lawfull manner. his article also
concludes that contrary to the notion of the shifting in the burden of proof regarding fault, under strict
liability the defendant is still liable although he proves that he was not at fault.
Keywords: unlawful act; strict liability; forest fires

PENDAHULUAN menimbulkan kerugian lingkungan, salah

P ada bulan Februari 2015, Menteri satunya karena lahan tersebut masih bisa
Lingkungan Hidup dan Kehutanan ditanami.
mengajukan gugatan kepada PT. Bumi Mekar Pembahasan dalam tulisan ini akan
Hijau (BMH) terkait kebakaran hutan tahun dipusatkan pada pertimbangan pengadilan
2014 pada areal kerja tergugat seluas kurang terkait dengan teori pertanggungjawaban
lebih 20.000 hektar. Dalam gugatan ini, perdata. Tulisan ini pada dasarnya ingin
penggugat meminta agar tergugat dinyatakan memperlihatkan rezim pertanggungjawaban
bertanggungjawab dan membayar ganti apa saja yang selayaknya diterapkan dalam
rugi materil sebesar Rp. 2,687 Triliun serta kasus kebakaran hutan/lahan. Di dalam
melakukan tindakan lingkungan terhadap pertimbangan hakim dalam Menteri KLHK
lahan yang terbakar seluas 20.000 hektar vs. P . BMH, terlihat bahwa pengadilan
dengan biaya sebesar Rp. 5,299 Triliun.1 memfokuskan pertimbangannya hanya pada
Dengan total permintaan ganti rugi dan biaya pembuktian unsur-unsur perbuatan melawan
pemulihan yang hampir mencapai Rp. 8 hukum, dan sama sekali tidak menyinggung
Triliun, gugatan ini adalah salah satu gugatan mengenai pertanggungjawaban mutlak (strict
lingkungan dengan nilai gugatan terbesar di liability). Tulisan ini dimaksudkan untuk
Indonesia. menjawab pertanyaan terkait penerapan PMH
Kemudian pada tanggal 30 Desember 2015 dan strict liability di dalam kasus kebakaran
lalu, majelis hakim pada PN Palembang yang hutan. Guna mencapai tujuan ini, tulisan
diketuai oleh Parlas Nababan mengeluarkan ini akan menjawab permasalahan apakah
putusan terkait gugatan dari Kementerian strict liability dapat diterapkan dalam kasus
Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada kebakaran hutan/lahan di Indonesia, apakah
PT. Bumi Mekar Hijau (BMH). Dalam strict liability tidak tepat diterapkan dalam
putusan ini, pengadilan menyatakan menolak sistem hukum Civil Law seperti Indonesia, dan
seluruh gugatan dari tergugat.2 Meskipun apa saja konsekuensi dari penerapan strict
pengadilan menyetujui bahwa telah terjadi liability di dalam kasus kebakaran hutan/
kebakaran pada lahan tergugat, akan tetapi lahan.
pengadilan tidak melihatnya sebagai hal yang

1
PN Palembang, 2015, Putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs. P . BMH,
hlm. 22.
2
Ibid., hlm. 115.
38 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus aturan kehati-hatian yang layak (reasonable


Lingkungan PMH vs. Strict Liability care) yang hidup di dalam masyarakat.

G rey, yang mendasarkan pandangannya Sedangkan liability without fault, yaitu strict
pada Holmes, yang menyatakan bahwa liability, merupakan pertanggungjawaban
struktur pertanggungjawaban perdata pada yang tidak berdasarkan pada fault dalam
dasarnya adalah negligence. Penyimpangan kedua bentuk tersebut.4
terhadap negligence terjadi melalui dua cara.
Pada satu sisi, penyimpangan dilakukan Pengantar Singkat tentang PMH
melalui “objective negligence”; sedang pada
sisi lain dilakukan melalui strict liability.3
Dengan cara melihatnya dari struktur seperti
P ada umumnya, pertanggungjawaban
perdata baik di dalam civil law ataupun
common law yang didasarkan pada aturan
ini, maka kita bisa mengatakan bahwa strict pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.
liability berbeda (menyimpang) dari aturan Dalam kaitannya dengan civil law, Tunc
umum pertanggungjawaban, yaitu negligence. menyatakan dasar dari pertanggungjawaban
Melalui pembagian seperti di atas, Cantu perdata (tort) adalah aturan yang menyatakan
membagi pertanggungjawaban perdata ke bahwa “every act whatever of man that causes
dalam dua kelompok besar yaitu fault-based damage to another, obliges him by whose fault it
liability, dan liability without fault. Kelompok happened to repair it. Aturan inilah yang di
fault-based liability, terdiri dari intentional Indonesia dikenal dengan sebutan perbuatan
tort dan negligence. Fault di dalam intentional melawan hukum disingkat: PMH. Sedangkan
tort ditunjukan dengan kesengajaan pihak dalam kaitannya dengan common law, Peck
tergugat untuk menghasilkan kerugian pada menyatakan bahwa pertanggungjawaban
penggugat, sedangkan fault pada negligence perdata yang paling umum dan dominan
ditentukkan dengan pelanggaran terhadap adalah negligence.6

3
Thomas C. Grey, “Accidental Torts”, Vanderbilt Law Review, Vol. 54(3), 2001. Perlu dijelaskan di sini bahwa
dalam tulisannya ini Grey bermaksud membantah pandangan umum yang menyatakan bahwa Holmes adalah
salah seorang ahli hukum AS yang menentang pemberlakuan strict liability. Dalam pandangan Grey, yang
ditolak oleh Holmes bukanlah strict liability, tetapi pemberlakuan strict liability sebagai prinsip dasar (umum)
pertanggungjawaban yang berlaku bagi setiap kasus. Ibid., hlm. 279.
Objective negligence adalah istilah yang membedakan negligence dengan kesengajaan (intentional tort). Dalam
intentional torts kesalahan ditunjukkan dengan adanya kesengajaan atau pengetahuan subjektif dari tergugat untuk
menciptakan kerugian pada orang lain. Sedangkan dalamm objective negligence kesalahan cukup ditunjukkan
dengan adanya pelanggaran terhadap ukuran kehati-hatian yang layak (reasonable care). Pengetahuan subjektif
dari tergugat terhadap kehati-hatian tersebut tidaklah menjadi ukuran dari kesalahan di dalam objective negligence.
4
Charles E. Cantu, “Distinguishing the Concept of StrictLiability in Tort from Strict ProductsLiability: Medusa
Unveiled”, he University of Memphis Law Review, Vol. 33, 2003, hlm. 826.
5
André Tunc, “Fault: A Common Name for Different Misdeeds”, ulane Law Review, Vol. 49, 1975, hlm. 279.
6
Dalam hal ini, Peck menyatakan bahwa secara tradisional, mahasiswa fakultas hukum diajarkan bahwa “…the
principles of negligence comprise the field of tort law, and that fault is the most common basis for determining liability for
harmful conduct. he space devoted in most law school torts casebooks suggests to students and future lawyers that negligence
is the dominant principle of tort law”. Lihat: Cornelius J. Peck,“Negligence and Liability withoutFault in Tort Law”,
Washington Law Review, Vol. 46(2), 1971, hlm. 225. Dalam tulisan tersebut, Peck sebenarnya bermaksud membantah
pandangan di atas, dan ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya strict liability lah yang lebih sering digunakan
dibandingkan dengan negligence. Terlepas dari benar tidaknya temuan Peck ini, kutipan di atas setidaknya
memperlihatkan bahwa dalam pandangan mayoritas ahli hukum, negligence biasanya dianggap sebagai aturan
hukum yang dominan di dalam tort.
Andri G. Wibisana
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH
39

Lalu apakah negligence itu? Menurut “kesalahan” yang juga sebenarnya telah
Galligan, Jr., terdapat beberapa unsur yang dikemukakan oleh Djojodirdjo. Menurutnya,
harus dibuktikan di dalam negligence, yaitu: sebenarnya pembuat undang-undang juga
a). adanya kewajiban (duty), b). adanya membuka kemungkinan untuk mengartikan
pelanggaran terhadap kewajiban tersebut “kesalahan” sebagai “melawan hukum”
(breach of duty); c). adanya kerugian pada itu sendiri. Dalam hal ini, “seseorang yang
diri penggugat; dan d). hubungan kausalitas telah melakukan sesuatu secara keliru sudah
antara perbuatan negligence dari tergugat tentu melakukannya karena salahnya. Maka
(berupa pelanggaran terhadap kewajiban) kesalahan (schuld) memperkirakan adanya
dengan kerugian yang diderita penggugat.7 tindak-tanduk yang keliru”.9
Jika seluruh unsur negligence tersebut terbukti, Pandangan serupa juga dikemukakan
maka tergugat dinyatakan bertanggungjawab oleh Agustina pada saat mendiskusikan
atas dasar fault (dalam hal ini negligence). pandangan Vollmar mengenai kesalahan
Dengan demikian, fault bukanlah sebuah secara subjektif (abstrak) dan secara objektif
unsur tersendiri yang harus dibuktikan dalam (konkret). Menurut Agustina, apabila
negligence. kesalahan diartikan sebagai kesalahan secara
Dari penjelasan di atas, tampak adanya objektif (konkret), maka kesalahan dianggap
kemiripan antara negligence dengan PMH ada apabila pelaku melakukan perbuatan
yang diantaranya juga mensyaratkan adanya secara lain dari apa yang seharusnya ia
pembuktian mengenai unsur perbuatan lakukan. Dalam hal ini, “kesalahan dan sifat
melawan hukum (berupa pelanggaran hak, melawan hukum menjadi satu”.10
pelanggaran kewajiban, atau pelanggaran Pandangan Djojodirdjo dan Agustina
kepatutan/kehati-hatian), kerugian, dan terkait kesalahan objektif inilah yang pada
kausalitas. Sepintas kita bisa menyatakan saat ini tampaknya dianut oleh banyak negara
bahwa terdapat perbedaan antara negligence di Eropa. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan
dan PMH, karena pada PMH penggugat harus van Schilfgaarde berikut ini. Menurut van
membuktikan adanya unsur kesalahan.8 Schilfgaarde, Nieuw BW (KUHPerdata Baru-
Namun demikian, apabila kita menelusuri selanjutnya disebut NBW) menyatakan
lebih dalam makna “kesalahan” ini, maka bahwa PMH mensyaratkan adanya bukti
pembuktian “kesalahan” ini tidak berbeda bahwa tergugat: a). melakukan perbuatan
dengan pembuktian tentang adanya yang melawan hukum; dan b). bahwa
perbuatan melawan hukum itu sendiri. perbuatan tersebut secara hukum dapat
Artinya, sama seperti dalam negligence, dibebankan (attributed) kepada tergugat.
kesalahan tidaklah menjadi salah satu unsur Dengan demikian, dalam PMH di Belanda,
yang harus dibuktikan secara tersendiri. terdapat dua pengujian: pertama, bahwa
Dalam hal ini, kita dapat merujuk pada perbuatan tergugat adalah perbuatan yang
salah satu penafsiran tentang makna

7
Thomas C. Galligan, Jr., “A Primer on the Patterns of Negligence”, Lousiana Law Review, Vol. 53, 1993, hlm. 1510.
8
Moegni A.M. Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 65-73; juga: Rosa
Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2003, hlm. 117.
9
Moegni A.M. Djojodirdjo, Op. cit., hlm. 69.
10
Lihat: Rosa Agustina, Op cit., hlm. 47.
40 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

salah, dan kedua, bahwa tergugat bersalah.11 pertanggungjawaban.13 Jika terdapat bukti
Bahwa perbuatan tergugat adalah perbuatan bahwa tergugat melakukan perbuatan
yang salah, ditunjukkan dengan adanya melawan hukum dengan sengaja, maka
pelanggaran hak, pelanggaran terhadap dengan mudah kita dapat menyatakan
kewajiban, atau perbuatan yang bertentangan bahwa tergugat bersalah, dan karenanya ia
dengan kepatutan menurut hukum tidak harus bertanggung jawab. Namun demikian,
tertulis yang berlaku di masyarakat. Bukti jika bukti kesengajaan tersebut tidak
bahwa perbuatan seseorang adalah perbuatan ada, maka tergugat tidak lantas terbebas
yang salah (wrongful), dalam artian merupakan dari pertanggungjawaban, sebab ia bisa
perbuatan yang melanggar hukum, belum bertanggung jawab karena lalai.
lah cukup untuk membuat orang tersebut Bagaimana kelalaian ini ditunjukkan?
bertanggung jawab. Dengan demikian, Hal ini bisa kita kaitkan dengan bagaimana
secara teoritis penggugat masih harus kesalahan secara objektif dibuktikan. Kees van
menunjukkan bahwa tergugat adalah pihak Dam, segaimana dikutip oleh van Schilfgaarde,
yang salah, sehingga pertanggungjawaban mengutarakan bahwa kesalahan secara
bisa diatribusikan kepadanya. objektif memiliki dua karakter yang harus
Terkait atribusi pertanggungjawaban, van dibuktikan. Pertama adalah kemungkinan
Schilfgaarde menyatakan bahwa berdasarkan adanya pengetahuan (possibility of knowledge)
NBW seseorang bertanggungjawab atas tentang resiko, yaitu pengetahuan bahwa
sebuah perbuatan melawan hukum, jika sebuah perbuatan dapat menimbulkan akibat
perbuatan ini dapat diatribusikan kepada tertentu. Pengetahuan ini sifatnya umum,
orang tersebut berdasarkan: a). kesalahan dalam arti pengetahuan umum yang tidak
orang tersebut; atau b). undang-undang; atau harus merupakan pengetahuan yang benar-
c). pandangan yang hidup dalam masyarakat.12 benar dimiliki oleh pelaku (tergugat) pada
Unsur kesalahanlah yang merupakan bagian saat ia melakukan perbuatannya. Kedua,
paling relevan dalam pembahasan ini. adalah kemampuan untuk menghindari
Terkait unsur kesalahan tersebut, van resiko tersebut. Seseorang tidak bisa dimintai
Schilfgaarde berpendapat bahwa meskipun pertanggungjawaban atas sebuah akibat yang
kesalahan secara subjektif merupakan hal tidak bisa ia hindari.14
yang penting dalam mengatribusikan sebuah Dari kedua syarat ini, kita bisa menarik
pertanggungjawaban kepada seseorang, kesimpulan bahwa seseorang dianggap
tetapi kurangnya kesalahan subjek tidaklah bersalah atas perbuatan melawan hukum
membuat pertanggungjawaban seseorang yang ia lakukan, jika orang tersebut telah
hilang. Karena itulah maka van Schilfgaarde mengetahui (dianggap mengetahui) resiko
berpandangan bahwa kesalahan objektif- dari perbuatannya, tetapi dia tidak melakukan
lah, dan bukan kesalahan secara subjektif, pencegahan atas resiko tersebut. Dengan
yang menjadi syarat cukup bagi atribusi demikian, maka bukti adanya kesalahan

11
Elizabeth van Schilfgaarde, “Negligence under the Netherlands Civil Code: An Economic Analysist”, California Western
International Law Journal, Vol. 21, 1991, hlm. 272.
12
Ibid., hlm. 280.
13
Ibid., hlm. 282-284.
14
Ibid., hlm. 284.
Andri G. Wibisana 41
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

secara objektif adalah tidak dilakukannya tidak secara otomatis akan bertanggungjawab
upaya-upaya yang seharusnya dilakukan atas kerugian yang terjadi.
untuk mencegah terjadinya kerugian. Menurut Hart dan Honore, supaya orang
Atas dasar inilah maka van Schilfgaarde tersebut bertanggungjawab, dibutuhkan
menyatakan bahwa ukuran kesalahan sebuah pembuktian lagi untuk membedakan
objektif ini mirip dengan standar kehati- sebab faktual dari faktor-faktor lain yang
hatian (standard of optimal level of care) yang mungkin akan berpengaruh. Pembuktian
ada dalam sistem common law.15 Karena atas aspek non-faktual inilah yang disebut
itu pula, maka menurut van Schilfgaarde, sebagai proximate cause. Owen menyatakan
ketika meneliti ada-tidaknya kesalahan pada bahwa di dalam literatur, proximate cause
diri tergugat, yang akan dilihat oleh hakim sering juga disebut sebagai legal cause atau
biasanya bukanlah kondisi pikiran (state of pun the scope of liability. Menurut Owen, di
mind) dari si tergugat pada saat ia melakukan dalam pembuktian ini akan dipertimbangkan
perbuatannya, tetapi pengetahuan umum apakah berdasarkan logika, keadilan,
tentang kemungkinan munculnya bahaya kebijaksanaan, dan praktek tergugat harus
dan upaya yang akan diambil oleh orang bertanggungjawab atas kerugian yang
lain yang berhati-hati (prudent person) untuk diderita oleh penggugat. Dalam konteks
mencegah bahaya tersebut. ini, supaya tergugat bertanggungjawab,
Apabila unsur kesalahan (pelanggaran perbuatan tergugat haruslah merupakan
atas duty of care) telah terbukti, maka sebab yang cukup “dekat” dengan kerugian
penggugat masih harus membuktikan adanya penggugat.17
kerugian dan adanya kausalitas antara Lebih jauh lagi Grady menjelaskan
kerugian dengan kesalahan tergugat. Terkait dua doktrin untuk mengetahui proximate
kausalitas, Galligan menyebukan bahwa cause. Doktrin pertama adalah “ he Direct-
dalam prakteknya, unsur kausalitas ini akan Consequences Doctrine”. Doktrin ini ditujukan
dibuktikan dalam bentuk “cause-in-fact” dan untuk melihat apakah terdapat sebab lain
“proximate cause”.16 yang mengintervensi (intervening causes)
Cause in fact akan diuji berdasarkan apa di antara perbuatan tergugat dan kerugian
yang disebut sebagai “the but for test”. Dalam yang diderita penggugat. Intervening cause
hal ini, menurut Owen, sebuah perbuatan inilah yang, apabila terbukti, menjadi sebab
dikatakan sebagai sebab faktual (cause in konkuren yang efisien (concurrent-efficient
fact) apabila kerugian tidak akan terjadi cause) atas kerugian yang terjadi. Dalam
tanpa adanya perbuatan tersebut. Menurut konteks ini, penyebab terakhir/terdekat lah
Hart dan Honore, sebab faktual ini adalah yang akan bertanggungjawab atas kerugian
sebab sine qua non. Lebih dari itu, meskipun yang terjadi. Doktrin kedua untuk proximate
perbuatan seseorang terbukti sebagai sebab cause adalah “the reasonable-foresight doctrine”.
faktual dari sebuah kerugian, orang tersebut Menurut doktrin ini, seseorang tidak akan

15
Ibid., hlm. 285.
16
Ibid., hlm. 150-155.
17
H.L.A. Hart dan T. Honore, Causation in the Law (Oxford: Clarendon Press, 2002), hlm. 109-111. Lihat juga: D.G.
Owen, “The Five Elements of Negligence”, Hofstra Law Review, Vol. 35(4), 2007, hlm. 1679-1685.
42 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

bertanggungjawab atas kerugian yang secara kerugian, tetapi kerugian yang terjadi
wajar (reasonably) tidak bisa diperkirakan memiliki karakter dan tipe yang berbeda dari
sebelumnya. Oleh karena itu, agar seseorang kerugian yang diperkirakan tersebut, maka
bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi, menurut pendekatan resiko tergugat tidak
maka kerugian tersebut haruslah termasuk akan bertanggungjawab, sedangkan menurut
ke dalam resiko yang selayaknya sudah bisa doktrin direct-consequence tergugat mungkin
diperkirakan (foreseeable) akan muncul dari akan tetap bertanggungjawab. Keempat, jika
kesalahan (dalam konteks pertanggungjwaban kerugian yang terjadi tidak termasuk ke dalam
berdasarkan kesalahan) atau kegiatan (dalam zona resiko yang dapat diperkirakan (the zones
konteks strict liability) dari orang tersebut.18 of foreseeable risk), maka menurut pendekatan
Sementara itu, Foster, et al. menyatakan resiko tergugat tidak akan bertanggung jawab,
bahwa penggunaan pendekatan resiko sedangkan menurut doktrin direct-consequence
(risk theory approach), yang mirip dengan tergugat dapat bertanggungjawab selama
doktrin “reasonable-foresight doctrine”, akan perbuatannya merupakan sebab terdekat dari
menghasilkan kondisi yang berbeda dengan kerugian.19
penggunaan pendekatan “proximate cause”,
yang mirip dengan “direct-consequences Strict Liability dan Unsur-unsurnya
doctrine”. Pertama, jika kerugian yang
terjadi termasuk ke dalam resiko yang
akan timbul dari perbuatan tergugat, maka
B eberapa pengamat, termasuk Grey
dan Cantu, telah menyatakan bahwa
antara pertanggungjawaban berdasarkan
menurut pendekatan resiko tergugat akan kesalahan dengan pertanggungjawaban
bertanggungjawab; sedangkan jika menurut tanpa kesalahan sebenarnya tidak ada garis
doktrin direct-consequence tergugat belum pemisah yang tegas. Dalam hal ini, negligence
tentu akan bertanggungjawab, karena selama dan strict liability saling mempengaruhi
ada penyebab lain yang lebih dekat terhadap dan bercampur satu dengan yang lainnya.20
kerugian dibandingkan dengan perbuatan Kedua, ketika kita berbicara strict liability,
tergugat, maka tergugat akan lepas dari maka kita tidak bisa menganggapnya
pertanggungjawaban. Kedua, jika kerugian sebagai satu aturan pertanggungjawaban,
yang terjadi dapat diantisipasi, tetapi tidak melainkan sebuah kelompok yang terdiri
ada seorang pun yang dapat diperkirakan dari beberapa aturan pertanggungjawaban
akan menjadi korban dari kerugian tersebut, yang berbeda dari negligence. Strict liability
maka menurut pendekatan resiko tergugat bukanlah species, tetapi genus dari beberapa
tidak akan bertanggungjawab, sedangkan pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang
menurut doktrin direct-consequence tergugat dapat berupa “pure, mixed, and hybrid
mungkin akan tetap bertanggungjawab. forms”.21
Ketiga, jika penggugat dapat diperkirakan
(foreseeable) dapat menderita beberapa

18
M.F. Grady, “Proximate Cause and the Law of Negligence”, Iowa Law Review, Vol. 69, 1984, hlm. 415-447.
19
H.H. Foster, Jr., W.H. Grant, dan R.W. Green, “The Risk Theory and Proximate Cause—A Comparative Study”,
Nebraska Law Review, Vol. 32, 1952-1953, hlm. 88-92.
20
Lihat misalnya, Thomas Grey, op cit., hlm. 1280-1281.Lihat pula: Alan Calnan, Op cit., hlm. 747-748.
21
Vernon Palmer, “A General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil Law, and
Comparative Law”, ulane Law Review, Vol. 62, 1988, hlm. 1311.
Andri G. Wibisana 43
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

Namun demikian, penulis berpendapat strict liability tergugat bertanggungjawab atas


bahwa apabila strict liability diterapkan kerugian yang ditimbulkan dari kegiatannya,
sebagai pertanggungjawaban yang hanya meskipun kegiatan telah dilakukan dengan
menghilangkan unsur kesengajaan atau cara yang sangat hati-hati dan bukanlah
kelalaian dari PMH, maka strict liability ini tidak termasuk perbuatan yang melawan hukum.
memiliki perbedaan berarti dibandingkan Dalam Ann Spano v. Perini Corporation, et al.
PMH biasa, karena bahkan apabila kesalahan (1969), hakim Fuld menyatakan bahwa dalam
di dalam PMH ditafsirkan sebagai kesalahan kasus penggunaan bahan peledak sebagai
objektif, maka di dalam PMH biasa pun unsur kasus yang termasuk ke dalam strict liability,
kesengajaan dan kelalaian pun sudah tidak pertanyaan yang relevan, siapakah yang harus
perlu dibuktikan lagi. menanggung resiko dari peledakan tersebut
(apakah tergugat yang telah melakukan
Pemahaman Hakim AS mengenai Strict kegiatan yang berbahaya, ataukah penggugat
Liability yang telah mengalami kerugian).25 Dari

D engan melakukan penelusuran pada pernyataan ini, terlihat bahwa unsur melawan
literatur dan putusan di AS, kita bisa hukum dari kegiatan tergugat bukanlah
melihat adanya upaya untuk membedakan unsur yang perlu diperhatikan dalam strict
strict liability dari negligence. Dalam strict liability. Hal yang sama juga terlihat dalam
liability, tergugat harus bertanggungjawab Cllfford E. Fontenot v. Magnolia Petroleum Co. et
atas kerugian yang ditimbulkan dari al. (1955), di mana Hakim Simon menyatakan
perbuatannya, meskipun ia tidak melakukan bahwa “it has been universally recognized that
negligence, dan karenanya tidaklah bersalah. when, as here, the defendant, though without
Hal ini misalnya terlihat dalam Horace W. fault, is engaged in a lawful business, conducted
Green et al. v. General Petroleum Corporation according to modern and approved methods and
(1928),22 atau Indiana Harbor Belt Railroad with reasonable care, by such activities causes risk
Company v. American Cyanamid Company and or peril to others, the doctrine of absolute liability is
Missouri Pacific Railroad Company (1987).23 clearly applicable”-[garis bawah dari penulis].26
Pendapat American Law Institute dalam Pendapat Hakim Simon dan Fuld di atas
penjelasan Restatement (Second) of orts (1977) telah dirujuk dan diterima oleh beberapa
secara jelas menggambarkan hal tersebut.24 putusan, misalnya dalam Victor A. Lombard
v. Sewerage and Water Board of New Orleans, et
Di sisi lain, beberapa putusan pun
berusaha untuk menekankan bahwa dalam

22
Supreme Court of California, Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928), 205 Cal. 328, hlm.
333-334.
23
United States District Court, N.D. Illinois, Eastern Division, Indiana Harbor Belt Railroad Company v. American
Cyanamid Company and Missouri Pacific Railroad Company (1987), 662 F.Supp. 635), hlm.
24
Dalam salah penjelasan tentang “abnormally dangerous activity”, American Law Institute menyatakan “the
unavoidable risk remaining in the activity, even though the actor has taken all reasonable precautions in advance
and has exercised all reasonable care in his operation, so that he is not negligent.” Lihat: American Law Insititute,
Restatement (Second) of Torts § 520 (1977), comment h.
25
Court of Appeals of New York, Ann Spano v. Perini Corporation, et al. (1969), 25 N.Y.2d 11,hlm. 17; 250 N.E.2d 31,
hlm. 35.
26
Supreme Court of Louisiana, Cllfford E. Fontenot v. Magnolia Petroleum Co. et al. (1955), 227 La. 866, hlm. 878; 80
So.2d 845, hlm. 849.
44 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

al. (1973),27 Albert I. Correa, et al. v. Roy Curbey penggugat, yang ditunjukkan dalam bentuk
& Dorothy Curbey (1980),28 dan Rusty Roberts, kerugian penggugat (wrongful losses), yang
et al. v. Cardinal Services, Inc., et al. (2001).29 disebabkan oleh kegiatan tergugat.34 Dengan
Pendapat bahwa dalam strict liability tergugat demikian, maka apabila kita masih ingin
bertanggungjawab meskipun kegiatannya menempatkan strict liability sebagai bagian
adalah kegiatan yang lawful dan dilakukan dari perbuatan melawan hukum, maka unsur
dengan hati-hati, dapat pula dilihat dalam melawan hukum ditunjukkan dengan adanya
putusan-putusan sebelum adanya Restatement kerugian penggugat yang disebabkan oleh
(Second) of orts, seperti dalam Horace W. Green kegiatan tergugat.
et al. v. General Petroleum Corporation (1928),30
Gotreaux v. Gary (1957),31 atau Young v. Darter Pembuktian dalam Strict Liability

C
(1961).32 oleman menyatakan bahwa dalam strict
Sifat melawan hukum dalam strict liability, penggugat memiliki beban
liability telah ditentukan oleh pembuat untuk membuktikan bahwa: a). terugat telah
undang-undang, yaitu sebagai kegiatan yang melakukan sebuah kegiatan; b). penggugat
berbahaya (abnormally dangerous activity) telah mengalami kerugian; dan c). bahwa
yang kemudian menyebabkan kerugian pada kerugian tersebut disebabkan oleh kegiatan
penggugat. Artinya, sifat melawan hukum tergugat.35
bukan ditentukan oleh kegiatan/perbuatan Pernyataan Coleman di atas menunjukkan
tergugat, tetapi oleh adanya bahaya/kerugian bahwa pandangan yang menyatakan bahwa
yang diderita penggugat.33 Dengan sifat strict liability adalah pertanggungjawaban
melawan hukum yang rigid seperti ini, maka tanpa pembuktian (dalam hal kausalitas) dan
ukuran melawan hukum dari sebuah kasus juga bahwa strict liability adalah pembuktian
strict liability adalah adanya pelanggaran hak

27
Supreme Court of Louisiana, Victor A. Lombard v. Sewerage and Water Board of New Orleans, et al. (1973), 284
So.2d 905, hlm. 912-913.
28
Court of Appeals of Arizona, Albert I. Correa, et al. v. Roy Curbey & Dorothy Curbey (1980), 124 Ariz. 480, hlm.
484; 605 P.2d 458, hlm. 460.
29
United States Court of Appeals,Fifth Circuit, Rusty Roberts, et al. v.Cardinal Services, Inc., et al.(2001), 266 F.3d 368,
hlm. 381. Lebih jauh lagi, Hakim Wiener menyatakan bahwa meskipun kegiatan penggunaan bahan peledak telah
dilakukan dengan sangat hati-hati, dengan cara yang bertanggungjawab, dan mengikuti metode terbaru yang
telah diterima, namun tetap pelaku kegiatan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi dari
peledakan tersebut.
30
Supreme Court of California, Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928), 205 Cal. 328, hlm. 333-
334.
31
Supreme Court of Louisiana, Gotreaux v. Gary (1957), 232 La. 373, hlm. 376; 94 So. 2d 293, hlm. 294.
32
Supreme Court of Oklahoma, Young v. Darter (1961), 363 P.2d 829, hlm. 832-833.
33
Vernon Palmer, op cit., hlm. 1309.
34
Coleman menyatakan bahwa sebuah kerugian (wrongful losses) dapat disebabkan oleh dua hlm. Pertama oleh
adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat (wrongdoing), berupa pelanggaran kewajiban atau kehati-
hatian. Kedua oleh adanya pelanggaran yang dilakukan tergugat terhadap hak penggugat (wrong). Lihat: Jules L.
Coleman, Risks and Wrongs (Cambridge University Press, 1992), hlm. 331-332.
35
Coleman juga menyatakan bahwa berbeda dengan pembuktian pada strict liability, pembuktian dalam negligence
mensyaratkan penggugat untuk membuktikan bahwa: a). tergugat telah melakukan kegiatan; b). tergugat telah
melakukan kesalahan (melawan hukum) dalam menjalankan perbuatannya; c). penggugat mengalami kerugian;
dan d). kerugian tergugat disebabkan oleh perbuatan tergugat yang salah tersebut. Lihat: Ibid., hlm. 212.
Andri G. Wibisana 45
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

terbalik, adalah pandangan yang keliru. Di atas kerugian yang diakibatkan oleh
dalam beberapa kasus di AS, terlihat jelas kegiatan tersebut, sepanjang kegiatan itu
bahwa strict liability tidak membebaskan dianggap sebagai kegiatan yang berbahaya.
penggugat dari seluruh beban pembuktian, Pertanggungjawaban dalam hal ini muncul
karena penggugat masih harus membuktikan karena adanya bahaya dari sebuah kegiatan,
beberapa hal. Salah satu putusan terpenting dan bukan dari cara kegiatan itu dilakukan.36
terkait hal ini adalah pendapat Hakim Baldwin Syarat dari adanya pertanggungjawaban ini
dalam Michael Caporale et al. v. C. W. Blakeslee adalah adanya kegiatan yang berbahaya dan
and Sons, Inc. (1961), yang menyatakan adanya hubungan kausalitas antara kegiatan
bahwa dalam kasus strict liability, penggugat yang berbahaya dengan kerugian yang terjadi.
harus membuktikan tiga hal, yaitu: Pertama, Secara tegas Restatement (Second) of orts
adanya alat atau kegiatan (yang disebut (1977) subsection (2), menyatakan bahwa
instrumentality), yang dapat menimbulkan penentuan apakah sebuah kegiatan termasuk
bahaya. Kedua, bahwa berdasarkan kondisi ke dalam kegiatan yang berbahaya didasarkan
tertentu, penggunaan alat atau kegiatan itu pada pertimbangan terkait beberapa faktor di
memiliki resiko untuk menimbulkan kerugian bawah ini:
yang besar sehingga dapat dianggap sebagai a. Derajat resiko yang tinggi dari kegiatan
alat/kegiatan yang secara intrinsik bersifat tersebut untuk menimbulkan kerugian,
berbahaya. Ketiga, bahwa kerugian yang baik terhadap orang, tanah, atau ternak
diderita oleh penggugat diakibatkan oleh kepunyaan orang lain (existence of a high
alat/kegiatan tergugat tersebut. degree of risk of some harm to the person, land
Strict liability semakin sering diterapkan or chattels of others);
di AS untuk kerugian karena kegiatan yang b. Kegiatan memiliki kemungkinan untuk
berbahaya (abnormally dangerous atau ultra- menimbulkan bahaya yang besar (likelihood
hazardous activities) setelah American Law that the harm that results from it will be great);
Insitute memuat aturan pertanggungjawaban c. Resiko ini tidak dapat dihilangkan dengan
inidi dalam Restatement of orts. Menurut tindakan kehati-hatian/pencegahan (in-
Restatement (Second) of orts (1977) ability to eliminate the risk by the exercise of
subsection (1), Setiap orang yang melakukan reasonable care);
kegiatan yang berhahaya bertanggung jawab d. Kegiatan bukanlah termasuk kegiatan
atas kerugian yang terjadi, meskipun orang yang biasa dilakukan (extent to which the
tersebut telah melakukan tindakan yang activity is not a matter of common usage);
sangat hati-hati untuk mencegah terjadinya e. Ketidakcocokan antara kegiatan dengan
kerugian. Ada tidaknya kesengajaan atau tempat kegiatan dilakukan (inappropriate-
kelalaian tidak menjadi dasar dasar dalam ness of the activity to the place where it is car-
strict liability. Demikian pula halnya dengan ried on);
cara seseorang melakukan perbuatannya. f. Tingkat bahaya dari kegiatan lebih besar
Dalam hal ini, meskipun seseorang telah dari manfaat yang dihasilkan oleh kegiatan
sangat berhati-hati dalam melakukan (extent to which its value to the community is
kegiatannya, ia tetap bertanggungjawab outweighed by its dangerous attributes).

36
American Law Insititute, Restatement (Second) of (1977), comment on subsection (1) d.
46 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

Ketika sebuah kegiatan/usaha termasuk ke yaitu: a). Kerugian harus merupakan


dalam kegiatan/usaha yang sangat berbahaya kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya
menurut kriteria di atas, maka kegiatan/usaha b). Kerugian dianggap hanya akan terjadi
tersebut dapat dikenakan strict liability apabila karena kurangnya kehati-hatian (lack of proper
darinya muncul kerugian. Dengan demikian, care), atau karena adanya negligence. dan c).
yang perlu dibuktikan selanjutnya adalah Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya
kerugian dan bukti bahwa kerugian tersebut memiliki kontrol atas situasi yang terjadi.
terjadi karena kegiatan/usaha tergugat. Unsur terakhir inilah yang merupakan
penjelasan mengapa tergugat diasumsikan
Strict Liability = Pembuktian Terbalik (Res sudah terbukti melakukan negligence.37
Ipsa Lo uitur)? Dengan demikian, res ipsa loquitur mirip

B eberapa penulis menyamakan strict


liability dengan pembuktian terbalik
terkait unsur kesalahan, atau yang disebut
dengan pembuktian terbalik terbatas.
Tergugat bertanggungjawab karena ia
diasumsikan telah melakukan perbuatan
res ipsa loquitur. Secara harfiah, res ipsa melawan hukum (negligence). Tergugat
loquitur berarti fakta berbicara sendiri. Ini masih bisa lepas dari pertanggungjawaban
adalah sebuah doktrin dalam torts yang jika ia berhasil membuktikan bahwa ia tidak
mirip dengan pembuktian terbalik. Menurut bersalah (yaitu bahwa perbuatannya tidak
doktrin ini, kesalahan (dalam arti perbuatan melawan hukum).38 Dengan kata lain, res
melawan hukum, negligence) dari tergugat ipsa loquitur sebenarnya masih berada dalam
diasumsikan telah ada, sehingga tergugat lah ranah pertanggungjawaban berdasarkan
yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan. Hanya saja, berbeda dengan PMH
bahwa ia tidak bersalah. Doktrin ini biasanya
diterapkan jika beberapa syarat terpenuhi,

37
Lihat: Vivienne Harpwood, Principles of ort Law, 4th ed. (Cavendish Publishing Limited, 2000), hlm. 144-145.
Sementara itu, Carr menjelaskan tiga syarat dari res ipsa loquitur sebagai berikut. Pertama, kerugian terjadi hanya
karena adanya kurangnya kehati-hatian (lack of due care). Atau dengan kata lain, adanya negligence. Atau dengan
dalam konteks Indonesia, adanya pelanggaran hukum. Kedua, pengadilan menganggap bahwa tergugatlah
yang sepenuhnya memiliki kontrol atas perbuatan yang mengakibatkan terjadinya kerugian. Ketiga, pengadilan
pun menganggap bahwa tergugatlah yang memiliki informasi dan pengetahuan tentang penyebab terjadinya
kerugian. Lihat: Charles L. Carr, “Proper Interpretation of the Res Ipsa Loquitur Doctrine in Missouri Today”,
Kansas City Law Review, Vol. 4(8), 1936, hlm. 616-617. Lihat pula persyaratan yang relatif mirip, misalnya, dalam:
Nathan Hershey, “Res Ipsa Loquitur”, he American Journal of Nursing, Vol. 63(11), 1963, hlm. 101-102; dan Joseph
D. Bulman, “Res Ipsa Loquitur: When Does It Apply?”, Insurance Law Journal, Vol. 20, 1961, hlm. 21 dan 25.
38
Model pertanggungjawaban seperti ini adalah model pertanggungjawaban yang dianut oleh UU No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, LN tahun 1999 No. 42, TLN No. 3821. Pada awalnya, Pasal 19(1) ini
menyatakan bahwa “pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan
atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
Kalau pertanggungjawaban dirumuskan hanya dengan ketentuan seperti ini, maka tidak dapat disangkal lagi
bahwa UU No. 8 tahun 1999 telah menerapkan strict liability. Akan tetapi ketentuan tersebut “dilemahkan”
oleh ketentuan pada Pasal 28 yang menyatakan bahwa “[p]embuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan
dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan
tanggungjawab pelaku usaha.” Ketentuan Pasal 28 UU No. 8 tahun 1999 inilah yang telah mengubah strict liability
dalam pasal 19(1) menjadi res ipsa loquitur, sehingga apabila tergugat/produsen dapat membuktikan bahwa ia
tidak bersalah, maka ia terbebas dari pertanggungjawaban.
Andri G. Wibisana 47
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

biasa (negligence), berdasarkan doktrin res Artinya, dalam contoh seperti ini pun tidak
ipsa loquitur unsur negligence dianggap telah ada pembuktian terbalik. Kedua, di dalam
terbukti, sehingga tergugatlah yang memiliki strict liability tergugat tetap bertanggungjawab
beban untuk membuktikan bahwa ia tidak meskipun ia mampu membuktikan bahwa
melakukan negligence. kegiatan/perbuatannya bukanlah merupakan
Namun penulis menganggap bahwa res perbuatan yang melawan hukum; sedangkan
ipsa loquitur belumlah sepenuhnya merupakan di dalam pembuktian terbalik (terutama
strict liability, karena pada dasarnya dalam hal res ipsa loquitur), tergugat akan
masih merupakan pertanggungjawaban lepas dari pertanggungjawaban jika ia
berdasarkan kesalahan. Pandangan penulis mampu membuktikan bahwa perbuatannya
ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, strict tidak melawan hukum (negligence).
liability tidak menganut pembuktian terbalik. Doktrin res ipsa loquitur biasanya
Di dalam strict liability penggugat masih digunakan sebagai jembatan untuk
harus membuktikan adanya kerugian dan memuluskan perubahan atau pergeseran
hubungan kausal antara kerugian dengan dari pertanggungjawaban berdasarkan
kegiatan tergugat. Jika kemudian tergugat kesalahan (negligence) menuju strict liability.
berdalih dan membuktikan bahwa kerugian Dalam fungsi ini, maka meskipun pada
yang diderita bukanlah karena perbuatan dasarnya rezim pertanggungjawaban yang
tergugat, melainkan misalnya karena force berlaku dan diakui di sebuah negara adalah
majeure, maka hal ini tidaklah menunjukkan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan,
adanya unsur pembuktian terbalik di dalam namun hakim dapat melakukan terobosan
strict liability, sebab apa yang dilakukan oleh yang menguntungkan penggugat dengan
tergugat ini merupakan pelaksanaan dari menetapkan pembuktian terbalik (terutama
prinsip umum hukum yaitu “siapa yang dalam hal unsur kesalahan/negligence).39
mendalilkan dia yang harus membuktikan”.

39
Lihat pembahasan tentang perkembangan penerapan strict liability di Belanda (Bagian 4). Menurut penelusuran
Faure dan Hartlief, perkembangan ke arah pengadopsian strict liability di suatu Negara dapat dilihat di dalam
produk perundang-undangan dan di dalam putusan-putusan peradilan. Di dalam peraturan perundang-
undangan, kecenderungan ke arah penerapan strict liability seringkali disebabkan oleh adanya semacam evolusi
di dalam dunia internasional. Dengan kata lain, masuknya strict liability ke dalam peraturan perundangan
suatu negara yang sebelumnya tidak mengakui pertanggungjawaban ini, sering kali terjadi karena pengaruh
perkembangan hukum lingkungan di dunia internasional. Sedang di dalam putusan peradilan, kecenderungan ke
arah penerapan strict liability sering kali terjadi melalui perluasan konsep kesalahan, meskipun secara formal strict
liability belum diadopsi dan sistem pertanggungjawaban masih didasarkan pada kesalahan. Hal ini ditunjukan
antara lain melalui: pertama, pengadilan sering kali menguntungkan (berpihak) kepada para korban melalui
perluasan interpretasi asas kesalahan. Dalam hal ini, segera setelah kerugian fisik ditimbulkan sebagai akibat
suatu kegiatan industri, maka tergugat dianggap telah melakukan kesalahan. Kedua, di dalam beberapa kasus,
meskipun keberadaan asas kesalahan masih tetap diteruskan, namun hakim memberlakukan pembuktian terbalik.
Artinya, tergugat akan bertanggungjawab kecuali dia membuktikan tidak bersalah. Beban pembuktian karenanya
beralih dari penggungat ke tergugat. Ketiga, sepanjang mengenai pembiayaan pembersihan tanah (soil clean
up) dan kerusakan lingkungan lainnya, persyaratan untuk dapat menduga (foreseeability) sering kali dikurangi.
Berkurangnya syarat foreseeability secara substansial akan mengurangi beban penggugat untuk membuktikan
kesalahan tergugat. Keempat, perluasan interpretasi asas kesalahan, terutama segara setelah ditimbulkannya
kerugian fisik, melalui fakta bahwa di dalam banyak system hukum pelanggaran terhadap suatu peraturan
mengenai standar pengamanan (regulatory safety standard) secara otomatis mengandung kesalahan. Kelima,
adanya tanggung jawab terhadap wewenang profesi. Dengan bertitik tolak dari asas kesalahan, pergeseran ke
48 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

Pembelaan Tergugat (Defenses) dalam Strict untuk lepas dari pertanggungjawaban, yaitu
Liability jika kecelakaan nuklir terjadi karena bencana

D alam strict liability, tergugat dapat alam, peperangan (pertikaian), atau kesalahan
mengelak dari pertanggungjawaban korban sendiri.41
apabila ia dapat membuktikan beberapa Dalam konteks bencana alam (act of God)
hal (defense). Karena adanya alasan untuk di AS, diketahui bahwa alasan ini merupakan
mengelak inilah maka strict liability sering beban pembuktian dari tergugat. Lebih
dibedakan dari absolute liability. Strict liability penting dari AS, beberapa putusan di AS
tidaklah absolute, karena dalam strict liability menunjukkan bahwa dalam pengajuan alasan
masih terdapat beberapa alasan pembelaan ini, tergugat harus membuktikan bahwa
(defenses) yang dapat digunakan tergugat bencana alam bersifat luarbiasa (grave), tidak
untuk mengelak dari pertanggungjawaban. dapat diperkirakan (unforeseeable), sehingga
Hal senada juga dikatakan oleh Palmer, yang tidak dapat dicegah (unpreventable), dan
menyatakan bahwa pembeda utama absolute merupakan satu-satunya penyebab dari
liability dari strict liability adalah bahwa dalam kerugian yang terjadi. Terkait syarat terakhir
absolute liability terdapat “total (or virtually ini, apabila pengadilan melihat adanya
total) rejection of defenses of any kind, whether we kontribusi dari kegiatan tergugat (apalagi jika
speak of defenses that negate causation, defenses terdapat kontribusi kesalahan tergugat), maka
that inculpate the plaintiff, or defenses that dalih bencana alam akan ditolak, meskipun
exonerate the defendant.”40 bisa saja bencana alam ini sifatnya luar biasa.42
Penulis sendiri berpandangan bahwa tidak Terkait defense berupa kesalahan dari
selamanya istilah absolute liability merujuk pada pihak penggugat itu sendiri (contributory
pertanggungjawaban tanpa adanya alasan negligence), Coleman menyatakan bahwa
(defenses) bagi tergugat. Di Indonesia, UU defense ini membuat strict liability adalah
No. 10 tahun 1997 tentang ketenaganukliran, kebalikan dari negligence. Dalam negligence
misalnya, menyediakan beberapa alasan yang bertanggungjawab secara mutlak adalah

arah strict liability memang memperluas lingkup tanggung jawab. Di beberapa negara, putusan pengadilan
mengenai pergeseran ini sering kali telah mendahului perubahan/pergeseran dalam legislasi. Lihat: Michael
Faure dan Ton Hartlief, “Toward an Expanding Enterprise Liability in Europe? How to Analyze the Scope of
Liability of Industrial Operators and Their Insurers”, Maastricht Journal of European and Comparative Law, Vol. 3,
1996, hlm. 243-248.
Lihat pula, misalnya, Giesen yang menyebut bahwa pembuktian terbalik sebagai jembatan antara negligence
dengan strict liability. Lihat: Ivo Giesen, “The Reversal of the Burden of Proof in the Principles of European Tort
Law: A Comparison with Dutch Tort Law and Civil Procedure Rules”, Utrecht Law Review, Vol. 6(1), 2010, hlm. 25.
40
Vernon Palmer, Op. cit., hlm. 1329.
41
UU No. 10 tahun 1997, LN tahun 1997 No. 23, TLN No. 3676, Pasal 32 dan 33.
42
Untuk pembahasan ini, lihat misalnya: Andri G. Wibisana (2011), Op. cit., hlm. 105-135; William D. Flatt dan
Wesley R. Kliner, “When the Earth Moves and Buildings Tumble, Who Will Pay?-Tort Liability and Defenses
for Earthquake Damage within the New Madrid Fault Zone”, Memphis State University Law Review, Vol. 22, 1991,
hlm. 1-41; Denis Binder, “Act of God? Or Act of Man?: A Reappraisal of the Act of God Defense in Tort Law”, he
Review of Litigation, Vol. 15(1), 1996, hlm. 1-79; R.M. Sugg, “Blame It on the Rain? El Niño is no Excuse to Pollute”,
Whittier Law Review, Vol. 21, 2000, hlm. 737-765; James E. Mercante, “Hurricanes and Act of God; When the Best
Defense is a Good Offense”, USF Maritime Law Journal, Vol. 18(1), 2005-2006, hlm. 1-39; atau Laurencia Fasoyiro ,
“Invoking the Act of God Defense”, Environmental & Energy Law & Policy Journal, Vol. 3(2), 2009, hlm. 1-33.
Andri G. Wibisana 49
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

korban (penggugat); tergugat masih bisa yang sangat berbahaya sehingga perbuatan
bertanggungjawab jika korban (penggugat) pihak ketiga tidaklah cukup untuk menjadi
membuktikan bahwa tergugat melakukan penyebab dari kerugian penggugat. Lebih
negligence. Sedangkan dalam strict liability dari itu, Koch menyatakan bahwa alasan ini
yang bertanggungjawab secara mutlak adalah hanya akan diterima apabila perbuatan pihak
tergugat; korban (penggugat) masih bisa ketiga telah mengubah kerugian menjadi
bertanggungjawab artinya tergugat lepas sesuatu yang berada di luar resiko kegiatan/
dari pertanggungjawaban, dan penggugat usaha tergugat. Apabila kerugian ini masih
menanggung sendiri kerugiannya jika berada di dalam lingkup resiko kegiatan/
tergugat bisa membuktikan bahwa korban usaha tergugat, maka alasan perbuatan pihak
(penggugat) melakukan kesalahan.43 Atas ketiga akan ditolak.46
dasar ini pula maka Coleman menyatakan
bahwa di dalam strict liability sebenarnya PEMBAHASAN
terkandung unsur negligence, dan demikian Pertanggungjawaban Perdata untuk
pula sebaliknya.44 Kebakaran Hutan
Lebih penting lagi, menurut Martin-Casals, Berbagai Ketentuan tentang Kewajiban
lepasnya tergugat dari pertanggungjawaban dan Larangan terkait Kebakaran Hutan dan
atas dasar adanya kontribusi perbuatan Lahan
penggugat mensyaratkan beberapa hal. ndonesia sebenarnya telah memiliki berbagai
Pertama, penggugat memiliki kapasitas untuk pengaturan yang cukup unik dan progresif
melakukan perbuatan melawan hukum. terkait kewajiban dan pertanggungjawaban
Dalam hal ini, penggugat haruslah merupakan perdata bagi kebakaran hutan/lahan.
pihak yang memiliki kontrol secara aktual Pertama-tama, kita bisa merujuk pada UU No.
atau ekonomi atas kegiatan perbuatan yang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut
melahirkan kerugian. Kedua, penggugat UU ini, salah satu tujuan dari perlindungan
tidak melakukan upaya perlindungan diri hutan adalah untuk mencegah dan membatasi
atau penggugat sendiri telah melakukan kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil
kegiatan yang berbahaya. Ketiga, kegagalan hutan yang disebabkan oleh perbuatan
melindungi diri atau dilakukannya kegiatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam,
yang berbahaya ini haruslah merupakan hama, serta penyakit. Dalam konteks ini, UU
penyebab langsung/terdekat dari kerugian Kehutanan mewajibkan pemegang izin usaha
yang diderita penggugat.45 pemanfaatan hutan, serta pihak-pihak yang
Terkait alasan pembelaan karena adanya menerima wewenang pengelolaan hutan,
perbuatan pihak ketiga, Koch menyatakan untuk melindungi hutan dalam areal kerjanya.
bahwa alasan ini harus ditolak apabila Kewajiban ini meliputi pengamanan hutan
kegiatan tergugat sendiri merupakan kegiatan dari kerusakan akibat perbuatan manusia,

43
Jules C. Coleman, Op. cit., hlm. 227-228 dan 232-233.
44
Ibid., hlm. 228.
45
Miquel Martin-Casals, “Chapter 8: Contributory Conduct or Activity”, dalam: dalam: European Group on Tort
Law, Principles of European ort Law: ext and Commentary, Springer, Wina, 2005, hlm. 132-133.
46
Bernhard A. Koch, “Chapter 7: Defences in General”, dalam: European Group on Tort Law, Principles of European
ort Law: ext and Commentary Springer, Wina, 2005, hlm. 129.
50 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

ternak, dan kebakaran. Dengan demikian, Ketentuan tentang pembakaran hutan juga
maka kewajiban hukum untuk mencegah diatur dalam UU No. 39 tahun 2014 tentang
terjadi kebakaran dan menanggulangi Perkebunan. UU ini melarang Pelaku Usaha
kebakaran hutan terletak pada pemegang izin. Perkebunan membuka dan/atau mengolah
Di samping kewajiban, UU Kehutanan juga lahan dengan cara membakar. Selanjutnya,
memuat larangan tentang pembakaran hutan. di samping mewajibkan pelaku usaha
Menurut UU ini, setiap orang dilarang untuk perkebunan untuk memiliki sistem, sarana,
membakar hutan dan membuang benda- dan prasarana pengendalian kebakaran, UU
benda yang dapat menyebabkan kebakaran. Perkebunan juga menetapkan bahwa salah
Selain UU Kehutanan, UU No. 32 tahun satu syarat untuk memperoleh izin usaha di
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan bidang perkebunan adalah adanya pernyataan
Lingkungan Hidup juga memuat beberapa kesanggupan menyediakan sarana, prasarana,
ketentuan larangan pembakaran hutan/lahan. dan sistem tanggap darurat yang memadai
UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa untuk menanggulangi terjadinya kebakaran
salah satu parameter dalam baku kerusakan sebelum izin dikeluarkan.
ekosistem adalah kriteria baku kerusakan Peraturan lain yang terkait dengan upaya
karena kebakaran hutan/lahan. Dalam pencegahan/penanggulangan kebakaran
hal ini, kebakaran hutan dikaitkan dengan hutan/lahan adalah PP No. 4 tahun 2001
kebakaran yang diakibatkan oleh kegiatan/ tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
usaha. Dengan demikian, maka UU No. 32 Pencemaran Lingkungan Hidup yang
tahun 2009 mewajibkan kepada Pemerintah berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan
untuk menetapkan sebuah standar guna atau Lahan. Di samping melarang kegiatan
menentukan kerusakan lingkungan akibat pembakaran hutan/lahan, PP ini juga
dari pembakaran hutan/lahan. Standar mewajibkan setiap orang untuk mencegah
(baku mutu) ini sebenarnya telah ditetapkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran
sebelumnya di dalam PP No. 41 tahun lingkungan hidup yang berkaitan dengan
2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan kebakaran hutan dan atau lahan. Kewajiban
atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang dan tanggung jawab pencegahan kebakaran
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau berada pada penanggungjawab usaha/
Lahan. kegiatan. Di samping itu, penanggung jawab
Di samping itu, UU No. 32 tahun 2009 usaha juga wajib melakukan pemantauan dan
melarang setiap orang untuk melakukan melaporkan hasil pantauan secara berkala
melakukan pencemaran dan/atau kerusakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali
lingkungan. Apabila dikaitkan dengan baku yang dilengkapi dengan data penginderaan
mutu kerusakan di atas, maka larangan jauh dari satelit kepada Gubernur/Bupati/
melakukan perbuatan yang menimbulkan Walikota dengan tembusan kepada
kerusakan lingkungan ini adalah larangan instansi teknis dan Kementerian LH.
untuk melakukan kerusakan lingkungan Penanggungjawab usaha bertanggung jawab
dari pembakaran hutan. Secara lebih tegas atas terjadinya kebakaran hutan dan atau
lagi, UU No. 32 tahun 2009 juga melarang lahan di lokasi usahanya dan wajib segera
dilakukannya pembukaan lahan dengan cara melakukan penanggulangan kebakaran
membakar. tersebut, serta melakukan pemulihan dampak
Andri G. Wibisana
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH
51

lingkungan hidup yang berkaitan dengan hutan/lahan merupakan perbuatan yang


kebakaran di lokasi usahanya tersebut. dilarang dan merupakan tindak pidana.
Selain dari PP No. 4 tahun 2001, kebakaran Kedua, pemegang izin memiliki kewajiban
hutan pun diatur dalam PP No. 45 tahun dan tanggung jawab hukum untuk
2004 tentang Perlindungan Hutan. Menurut mencegah terjadinya kebakaran hutan/
PP ini, perlindungan hutan dilakukan, salah lahan di wilayahnya. Ketiga, pemegang izin
satunya, dengan mencegah dan membatasi memiliki kewajiban dan tanggung jawab
kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil untuk menanggulangi dan memulihkan
hutan, yang disebabkan oleh kebakaran. PP lingkungan apabila kebakaran terjadi di
ini menyatakan bahwa perlindungan hutan wilayahnya. Dengan adanya tanggung jawab
atas kawasan hutan merupakan kewajiban dan kewajiban hukum ini, maka seorang
dan tanggung jawab dari pengelola hutan/ pemegang izin tidak bisa mengelak dari
kawasan hutan, baik itu BUMN, pemegang pertanggungjawaban dengan menyatakan,
izin (izin pemanfaatan kawasan, izin usaha misalnya, bahwa kebakaran dilakukan oleh
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha orang lain di luar wilayah kerja pemegang
pemanfaatan hasil hutan, izin pemungutan izin. Konstruksi hukum di Indonesia tidak
hasil hutan, dan izin pinjam pakai kawasan mengizinkan adanya dalih seperti ini, karena
hutan), maupun pengelola hutan/kawasan kewajiban pencegahan kebakaran hutan/
hutan untuk tujuan khusus, sesuai dengan lahan, serta penanggulangan dan pemulihan
wilayah kerja/izinnya. Perlindungan hutan lingkungan akibat kebakaran tersebut
ini meliputi, di antaranya, pencegahan melekat pada izin usaha atau kewenangan
kerusakan hutan dari kebakaran hutan. Secara pengelolaan yang diberikan.
khusus, PP Perlindungan Hutan menyatakan
bahwa perlindungan hutan dari kebakaran PMH untuk Kebakaran Hutan/Lahan
adalah upaya untuk menghindari kerusakan
hutan yang disebabkan oleh kebakaran karena
perbuatan manusia maupun alam.
D ari uraian pada bagian sebelumnya
kita dapat membayangkan beberapa
kemungkinan pertanggungjawaban perdata
Hal terpenting yang dirumuskan di dalam yang dapat digunakan untuk kasus kebakaran
PP No. 45 tahun 2004 adalah hubungan antara hutan. Pertama, adalah PMH. Untuk
izin dengan tanggung jawab terkait kebakaran pertanggungjawaban ini kita bisa merujuk
hutan. Dalam hal ini, PP tersebut menyatakan pada Pasal 1365 BW atau Pasal 87 UU No. 32
bahwa “Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, tahun 2009.
Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan Di dalam pertanggungjawaban PMH,
atau Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab penggugat perlu membuktikan beberapa
atas terjadinya kebakaran hutan di areal unsur. Pertama, harus dibuktikan bahwa
kerjanya”. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tergugat telah melakukan perbuatan yang
pertanggungjawaban tersebut meliputi a). melanggar hukum. Pelanggaran hukum
tanggung jawab pidana, b). tanggung jawab ini dapat ditunjukkan dengan berbagai
perdata, c). membayar ganti rugi, dan/atau cara. Pada satu sisi, penggugat misalnya
d). sanksi administrasi. dapat menunjukkan adanya pelanggaran
Dari berbagai ketentuan di atas, dapat terhadap kewajiban hukum tergugat. Dalam
disimpulkan bahwa: Pertama, pembakaran hal ini, kewajiban tersebut terutama terkait
52 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

pencegahan dan penanggulangan kebakaran No. 15 tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi
hutan atau lahan. Pada sisi lain, apabila Ekonomi Ekosistem Hutan. Ketiga, penggugat
memungkinkan pelanggaran hukum ini dapat perlu pula membuktikan adanya bukti
pula ditunjukkan dengan adanya kegiatan kausalitas antara kerugian dan kebakaran
pembakaran hutan/lahan dalam rangka hutan yang dilakukan oleh tergugat.
pembukaan atau pengelolaan hutan/lahan.
Menurut penulis, penggugat akan mengalami Strict Liability untuk Kebakaran Hutan/
kesulitan yang lebih besar untuk membuktikan Lahan?

P
adanya pelanggaran terhadap larangan (yaitu ertanggungjawaban berikutnya adalah
adanya kegiatan pembakaran), dibandingkan strict liability dengan merujuk pada Pasal
dengan kesulitan untuk membuktikan 88 UU No. 32 tahun 2009. Pertanggungjawaban
adanya pelanggaran kewajiban (yaitu adanya ini mensyaratkan bahwa kegiatan tergugat
kegagalan untuk melakukan pencegahan atau adalah kegiatan yang abnormally dangerous.
penanggulangan kebakaran). Menurut UU No. 32 tahun 2009, kegiatan
Penulis lebih menyetujui pendapat yang yang sangat berbahaya ini dikategorikan
menyatakan bahwa di dalam PMH tidak sebagai kegiatan yang “menggunakan B3,
perlu adanya pembuktian kesalahan secara menghasilkan dan/atau mengelola limbah
subjektif. Dengan demikian, kesalahan telah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
terbukti dengan terbuktinya perbuatan yang serius terhadap lingkungan hidup”.47
melanggar hukum. Pertanyaannya adalah apakah kegiatan
Di samping itu, apabila pada satu sisi kehutanan atau perkebunan termasuk
pembuktian unsur kesalahan (secara objektif) kegiatan yang sangat berbahaya? Karena
dianggap sulit karena informasi terkait hal kemungkinan besar kegiatan kehutanan atau
ini hanya dikuasai oleh tergugat, sedangkan perkebunan tidak menggunakan B3 atau
pada sisi lain kerugian dianggap hanya akan menghasilkan/mengelola limbah B3, maka
timbul karena adanya kesalahan, maka hakim harus ditunjukkan bahwa kegiatan sektor
sebenarnya dapat mengadopsi res ipsa loquitur. kehutanan atau perkebunan merupakan
Dalam hal ini, hakim dapat menganggap kegiatan yang “menimbulkan ancaman
kesalahan tergugat telah terbukti. Untuk serius”. Dalam hal ini, Mahkamah Agung RI
melepaskan diri dari pertanggungjawaban, menyatakan bahwa “ancaman serius” adalah
tergugat harus membuktikan bahwa dirinya “terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
tidak melakukan kesalahan. lingkungan hidup yang dampaknya
Kedua, penggugat perlu membuktikan berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali
adanya kerugian. Khusus untuk besaran dan/ atau komponen-komponen lingkungan
kerugian lingkungan, kita bisa merujuk pada hidup yang terkena dampak sangat luas,
PerMenLH No. 13 tahun 2011 tentang Ganti seperti kesehatan manusia, air permukaan, air
Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan
Kerusakan Lingkungan Hidup, PerMenLH hewan.”48
No. 14 tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Dengan demikian, perlu dibuktikan bahwa
Ekonomi Ekosistem Gambut, dan PerMenLH kebakaran hutan/lahan dapat menimbulkan

UU No. 32 tahun 2009, Pasal 88.


47

Keputusan Ketua MA No. 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pedoman Penangan Perkara Lingkungan Hidup.
48
Andri G. Wibisana 53
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

akibat yang luas, sehingga menimbulkan pemegang izin melakukan kegiatannya.


ancaman serius bagi lingkungan hidup. Jika untuk kebakaran hutan/lahan dapat
Dalam hal ini, dengan mengikuti pandangan diberlakukan strict liability, maka penggugat
Prof. Takdir Rahmadi yang mengaitkan masih harus membuktikan adanya kerugian,
kebakaran hutan/lahan dengan gangguan dan kausalitas bahwa kerugian disebabkan
bagi kehidupan banyak orang, misalnya oleh kebakaran hutan/lahan di wilayah
berupa terganggunya penerbangan,49 maka kerja tergugat atau terkait dengan kegiatan
kita bisa menyimpulkan adanya ancaman tergugat. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa
yang serius. penggugat tidak perlu membuktikan bahwa
Selain itu, penulis berpendapat bahwa kegiatan tergugat adalah kegiatan yang
apakah kegiatan kehutanan/perkebunan melanggar hukum. Bahkan jika tergugat
termasuk ke dalam kegiatan yang sangat mampu membuktikan bahwa kegiatannya
berbahaya dapat pula ditunjukkan dengan bukanlah kegiatan yang melanggar hukum,
merujuk pada persyaratan Restatement (Second) tergugat tetap harus bertanggung jawab
of Torts § 520. Misalnya, dengan membuktikan atas kerugian yang terjadi. Hal ini terjadi
bahwa kebakaran hutan/lahan adalah resiko karena pertanggungjawaban melekat pada
yang biasa terjadi pada kegiatan di sektor pemegang izin tanpa melihat perbuatan
kehutanan/perkebunan, dan bahwa resiko ini faktual dari pemegang izin. Selama dapat
tidak bisa dihilangkan oleh tindakan kehati- dibuktikan bahwa kebakaran hutan itu
hatian yang diambil tergugat. Dapat pula terjadi di wilayah pemegang izin, maka
dibuktikan bahwa kegiatan yang dilakukan dia bertanggungjawab atas kerugian yang
oleh tergugat tidaklah tepat untuk dilakukan diakibatkan oleh kebakaran tersebut. Oleh
di wilayah tempat kegiatan dilakukan. karena itu, penggugat cukup membuktikan
Dari penjelasan tersebut di atas, penulis bahwa: a). Penggugat mengalami kerugian;
berpendapat bahwa kegiatan di bidang b). Kebakaran terjadi di wilayah yang menjadi
kehutanan atau perkebunan, terutama apabila kontrol tergugat; dan c). Kausalitas antara
kegiatan ini meliputi wilayah yang sangat luas, kerugian penggugat dengan kebakaran yang
merupakan kegiatan yang sangat berbahaya. terjadi.
Karena itu, kegiatan tersebut adalah kegiatan
yang dapat dikenakan strict liability. Strict Liability dan Sistem Civil Law

Lebih dari pada itu, penerapan strict liability


ke dalam kasus kebakaran hutan/lahan, P andangan bahwa strict liability hanya
cocok untuk sistem common law, dan
karenanya tidak tepat diterapkan di Indonesia
dapat dengan mudah dibenarkan dengan
merujuk pada berbagai peraturan perundang- yang menganut civil law, menurut penulis,
undangan terkait kebakaran hutan/lahan. pandangan ini bukan hanya merupakan
Penjelasan terkait peraturan perundang- pandangan yang ultra konservatif, tetapi
undangan untuk kebakaran hutan/lahan juga tidak sesuai dengan kenyataan karena di
menunjukkan bahwa tanggung jawab hukum hampir semua negara Eropa Kontinental yang
pada kebakaran hutan/lahan dilekatkan pada menganut civil law nyatanya telah diadopsi
pemegang izin, tanpa melihat bagaimana strict liability dalam peraturan perundang-

49
Anonymous, Forum Keadilan No. 34, loc.cit.
54 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

undangannya dan telah pula diterapkan strict liability untuk kegiatan pengangkutan
dalam berbagai kasus. bahan-bahan yang berbahaya. Dalam hal ini,
Dalam hal ini, menarik untuk melihat para pemilik sarana angkutan atau pengusaha
praktek di Belanda. Sejak tahun 1995, NBW angkutan bertanggung jawab atas kerugian
telah mengadopsi beberapa ketentuan yang diakibatkan oleh bahan-bahan tersebut.
terkait strict liability. Hal ini misalnya dapat Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi:
dilihat dalam tiga pasal di dalam Buku Pasal 8:623 ayat 1 (tentang tanggung jawab
6 NBW. Pertama, Pasal 6:175 memuat dari pemilik kapal laut), Pasal 8:1033 ayat 1
ketentuan mengenai tanggung jawab mutlak (tentang tanggung jawab dari pemilik kapal
atas seseorang yang kegiatan/usahanya sungai), Pasal 8:1213 ayat 1 (tentang tanggung
menggunakan atau menghasilkan bahan jawab dari pengusaha angkutan jalan raya),
yang berbahaya (bijzonder gevaar). Kedua, dan Pasal 8:1673 ayat 1 (tentang tanggung
Pasal 6: 176 juga memberlakukan strict liability jawab dari pengusaha angkutan kereta api).
bagi pengusaha tempat pembuangan akhir Lebih menarik lagi, jauh sebelum
limbah (expoitant stortplaasts) atas kerugian pengakuan di dalam UU tersebut, beberapa
yang timbul, sebelum atau sesudah tempat putusan juga secara diam-diam telah
itu ditutup, sebagai akibat dari tercemarnya menerapkan strict liability, meskipun rezim
udara, air, atau tanah karena penyimpanan/ pertanggungjawaban yang berlaku secara
pembuangan) limbah sebelum tempat itu resmi adalah rezim PMH. Dalam hal ini, Van
ditutup. Pengusaha pembuangan limbah Dunné, sebagaimana dikutip oleh Lotulung,
bertanggung jawab atas semua bahan yang menemukan pergeseran ke arah strict liability
dibuang/disimpan ditempat pembuangan di dalam beberapa putusan, yaitu: Arrest
sampah tersebut. Tanggung jawab ini berlaku Kelderluik [HR 5 November 1965, NJ. 1966,
tanpa memperdulikan apakah bahan/limbah 136], Arrest Jumbo [HR 2 Februari 1973, NJ
tersebut mandapat izin atau tidak, serta 1973, 315], Arrest Boerenleenbank-Van de
berlaku pula bagi pengusaha yang telah Reek [HR 9 Maret 1973, NJ 1973, 464], Arrest
memperoleh izin pembuangan suatu bahan Kamerik [HR 8 Januari 1982, NJ 1982, 614], dan
namun bahan itu tidak sesuai dengan apa Arrest Laadschop [HR 25 September 1981, NJ
yang dimaksud oleh izin tersebut. Ketiga, 1982, 254].50
Pasal 6:177 berisi strict liability bagi pengusaha Dari beberapa kasus tersebut van
pertambangan (boorgat). Menurut pasal 6:177 Dunné menyimpulkan bahwa dengan
ayat 1, seorang pengusaha pertambangan diterapkannya kewajiban untuk mengadakan
bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi penelitian, kewajiban memperingatkan,
melalui pengeluaran barang tambang sebagai kewajiban untuk mengambil tindakan
akibat tidak dapat dikuasainya kekuatan bagi pencegahan kerugian, dan kewajiban
alam yang diakibatkan oleh pelaksana atau untuk mempertimbangkan kerugian serta
ekploitasi tambang tersebut. pembatasannya, maka secara diam-diam
Di samping itu, beberapa pasal dalam telah terjadi pergeseran dari asas kesalahan
Buku 8 NBW juga memuat ketentuan terkait (schuldbeginsel) ke arah asas tanggung jawab

50
Paulus Effendie Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hlm. 83.
Andri G. Wibisana 55
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

tanpa kesalahan (risicobeginsel). Hal inilah PENUTUP

T
yang diistilahkan oleh van Dunné sebagai ulisan ini memperlihatkan aturan -aturan
“pseudo-risico-aansprakelijkheid” atau tanggung pertanggungjawaban perdata yang diakui
jawab mutlak secara semu.51 Munculnya dalam kasus lingkungan di Indonesia, yaitu
kerugian telah merupakan bukti yang cukup PMH dan strict liability. Sayangnya, strict
bahwa telah terdapat kegagalan mencegah liability ternyata telah disalahartikan, sehingga
dan mengatasi kerugian, sehingga sudah maknanya menjadi sangat berkurang.
merupakan bukti adanya perbuatan melawan Tulisan ini memperlihatkan bahwa strict
hukum. liability bukanlah pertanggungjawaban
Tentu saja pengadopsian dan penerapan tanpa perlu pembuktian, dan bukan pula
strict liability tidak hanya terjadi di Belanda. pertanggungjawaban dengan pembuktian
Beberapa negara Eropa lainnya, seperti terbalik terkait unsur kesalahan.
Jerman, Austria, Belgia, dan Perancis secara Tulisan ini memperlihatkan bahwa strict
konsisten telah menerapkan dan mengadopsi liability sudah diterapkan dalam beberapa
pula strict liability. Oleh para guru besar tort di putusan dan diadopsi di dalam peraturan
Eropa yang tergabung dalam European Group perundangan-undangan di negara-negara
on ort Law, praktek penerapan strict liability dengan sistem civil law. Dengan demikian
di negara-negara Eropa ini kemudian ditarik keliru pandangan yang menyatakan bahwa
benang-merahnya serta dimasukkan ke pertanggungjawaban ini tidak tepat untuk
dalam prinsip-prinsip pertanggungjawaban diterapkan di Indonesia yang menganut civil
perdata Eropa (Principles of European ort Law). law.
Di dalam prinsip-prinsip ini, strict liability
dirumuskan di dalam Pasal 5:101 ayat 1 yang Tulisan memperlihatkan pula bahwa
menyatakan bahwa “a person who carries on kedua sistem pertanggungjawaban ini dapat
an abnormally dangerous activity is strictly liable diterapkan di dalam kasus kebakaran hutan/
for damage characteristic to the risk presented by lahan. Dengan demikian, pengabaian kepada
the activity and resulting from it.” Selanjutnya, salah satu rezim pertanggungjawaban perdata
ukuran kegiatan yang sangat berbahaya dalam kasus kebakaran hutan/lahan harus
dirumuskan dalam Pasal 5:101 ayat 2 yang dihindari dan ditinggalkan.
berbunyi: “an activity is abnormally dangerous Seperti terlihat dalam tulisan ini, strict
if: a). it creates a foreseeable and highly significant liability tidak hanya menghilangkan unsur
risk of damage even when all due care is exercised kesalahan subjektif (berupa kesengajaan
in its management, and b). it is not a matter of atau kelalaian) dari PMH, tetapi juga unsur
common usage”.52 kesalahan objektif (berupa perbuatan yang
melanggar hukum). Dengan demikian,
penerapan strict liabiity pada sebuah kasus

51
J.M. van Dunné, “Milieu-aansprakelijkheid uit Onrectmatige Daad: van Schuld- naar Risico-aansprakelijkheid”,
dalam: F.C.M.A. Michiels (ed.), Zand Erover? Milieurecht in de Advocatenpraktijk, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle,1989,
hlm. 11.
52
Untuk pembahasan lebih lanjut tentang rumusan strict liability ini, lihat: Bernhard A. Koch, “Chapter 5: Strict
Liability”, dalam: European Group on Tort Law, Principles of European ort Law: ext and Commentary, Springer,
Wina, 2005, hlm. 101-111.
56 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

membawa konsekuensi bahwa di dalam Martin-Casals, Miquel. “Chapter 8:


kasus tersebut yang perlu dibuktikan Contributory Conduct or Activity”. Dalam:
hanyalah adanya kerugian (dari penggugat) European Group on Tort Law, Principles of
dan kausalitas (antara kegiatan tergugat European ort Law: ext and Commentary.
dengan kerugian penggugat). Strict liabiity Wina: Springer, 2005.
hanya diterapkan pada kegiatan/usaha van Dunné, J.M. “Milieu-aansprakelijkheid
yang sangat berbahaya (ultra hazardous/ uit Onrectmatige Daad: van Schuld-
abnormally dangerous activity). Seseorang naar Risico-aansprakelijkheid”. Dalam:
yang kegiatan/usahanya bersifat sangat F.C.M.A. Michiels (ed.), Zand Erover?
berbahaya, bertanggungjawab atas kerugian Milieurecht in de Advocatenpraktijk. Zwolle:
yang muncul dari kegiatan/usaha tersebut, W.E.J. Tjeenk Willink, 1989.
meskipun dalam melakukan kegiatan/
usahanya ia tidaklah melakukan perbuatan Jurnal
melawan hukum. American Law Insititute, Restatement (Second)
of orts 20 (1977)
DAFTAR PUSTAKA Binder, Denis. “Act of God? Or Act of Man?:
Buku A Reappraisal of the Act of God Defense
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. in Tort Law”, he Review of Litigation, Vol.
Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2003. 15(1), 1996.
Coleman, Jules L. Risks and Wrongs. Cambridge Bulman, Joseph D. “Res Ipsa Loquitur: When
University Press, Cambridge, 1992. Does It Apply?”, Insurance Law Journal,
Djojodirdjo, Moegni A.M. Perbuatan Melawan Vol. 20, 1961.
Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta, 1979. Calnan, Alan. “The Fault(s) in Negligence
Harpwood, Vivienne. Principles of ort Law. Law”, Quinnipiac Law Review, Vol. 25, 2007.
4th ed. Cavendish Publishing Limited, Cantu, Charles E. “Distinguishing the Concept
2000. of StrictLiability in Tort from Strict
Hart, H.L.A. dan T. Honore. Causation in the ProductsLiability: Medusa Unveiled”, he
Law. Clarendon Press, Oxford, 2002. University of Memphis Law Review, Vol. 33,
Lotulung, Paulus Effendie. Penegakan Hukum 2003.
Lingkungan oleh Hakim Perdata. Citra Carr, Charles L. “Proper Interpretation of the
Aditya Bakti, Bandung, 1993. Res Ipsa Loquitur Doctrine in Missouri
Today”, Kansas City Law Review, Vol. 4(8),
Antologi 1936.
Koch, Bernhard A. “Chapter 7: Defences in Fasoyiro, Laurencia. “Invoking the Act of God
General”. Dalam: European Group on Tort Defense”, Environmental & Energy Law &
Law, Principles of European ort Law: ext Policy Journal, Vol. 3(2), 2009.
and Commentary. Wina: Springer, 2005. Faure, Michael dan Ton Hartlief. “Toward
______________. “Chapter 5: Strict Liability”. an Expanding Enterprise Liability in
Dalam: European Group on Tort Law, Europe? How to Analyze the Scope of
Principles of European ort Law: ext and Liability of Industrial Operators and Their
Commentary. Wina: Springer, 2005. Insurers”, Maastricht Journal of European
and Comparative Law, Vol. 3, 1996.
Andri G. Wibisana 57
Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri KLHK vs P . BMH

Flatt, William D. dan Wesley R. Kliner. Sugg, R.M. “Blame It on the Rain? El Niño is
“When the Earth Moves and Buildings no Excuse to Pollute”, Whittier Law Review,
Tumble, Who Will Pay?-Tort Liability and Vol. 21, 2000.
Defenses for Earthquake Damage within Tunc, André. “Fault: A Common Name for
the New Madrid Fault Zone”, Memphis Different Misdeeds”, ulane Law Review,
State University Law Review, Vol. 22, 1991. Vol. 49, 1975.
Foster, Jr.H.H.; W.H. Grant; dan R.W. Green, van Dunné, J.M. “De Rechtspraak
“The Risk Theory and Proximate Cause-A Inzake Milieu-aansprakelijkheid uit
Comparative Study”, Nebraska Law Review, Onrechtmatige Daad: van Schuldbeginsel
Vol. 32, 1952-1953. naar Risico Beginsel”, ijdschrift voor Milieu
Giesen, Ivo. “The Reversal of the Burden of Aansprakelijkheid, Vol. 1, 1987.
Proof in the Principles of European Tort van Schilfgaarde, Elizabeth. “Negligence
Law: A Comparison with Dutch Tort Law under the Netherlands Civil Code: An
and Civil Procedure Rules”, Utrecht Law Economic Analysist”, California Western
Review, Vol. 6(1), 2010. International Law Journal, Vol. 21, 1991.
Galligan, Jr., Thomas C. “A Primer on the
Patterns of Negligence”, Lousiana Law Sumber Lain
Review, Vol. 53, 1993. Anonymous, “Interpretasi Hakim itu Perlu”,
Grady, M.F. “Proximate Cause and the Law Wawancara dengan Prof. Dr. Takdir
of Negligence”, Iowa Law Review, Vol. 69, Rahmadi, Forum Keadilan, No. 34, 17
1984. Januari 2016.
Grey, Thomas C. “Accidental Torts”, Vanderbilt Hadi, Sofyan. “Perusahaan Besar yang
Law Review, Vol. 54(3), 2001. Dituntut Perdata Harusnya Dilakukan
Hershey, Nathan. “Res Ipsa Loquitur”, he Beban Pembuktian Terbalik”, Wawancara
American Journal of Nursing, Vol. 63(11), dengan Prof. Dr. Mieke Komar, Forum
1963. Keadilan, No. 34, 17 Januari 2016.
Mercante, James E. “Hurricanes and Act of SWU, “Pembakar Hutan Dapat Dihukum
God; When the Best Defense is a Good tanpa Perlu Bukti”, Forum Keadilan, No. 34,
Offense”, USF Maritime Law Journal, Vol. 17 Januari 2016.
18(1), 2005-2006.
Owen, D.G. “The Five Elements of Putusan Pengadilan
Negligence”, Hofstra Law Review, Vol.
35(4), 2007. PN Palembang, 2015, Putusan No. 24/
Palmer, Vernon. “A General Theory of the Pdt.G/2015/PN.Plg, Menteri Lingkungan
Inner Structure of Strict Liability: Common Hidup dan Kehutanan vs. P . BMH.
Law, Civil Law, and Comparative Law”, Supreme Court of California, Horace W. Green
Tulane Law Review, Vol. 62, 1988, hal.1311. et al. v. General Petroleum Corporation (1928),
Peck, Cornelius J. “Negligence and Liability 205 Cal. 328.
withoutFault in Tort Law”, Washington United States District Court, N.D. Illinois,
Law Review, Vol. 46(2), 1971. Eastern Division, Indiana Harbor Belt
Seavey, Warren A. “Negligence-Subjective Railroad Company v. American Cyanamid
Or Objective?”, Harvard Law Review, Vol. Company and Missouri Pacific Railroad
41(1), 1927. Company (1987), 662 F.Supp. 635).
58 Bina Hukum Ligkungan
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016

Court of Appeals of New York, Ann Spano v. United States District Court, D. Connecticut,
Perini Corporation, et al. (1969), 25 N.Y.2d Mary-Louise N. Albahary, et al. v. City and
11; 250 N.E.2d 31. own of Bristol, Connecticut (1997), 963
Supreme Court of Louisiana, Cllfford E. F.Supp. 150.
Fontenot v. Magnolia Petroleum Co. et al. Supreme Court of Tennessee, Berdella Vaughn
(1955), 227 La. 866; 80 So.2d 845. Seavers, et al. v. Methodist Medical Center of
Supreme Court of Louisiana, Victor A. Lombard Oak Ridge (1999), 9 S.W.3d 86.
v. Sewerage and Water Board of New Orleans, United States District Court, E.D. Tennessee,
et al. (1973), 284 So.2d 905. Northern Division, John B. Wells v. Norfolk
Court of Appeals of Arizona, Albert I. Correa, Southern Railway Company, et al (2005),
et al. v.Roy Curbey &Dorothy Curbey (1980), 2005 WL 2211152.
124 Ariz. 480; 605 P.2d 458. United States Court of Appeals for the Second
United States Court of Appeals,Fifth Circuit, Circuit, New York v. Shore Realty Corp.
Rusty Roberts, et al. v.Cardinal Services, Inc., (1985), 759 F.2d 1032.
et al. (2001), 266 F.3d 368. Court of Appeals of New York, Losee v.
Supreme Court of California, Horace W. Green Buchanan (1873), 51 N.Y. 476.
et al. v. General Petroleum Corporation (1928), Supreme Court of Texas, Annie Lee urner et
205 Cal. 328. al. v. Big Lake Oil Company et al. (1936), 96
Supreme Court of Louisiana, Gotreaux v. Gary S.W.2d 221, hal. 223.
(1957), 232 La. 373, hal. 376; 94 So. 2d 293. Supreme Court of California, Horace W. Green
Supreme Court of Oklahoma, Young v. Darter et al. v. General Petroleum Corporation (1928),
(1961), 363 P.2d 829. 205 Cal. 328.
Supreme Court of Errors of Connecticut, Circuit Court of Appeals, Second Circuit,
Michael Caporale et al. v. C. W. Blakeslee and Exner v. Sherman Power Const. Co. (1931),
Sons, Inc. (1961), 149 Conn. 79, hal 85; 175 54 F.2d 510.
A.2d 561. Supreme Court of Louisiana, Gotreaux v. Gary
Superior Court of Connecticut, Judicial (1957), 232 La. 373, hal. 378; 94 So. 2d 293.
District of New Haven, Mollie Levenstein v.
Yale University (1984), 40 Conn.Supp. 123,
hal. 126; 482 A.2d 724.
United States District Court, D. Connecticut,
Arawana Mills Co. v. United echnologies
Corp. (1992), 795 F.Supp. 1238.
Superior Court of Connecticut, Judicial
District of Hartford-New Britain, Morill
Barnes v. General Electric Co., et al. (1995),
1995 WL 447904 (Conn.Super.).

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai