Anda di halaman 1dari 3

Bab 2

Kewenangan , kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup dan


Instrument - instrumen hukum lingkungan di Indonesia

HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak
diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, tanggal 11 Maret 1982 yang biasa disingkat dengan sebutan UULH 1982. UULH 1982 pada tanggal 19
September 1997 digantikan oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dan kemudian UU No. 23 Tahun 1997 (UULH
1997) juga dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (LN tahun 209 No. 140, disingkat dengan UUPPLH).
Menurut para akdemisi, hukum lingkungan merupakan bidang hukum yang disebut dengan bidang hukum
fungsional, yaitu sebuah bidang hukum yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara, pidana
dan perdata. Jika kita cermat ketiga baik UULH 1982, UULH 1997 maupun UUPPLH 2009 menandung norma-
norma undang-undang yang masuk ke dalam bidang hukum administrasi negara, pidana dan perdata.

UUPPLH 2009 sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia selain memuat ketentuan-ketentuan
hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang sebelumnya yaitu UULH
1982 dan UULH 1997 telah juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum hukum baru. Beberapa
norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas
lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penciptaan delik-delik materil
baru. Dalam tulisan ini beberapa norma hukum baru yang akan diuraikan.
Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa
Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam
bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
arti delik diberi batasan sebagai berikut.
“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang;”

Instrumen hukum adalah suatu alat atau sarana sebagai


dasar hukum perlindungan dan penegakan hukum tersebut.

1. PERDATA

Diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata karena adanya Perbuatan Melawan ke Pengadilan Negeri. Perbuatan Melawan
Hukum (PMH) merupakan salah satu alasan mengapa suatu gugatan perdata dapat dilayangkan di muka Pengadilan.

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menyatakan bahwa: “Tiap perbuatan yang melanggar
hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik bahwa unsur PMH adalah: ada perbuatan melawan hukum, ada kesalahan, ada
hubungan sebab akibat antara kerugian dengan perbuatan, dan ada kerugian.

Perbuatan Melawan Hukum, bermakna bahwa adanya perbuatan atau tindakan dari seseorang atau badan hukum
yang melawan hukum yang berlaku, yang memiliki 4 (empat) criteria, seperti: bertentangan dengan kewajiban hukum
si pelaku; bertentangan dengan hak subyektif orang lain; bertentangan dengan kesusilaan; dan bertentangan dengan
kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.

Adanya Kesalahan terdapat dua macam kesalahan yaitu kealpaan dan kesengajaan. Kealpaan bermakna terdapat
perbuatan yang abai untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, atau tidak berhati-hati dalam melakukan
sesuatu hal sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Sedangkan kesengajaan bermakna bahwa yang bersangkutan dengan penuh kesadaran mengetahui konsekuensi
tindakan yang dilakukannya tersebut berakibat kerugian bagi orang lain.

Ada Hubungan Sebab Akibat antara Kerugian dan Perbuatan, bahwa benar antara perbuatan yang dilakukan oleh
yang bersangkutan adalah perbuatan yang kemudian berakibat kerugian bagi orang lain. Poin ini disebut juga sebagai
hubungan kausalitas, dengan kata lain perbuatan orang yang bersangkutan menjadi sebab atas akibat berupa kerugian
bagi orang yang lain.

Ada Kerugian, bahwa perbuatan yang bersangkutan memang benar-benar menimbulkan kerugian bagi orang yang
lain. Kerugian dapat berbentuk dua macam, yakni kerugian materiil dan kerugian immateriil. Kerugian materiil
merupakan sesuatu yang bisa dihitung dan dinominalkan, seperti uang, barang, biaya, dan lain sebagainya. Sementara
kerugian immateriil adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak begitu saja langsung bisa dihitung nominalnya.
Contoh kerugian immateriil adalah ketakutan, trauma, kekecewaan, rasa sakit, dan lain sebagainya.

2. PIDANA

Penerapan sanksi pidana penjara dan denda dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) No. 23 tahun 1997 Jo No. 32 tahun 2009 bersifat komulatif bukan alternatif, jadi sanksinya diterapkan
keduanya yaitu sanksi pidana penjara dan pidana denda, bukan salah satu dintaranya. Pemberatan sanksi dapat
dikenakan bagi pemberi perintah atau pemimpin, pidananya diperberat sepertiga.

Selain ancaman pidana, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;


2. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
3. Perbaikan akibat tindak pidana;
4. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
5. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

(Pasal 119 UU No. 32/2009)

Adapun pasal-pasal yang mengatur sanksi dan denda adalah sebagai berikut:

1). Pasal 109 UUPPLH

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).

2). Pasal 110 UUPPLH

Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).

3). Pasal 111 ayat (1) UUPPLH

Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).

4). Pasal 111 ayat (2) UUPPLH

Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
5). Pasal 113 UUPPLH

Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan
hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

6). Pasal 114 UUPPLH

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

7). Pasal 115 UUPPLH

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat
pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

3.ADMINISTRASI
Ketentuan mengenai gugatan TUN atau sering juga disebut Gugatan Administrasi di bidang lingkungan hidup telah
diatur dalam UUPPLH 2009, Pasal 93 yang menentukan bahwa :

1). Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila:

a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;

b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi
tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau

c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan
izin lingkungan.

2).Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara.

Dengan demikian, apabila orang atau Badan Hukum Perdata merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN
berupa izin lingkungan atau izin usaha yang diterbitkan tanpa dilengkapi persyaratan yang diwajibkan, dapat
mengajukan gugatan ke PTUN. Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, maka isi gugatan tersebut dapat
berupa tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu (berupa izin usaha atau izin lingkungan) dinyatakan batal atau
tidak sah, tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Anda mungkin juga menyukai