Anda di halaman 1dari 15

PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM

PIDANA DALAM UU PPLH PASCA LAHIRNYA


OMNIBUS LAW

OLEH :

DR. M. SHOLEHUDDIN, S.H., M.H.*


(DOSEN TETAP PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA)

DISAMPAIKAN DALAM WORKSHOP HUKUM LINGKUNGAN HIDUP YANG


DIADAKAN OLEH KBPP POLRI RESORT KOTA SURABAYA
26 AGUSTUS 2021
LATAR BELAKANG …
• Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak
asasi setiap warga negara;
• Pembangunan ekonomi nasional berdasarkan prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan;
• Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah
mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya;
• UU PPLH menganut asas primum remidium;
• UU Cipta Kerja menganut asas ultimum remidium.
NORMA KETENTUAN PIDANA DALAM UU PPLH
YANG MENGALAMI PERUBAHAN PASCA
LAHIRNYA OMNIBUS LAW

• PASAL 102 DIHAPUS


• PASAL 109 MENGALAMI PERUBAHAN KETENTUAN
• PASAL 110 DIHAPUS
• PASAL 111 MENGALAMI PERUBAHAN KETENTUAN
• PASAL 112 MENGALAMI PERUBAHAN KETENTUAN
UU NO. 32 TAHUN 2009 (PPLH) OMNIBUS LAW (UU CIPTA KERJA)
• PASAL 102 : • Pasal 102 dihapus.
Setiap orang yang melakukan
pengelolaan limbah B3 tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
59 ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
• Ketentuan di dalam Pasal 102 UU PPLH sebagaimana diubah oleh UU Cipta
Kerja telah dihapus, namun terhadap perbuatan yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) masih tercantum.
Pasal 59 ayat (4) menyatakan:
“Pengelolaan Limbah B3 wajib mendapat Perizinan Berusaha, atau
persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.”
• Selanjutnya, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) dikenai
‘sanksi administratif’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82A huruf a UU
PPLH sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja, yang menyatakan:
Pasal 82 huruf a menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
a. Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34
ayat (3), Pasal 59 ayat (1) atau Pasal 59 ayat (4); dikenai sanksi
administratif.”
Melihat pada ketentuan perubahan seperti di atas, maka ketentuan itu
disebut sebagai ‘depenalisasi’. Artinya, suatu kebijakan hukum pidana
yang mengganti sanksi pidana dengan sanksi hukum lainnya terhadap
perbuatan yang dilarang itu. Dalam konteks ini, sanksi pidana itu diganti
dengan sanksi administratif.
UU NO. 32 TAHUN 2009 (PPLH) OMNIBUS LAW (UU CIPTA KERJA)
PASAL 109 : Pasal 109 :

Setiap orang yang melakukan usaha Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
lingkungan sebagaimana dimaksud a. Perizinan Berusaha atau persetujuan
Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah
dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
dengan pidana penjara paling singkat 1 (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) Pasal 59 ayat (4);
tahun dan denda paling sedikit Rp b. persetujuan dari Pemerintah Pusat atau
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau
(tiga miliar rupiah). c. persetujuan dari Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1);
yang mengakibatkan timbulnya
korban/kerusakan terhadap kesehatan,
keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.OOO,OO (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 UU
PPLH sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja,
termasuk dalam ‘delik materiil’. Artinya, rumusan
delik itu lebih menitikberatkan pada akibat dari
perbuatan yang dilarang. Dengan kata lain, dahulu
Pasal 109 yang termasuk dalam ‘delik formil’ yang
hanya mensyaratkan pada unsur perbuatan yang
dilarang saja, berubah menjadi ‘delik materiil’. Hal itu
terlihat pada tercantumnya secara eksplisit unsur delik
“ … yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan”
UU NO. 32 TAHUN 2009 (PPLH) OMNIBUS LAW (UU CIPTA KERJA)
• PASAL 110 : • Pasal 110 dihapus.
Setiap orang yang menyusun amdal
tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1)
huruf i, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Ketentuan Pasal 110 yang dihapus di dalam UU Cipta Kerja,
tidak disertai dengan penghapusan terhadap perbuatan yang
dilarang sebagaimana tercantum dalam Pasal 69 ayat (1) UU
PPLH sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja. Hal itu dapat
dilihat dalam Pasal 82B ayat (2) yang menyatakan bahwa
dikenai ‘sanksi administratif dan mewajibkan kepada
Penanggung Jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan
fungsi lingkungan hidup dan/atau tindakan lain yang
diperlukan.’
Jika dilihat pada bentuk sanksi di atas, dalam ilmu hukum
pidana dapat disebut juga sebagai bentuk sanksi (straf modus)
dari jenis sanksi tindakan (maatregel/treatment). Artinya, sanksi
itu lebih pada upaya perbaikan daripada hanya suatu
pembalasan seperti sanksi pidana (straf/punishment} yang
berupa penjara.
UU NO. 32 TAHUN 2009 (PPLH) OMNIBUS LAW (UU CIPTA KERJA)
Pasal 111 : Pasal 111 :
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang
menerbitkan izin lingkungan tanpa Pejabat pemberi persetujuan
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 lingkungan yang menerbitkan
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara persetujuan lingkungan tanpa
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling dilengkapi dengan Amdal atau UKL-
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar UPL sebagaimana dimaksud dalam
rupiah). Pasal 37 dipidana dengan pidana
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
kegiatan yang menerbitkan izin usaha denda paling banyak Rp
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 111 UU PPLH sebagaimana yang telah
diubah oleh UU Cipta Kerja, telah menghapuskan
ketentuan dalam Pasal 111 ayat (2) UU PPLH yang
lama dan juga di dalam UU Cipta Kerja telah
menghapus unsur perbuatan yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 UU PPLH yang
lama. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana
dalam ketentuan Pasal 111 UU PPLH sebagaimana
yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja disebut sebagai
‘dekriminalisasi’. Artinya, mengubah suatu perbuatan
yang dahulunya ditetapkan sebagai tindak pidana
menjadi bukan tindak pidana.
UU NO. 32 TAHUN 2009 (PPLH) OMNIBUS LAW (UU CIPTA KERJA)
Pasal 112 : Pasal 112 :

Setiap pejabat berwenang yang Setiap pejabat berwenang yang dengan


dengan sengaja tidak melakukan sengaja tidak melakukan pengawasan
pengawasan terhadap ketaatan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap
penanggung jawab usaha dan/atau Peraturan perundang-undangan dan
kegiatan terhadap peraturan Perizinan Berusaha, Atau Persetujuan
perundang-undangan dan izin Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
lingkungan sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang Yang Mengakibatkan Terjadinya
mengakibatkan terjadinya Pencemaran dan/atau kerusakan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan Yang mengakibatkan hilangnya
lingkungan yang mengakibatkan nyawa manusia dipidana dengan pidana
penjara paling Lama 1 (satu) Tahun atau
hilangnya nyawa manusia, dipidana denda Paling banyak Rp 500.000.OOO,O0
dengan pidana penjara paling lama 1 (lima Ratus Juta rupiah).
(satu) tahun atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Ketentuan di dalam Pasal 112 UU PPLH sebagaimana
yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja hanya merubah
norm adressat pada ketentuan Pasal 72, yaitu
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam hal
pelaksanaan pengawasan ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap Perizinan Berusaha,
atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah. Dengan demikian, Ketika Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah itu lalai, maka tidak bisa
dimintai pertanggungjawaban pidana (criminal
liability).
Melihat pada perubahan-perubahan yang dilakukan
oleh UU Cipta Kerja (Omnibus Law), maka kebijakan
kriminal (criminal policy) dalam UU Cipta Kerja lebih
mengedepankan upaya-upaya non-penal. Hal itu dapat
dilihat dengan adanya ‘depenalisasi’ dan
‘dekriminalisasi’, serta mewujudkan penegakan hukum
pidana yang bersifat ‘Ultimum Remidium’.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai