Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 1 MATA KULIAH

TINDAK PIDANA KORUPSI


UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2021/20.2

Nama : Salindri Riana Dewi


NIM : 042579915
Jurusan : Ilmu Hukum
Semester :8

Bupati Rita Widyasari divonis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor karena
terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 110.720.440.000 dari rekanan di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Rita dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp
600 juta. Hakim juga mencabut hak politik Bupati Kutai Kartanegara selama 5 tahun setelah
menjalani masa hukuman. Vonis hakim yang diketuai Sugiyanto ini lebih rendah dari tuntutan
jaksa, yaitu 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Atas putusan itu,
jaksa KPK juga menyatakan pikir-pikir. Gratifikasi sebesar Rp 110 miliar lebih ini terkait
permohonan izin perusahaan dan proyek di lingkungan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Dikumpulkan oleh Khairudin selaku mantan anggota DPRD Kutai Kartanegara sekaligus salah
satu anggota tim pemenangan Rita yang dikenal sebagai Tim 11 dalam perkara yang sama.
PERTANYAAN:
1. Bagaimana pendapat saudara mengenai Gratifikasi dalam Tindak pidana korupsi di
Indonesia beserta dasar hukumnya?
Gratifikasi merupakan bagian dari Korupsi semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Defenisi Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa gratifikasi merupakan pemberian dan dalam
arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Adapun pengecualian sekaitan
dengan gratifikasi ada pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021, Pasal 12C ayat (1).
Adapun Peraturan yang mengatur tentang gratifikasi itu ada pada pasal 12B ayat (1) UU
No.31/1999 jo UU No.20/2001 yang berbunyi setiap gratifikasi pada pegawai negri atau
penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Adapun sanksi yang mnjadi ganjaran pelanggaran
sekaitan dengan gratifikasi yakni pada pasal 12B ayat (2) UU No.31/1999 jo UU No.20/2021
yang berbunyi pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama
20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Di Indonesia sendiri telah mengelompokkan ke dalam dua kategori penerimaan Gratifikasi
yaitu Gratifikasi yang dianggap sebagai suap dan Gratifikasi yang tidak dianggap sebagai suap.
Gratifikasi yang dianggap sebagai suap apabila hal-hal yang diberikan kepada Pegawai Negeri
dan/atau Pejabat Negara yang dianggap tidak sesuai dengan kode etik atau Gratifikasi yang
dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi suap, bilamana gratifikasi tersebut diberikan
kepada pegawai negeri / penyelenggara Negara / pejabat yang berhubungan dengan jabatannya.
Penerimaan gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari penyelenggara
negara tersebut. Termasuk untuk mempercepat proses pelayanan atau menjamin proses
pelayanan selesai tepat waktu, atau juga untuk hal yang menentukan keputusan. Sedangkan
Gratifikasi yang tidak dianggap sebagai suap, jika hal-hal yang di berikan kepada pegawai
Negeri dan/atau pejabat Negara yang tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak bertetangan
dengan kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi. Dalam hal gratifikasi yang tidak dianggap
suap yang mana hubungan antara pemberi dan si penerima gratifikasi biasanya diukur dengan
nilai atau harga pemberiannya berdasarkan nilai kewajaran dan kepantasan secara sosial di
masyarakat.
Dasar Hukum Gratifikasi:
a. Pasal 12B dan 12C ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.06/2021 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi;
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 227/PMK.09/2021 tentang Pengendalian Gratifikasi
di Lingkungan Kementerian Keuangan.
2. Bagaimana perbedaan Gratifikasi dan Suap dalam Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia beserta dasar hukumnya?
Suap terjadi apabila pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan
dengan maksud agar tujuannya lebih cepat tercapai, walau melanggar prosedur. Sedangkan
gratifikasi terjadi apabila pihak pengguna layanan memberikan sesuatu kepada pemberi layanan
tanpa adanya penawaran, transaksi atau deal untuk mencapai tujuan tertentu yang
diinginkan yang biasanya hanya memberikan tanpa ada maksud apapun.
Tindakan suap dapat terjadi apabila ada transaksi antara kedua belah pihak. Gratifikasi berupa
tindakan yang bertujuan untuk mempermudah pengguna jasa. Gratifikasi dapat menjadi suap
apabila diberikan kepada pegawai negeri dan pejabat negara yang dianggap tidak sesuai dengan
kode etik untuk mempercepat proses pelayanan atau menjamin proses pelayanan selesai tepat
pada waktunya atau untuk mempengaruhi keputusan.
Perbedaan Suap Gratifikasi
Pengaturan 1. Kitab Undang-Undang Hukum 1. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pidana (Wetboek van Strafrecht, Perubahan UU No. 31 Tahun
Staatsblad 1915 No 73) 1999 tentang Pemberantasan
2. UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Korupsi serta
Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”) diatur pula dalam UU No. 30
3. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tahun 2002 tentang Komisi
Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 Pemberantasan Korupsi (“UU
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pemberantasan Tipikor”)
Korupsi serta diatur pula dalam UU 2. Peraturan Menteri Keuangan
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Nomor 03/PMK.06/2011
Pemberantasan Korupsi (“UU tentang Pengelolaan Barang
Pemberantasan Tipikor”) Milik Negara yang Berasal Dari
Barang Rampasan Negara dan
Barang Gratifikasi.

Definisi Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, Pemberian dalam arti luas, yakni
sedangkan ia mengetahui atau patut dapat meliputi pemberian uang, barang,
menduga bahwa pemberian sesuatu atau rabat (discount), komisi, pinjaman
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat tanpa bunga, tiket perjalanan,
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam fasilitas penginapan, perjalanan
tugasnya, yang berlawanan dengan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
kewenangan atau kewajibannya yang fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut
menyangkut kepentingan umum, dipidana baik yang diterima di dalam negeri
karena menerima suap dengan pidana maupun di luar negeri dan yang
penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dilakukan dengan menggunakan
atau denda sebanyak-banyaknya sarana elektronik atau tanpa sarana
Rp.15.000.000.- (lima belas juta elektronik (Penjelasan Pasal 12B
rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980). UU Pemberantasan Tipikor)
Sanksi UU 11/1980: Pidana penjara seumur hidup atau
Pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) pidana penjara paling singkat 4
tahun atau denda sebanyak-banyaknya (empat) tahun dan paling lama 20
Rp.15.000.000.- (lima belas juta (dua puluh) tahun, dan pidana denda
rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).
paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling
KUHP:
pidana penjara paling lama sembilan bulan banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
atau pidana denda paling banyak empat miliar rupiah) (Pasal 12B ayat [2]
ribu lima ratus rupiah (Pasal 149) UU Pemberantasan TipikoR)

UU Pemberantasan Tipikor:
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran
orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan
jabatannya (Pasal 11 UU Pemberantasan
Tipikor).
3. Bagaimana pendapat saudara mengenai ketentuan pengecualian Gratifikasi dalam
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?
Ketentuan pengecualian gratifikasi terdapat dalam Pasal 12C ayat (1), dimana Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Menurut saya ketentuan tersebut sudah sesuai,
namun untuk praktik dilapangannya pasti menemui beberapa hambatan dan kesulitan. Karena
perlu diketahui bahwa budaya di Indonesia sendiri identik dengan tanam budi, sehingga terbiasa
mengungkapkan ucapan terimakasih dengan memberikan sesuatu. Memang seharusnya setiap
penyelenggara negara tidak menerima pemberian hadiah atau sejenisnya yang berhubungan
dengan jabatannya karena ditakutkan akan menurunkan integritas dan ke-indepen-an pegawai
negeri atau penyelenggara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai