Anda di halaman 1dari 9

1.

Definisi Korupsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berarti tindakan atau perbuatan
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Menurut Robert
Klitgaard , pengertian korupsi adalah suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang
menyangkut diri pribadi, atau melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi.
Pengertian korupsi yang diungkap oleh Robert yaitu korupsi yaitu korupsi dilihat dari perspektif
administrasi negara. Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan
melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.

2. Penyebab Terjadinya Korupsi


Kecurangan atau penipuan yang merupakan suatu cara untuk mewujudkan/mencapai tujuan
pribadi atau suatu organisasi/kelompok atau untuk memuaskan kebutuhan manusia. Tujuan atau
kepuasan tersebut dapat dipenuhi baik melalui cara yang jujur maupun secara melawan hukum.
Korupsi merupakan tindakan curang (fraud) karena korupsi melawan hukum. Secara umum terdapat
tiga unsur penting yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan : (1) adanya tekanan
(perceived pressure), (2) adanya kesempatan (perceived opportunity), dan (3) berbagai cara untuk
merasionalisasi agar kecurangan dapat diterima (some way to rationalize the fraud as acceptable).
Ketiga unsur tersebut membentuk apa yang disebut sebagai Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle).

Setiap pelaku kecurangan menghadapi berbagai macam tekanan (pressure). Tekanan yang
paling kuat adalah berkaitan dengan kebutuhan finansial, meskipun ia juga menghadapi tekanan
selain finansial (seperti frustasi ditempat kerja, kebutuhan untuk melaporkan hasil yang lebih baik
daripada kinerja yang sebenarnya, atau tantangan untuk menyiasati sistem) juga merupakan faktor
pendorong untuk melakukan kecurangan. Selain itu, gaya hidup mewah dan ketergantungan
narkoba juga merupakan contoh dari dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan
kecurangan.
Pelaku kecurangan memerlukan suatu cara untuk membenarkan (merasionalisasi) atas
tindakan yang mereka lakukan agar dapat diterima. Pelaku merasionalisasikan tindakannya dua
alasan : (1) ia tidak yakin bahwa apa yang telah ia lakukan aqqdalah melanggar hukum (ilegal),
meskipun ia mengakui bahwa tindakan tersebut tidak etis, dan (2) ia yakin bahwa ia akan
mendapatkan uang pengganti dari sumber lain dan sehingga dapat membayar kembali atas uang
yang telah ia gelapkan. Pelaku mencari pembenaran atas tindakannya, misalnya pelaku melakukan
tindak korupsi dengan alasan untuk membahagiakan keluarga dan orang-orang yang dicintainya.
Contoh lainnya yaitu masa kerja pelaku cukup lama sehingga pelaku merasa berhak mendapatkan
lebih dari apa yang sudah didapat sekarang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cressey, pelaku kecurangan selalu memiliki peluang
dan pengetahuan untuk melakukan kecurangan. Association Certified Fraud Examiner (ACFE) Report
to the Nation (RTTNs) ketika melakukan penelitian juga menunjukkan bahwa pihak karyawan dan
para manajer yang memiliki masa kerja yang lama yang melakukan kecurangan. Hal ini disebabkan
karena mereka sangat memahami kondisi riil perusahaan sehingga mereka mengetahui letak
kelemahan sistem pengendalian intern dan juga memiliki ilmu yang cukup agar kejahatan yang
mereka_lakukan_dapat_berhasil_dengan_baik.
Meskipun demikian, faktor utama adanya peluang adalah terletak pada pengendalian intern.
Dengan adanya kelemahan atau bahkan tiadanya pengendalian intern memberikan peluang bagi
pelaku kecurangan untuk melakukan kejahatan. Jadi, kesempatan yang dimaksud biasanya
disebabkan karena kelemahan sistem suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan, dan
penyalahgunaan_wewenang.

3. Jenis-Jenis Korupsi
3.1. Gratifikasi

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian biaya tambahan
(fee), uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik [1]

Walaupun batas minimum belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menkominfo
pada tahun 2005 bahwa pemberian dibawah Rp. 250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam
kelompok gratifikasi. Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi. Dilain pihak

2
masyarakat sebagai pelapor dan melaporkan gratifikasi di atas Rp. 250.000,- wajib dilindungi sesuai
PP71/2000.

Landasan hukum tindak gratifikasi diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12
dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar
rupiah.

Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.

CONTOH KASUS GRATIFIKASI: (1) Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif, karena hal ini
dapat memengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif. (2) Cenderamata bagi guru (PNS)
setelah pembagian rapor/kelulusan. (3) Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai
proyek. (4) Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi
Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah. (5) Parsel ponsel canggih keluaran
terbaru dari pengusaha ke pejabat. (6) Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan. (7)
Hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang melewati batas kewajaran (baik nilai ataupun
harganya). (8) Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan uang tambahan.

3.2. Suap Menyuap


Definisi arti kata SUAP (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya
adalah ’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba,
yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis).
Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ , ’blackmail’, atau ’extortion’ (pemerasan)
dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau
hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup).
Suap-menyuap yang dilakukan secara bersama - sama dengan penggelapan dana-dana
publik (embezzlement). Akibat adanya suap-menyuap menimbulkan ancaman terhadap stabilitas
ekonomi; dapat merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan;
mencederai pembangunan berkelanjutan dan tegaknya hukum.
Kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suap-menyuap, mempunyai alasan
yang sangat kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional,
melainkan sebagai kejahatan luar biasa ( extraordinary crime ), karena karakter korupsi yang sangat

3
kriminogin ( dapat menjadi sumber kejahatan lain ) dan viktimogin ( secara potensial dapat
merugikan pelbagai dimensi kepentingan ).

Hukum-hukum yang mengatur suap menyuap :


 Kriminalisasi terhadap tindak pidana suap secara mendasar sudah dilakukan melalui Pasal
209 KUHP yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap
pegawai negeri. Pasangan dari pasal ini adalah Pasal 419 KUHP yang mengatur tentang
penyuapan pasif (passive omkooping atau passive bribery), disebut penyuapan aktif (Active
Omkoping) Karena subyeknya melakukan usaha menyuap, dan disebut penyuapan pasif
(Passive Omkoping) karena subyeknya tidak melakukan usaha atau menerima pemberian
dan mengikuti kehendak pemberi/penyuap.
 Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat di pengadilan.
Hakim dan penasihat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420
KUHP.Keempat pasal tersebut kemudian dinyatakan Perluasan tindak pidana suap dalam
bentuk retour-commissie atau gratifikasi diatur dalam Pasal 418 KUHP sebagai tindak pidana
korupsi melalui UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001.
 Tindak pidana suap ini diatur dalam, UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
(“UU 3/1980”). Pasal 3 UU 3/1980 menyebutkan:
o “Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut
dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kewenangan
yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan
pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).”
 Suap di lingkungan perbankan diatur dalam UU No 10 Tahun 1998. Suap-menyuap dalam
pemilu (money politics) diatur dalam UU No 12 Tahun 2003 dan UU No 23 Tahun 2003.
Begitu pula dalam UU No 32 Tahun 2004 sepanjang berkaitan dengan pemilihan kepala
daerah.
 Selain itu, Pasal 11UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) juga mengatur:
o “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau
4
yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya.”

Contoh kasus :
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jawa Barat, Jaya Kesuma, menyatakan,
tersangka Endang Dyah, PT Gunung Emas Abadi yang diduga memberikan suap ke Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bogor, Anggrah Suryo, merupakan wakil perusahaan tambang batu bara.
“Perusahaannya bergerak di tambang batu bara,” katanya, Sabtu (14/7/2012). Endang Dyah
(EA) ditetapkan sebagai tersangka bersama Ketua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bogor, Anggrah
Suryo (AS), setelah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dari
penanganan pajak.

Aspidsus menjelaskan EA menyuap AS untuk mengurangi besaran pembayaran pajak


perusahaannya yang mencapai kisaran antara Rp21,5 miliar sampai Rp22 miliar. AS selaku Kepala
KPP Bogor menyanggupi besaran pembayaran pajak itu bisa dikurangi mencapai angka Rp1,5 miliar
dan hingga terjadi tawar menawar untuk mengurangi pembayaran tersebut. “Hingga jadinya Rp1,2
miliar,” katanya.

Kemudian, AS diberi uang jasa oleh EA sebesar Rp300 juta yang sekaligus untuk
menggenapkan jasa penurunan biaya pembayaran pajak tersebut. “Uangnya dalam bentuk ratusan
ribu rupiah dan dijadikan barang bukti,” katanya. Penangkapan terhadap tersangka tersebut di
kawasan Perumahan Kota Legenda Cibubur pada pukul 10.25 WIB. Uang sebesar Rp300 juta yang
diduga hasil suap berhasil disita KPK.

3.3. Penyalahgunaan Jabatan


Pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat
diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar
ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.

Pada dasarnya, penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri sebagai berikut:

5
1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan

Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu
disertai dengan “tujuan dan maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan
kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya kewenangan tersebut.
Dalam hal penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara tersebut
tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi
Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan.

2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara
demokrasi tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal
tertuang dalam undang-undang.

3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik

Asas-Asas Umum penyelenggaraan negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun


1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
meliputi: (a) Asas kepastian hukum, (b) asas tertib penyelenggaraan negara, © asas kepentingan
umum, (d) asas keterbukaan, (e) asas proposionalitas, (f) asas profesionalitas, (g) asas akuntabilitas.

Penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat


hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara. Cacat hukum
keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga
unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat
hukum tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni: cacat
wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat
timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah peraturan dasar (legalitas)
sebagai hukum positif tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat
mengeluarkan suatu keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur

6
“menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan dasar mengenai tugas,
kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja.

Penyalahgunaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU


Nomor 20 Tahun 2001 bukanlah satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain
penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
tersebut, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan lainnya yaitu tindak pidana penyuapan kepada
aparatur negara, tindak pidana gratifikasi kepada aparatur negara dan tindak pidana pemerasan oleh
pejabat/aparatur negara. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi tersebut masing-masing diatur dalam
pasal tersendiri dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Untuk tindak pidana korupsi suap ini, diatur dalam Pasal 5 dengan ancaman pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah), baik terhadap pemberi suap maupun terhadap penerima suap.

3.4. Penggelapan dalam Jabatan

Penggelapan dalam jabatan meruapakan sebuah kegiatan tindak pidana korupsi.


Penggelapan dalam jabatan yang dimaksud adalah pegawai negeri atau pejabat publik yang
menyalahgunakan uang atau membiarkan penyalahgunaan uang, pemalsuan bukti untuk
pemeriksaan administrasi, penghancuran bukti atau membiarkan orang lain merusak bukti atau
membantu orang lain merusak bukti. Banyak penggelapan oleh pegawai negri atau pejabat publik
menjadikan negara kehilangan uang yang sangat banyak dan hilang nya kepercayaan publik.

Faktor - faktor yang mempengaruhi pegawai negeri dan pejabat publik melakukan tindakan
ini adalah : (1) Adanya kebutuhan keluarga yang sangat mendesak, (2) pendapatan yang dinilai masih
sedikit, (3) lemahnya pengawasan terhadap pegawai negeri dan pejabat publik .

Dalam hal mengatasi tindakan penggelapan dalam jabatan ini, sudah tercantum dalam Kita
Undang- Undang Hukum idana (KUHP) pasal 372 dan pasal 374 yang berbunyi :

1. KUHP Pasal 372: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi
yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena

7
penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.”
2. KUHP Pasal 374:“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya
terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian
atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.”
Dengan adanya dasar hukum tersebut diharapkan pemerintah mengembangkan peraturan
tentang penggelapan dalam jabatan agar pelaku tidak dapat kesempatan melakukan tindakan
penggelapan dan agar membuat efek jera kepada masyarakat sehingga takut untuk melakukan
perbuatan tersebut.

3.5. Pemerasan
Pemerasan merupakan suatu tindakan yang sering terjadi dalam aktivitas kehidupan sehari-
hari suatu masyarakat. Pemerasan itu terjadi dengan berbagai latar belakang dan motif. Pemerasan
dalam bahasa inggris “blackmail” adalah satu bentuk tindak pidana umum.
Dalam kamus bahasa Indonesia istilah “pemerasan” berasal dari kata dasar “peras” yang
bermakna leksikal “meminta uang dan sejenisnya dengan ancaman’. Sementara menurut Black’s Law
Dictionary (2004: 180), blackmail diartikan sebagai ‘a threatening demand made without
justification’. Sinonim dengan extortion, yaitu suatu perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan
cara melawan hukum seperti tekanan atau paksaan. Pengertian yang diberikan Black’s Law
Dictionary lebih mendekati dari maksud hukum terhadap pemerasan sebagai sebuah kejahatan atau
tindak pidana.
Terkait tindak pidana pemerasan unsur pidananya bisa saja berbeda antara hukum satu
negara dengan negara lain dan tergantung pada hukum positif dari negara bersangkutan. Di
Indonesia sendiri suatu perbuatan digolongkan sebagai tindak pidana pemerasan adalah
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 368 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau
supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Berdasarkan rumusan Pasal 368 KUHP tersebut, maka terdapat empat inti delik pemerasan,
yakni; Pertama; dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dalam hal ini
tindakan seseorang melakukan pemerasan tidak saja untuk dirinya sendiri, tetapi termasuk tindakan
pemerasan yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Kedua, secara melawan hukum. Ketiga,
memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman. Dalam konteks ini bagaimana bentuk
8
pemaksaan dan ancaman itu harus pula didalami sedemikian rupa. Keempat, untuk memberikan
sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan si-kena peras atau kepunyaan
orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapus piutang.
Memahami unsur utama dari tindak pidana pemerasan itu, maka apakah suatu perbuatan
masuk kedalam suatu tindak pidana pemerasan sangat ditentukan oleh adanya niat atau kehendak
pelaku memaksa orang lain dengan paksaan, kekerasan atau disertai pengancaman, sehingga orang
lain itu sejatinya tidak akan melakukan sesuatu apabila tidak ada pemaksaan dari sipelaku
pemerasan. Misalnya seseorang tidak akan menyerahkan sejumlah uang kepunyaannya apabila tidak
ada pemaksaan, ancaman dari si-pemeras.
Terkait dengan tindak pidana pemerasan yang terkadang selalu didalilkan oleh si-pemerasan
bahwa barang yang ada pada orang lain baik seluruhnya atau sebagian milik orang itu, belum jatuh
ke tangan pelaku. Atau dengan perkataan lain, barang tersebut masih dalam penguasaan pelaku.
Keadaan seperti itu tidaklah membebaskan seseorang sebagai telah melakukan tindak pidana
pemerasan. Dalam kaitan ini terdapat yurisprudensi yakni Putusan Mahkamah Agung RI No.81
K/PID/1982 tanggal 19 Juli 1982 dengan kaidah hukumnya:
Tidaklah menjadi syarat Pasal 368 KUHP bahwa Terdakwa telah benar-benar menerima apa
yang dimintanya, karena perbuatan Terdakwa meminta uang dengan disertai ancaman dianggap
telah terbukti , semua unsur delik pemerasan telah dipenuhi.
Oleh sebab itu, suatu tindakan atau perbuatan jatuh kedalam suatu tindak pidana
pemerasan tidaklah selalu harus disertai dengan berpindahnya barang milik seseorang kepada
sipelaku pemerasan.

Anda mungkin juga menyukai