Anda di halaman 1dari 6

1.

Teori efektifitas hukum dalam menanggulangi tindak pidana korupsi

Efektivitas Hukum menurut Hans Kelsen adalah apakah orang pada kenyataannya
berbuat menurut suatu cara untuk menghindari sanksi yang diancamkan oleh norma
hukum atau bukan, dan apakah sanksi tersebut benar dilaksanakan bila syaratnya
terpenuhi atau tidak terpenuhiTeori efektivitas hukum adalah teori yang mengkaji dan
menganalisis tentang keberhasilan dan kegagalan dan faktor yang mempengaruhi dalam
pelaksanaan dan penerapan hukum. Ada tiga kajian teori efektivitas hukum yang
meliputi:
a. Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum
b. Kegagalan dalam pelaksanaannya
c. Faktor yang mempengaruhinya
Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat itu
telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum adalah mengatur kepentingan
manusia. Apabila norma hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun
penegak hukum maka pelaksanaan hukum itu dikatakan efektif dalam implementasinya.
Hal ini dapat dilihat pada masyarakat dalam melaksanakan aturan hukum tersebut.
Kegagalan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa ketentuan hukum yang telah
ditetapkan tidak mencapai maksudnya atau tidakberhasil dalam implementasinya.
Faktor yang mempengaruhi adalah hal yang menyebabkan atau berpengaruh
dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan itu meliputi substansi hukum, struktur
hukum, dan kultur hukum. Norma hukum dikatakan berhasil apabila norma tersebut
ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum itu sendiri.
Faktor yang mempengaruhi kegagalan dalam pelaksanaan adalah karena norma
hukum yang kabur atau tidak jelas, aparat penegak hukum yang korup, atau masyarakat
yang tidak sadar atau taat pada norma hukum tersebut.

2. Bentuk tindak pidana menurut objeknya


a. Merugikan Keuangan Negara

1
Pengertian murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh orang, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), dan penyelenggara negara yang melawan
hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan tindak pidana korupsi. Jenis
korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal
2 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016.

b. Suap-Menyuap
Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Suap-
menyuap terjadi terjadi jika terjadi transaksi atau kesepakatan antara kedua belah
pihak
Suap menyuap dapat terjadi kepada PNS, hakim maupun advokat, dan dapat
dilakukan antar pegawai ataupun pegawai dengan pihak luar. Suap antar pegawai
dilakukan guna memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan
pihak luar dilakukan ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai
pemerintah agar dimenangkan dalam proses tender.
Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa pasal
UU 31/1999 dan perubahannya, yaitu:
a. Pasal 5 UU 20/2021;
b. Pasal 6 UU 20/2021;
c. Pasal 11 UU 20/2021;
d. Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2021;
e. Pasal 13 UU 31/1999.
c. Penggelapan dalam Jabatan
Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan
uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang
khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti
suap untuk melindungi pemberi suap, dan lain-lain.

2
Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal
8 UU 20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.
d. Pemerasan
Pemerasan adalah perbuatan dimana petugas layanan yang secara aktif
menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat
layanannya, walau melanggar prosedur. Pemerasan memiliki unsur janji atau
bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut.Pemerasan diatur dalam
Pasal 12 huruf (e), (g), dan (h) UU 20/2001.

e. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang
dapat membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang
yang melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan
paling lama tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak
Rp350 juta.

f. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan


Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12
huruf (i) UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara
langsung ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai pemerintahan


menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender dan mengupayakan
kemenangannya

g. Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila

3
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan:
1. Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
2. Yang nilainya kurang dari Rp, 10 juta, maka pembuktian gratifikasi pada
suap dibuktikan oleh penuntut umum.

3. Mekanisme pemeriksaan tindak pidana korupsi, ditinjau dari segi kerugian dan dasar
hukumnya.
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian
negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Mekanisme proses pemeriksaan tindak pidana korupsi berdasarkan
kerugiannya adanya pembuktian terbalik, Dalam penjelasan UU No. 31 Tahun 1999
menjelaskan bahwa sistem pembuktian terbalik yang digunakan adalah bersifat terbatas
dan berimbang yakni, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentan seluruh harta
bendanya, harta benda istrinya, atau suami, anak, dan harta benda setipa orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
Sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang
disempurnakan dengan dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU
No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini ketentuan Pasal 37 UU No 31 Tahun 1999 dirubah
rumusannya menjadi dua pasal yakni Pasal 37 dan Pasal 37 A UU No. 21 Tahun 2001.
Tidak terdapat banyak perubahan dalam perubahan Pasal 37 ini. Dalam penjelasan pasal 37
dikatakan bahwa pasal ini sebagai konsekuensi berimbang diterapkannya pembuktian
terbalik terhadap terdakwa.Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang
berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga
tak bersalah (presumption of innocent) dan menyalahkan diri sendiri ( non self
incrimination).
Berdasarkan isi pasal 37 dan pasal 37 A serta penjelasannya maka sistem
pembuktian terbalik secara murni dapat diterapkan. Namun menurut Pasal 37 A ayat (2),

4
apabila terdakwa tidak mampu membuktikan asal kekayaannya maka Jaksa Penuntut
Umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya.Sehingga disini sistem
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbanglah yang kembali digunakan.

4. Dampak korupsi pada masyarakat serta solusi berdasarkan teori hukum


Korupsi mewujud dalam berbagai bentuk serta menyebabkan berbagai dampak,
baik pada ekonomi dan masyarakat luas. Berbagai hasil penelitian mengungkap dampak
negatif. Di antara penyebab paling umum korupsi adalah lingkungan politik dan
ekonomi, etika profesional dan moralitas, serta kebiasaan, adat istiadat, tradisi dan
demografi. Korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi operasi bisnis,
lapangan kerja, dan investasi. Korupsi juga mengurangi pendapatan pajak dan efektivitas
berbagai program bantuan keuangan. Tingginya tingkat korupsi pada masyarakat luas
berdampak pada menurunnya kepercayaan terhadap hukum dan supremasi hukum,
pendidikan dan akibatnya kualitas hidup, seperti akses ke infrastruktur hingga perawatan
kesehatan.
Ada beberapa upaya yang dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi
diantaranya Engkus, E., Suparman, yakni:
1. Strategi preventif, strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan
diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap
penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat
meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang
dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini
melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan
mampu mencegah adanya korupsi.
2. strategi deduktif, strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama
dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi,
maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya dan seakuratakuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan
tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi,
sehingga sistem- sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang
cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal

5
ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu
hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi represif, strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan
diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan
tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar
pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk
dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan
tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya
harus dilakukan secara terintregasi.

Anda mungkin juga menyukai