Anda di halaman 1dari 7

Tugas Mata Kuliah Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Korupsi

Disusun Oleh :

NAMA : M.A. ALGERYA STEELY


NIM : 207810130

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN. PTIK

JAKARTA

2021

Konsep Korupsi
Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selain
itu, untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran
hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi,
perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi sudah lama berkembang yang berada dimanapun ternyata tidak datang
begitu saja, dan keberadaannya sudah mengalami proses pembelajaran yang cukup
lama artinya bahwa korupsi sering kali terjadi secara sistematis dan sering kali
dilakukan secara berulang kali (dianggap benar dan biasa). Korupsi merupakan
tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau
organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Korupsi atau Rasuah (Bahasa Latin :
Corruptio dari kata kerja Corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok) dalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai
negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak. (Wikipedia)
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Perbuatan melawan hukum
b. Penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana,
c. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Jenis tindak pidana korupsi diantaranya, tetapi bukan semuanya, adalah :
• Memberi atau menerima hadiah atau janji
• Penggelapan dalam jabatan
• Pemerasan dalam jabatanIkut serta dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara), dan
• Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/ penyelenggara negara)

Konsep Pelayanan Publik

Pelayanan public terdiri atas dua kata yakni pelayanan dan publik, menurut Kolter
(sampara lukman, 2000) pelayanan merupakan setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Dalam hal ini kolter menekankan bahwa
hasil dari suatu pelayanan itu sendiri adalah kepuasan dan pelayanan sendiri harus
dianggap sebagai kegiatan yang menguntungkan.

Sementara itu, kolter (dalam Paimin Napitupulu) mengungkapkan sebagai


karakteristik dalam pelayanan, yakni :
a. Intangibility (tidak berwujud), tidak dapat dilihat, diraba, dicium, dirasa, atau
didengar sebelum terlaksananya transaksi. Penerima pelayanan tidak akan bias
mengetahui bagaimana pelayan itu sebelum menjalaninya sendiri.
b. Inserparability (tidak dapat dipisahkan), dalam hal ini pelayanan terbentuk dari dua
komponen yakni pemberi pelayanan dan si penerima pelayan itu sendiri. Oelh karena itu,
hasil pelayanan sebenarnya tercipta dari si pemberi terhadap si penerima itu sendiri dan
bukan hanya bergantung apda si pemberi saja.
c. Variability (berubah-rubah dan bervariasi), jasa pelayanan yang diberikan tentulah
tidak selalu sama tergantung siapa yang dilayani, kapan dan dimana tempatnya.
d. Perishability (cepat hilang, tidak tahan lama), karakteristik pelayanan digambarkan
sebagai suatu yang hanya dapat dirasakan dalam jangka waktu tertentu saja dan tidaklah
bertahan lama.

Konsep Integritas

Jack Welch, dalam bukunya yang berjudul “winning” mengatakan, “integritas


adalah sepatah kata yang kabur (tidak jelas). Orang-orang yang memiliki integritas
mengatakan kebenaran, dan orang-orang itu memegang kata-kata mereka. Mereka
betanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di masa lalu, mengakui
kesalahan mereka dan mengoreksinya. Mereka mengetahui hukum yang berlaku
dalam negara mereka, industry mereka dan perusahaan mereka- baik yang tersurat
maupun yang tersirat-dan mentaatinya. Mereka bermain untuk menang secara
bersih, seturut peraturan yang berlaku.

Dalam konsep integritas diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

• Pebajat pemerintahan yang berkewajiban melaksanakan pelayanan publik


telah di sumpah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing untuk
menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku padanya,

• pelanggaran sumpah dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan


oknum pejabat tersebut merupakan tindakan yang tidak mencerminkan
bahwa mereka memiliki integritas yang baik dan tidak selayaknya
mengemban tugas sebagai pejabat pemerintahan.

• Pejabat setingkat diatasnya harus selalu menginatkan dan bertanggung


jawab moral disetiap tindakan yang dilakukan oleh anggota yang
dibawahnya.

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan
serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di
luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta
mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini
disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.
Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-
negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka
mempermudah proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat
kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem
perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam
menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh
pemerintah.

Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan dalam
sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan
korupsi, terdapat beberapa ketentuan pengembalian dan mekanisme pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi. Namun, berbagai peraturan perundang-undangan
yang di dalamnya mengatur tentang pengembalian aset masih memiliki kelemahan-
kelemahan.

Pertama, fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi masih terbatas pada pengembalian aset di dalam negeri dan tidak ada
ketentuan yang mengatur makanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
yang ditempatkan di luar negeri. Kedua, di dalam peraturan perundang-undangan
tersebut belum diatur landasan hukum serta wewenang untuk melaksanakan kerja
sama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiga,
peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan tindak pidana korupsi saat ini, dibandingkan dengan ketentuan-
ketentuan tindak pidana korupsi, khususnya ketentuan tentang pengembalian aset di
dalam UNCAC.

UNCAC merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,


khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama Indonesia.
Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia sebagai salah satu
negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat permasalahan-permasalahan
yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak dapat memaksimalkan usaha
pengembalian aset.

Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan


dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif, sehingga memerlukan
kerjasama antar negara yang lebih erat karena dalam kenyataannya hasil korupsi dari
negara ketiga sering ditempatkan dan diinvestasikan di negara lain berdasarkan
kerahasiaan bank yang bersifat konvensional.
Definisi dan Mekanisme Pengembalian Aset

Dalam UNCAC tidak dijelaskan pengertian pengembalian aset Menurut Matthew H.


Fleming, dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati
bersama. Fleming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan
bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut,
dirampas, dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.

Pendapat Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior,
An Economic Taxonomy: Draft for Comments, melihat pengembalian aset
sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan,
penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan
dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan
adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-
keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana
lainnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, pengembalian aset tidak mempunyai definisi yang baku.
Penulis menilai pengembalian aset tidak hanya merupakan proses saja, tetapi juga
merupakan upaya penegakan hukum melalui serangkaian maknisme hukum tertentu.
Untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, berdasarkan pandangan-pandangan
dari sarjana-sarjana sebelumnya, penulis merumuskan pengertian pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi sebagai berikut:

Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara
korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas,
menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana
korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun
perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak,
dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak
pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak
pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/
atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Penerapan dan Faktor Penghambat di Indonesia

Selama empat tahun lebih Indonesia telah meratifikasi UNCAC (2003), Indonesia sudah
melakukan banyak perubahan serta kemajuan dalam upayanya memberantas korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir secara tidak langsung berdasarkan
UNCAC ini menandakan bahwa terdapat perubahan atas kemauan yang konkrit dalam
memberantas korupsi. Dalam pelaksanaannya, Indonesia sudah melaksanakan
ketentuan-ketentuan UNCAC secara umum sebagai proses pengembalian aset yang
dilakukan Indonesia, seperti melakukan kerja sama bilateral, melakukan bantuan hukum
timbal balik (mutual legal assistance), melakukan upaya penelusuran aset melalui
perbankan dari negara lain, dan lain sebagainya.

Pada kenyataannya aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri dan
aset yang berhasil dikembalikan ke Indonesia perbedaannya sangat besar.
Perbandingan aset yang masih di luar negeri masih lebih banyak dibandingkan aset-aset
hasil tindak pidana korupsi yang sudah berhasil di bawa kembali ke dalam negeri. Bahkan
dapat dikatakan belum satupun aset korupsi yang dikembalikan. Hal ini tidak terjadi
begitu saja, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada prakteknya seringkali
muncul dan menjadi faktor utama yang menghambat proses pengembalian aset.

Faktor-faktor penghambat atau permasalahan tersebut antara lain:

1. Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di Indonesia

Semenjak UNCAC di adopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal
31 Oktober 2003, Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April
2006.

Hingga saat ini, pemerintah belum membentuk suatu peraturan pelaksana terhadap
keberlakuan UNCAC di Indonesia. UNCAC menyediakan sarana kepada para negara
korban untuk dapat melakukan kerja sama internasional dalam upaya pengembalian
aset, tetapi setiap negara peserta harus mempunyai suatu peraturan nasional yang dapat
memberlakukan UNCAC tersebut.

Permasalahannya di sini adalah ratifikasi Indonesia terhadap UNCAC tidak menjadikan


penerapan proses pengembalian aset menjadi terlaksana secara maksimal. Karena
Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai proses pengembalian aset yang
didasarkan atas kerja sama internasional.

2. Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya Pemberantasan
Korupsi.

Proses pengembalian aset sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi


memerlukan dukungan kuat dari pemerintah negaranya. Kemauan politik pemerintah
merupakan faktor utama yang menentukan dalam berhasil tidaknya suatu upaya
pemberantasan korupsi di suatu negara, khususnya terhadap proses pengembalian aset.
Hal ini terlihat dalam proses hukum kasus mantan Presiden Soeharto, di mana hingga
saat Soeharto meninggal pun belum ada satu aset pun (hasil tindak pidana korupsi) yang
berhasil dikembalikan.
Kesimpulan dan Rekomendasi

• Mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-


undangan pemberantasan tindak pidana korupsi dan KUHAP terlalu sederhana
dan masih bersifat konvensional sehingga tidak memungkinkan pengembalian
aset secara efektif dan efisien. Indonesia perlu menyesuaikan peraturan
perundang-undangannya dengan prinsip-prinsip dan standar-standar yang
berlaku secara universal sebagaimana tercantum dalam UNCAC 2003.

• Semenjak Indonesia meratifikasi UNCAC, proses pemberantasan korupsi


terhadap pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak menghasilkan
peningkatan yang signifikan. Sedangkan Indonesia sudah mempunyai semua
perlengkapan serta fasilitas dalam melakukan pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi. Ini disebabakan kemauan politik (political will) pemerintah yang
tidak kuat dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh para pejabat
Indonesia, khususnya Mantan Presiden Soeharto.

Sebagai rekomendasi, Indonesia perlu menyusun undang-undang serta peraturan


pelaksana yang mengatur mekanisme pengembalian aset termasuk mekanisme
mengenai kerja sama internasional dalam pencegahan tindak pidana korupsi dari dalam
atau yang ke luar negeri.

Dalam hubungan internasional, Indonesia harus aktif menyuarakan aksinya mengenai


pemberantasan korupsi di negaranya di dalam forum-forum internasional seperti
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga masyarakat internasional sadar dan yakin
bahwa Indonesia mempunyai tekad kuat dalam pemberantasan korupsi, yang pada
akhirnya akan mempermudah kerja sama internasional dengan negara-negara lain
dalam proses pengembalian aset.

Anda mungkin juga menyukai