Anda di halaman 1dari 9

STOP GRATIFIKASI

Kenali, Pahami Waspadai …!

Gratifikasi merupakan bentuk KORUPSI

Hindari Gratifikasi

Dilarang menerima dan memberikan hadiah berupa


uang, makanan, maupun barang dalam bentuk
apapun

Gratifikasi dapat mengakibatkan terjerat kasus


korupsi, gangguan ketentraman hati dan jatuhnya
harga diri ..!

GRATIFIKASI

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. (Penjelasan
Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001)

PENGECUALIAN

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 30 hari sejak menerima
gratifikas (Pasal 12 C ayat (1)&(2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001)

UNSUR-UNSUR GRATIFIKASI

1. Gratifikasi diperoleh dari pihak yang memiliki hubungan jabatan dengan penerima.

Makna dari unsur “berhubungan dengan jabatan” tersebut ditafsirkan oleh Arrest Hoge Raad
(Putusan Mahkamah Agung Belanda) tanggal 26 Juni 1916 sebagai berikut:

a. Tidaklah perlu pegawai negeri/penyelenggara negaraberwenang melakukan hal-hal yang dikehendaki atau
diminta oleh pihak pemberi akan tetapi,cukup bahwa jabatannya memungkinkan untuk berbuat sesuai
kehendak pemberi;
b. “Berhubungan dengan jabatan” tidak perlu berdasarkan undang-undang atau ketentuan administrasi, tetapi
cukup jabatan tersebut memungkinkan baginya untuk melakukan apa yang dikehendaki pemberi.

2. Penerimaan gratifikasi tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima.

a. Penerimaan gratifikasi dilarang oleh hukum yang berlaku. Hal ini tidak dibatasi aturan hukum tertulis
semata, namun juga menyentuh aspek kepatutan dan kewajaran yang hidup dalam masyarakat.
b. Unsur ini tidak menghendaki berbuat/tidak berbuatnya pegawai negeri/penyelenggara negarasebelum
ataupun sebagai akibat dari pemberian gratifikasi.
c. Penerimaan yang memiliki konflik kepentingan.

3. Gratifikasi yang diterima tersebut tidak dilaporkan pada KPK dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima.

Pelaporan gratifikasi dianggap telah dilakukan oleh penerima gratifikasi jika memenuhi syarat di
bawah ini:

a. Laporan gratifikasi disampaikan pada KPK atau saluran lain yang ditunjuk KPK, seperti Unit Pengendali
Gratifikasi padaKementerian/Lembaga/Organisasi Lainnya/Pemerintah Daerah (K/L/O/P) yang telah
mengimplementasikan Sistem Pengendalian Gratifikasi;
b. Laporan gratifikasi harus berisi informasi lengkap yang dituangkan dalam Formulir Laporan Gratifikasi yang
ditetapkan oleh KPK;
c. Telah dinyatakan lengkap dan diterima oleh KPK.
SANKSI

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00(dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

Pentingnya Unit Pengendali Gratifikasi dalam Sebuah Institusi


Arinda Rintan Bestari
Selasa, 30 Juni 2020   |   2782 kali

     
          Dalam arti luas, gratifikasi merupakan pemberian. Pengaturan dan penyebutan gratifikasi
secara spesifik dikenal sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang memberikan kewajiban bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara untuk melaporkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap
penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau
kewajiban penerima. Jika gratifikasi yang dianggap pemberian suap tersebut tidak dilaporkan
pada KPK, maka terdapat risiko pelanggaran hukum baik pada ranah administratif ataupun
pidana.
            Terdapat juga keragaman pemahaman tentang gratifikasi. Ada yang memahami gratifikasi
identik dengan sesuatu yang selalu salah, amoral, bahkan menyamakan gratifikasi dengan suap.
Mengacu pada Penjelasan Pasal 12B UU Tipikor, kata gratifikasi sesungguhnya bermakna netral,
yaitu: pemberian dalam arti luas yang dapat berbentuk uang, barang atau fasilitas lainnya.
Gratifikasi menjadi sesuatu yang terlarang ketika pihak penerima adalah pegawai negeri atau
penyelenggara Negara, penerimaan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas
dan kewajiban penerima. Gratifikasi itulah yang disebut pada Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor
sebagai “gratifikasi yang dianggap pemberian suap”.
           Di lingkungan Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara
khusus menegaskan larangan menerima gratifikasi bagi seluruh pegawai di lingkungan
Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Hal ini dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di
Lingkungan Kemenkeu yang telah ditetapkan Menteri Keuangan pada tanggal 27 Januari 2017.
             Tiga Lapis Pertahanan (Three Lines of Defense) adalah poin penting untuk membangun
integritas pencegahan korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan. Pertahanan pertama (first
line of defense) adalah pemahaman tentang nilai-nilai Kementerian Keuangan, dimana role
model-nya adalah atasan langsung atau Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sendiri. Sedangkan
pertahanan lapis kedua (second line of defense) adalah sistem kepatuhan internal di tiap unit
kerja. Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
(APIP) menjalankan peran sebagai Pertahanan Lapis Ketiga (Third line of defense).
           Di lingkungan Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
(DJKN), Unit Pengendali Gratifikasi sebagai pertahanan lapis kedua (second line of
defense) memiliki tugas untuk melakukan koordinasi terkait internalisasi atas
ketentuan  gratifikasi dalam penerapan pengendalian gratifikasi, memantau tindak lanjut atas
pemanfaatan gratifikasi  yang ditetapkan menjadi milik negara atau milik pelapor/penerima
gratifikasi serta melakukan monitoring dan evaluasi penerapan ketentuan pengendalian gratifikasi
di kantor wilayah DJKN atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
            Unit Pengendali Gratifikasi harus bisa melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya,
sehingga bisa menunjukkan wajah Kementerian Keuangan yang terbaik yang bisa ditunjukkan,
menjadi role model yang baik, santun, jelas, serta berintegritas. Karena dengan demikian
Kementerian Keuangan di seluruh pelosok Indonesia dapat dilihat sebagai institusi yang diisi
dengan orang-orang yang baik dan memancarkan value (nilai-nilai) yang terpuji.
Penulis : Arinda Rintan Bestari - Kanwil DJKN Kalselteng

Usulkan Gratifikasi Seks Diatur, Dosen


Pidana Ini Berikan Alasannya
https://www.hukumonline.com/berita/a/usulkan-gratifikasi-seks-diatur--dosen-pidana-
ini-berikan-alasannya-lt5c74a016c3b3f

Penafsiran ekstensif dapat digunakan. Hakim berwenang membuat penafsiran


hukum.

Oleh: 
Muhammad Yasin
Dalam seminar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi
Indonesia yang berlangsung di kampus Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok Senin (18/2), banyak muncul
gagasan menarik yang perlu dimasukkan ke dalam RUU KUHP.
Salah satunya, gagasan tentang perlunya pengaturan gratifikasi
seks. Usul itu disampaikan secara terbuka oleh Mahmud Mulyadi,
dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, ketika
tampil sebagai pembicara dalam seminar itu.

Gagasan itu berangkat dari rahasia umum bahwa ada kasus


korupsi yang ditangani dan disidangkan di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi bersinggungan dengan layanan jasa seks yang
diduga dilakukan terdakwa. Namun layanan seks itu tak diungkap
lebih jauh di pengadilan karena fokus persidangan adalah pada
pembuktian tuduhan korupsinya.

Mahmud Mulyadi mengakui bahwa dalam hukum positif Indonesia,


gratifikasi seks masih multitafsir dan diperdebatkan apakah layak
diproses atau tidak. Perdebatannya adalah mengkualifikasikan
layanan seks dalam rumusan tindak pidana korupsi. “Masuk
hadiahkah atau pemberian sesuatu,” ujar doktor ilmu hukum itu
kepada hukumonline.

Anda bosan baca berita biasa?


Kami persembahkan untuk Anda produk jurnalisme hukum terbaik.
Kami memberi Anda artikel premium yang
komprehensif dari sisi praktis maupun akademis, dan diriset
secara mendalam.
Hanya Rp42.000/bulan
Berlangganan Sekarang 
 

Penerimaan uang atau barang lain oleh terdakwa kasus korupsi


pada dasarnya untuk memperoleh kenikmatan, sama seperti jasa
layanan seks yang mungkin difasilitasi orang tertentu untuk
mendapat keuntungan dari seorang penyelenggara negara. Inilah
yang jadi persoalan, apakah layanan itu bisa dikualifikasi sebagai
hadiah atau pemberian sesuatu.

Jawaban atas pertanyaan itu memang tidak mudah. Ada jalan


berliku untuk menjerat pelaku baik menggunakan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun KUHP. KUHP pun
lebih menitikberatkan pada kriminalisasi muncikari. Karena itu, kata
Mahmud, salah satu  kemungkinannya adalah menggunakan tafsir
ekstensif. “Kalau bisa memang ada tafsir ekstensif dalam
penemuan hukum,” ujarnya.

(Baca juga: Jalan Berliku Menjerat Penerima Gratifikasi Seks)

Mahmud membandingkan dengan munculnya jenis-jenis baru


narkotika dan zat terlarang. Di satu sisi, jenis baru itu tak masuk
daftar yang disebutkan dalam Undang-Undang; tetapi di sisi lain
aparat terus menemukan jenis baru yang mengandung zat serupa
dengan narkotika. Dalam konteks ini, aparat penegak hukum hanya
bisa menggunakan penafsiran luas seraya menunggu revisi
perundang-undangan.

Konsekuensi dari samar-samar pasal yang dapat dikenakan,


hingga kini, aparat penegak hukum tak pernah mengungkap
layanan seks yang diterima terdakwa dan memasukkannya sebagai
bentuk gratifikasi. Dalam Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi disebutkan ‘setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya’. Bagi ketentuan ini
berlaku sistem pelaporan dalam rentang waktu 30 hari.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Akhiar Salmi


termasuk yang berpandangan gratifikasi seks bisa dikenakan Pasal
12B UU Pemberantasan Tipikor tadi. Seperti dimuat dalam berita
sebelumnya, Akhiar mengatakan gratifikasi dapat diartikan secara
luas. Meskipun demikian, ia mengakui proses pembuktiannya tak
semudah membalik telapak tangan.

(Baca juga: Gratifikasi Seks Dapat Dijerat UU Tipikor)

Tafsir ekstensif adalah salah satu bentuk penafsiran dalam


penemuan hukum. Artinya penafsiran yang memperluas makna.
Sudikno Metrokusumo, dalam Mengenal Hukum Suatu
Pengantar (1995) menjelaskan bahwa dalam penafsiran ekstensif
dilampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal
(de gramatikale of taalkundige interpretatie).

Contohnya adalah penafsiran kata ‘menjual’ dalam Pasal 1576 BW.


Pasal ini menyebutkan ‘dengan dijualnya barang yang disewa,
suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan
kecuali apabila ini telah diperjanjian pada waktu menyewakan
barang’. Kata ‘menjual’ dalam pasal ini tidak hanya dimaknai
sebagai jual beli, tetapi diperluas untuk setiap peralihan hak milik.
Sejak tahun 1906, kata ’menjual’ dalam pasal itu ditafsirkan oleh
Hooge Raad secara luas, yakni bukan semata-mata berarti jual beli,
tetapi juga peralihan atau pengasingan.

 
Contoh lain adalah perluasan makna ‘saksi’ dalam Pasal 1 angka
26 dan 27 KUHAP. Saksi dalam pasal ini hanyalah orang yang
melihat, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa pidana. Pada
Agustus 2011, Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung
memperluas makna saksi, meliputi pula orang yang mengetahui
peristiwa pidana.

(Baca juga: Larangan Menggunakan Analogi dalam RUU KUHP


Terus Diperdebatkan)

Mahmud berpendapat penggunaan tafsir ekstensif tidak dilarang.


Dalam hukum pidana, yang dilarang adalah analogi. Lagipula, kata
dia, di tengah ketidakjelasan peraturan perundang-undangan,
hakim punya kewajiban untuk menemukan hukum (rechtsvinding).
Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara karena alasan tidak
ada undang-undang yang mengatur pokok perkara yang akan
diadili. Hakimlah yang berwenang menafsirkan. “Untuk lebih
memperjelasnya, maka Rancangan KUHP harus mengatur itu,” ujar
Mahmud Mulyadi.

NEGATIVE LIST

Tidak semua pemberian dari pihak lain bisa dikategorikan sebagai gratifikasi yang disebut
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Negative List. Bersumber dari pasal 12B UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK membuat daftar
pemberian yang tidak termasuk dalam unsur pasal tersebut dengan daftarnya sebagai
berikut:
1. Pemberian dalam keluarga yaitu kakek/nenek, bapak, ibu, mertua, suami, menantu,
keponakan, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan
2. Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham
pribadi yang berlaku umum
3. Manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian atau organisasi yang sejenis
berdasarkan keanggotaan yang berlaku umum
4. Perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan
kedinasan seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan sejenis
yang berlaku umum
5. Hadian tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya yang dimaksudkan sebagai
alat promosi sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan berlaku umum
6. Hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan pelombaan atau kompetisi yang
diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan
7. Penghargaan atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja
yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
8. Hadiah langsung atau undian, diskon atau rabat, voucher point reward atau souvenir
yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan
9. Kompensasi atau honor atas profesi diluar kegiatan kedinasan yang tidak terkait
dengan tugas dan kewajiban sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak
melanggar peraturan
10. Kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti kompensasi yang
diterima terkait kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan
pembiayaan lainnya
11. Karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan,
pernikahan, dll
12. Pemberian terkait pernikahan, pertunangan, kematian, dll dengan batasan nilai
sebesar Rp 1.000.000,00 setiap pemberi
13. Pemberian terkait musibah atau bencana
14. Pemberian sesame rekan kerja dalam rangka pisah sambut, pension, mutase jabatan,
ulang tahun dll, maksmimal Rp 300.000,00 perorang, dengan total pemberian tidak
melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam satu tahun pemberi yang sama
sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan.
15. Pemberian sesame rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya
dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai Rp. 200.000,00 perorang, dengan
total pemberian tidak melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam satu tahun
pemberi yang sama
16. Pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum
17. Pemberian cendera mata atau plakat kepada instansi dalam rangka hubungan
kedinasan dan kenegaraan

Anda mungkin juga menyukai