Anda di halaman 1dari 6

GRATIFIKASI

Pendahuluan
Kasus dugaan suap oleh Menteri Pertanian kepada Pimpinan KPK telah
memberikan suatu gambaran ketika seseorang memiliki kekuasaan untuk
mempidanakan orang lain atau menilai untuk menjadi suatu tindak pidana dapat
memanfaatkan jabatannya untuk pemerasan. Kalangan masyarakat tentu menjadi
apatis “betapa hukum itu sebatas tulisan”. Di sisi lainnya, nuansa hari besar
keagamaan, hari perkawinan anak pejabat negara dimana pemberian dari berbagai
kalangan dinyatakan sebagai tanda untuk mempererat relasi. Aktualisme dari pemberian
itu bisa dimanfaatkan sebagai media lobi dengan motivasi tertentu khususnya yang
berhubungan dengan faktor ekonomi apabila nilai yang diberikan terkadang bisa “tidak
masuk akal”. Sebagaimana sinyalemen yang disampaikan oleh ICW (Indonesian
Corruption Watch) yang minta kepada aparat penegak hukum agar dapat membatasi
nilai yang diterima tersebut sehingga masuk akal sebagai sebuah hadiah pemberian
yang tidak mengandung dimensi lain yang sifatnya melanggar hukum.

Analisis Gratifikasi Dalam Pengaturan Hukum


Istilah Gratisifikasi ini mengingatkan pada istilah lain yaitu grafitasi dalam ilmu
falak sebagai kecenderungan daya tarik pada kinerja alam semesta, khususnya yang
berhubungan dengan gaya tarik bumi. Gratifikasi sangat berbeda dengan grafitasi.
Gratifikasi adalah konsep hukum yang berarti hadiah balas jasa ( toelage) atau
tunjangan jabatan yang diberikan oleh majikan kepada pekerja di luar upah atau gaji
yang menjadi hak karyawan. Balas jasa itu sering diberikan pada kesempatan pada hari-
hari raya atau perolehan keuntungan atau hubungan dinas yang berlangsung lama yang
mencerminkan hubungan emosional yang erat sebagai relasi.
Sinyalemen adanya pemberian berupa benda atau fasilitas yang tidak masuk
akal yang beredar di kalangan pejabat menengah sampai pejabat tinggi itu mendorong
adanya pengaturan secara hukum yang berangkat dari konsep hukum pidana materiil
bahwa harusnya memang ada pembatasan yang dasarnya masuk akal terhadap hadiah
yang diterima oleh seorang pejabat. Pembatasan ini diperlukan untuk mencegah
penerimaan seorang pejabat dari sumber pendapatan lain dengan mengatasnamakan
momentum tertentu.
Pemberian dalam arti luas dapat dimaknai sebagai pemberian uang, barang,
rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan
Cuma-cuma dan fasilitas lainnya baik yang diterima dari dalam negeri maupun luar
negeri baik yang menggunakan sarana elektronik maupun non elektronik termasuk
kualifikasi gratifikasi.
2

UU No. 1 Tahun 2023

Pasal 605
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling
banyak kategori V, Setiap Orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
l2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud pada ayat (l), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana
denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.

Pasal 606
(1) Setiap Orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau
janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak kategori IV.
(2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV.

UU No. 20 Tahun 2001

Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
a. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
3

b. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah, padahal


diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pegadilan untuk diadili;
e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongann, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-
olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
g. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau menyerahkan barang, seolah-
olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
h. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perudang-undangan; atau
i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
pengawasan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau
sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
4

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai


berikut :
a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaran negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Apabila dicermati, suap sebenarnya secara formal malah memberikan kesan


adanya hubungan jabatan sedang gratifikasi merupakan tindakan yang jauh lebih
halus, terselubung dan bisa dibingkai dalam berbagai dalih seperti parsel pada musim
lebaran. Bahkan sarana yang dipergunakan pun tidak mesti secara konvensional berupa
barang yang secara riil bisa dilihat. Transfer uang melalui sarana elektronik dan cara
lain juga termasuk kualifikasi gratifikasi.
Pejabat yang menerima pemberian yang sifatnya gratifikasi, berkewajiban
melaporkan penerimaan tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika
nilainya di atas Rp 10 juta. Sedangkan di bawah nilai itu harus melaporkan kepada
kantor kejaksaan untuk diperiksa. Dengan catatan jika di atas Rp10 juta, ada atau
tidaknya kandungan gratifikasi di dalamnya maka belaku pembuktian terbalik. Artinya
bahwa pemberian itu bukan suap harus dibuktikan sendiri oleh penerima gratifikasi.
Sedangkan jika nilainya dibawah Rp 10 juta maka berlaku pembuktian biasa dalam arti
5

bahwa penuntut umum dalam hal ini kejaksaan yang harus membuktikan kalau
memang pemberian yang diterima itu merupakan gratifikasi. Siapa pun yang
mengetahui sinyalemen gratifikasi wajib melaporkan ke instansi penegak hukum
tersebut dengan ancaman jika ternyata mengetahui adanya tindak pidana tetapi tidak
melaporkan, akan terkena jaring hukum dengan ancaman yang tidak ringan pula.
Batasan sebagaimana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi itu sebenarnya sudah cukup lama karena diadopsi dari KUHP Lama. Namun
realisasinya berbenturan dengan aspek sosiokultural masyarakat yang sudah terbiasa
dengan jalinan perkawanan atau persahabatan atau kolegialisme melalui pemberian
yang terkadang bisa berlebihan dan tidak masuk akal. Benturan pada aspek
sosiokultural inilah yang kiranya memerlukan klarifikasi, tentang keharusan melaporkan
setiap pemberian tersebut dalam bentuk yang bagaimana. Terjemahan normatif, akan
begitu banyak pekerjaan dari KPK dan Penuntut Umum yang harus menindaklanjuti tiap
laporan pemberian parsel. Karena nilai di bawah Rp10 juta itu mengharuskan setiap
pejabat melaporkan parsel yang diterimanya kepada KPK (jika taksiran sementara
nilainya diatas 10 juta) sedangkan nilainya di bawah Rp 10 juta harus melaporkan ke
kejaksaan. Pertanyaannya, kalau akan konsisten dengan keadaan semacam itu, apakah
aparat yang ada akan bisa menyandang untuk melakukan pemeriksaan apa lagi yang
sifatnya on the spot?.
Kelemahan hukum kita akan selalu berangkat dari asumsi bahwa suatu
permasalahan akan selesai jika sudah diatur dalam peraturan perundangan. Padahal
begitu aturan dibuat, justru merupakan awal dari beban yang bisa sangat panjang
waktunya untuk upaya penegakan hukum yang justru menjadi permasalahan
sebenarnya. Itulah sebabnya pada aspek lain, begitu banyak aturan yang tidak bisa
diaplikasikan dan hanya berhenti pada tahap pengaturan karena memang aturan yang
dibuat tidak berangkat dari pemahaman yang riil terhadap aspek-asepek sosiokultural
masyarakat.
Seperti penerimaan parsel menjelang Idul Fitri, dikehendaki agar para pejabat
harus bisa menengarai apakah yang diterima itu sebagai pemberian yang berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Penilaian inilah
yang sebenarnya sangat relatifan tidak bisa dikuantitatifkan. Pada akhirnya klarifikasi
terhadap apakah suatu pemberian, khususnya parsel pada masa lebaran, hadiah ulang
tahun, perkawinan, kematian dan momentum individual lainnya termasuk gratifikasi
atau tidak hanya akan tinggal aturan. Sebab diperlukan tingkat kesadaran hukum yang
sangat tinggi dari pejabat penerima dan orang-orang yang mengetahui sinyalemen
gratifikasi untuk melaporkan tiap pemberian tersebut. Bukan mustahil justru perilaku
pejabat yang melaporkan parsel yang diterimanya sebagai suatu tindakan nyleneh dan
sok moralis.
Dari aspek sosiokultural, agar suatu peraturan itu aplikatif dipertanyakan apakah
gratifikasi itu diperlukan aturan, apalagi masuk dalam delik yang mengerikan yaitu
korupsi?. Soalnya pengaturan mengenai hal itu sebagaimana dinyatakan sudah lengkap
diatur dalam KUHP. Tinggal bagaimana para penegak hukum membuat terjemahan
6

sehingga dapat diaplikasikan dan jauh lebih penting dari itu adalah itikad baik para
pejabat yang tentunya memerlukan dasar moral yang tinggi untuk mematuhinya.
Kekinian pergeseran tengah terjadi dimana pemerasan oleh penegak hukum korupsi
kepada para pejabat terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan
menyalahgunakan kewenangan. Apakah memeras kepada koruptor lebih berdampak
luas atau sama menyuburkan korupsi dan bahkan sekarang ini masuk keranah politik
dimana saling menekan dari segi kekuasaan politik. Itulah dimensi kekinian dari
perjalanan hukum tindak pidana korupsi.

AF. 23 Nop 2023.

Anda mungkin juga menyukai