Pendahuluan
Kasus dugaan suap oleh Menteri Pertanian kepada Pimpinan KPK telah
memberikan suatu gambaran ketika seseorang memiliki kekuasaan untuk
mempidanakan orang lain atau menilai untuk menjadi suatu tindak pidana dapat
memanfaatkan jabatannya untuk pemerasan. Kalangan masyarakat tentu menjadi
apatis “betapa hukum itu sebatas tulisan”. Di sisi lainnya, nuansa hari besar
keagamaan, hari perkawinan anak pejabat negara dimana pemberian dari berbagai
kalangan dinyatakan sebagai tanda untuk mempererat relasi. Aktualisme dari pemberian
itu bisa dimanfaatkan sebagai media lobi dengan motivasi tertentu khususnya yang
berhubungan dengan faktor ekonomi apabila nilai yang diberikan terkadang bisa “tidak
masuk akal”. Sebagaimana sinyalemen yang disampaikan oleh ICW (Indonesian
Corruption Watch) yang minta kepada aparat penegak hukum agar dapat membatasi
nilai yang diterima tersebut sehingga masuk akal sebagai sebuah hadiah pemberian
yang tidak mengandung dimensi lain yang sifatnya melanggar hukum.
Pasal 605
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling
banyak kategori V, Setiap Orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
l2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud pada ayat (l), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana
denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.
Pasal 606
(1) Setiap Orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau
janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak kategori IV.
(2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
a. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
3
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
4
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
bahwa penuntut umum dalam hal ini kejaksaan yang harus membuktikan kalau
memang pemberian yang diterima itu merupakan gratifikasi. Siapa pun yang
mengetahui sinyalemen gratifikasi wajib melaporkan ke instansi penegak hukum
tersebut dengan ancaman jika ternyata mengetahui adanya tindak pidana tetapi tidak
melaporkan, akan terkena jaring hukum dengan ancaman yang tidak ringan pula.
Batasan sebagaimana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi itu sebenarnya sudah cukup lama karena diadopsi dari KUHP Lama. Namun
realisasinya berbenturan dengan aspek sosiokultural masyarakat yang sudah terbiasa
dengan jalinan perkawanan atau persahabatan atau kolegialisme melalui pemberian
yang terkadang bisa berlebihan dan tidak masuk akal. Benturan pada aspek
sosiokultural inilah yang kiranya memerlukan klarifikasi, tentang keharusan melaporkan
setiap pemberian tersebut dalam bentuk yang bagaimana. Terjemahan normatif, akan
begitu banyak pekerjaan dari KPK dan Penuntut Umum yang harus menindaklanjuti tiap
laporan pemberian parsel. Karena nilai di bawah Rp10 juta itu mengharuskan setiap
pejabat melaporkan parsel yang diterimanya kepada KPK (jika taksiran sementara
nilainya diatas 10 juta) sedangkan nilainya di bawah Rp 10 juta harus melaporkan ke
kejaksaan. Pertanyaannya, kalau akan konsisten dengan keadaan semacam itu, apakah
aparat yang ada akan bisa menyandang untuk melakukan pemeriksaan apa lagi yang
sifatnya on the spot?.
Kelemahan hukum kita akan selalu berangkat dari asumsi bahwa suatu
permasalahan akan selesai jika sudah diatur dalam peraturan perundangan. Padahal
begitu aturan dibuat, justru merupakan awal dari beban yang bisa sangat panjang
waktunya untuk upaya penegakan hukum yang justru menjadi permasalahan
sebenarnya. Itulah sebabnya pada aspek lain, begitu banyak aturan yang tidak bisa
diaplikasikan dan hanya berhenti pada tahap pengaturan karena memang aturan yang
dibuat tidak berangkat dari pemahaman yang riil terhadap aspek-asepek sosiokultural
masyarakat.
Seperti penerimaan parsel menjelang Idul Fitri, dikehendaki agar para pejabat
harus bisa menengarai apakah yang diterima itu sebagai pemberian yang berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Penilaian inilah
yang sebenarnya sangat relatifan tidak bisa dikuantitatifkan. Pada akhirnya klarifikasi
terhadap apakah suatu pemberian, khususnya parsel pada masa lebaran, hadiah ulang
tahun, perkawinan, kematian dan momentum individual lainnya termasuk gratifikasi
atau tidak hanya akan tinggal aturan. Sebab diperlukan tingkat kesadaran hukum yang
sangat tinggi dari pejabat penerima dan orang-orang yang mengetahui sinyalemen
gratifikasi untuk melaporkan tiap pemberian tersebut. Bukan mustahil justru perilaku
pejabat yang melaporkan parsel yang diterimanya sebagai suatu tindakan nyleneh dan
sok moralis.
Dari aspek sosiokultural, agar suatu peraturan itu aplikatif dipertanyakan apakah
gratifikasi itu diperlukan aturan, apalagi masuk dalam delik yang mengerikan yaitu
korupsi?. Soalnya pengaturan mengenai hal itu sebagaimana dinyatakan sudah lengkap
diatur dalam KUHP. Tinggal bagaimana para penegak hukum membuat terjemahan
6
sehingga dapat diaplikasikan dan jauh lebih penting dari itu adalah itikad baik para
pejabat yang tentunya memerlukan dasar moral yang tinggi untuk mematuhinya.
Kekinian pergeseran tengah terjadi dimana pemerasan oleh penegak hukum korupsi
kepada para pejabat terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan
menyalahgunakan kewenangan. Apakah memeras kepada koruptor lebih berdampak
luas atau sama menyuburkan korupsi dan bahkan sekarang ini masuk keranah politik
dimana saling menekan dari segi kekuasaan politik. Itulah dimensi kekinian dari
perjalanan hukum tindak pidana korupsi.