Anda di halaman 1dari 9

TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari Bahasa latin yaitu Corruptus dan Corruption, artinya buruk, bejad,
menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau memfitnah.
Dalam Black Law Dictionary di modul Tindak Pidana Korupsi KPK, Korupsi adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan
yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya "sesuatu perbuatan
dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan
penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan tugas dan kebenarankebenaran lainnya.
Tindak pidana korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan kewenangan dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan dan perekonomian negara ataupun sektor swasta secara melawan hukum.

 Jenis Delik

U N S U R "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" merupakan unsur inti


(bestandeel delict) dalam Pasal 2 dan 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 ("UU PTPK").
Semula, unsur ini berbunyi "yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara", dimana kata "dapat" tersebut bermakna delik formil, yakni adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan undang-
undang, bukan dengan timbulnya akibat (kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara).
Dalam perkembangannya, kata "dapat" tersebut tidak boleh lagi digunakan dalam unsur Pasal
2 dan 3 UU PTPK. Adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 25/PUU-XIV/2016
tanggal 5 Desember 2016 yang memutuskan kata "dapat" dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3
UU PTPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sejak itulah, tindak pidana korupsi dalam pasal ini berubah dari delik formil menjadi delik
materil. Dengan kata lain, unsur "kerugian keuangan negara" (sebagai akibat) yang dulu
bukan unsur inti, sekarang menjadi unsur inti, bahkan unsur utama, yang harus dibuktikan
terlebih dahulu.
 Unsur – unsur dan Tindak pidana korupsi
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:

 perbuatan melawan hukum


 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
 memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

 Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang


Nomor 31 Tahun 1999 adalah:
1. Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan dengan
Pasal 20 ayat (1) sampai (7), yaitu:
2. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
3. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
4. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
5. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili orang lain.
6. Hakim dapat memerintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintah supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang
pengadilan.
7. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di
tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
8. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
9. Melawan hukum baik formil maupun materil.
10. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
11. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
12. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
13. sebab-sebab Korupsi
2. Bentuk-bentuk korupsi dalam hukum positif.

1. Merugikan Keuangan Negara


Pengertian murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
orang, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), dan penyelenggara negara yang melawan hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan dengan melakukan tindak pidana korupsi.
Jenis korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal
2 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016. Adapun unsur-unsur
korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dalam kedua pasal tersebut adalah:

Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No.
25/PUU-XIV/2016 25/PUU-XIV/2016
 Setiap orang;  Setiap orang;
 Memperkaya diri sendiri, orang lain atau  Dengan tujuan menguntungkan diri
suatu korporasi; sendiri atau orang lain atau suatu
 Dengan cara melawan hukum; korporasi;
 Merugikan keuangan negara atau  Menyalahgunakan kewenangan,
perekonomian negara. kesempatan atau sarana;
 Yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan;
 Merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara
2. Suap-menyuap
Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar
urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi terjadi jika terjadi
transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak.
Suap menyuap dapat terjadi kepada PNS, hakim maupun advokat, dan dapat dilakukan antar
pegawai ataupun pegawai dengan pihak luar. Suap antar pegawai dilakukan guna
memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar dilakukan
ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam
proses tender.
Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa pasal UU 31/1999 dan
perubahannya, yaitu:
a. Pasal 5 UU 20/2021;
b. Pasal 6 UU 20/2021;
c. Pasal 11 UU 20/2021;
d. Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2021;
e. Pasal 13 UU 31/1999.
Contohnya Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU 20/2001 dan Pasal 13 UU 31/1999 yang
unsur-unsur pasalnya adalah sebagai berikut.

Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Pasal 13 UU 31/1999
20/2001 20/2001
 Setiap orang;  Setiap orang;  Setiap orang;
 Memberi sesuatu atau  Memberi sesuatu;  Memberi hadiah atau
menjanjikan sesuatu;  Kepada pegawai negeri janji;
 Kepada pegawai negeri atau atau penyelenggara  Kepada pegawai negeri;
penyelenggara negara; negara;  Dengan mengingat
 Dengan maksud supaya  Karena atau kekuasaan atau
berbuat atau berhubungan dengan wewenang yang
tidak berbuat sesuatu dala sesuatu yang melekat pada jabatan
m jabatannya sehingga bertentangan dengan atau kedudukannya atau
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan oleh pemberi
kewajibannya. atau tidak dilakukan hadiah/janji dianggap,
dalam jabatannya melekat pada jabatan
atau kedudukan
tersebut.
3. Penggelapan dalam Jabatan
Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi
pemberi suap, dan lain-lain.
Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU
20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.
Contoh penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001 memiliki unsur-
unsur sebagai berikut.[9]
a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu;
b. Dengan sengaja;
c. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain
menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu;
d. Uang atau surat berharga;
e. Yang disimpan karena jabatannya.
Menurut R. Soesilo, penggelapan memiliki kemiripan dengan arti pencurian. Bedanya dalam
pencurian, barang yang dimiliki belum ada di tangan pencuri. Sedangkan dalam penggelapan,
barang sudah berada di tangan pencuri waktu dimilikinya barang tersebut.
4. Pemerasan
Pemerasan adalah perbuatan dimana petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau
meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar
prosedur. Pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari
pemberian tersebut.
Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf (e), (g), dan (h) UU 20/2001 memiliki unsur-unsur
sebagai berikut.

Pasal 12 huruf e UU 20/2001 Pasal 12 huruf f UU 20/2001 Pasal 12 huruf g UU 20/2001


 Pegawai negeri atau  Pegawai negeri atau  Pegawai negeri atau
penyelenggara negara penyelenggara negara; penyelenggara negara;
 Dengan maksud  Pada waktu menjalankan  Pada waktu menjalankan
menguntungkan diri tugas; tugas;
sendiri atau orang lain;  Meminta atau menerima  Meminta, menerima, atau
 Secara melawan hukum; pekerjaan, atau memotong pembayaran;
 Memaksa seseorang penyerahan barang;  Kepada pegawai
memberikan sesuatu,  Seolah-olah merupakan negeri/penyelenggara
membaya, atau menerima utang kepada dirinya; negara yang lain atau
pembayaran dengan  Diketahuinya bahwa hal kepada kas umum;
potongan, atau untuk tersebut bukan  Seolah-olah pegawai
mengerjakan sesuai bagi merupakan utang. negeri/penyelenggara
dirinya; negara yang lain atau
 Menyalahgunakan kepada kas umum
kekuasaan. mempunyai utang
kepadanya;
 Diketahuinya bahwa hal
tersebut bukan
merupakan utang.
5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat
membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang yang
melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350 juta.
Berdasarkan pasal tersebut, berikut adalah contoh perbuatan curang:
1. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang;
2. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
3. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia (“TNI”) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
4. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau
kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12 huruf (i) UU
20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara langsung ataupun
tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan
padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai pemerintahan menyertakan
perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender dan mengupayakan kemenangannya.
7. Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan:
1. Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
2. Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Adapun sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
gratifikasi sebagaimana tersebut di atas, adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit
Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.[15]
Namun demikian, perlu Anda catat bahwa apabila penerima melaporkan gratifikasi
kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima, maka sanksi atau
ancaman pidana terkait gratifikasi tidak berlaku.
3. BENTUK- BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNCAC
Pasal 15 Suap pejabat publik nasional
Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan legislatif dan tindakan lain yang mungkin
perlu untuk ditetapkan sebagai tindak pidana, bila dilakukan dengan sengaja:
a. Janji, penawaran atau pemberian, kepada pejabat publik, secara langsung atau
tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, untuk pejabat itu
sendiri atau orang atau badan lain, agar pejabat itu bertindak atau tidak
bertindak dalam pelaksanaan tugasnya. tugas resmi;
b. Permohonan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak
langsung, keuntungan yang tidak semestinya, untuk pejabat itu sendiri atau
orang atau badan lain, agar pejabat tersebut bertindak atau tidak bertindak
dalam menjalankan tugas resminya.
Pasal 16 Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi publik internasional
1. Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan legislatif dan tindakan lain yang
mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana, bila dilakukan
dengan sengaja, janji, penawaran atau pemberian kepada pejabat publik asing
atau pejabat organisasi internasional publik, secara langsung atau tidak
langsung, dari keuntungan yang tidak semestinya, untuk pejabat itu sendiri atau
orang atau badan lain, agar pejabat tersebut bertindak atau tidak bertindak
dalam menjalankan tugas resminya, untuk mendapatkan atau mempertahankan
bisnis atau keuntungan lain yang tidak semestinya sehubungan dengan
pelaksanaan bisnis internasional.
2. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan
legislatif dan tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai
tindak pidana, bila dilakukan dengan sengaja, ajakan atau penerimaan oleh
pejabat publik asing atau pejabat dari organisasi publik internasional, secara
langsung atau tidak langsung, dari suatu keuntungan yang tidak semestinya,
bagi pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain, agar pejabat tersebut
bertindak atau tidak bertindak dalam menjalankan tugas resminya.
Pasal 17 Penggelapan, penyelewengan, atau pengalihan harta lainnya oleh pejabat
publik
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif dan tindakan lain yang
mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana, bila dilakukan dengan sengaja,
penggelapan, penyelewengan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik untuk
keuntungannya atau untuk keuntungan orang atau badan lain, dari setiap properti, dana atau
sekuritas publik atau swasta atau barang berharga lainnya yang dipercayakan kepada pejabat
publik berdasarkan posisinya.
Pasal 18 Perdagangan pengaruh
Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan legislatif dan
tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk ditetapkan sebagai tindak pidana, bila
dilakukan dengan sengaja:
a. Janji, penawaran atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain, secara
langsung atau tidak langsung, keuntungan yang tidak semestinya agar pejabat
publik atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang
seharusnya dengan maksud untuk memperoleh dari administrasi atau publik
otoritas Negara Pihak suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi penghasut
asli tindakan tersebut atau bagi orang lain mana pun;
b. Permohonan atau penerimaan oleh pejabat publik atau orang lain, secara
langsung atau tidak langsung, keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya
sendiri atau untuk orang lain agar pejabat publik atau orang tersebut
menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diduga dengan maksud
untuk memperoleh keuntungan yang tidak semestinya dari administrasi atau
otoritas publik Negara Pihak.
Pasal 19 Penyalahgunaan fungsi
Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah legislatif
dan lainnya yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana, bila
dilakukan dengan sengaja, penyalahgunaan fungsi atau posisi, yaitu pelaksanaan atau
kegagalan untuk melakukan suatu tindakan, yang melanggar undang-undang. , oleh pejabat
publik dalam menjalankan fungsinya, untuk tujuan mendapatkan keuntungan yang tidak
semestinya untuk dirinya sendiri atau untuk orang atau badan lain.
Pasal 20 Pengayaan yang tidak sah
Tunduk pada konstitusinya dan prinsip-prinsip dasar dari sistem hukumnya, setiap Negara
Pihak harus mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah legislatif dan tindakan
lain yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana, bila dilakukan
dengan sengaja, pengayaan yang tidak sah, yaitu peningkatan yang signifikan dalam aset
pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara wajar sehubungan dengan penghasilannya
yang sah.
Pasal 21 Suap di sektor swasta
Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan legislatif dan
tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk ditetapkan sebagai tindak pidana, bila
dilakukan dengan sengaja dalam kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan:
a. Janji, penawaran atau pemberian, secara langsung atau tidak langsung,
keuntungan yang tidak semestinya kepada setiap orang yang memimpin atau
bekerja, dalam kapasitas apa pun, untuk badan sektor swasta, untuk orang itu
sendiri atau untuk orang lain, agar dia , melanggar kewajibannya, bertindak atau
tidak bertindak;
b. Permohonan atau penerimaan, secara langsung atau tidak langsung, keuntungan
yang tidak semestinya oleh siapa pun yang memimpin atau bekerja, dalam
kapasitas apa pun, untuk badan sektor swasta, untuk orang itu sendiri atau untuk
orang lain, agar dia, dalam pelanggaran kewajibannya, bertindak atau tidak
bertindak.
Pasal 22 Penggelapan properti di sektor swasta
Setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk mengambil tindakan legislatif dan
tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk ditetapkan sebagai tindak pidana, bila
dilakukan dengan sengaja dalam kegiatan ekonomi, keuangan atau komersial, penggelapan
oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam kapasitas apa pun, dalam entitas sektor
swasta dari setiap properti, dana atau sekuritas swasta atau barang berharga lainnya yang
dipercayakan kepadanya berdasarkan posisinya.
Pasal 23 Pencucian hasil kejahatan
1. Setiap Negara Pihak harus mengambil, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
hukum nasionalnya, tindakan legislatif dan tindakan lain yang mungkin
diperlukan untuk ditetapkan sebagai tindak pidana, bila dilakukan dengan
sengaja:

a.
i. Konversi atau transfer properti, mengetahui bahwa
properti tersebut adalah hasil kejahatan, untuk tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
properti yang tidak sah atau untuk membantu setiap
orang yang terlibat dalam melakukan tindak pidana
asal untuk menghindari konsekuensi hukum dari
tindakannya;
ii. Penyembunyian atau penyamaran tentang sifat,
sumber, tempat, letak, perpindahan atau pemilikan
yang sebenarnya dari atau hak-hak yang berkenaan
dengan harta benda, padahal diketahui bahwa harta
itu hasil kejahatan;
b. Tunduk pada konsep dasar sistem hukumnya:
i. Perolehan, pemilikan atau penggunaan harta,
mengetahui, pada waktu penerimaan, bahwa harta itu
adalah hasil kejahatan;
ii. Turut serta dalam, bersekutu dengan atau bermufakat
untuk melakukan, mencoba melakukan dan
membantu, bersekongkol, memfasilitasi dan
menasihati pelaksanaan salah satu tindak pidana
yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini.
2. Untuk tujuan melaksanakan atau menerapkan ayat 1 pasal ini:
a. Setiap Negara Pihak harus berusaha untuk menerapkan ayat 1
pasal ini pada tindak pidana asal yang seluas-luasnya;
b. (Setiap Negara Pihak wajib memasukkan sebagai tindak pidana
asal sekurang-kurangnya serangkaian tindak pidana komprehensif
yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini;
c. Untuk tujuan sub-ayat (b) di atas, tindak pidana asal mencakup
tindak pidana yang dilakukan baik di dalam maupun di luar
yurisdiksi Negara Pihak yang bersangkutan. Namun, tindak pidana
yang dilakukan di luar yurisdiksi suatu Negara Pihak akan menjadi
tindak pidana asal hanya jika perbuatan yang bersangkutan
merupakan tindak pidana menurut hukum domestik Negara tempat
perbuatan itu dilakukan dan akan menjadi tindak pidana menurut
hukum domestik Negara Pihak yang menerapkannya. atau
menerapkan pasal ini seandainya itu dilakukan di sana;
d. Setiap Negara Pihak harus memberikan salinan undang-
undangnya yang memberlakukan pasal ini dan setiap perubahan
selanjutnya atas undang-undang tersebut atau uraiannya kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa;
e. Jika disyaratkan oleh prinsip-prinsip dasar hukum nasional suatu
Negara Pihak, dapat ditetapkan bahwa kejahatan yang diatur
dalam ayat 1 pasal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang
melakukan tindak pidana asal.

Anda mungkin juga menyukai