Anda di halaman 1dari 28

Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 1

TINDAK PIDANA KORUPSI

A. DEFINISI TINDAK PIDANA KORUPSI


Korupsi berasal dari bahasa latin “Corrupti” atau “Corruptus”
selanjutnya diserap ke bahasa Indonesia menjadi “Korupsi” yang
berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, dan lain
sebagainya.1 Bank Dunia menyatakan bahwa korupsi merupakan
penyalahgunaan kedudukan publik untuk kepentingan pribadi. 2
Merujuk pada pendapat H.A. Brasz atas kutipan dalam buku
Mochtar Lubis dan James C. Scott yang berjudul Bunga Rampai
Korupsi dinyatakan bahwa pengertian korupsi adalah:3
“Penggunaan yang korup dari kekuasaan yang
dialihkan, atau sebagai penggunaan secara diam-diam
kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang
yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan
kemampuan formal, dengan merugikan tujuan-tujuan
kekuasaan asli dengan menguntunkan orang luas atas
dalil menggunakan kekuasaan itu dengan sah”.

Kofi Annan menyatakan Tindak Pidana Korupsi sebagai wadah


berbahaya dengan efek merusak yang sangat besar terhadap
masyarakat. Dengan demikian menilik sifat merugikan korupsi yang
maha dahsyat, berdampak sistemik, endemik, hingga menimbulkan
pengaruh luas yang dapat melanggar hak sosial dan ekonomi
masyarakat Tindak Pidana Korupsi dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes). Sejalan dengan
pemaknaan korupsi sebagai tindak pidana luar biasa, Romli
Atmasasmita menyatakan bahwa:
1
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT Gramedia
Pusaka Utama, 1984, hlm. 7.
2
Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Modul Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:
Kejaksaan Republik Indonesia, 2019, hlm. 7.
3
Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1995, hlm.
4
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 2

“Dengan memperhatikan perkembangan Tindak Pidana


Korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun sisi kualitas,
dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di
Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary
crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang
sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Selanjutnya
jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang
sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia
sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini jelas
bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak
ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia”.4

Sebagai upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,


secara tegas negara mengaturnya dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang Tipikor).

B. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI


1. KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor:
“Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara seumur hidup atau penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 3 Undang-Undang Tipikor:


4
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, 2002, hlm. 25.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 3

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri


sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
saranan yang ad apadana karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan/atau denda paling seikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

UNSUR DESKRIPSI
Unsur setiap orang bersifat umum, yakni
siapa saja baik itu orang perseorangan
atau korporasi dan tidak disyaratkan
adanya sifat tertentu yang harus dimiliki
Setiap orang
(persoonlijk bestandeel) apakah pelaku
Tindak Pidana Korupsi selaku pegawai
negeri atau bukan pegawai negeri, tetapi
mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya yang dilakukan.
Mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil “maupun” dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila
Melawan hukum
perbuatan tersebut dianggap tercela,
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 4

Unsur memperkaya dapat dibuktikan


Memperkaya diri dengan adanya pertambahan nilai
sendiri atau orang kekayaan atau perubahan cara hidup
lain atau seperti orang kaya terhadap pelaku korupsi
korporasi antara sebelum dengan sesudah
dilakukannya perbuatan tersebut.
Merugikan berarti menjadi rugi atau
berkurang, oleh karena itu kerugian
keuangan negara dapat dikatakan sebagai
berkurangnya uang, surat berharga, dan
Merugikan
barang yang nyata dan pasti jumlahnya
keuangan negara
sebagai akibat dari perbuatan melawan
atau
hukum baik sengaja maupun tidak sengaja
perekonomian
(lalai).5 Penilaian dan penetapan ada
negara
tidaknya kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara ini merupakan
wewenang Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP).6
Unsur menguntungkan dapat dikaitkan
Menguntungkan dengan adanya fasilitas atau kemudahan
diri sendiri atau sebagai akibat dari perbuatan
orang lain atau menyalahgunakan wewenang. Adapun arti
suatu badan menguntungkan di sini dikaitkan dengan
mendapatkan untung dalam arti finansial.

Pertimbangan hukum dalam Putusan


Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

5
Lihat ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara.
6
Lihat ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 5

813K/Pid/1987 menyatakan bahwa


terlaksananya unsur ini cukup dinilai dari
kenyataan yang terjadi dan dihubungkan
dengan perilaku Terdakwa sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki, karena jabatan
atau kedudukan yang ada padanya.
Menyalahgunakan Ketentuan unsur ini dapat diartikan
kewenangan, sebagai penggunaan kewenangan,
kesempatan, atau kesempatan atau sarana oleh pelaku
sarana yang ada Tindak Pidana Korupsi untuk tujuan lain
padanya karena dari maksud diberikannya kewenangan,
jabatan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya
kedudukan tersebut yang pada intinya demi
mendapatkan suatu keuntungan.7

Penghilangan frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3


Undang-Undang Tipikor
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016
menyatakan bahwa frasa “dapat” dalam Undang-Undang Tipikor
dikatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Penghilangan frasa “dapat” dalam rumusan pasal tersebut
sejatinya turut merubah ketentuan delik, yakni merubah delik
formil menjadi delik materiil sehingga mensyaratkan akibat yakni
terhadap kerugian keungan negara harus dihitung secara nyata
atau pasti dan bukan hanya sekadar kerugian potensial.

Ketentuan pidana
Ketentuan penjatuhan pidana dalam Undang-Undang Tipikor
dapat diperberat hingga pada penjatuhan pidana mati bilamana

7
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 38.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 6

korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Yang termasuk ke


dalam kategori keadaan tertentu yakni apabila dana yang
dikorupsi diperuntukkan untuk kepentingan: 8
a. Penanggulangan keadaan bahaya;
b. Penanggulangan bencana alam nasional;
c. Penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas;
d. Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter; dan
e. Pengulangan Tindak Pidana Korupsi.

Contoh Kasus:

Dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus-TPK/2019/PN Tte, Majelis


hakim menyatakan bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan
terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi kerugian keuangan
negara secara berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Tipikor Jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP. Dalam perkara ini Terdakwa selaku Bendahara Desa Aru
Irian dalam kurun waktu Maret 2019 hingga Mei 2019 secara
melawan hukum menggunakan anggaran Alokasi Dana Desa
(ADD) dan Dana Desa (DD) untuk memperkaya diri sendiri
sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah
Rp168.037.510,00 (seratus enam puluh delapan juta tiga puluh
tujuh ribu lima ratus sepuluh rupiah).

2. SUAP-MENYUAP
Suap merupakan istilah yang mengacu pada suatu hadiah atau
janji yang diberikan atau diterima. Suap merupakan jenis Tindak

8
Lihat penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 7

Pidana Korupsi yang paling banyak dilakukan oleh para


penyelenggara negara. Unsur esensial dari delik suap antara lain:
a. Menerima hadiah atau janji;
b. Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan;
c. Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

Peristiwa suap-menyuap ini tidak merugikan keuangan negara


secara langsung seperti halnya jenis Tindak Pidana Korupsi
kerugian keuangan negara. Namun demikian akan berakibat
secara tidak langsung terhadap kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara, karena sejumlah uang atau benda
berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau
penyelenggara negara sebagai dalam hal suap-menyuap
merupakan hasil perbuatan melawan hukum, meyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi bukan berasal dari uang negara
atau asset negara melainkan dari uang atau asset orang yang
melakukan penyuapan.9 Adapun jenis penyuapan dapat
dibedakan menjadi:
a. Penyuap aktif, yakni pihak yang memberikan atau
menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang yang
bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat
penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam
jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang
bersangkutan menolak pemberian atau janji tersebut,
pelaku tetap dapat dikenakan delik penyuapan karena
perbuatan telah selesai dilakukan.

9
Ermasnyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 67.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 8

b. Penyuap pasif, yakni pihak yang menerima pemberian atau


janji baik berupa uang maupun barang.

Contoh Kasus:

Dalam Putusan Nomor 8/Pid.Sus-TPK/2020/PN Bdg, Majelis


hakim menyatakan bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan
terbukti melakukan tindak pidana suap secara berlanjut
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP. Dalam perkara ini Terdakwa melakukan penyuapan yang
seluruhnya berjumlah Rp10.500.000.000,00 (sepuluh miliar lima
ratus juta rupiah) kepada pengawai negeri atau penyelenggara
negara, yakni Bupati Kabupaten Bekasi dan Kepala Bidang Tata
Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai
balasan telah ditandatanganinya Izin Peruntukan Penggunaan
Tanah (IPPT) sebagai salah satu syarat dalam penerbitan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) untuk PT Lippo Cikarang Tbk
melalui PT Mahkota Sentosa Utama yang mengurus perizian
pembangunan proyek Meikarta.

3. PENGGELAPAN DALAM JABATAN


Penggelapan dalam jabatan dapat dikatakan sebagai penggelapan
dengan adanya pemberatan karena dilakukan oleh orang yang
memegang barang dengan adanya hubungan pekerjaan atau
jabatan atau karena itu mendapatkan upah. 10 Merujuk pada
ketentuan Undang-Undang Tipikor, perbuatan yang termasuk ke

10
Flora Dianti, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi, diakses dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e6247a037c3a/bentuk-
bentuk-tindak-pidana-korupsi/, pada tanggal 15 November 2020, pukul 21.26 WIB.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 9

dalam jenis penggelapan dalam jabatan terdapat dalam pasal-


pasal berikut ini:

Ketentuan Perbuatan
Pasal
Pasal 8 Menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan
uang atau surat berharga tersebut diambil dan
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan pebuatan tersebut.
Pasal 9 Dengan sengaja memalsukan buku-buku atau
daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.
Pasal 10 Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan,
huruf a atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya.
Pasal 10 Membiarkan orang lain menghilangkan,
huruf b menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar tersebut.
Pasal 10 Membantu orang lain menghilangkan,
huruf c menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, atau daftar
tersebut.

4. PEMERASAN
Dalam Undang-Undang Tipikor, perbuatan yang termasuk ke
dalam pemerasan terdapat dalam pasal-pasal berikut ini:
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 10

Ketentuan Perbuatan
Pasal
Pasal 12 Memaksa seseorang memberikan sesuatu,
huruf e membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri.
Pasal 12 Meminta, menerima, atau memotong pembayaran
huruf f kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang.
Pasal 12 Meminta atau menerima pekerjaan, atau
huruf g penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang
kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang.

Contoh Kasus:

Dalam Putusan Nomor 10/Pid.Sus-TPK/2017/PN Mdn, Majelis


hakim menyatakan bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan
terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur
dalam Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 18 Undang-Undang Tipikor.
Dalam perkara ini Terdakwa selaku Bendahara pada Pemerintah
Kabupaten Nias yang statusnya sebagai Pengawai Negeri Sipil,
dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan
hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa dan
meminta sebagian pembayaran uang tunjangan profesi guru yang
dilakukannya melalui cara pemotongan secara langsung dengan
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 11

jumlah keseluruhan Rp155.396.395 (seratus lima puluh lima tiga


ratus sembilan puluh enam ribu tiga ratus sembilan puluh lima
rupiah). Terdakwa mengancam tidak akan membagikan dana
tunjangan profesi guru tersebut bilamana permintaannya tidak
disanggupi oleh korban.

5. PERBUATAN CURANG
Perbuatan curang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Tipikor terdapat dalam pasal-pasal berikut ini:

Ketentuan Perbuatan
Pasal
Pasal 7 Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
ayat (1) membuat bangunan, atau penjual bahan
huruf a bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang atau
barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang.
Pasal 7 Setiap orang yang bertugas mengawasi
ayat (1) pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
huruf b sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 7 Setiap orang yang pada waktu menyerahkan
ayat (1) barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
huruf c atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang.
Pasal 7 Setiap orang yang bertugas mengawasi
ayat (1) penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 12

huruf d Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik


Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Pasal 7 Bagi orang yang menerima penyerahan bahan
ayat (2) bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang.
Pasal 12 Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
huruf h pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang di atasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa
perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.

6. BENTURAN KEPENTINGAN DALAM PENGADAAN


Beberapa bentuk benturan kepentingan antara lain sebagai
berikut:
a. Menerima gratifikasi atau pemberiaan/penerimaan hadiah
atas suatu keputusan/jabatannya;
b. Menggunakan Barang Milik Negara dan/atau jabatannya
untuk kepentingan pribadi/golongan;
c. Menggunakan informasi rahasia jabatan untuk kepentingan
pribadi/golongan;
d. Memberikan akses khusus kepada pihak tertentu tanpa
mengikuti prosedur yang seharusnya;
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 13

e. Dalam proses pengawasan dan pembinaan tidak mengikuti


prosedur karena adanya pengaruh dan/atau harapan dari
pihak yang diawasi;
f. Bekerja di luar pekerjaan pokoknya secara melawan hukum;
g. Memberikan informasi lebih dari yang ditentukan,
keistimewaan maupun peluang dengan cara melawan
hukum bagi calon penyedia barang/jasa;
h. Kebijakan dari pegawai yang berpihak akibat pengaruh,
hubungan dekat, ketergantungan dan/atau pemberian
gratifikasi;
i. Pemberian izin dan/atau persetujuan dari pegawai yang
diskriminatif;
j. Pengangkatan pegawai berdasarkan hubungan dekat/balas
jasa/ rekomendasi/pengaruh dari pegawai lainnya;
k. Pemilihan rekanan kerja oleh pegawai berdasarkan
keputusan yang tidak profesional;
l. Melakukan komersialisasi pelayanan publik;
m. Melakukan pengawasan tidak sesuai norma, standar dan
prosedur yang telah ditetapkan karena adanya pengaruh
dan/atau harapan dari pihak yang diawasi;
n. Menjadi bagian dari pihak yang memiliki kepentingan atas
sesuatu yang dinilai;
o. Menjadi bawahan dari pihak yang dinilai.

Adapun benturan kepentingan dapat terjadi dengan bersumber


dari adanya:
a. Penyalahgunaan wewenang, yaitu dengan membuat
keputusan atau tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan
atau melampaui batas-batas pemberian wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan;
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 14

b. Perangkapan jabatan, yaitu pegawai menduduki dua atau


lebih jabatan publik sehingga tidak bisa menjalankan
jabatannya secara profesional, independen dan akuntabel
selain yang telah diatur dalam Peraturan Perundang
undangan;
c. Hubungan afiliasi, yaitu hubungan yang dimiliki oleh
pegawai dengan pihak tertentu baik karena hubungan
darah, hubungan perkawinan maupun hubungan
pertemanan yang dapat mempengaruhi keputusannya;
d. Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas meliputi
pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya;
e. Kelemahan sistem organisasi, yaitu keadaan yang menjadi
kendala bagi pencapaian tujuan pelaksanaan kewenangan
pegawai yang disebabkan karena struktur dan budaya
organisasi yang ada;
f. Kepentingan pribadi, yaitu keinginan/kebutuhan pegawai
mengenai suatu hal yang bersifat pribadi.

7. GRATIFIKASI
Gratifikasi dapat dimaknai sebagai pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik. 11
11
Lihat penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 15

Ketentuan dalam Undang-Undang Tipikor secara tegas


menyatakan setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap suap apabila tidak melakukan
pelaporan penerimaan gratifikasi tersebut kepada KPK selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima. Setelah pelaporan berhasil
dilakukan, terhadap harta yang diterima tidak otomatis akan
diambil alih oleh negara. Melainkan dilakukan pengecekan asal-
usul harta tersebut terlebih dahulu. Harta hasil gratifikasi
tersebut akan dikembalikan kepada pelapor bilamana hasil
temuan menyatakan bahwa status harta tersebut diperoleh tidak
berkaitan dengan jabatan atau tidak bertentangan dengan tugas
dan kewajibannya.

Gratifikasi yang wajib dilaporkan


Sebagaimana tercantum dalam Buku Pedoman Pengendalian
Gratifikasi yang diterbitkan KPK, berikut merupakan contoh-
contoh gratifikasi yang berkembang dalam praktik dan wajib
dilaporkan oleh penerima gratifikasi kepada KPK, antara lain
gratifikasi yang diterima:12
a. Terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat;
b. Terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran;
c. Terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit,
monitoring dan evaluasi;
d. Terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas (di luar
penerimaan yang sah/resmi dari instansi);
e. Dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;

12
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pedoman Pengendalian Gratifikasi, Jakarta: Komisi
Pemberantasan Korupsi, 2015, hlm. 23.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 16

f. Dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan


kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan
tugas dan kewenangannya;
g. Akibat dari perjanjian kerja sama/kontrak/kesepakatan
dengan pihak lain yang bertentangan dengan undang-
undang;
h. Sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau
setelah proses pengadaan barang dan jasa;
i. Diperoleh dari Pejabat/pegawai atau Pihak Ketiga pada
hari raya keagamaan;
j. Dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan
dan bertentangan dengan kewajiban/tugasnya.

Contoh penerimaan gratifikasi ditinjau dari segala keadaan


(circumstances) yang dapat dianggap terkait dengan jabatan
pegawai negeri/penyelenggara negara sehingga wajib dilaporkan
kepada KPK, antara lain:13
a. Pemberian karena hubungan keluarga, yaitu dari
kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri,
anak/menantu, cucu, besan, paman/bibi, kakak/ adik/
ipar, sepupu, dan keponakan yang memiliki konflik
kepentingan;
b. Penerimaan uang/barang oleh pejabat/pegawai dalam
suatu kegiatan seperti pesta pernikahan, kelahiran, aqiqah,
baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara
agama/adat/tradisi lainnya yang melebihi Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per pemberian per orang;
c. Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang
dialami oleh penerima, bapak/ibu/mertua, suami/istri,
atau anak penerima gratifikasi yang melebihi

13
Ibid., hlm. 24.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 17

Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per pemberian per


orang;
d. Pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut,
pensiun, promosi jabatan, dan ulang tahun yang tidak
dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang (cek,
bilyet giro, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain)
yang melebihi nilai yang setara dengan Rp300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah) per pemberian per orang dengan total
pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1
(satu) tahun dari pemberi yang sama;
e. Pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang
atau tidak berbentuk setara uang (cek, bilyet gori, saham,
deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per pemberian per
orang dengan total pemberian maksimal Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang
sama.

Gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan


Karakteristik gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan secara
umum antara lain:14
a. Berlaku umum, yaitu suatu kondisi pemberian yang
diberlakukan sama dalam hal jenis, bentuk, persyaratan
atau nilai, untuk semua peserta dan memenuhi prinsip
kewajaran atau kepatutan;
b. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. Dipandang sebagai wujud ekspresi, keramah-tamahan,
penghormatan dalam hubungan sosial antar sesama dalam
batasan nilai yang wajar; atau,

14
Ibid., hlm. 25-26.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 18

d. Merupakan bentuk pemberian yang berada dalam ranah


adat istiadat, kebiasaan, dan norma yang hidup di
masyarakat dalam batasan nilai yang wajar.

Bentuk-bentuk gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan, meliputi: 15


a. Pemberian karena hubungan keluarga, yaitu kakek/nenek,
bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, cucu,
besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar,sepupu dan
keponakan, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan.
b. Hadiah (tanda kasih) dalam bentuk uang atau barang yang
memiliki nilai jual dalam penyelenggaraan pesta
pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, dan
potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan
batasan nilai per pemberi dalam setiap acara paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
c. Pemberian terkait dengan Musibah atau Bencana yang
dialami oleh penerima, bapak/ibu/mertua, suami/istri,
atau anak penerima gratifikasi paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
d. Pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut,
pensiun, promosi jabatan, dan ulang tahun yang tidak
dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang yang
paling banyak Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per
pemberian per orang dengan total pemberian
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun
dari pemberi yang sama;
e. Pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang
atau tidak berbentuk setara uang (cek, bilyet gori, saham,
deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) paling banyak
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per pemberian per

15
Ibid.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 19

orang dengan total pemberian maksimal Rp1.000.000,00


(satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang
sama;
f. Hidangan atau sajian yang berlaku umum;
g. Prestasi akademis atau non akademis yang diikuti dengan
menggunakan biaya sendiri seperti kejuaraan, perlombaan
atau kompetisi tidak terkait kedinasan;
h. Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi
atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
i. Manfaat bagi seluruh peserta koperasi pegawai
berdasarkan keanggotaan koperasi pegawai negeri yang
berlaku umum;
j. Seminar kit yang berbentuk seperangkat modul dan alat
tulis serta sertifikat yang diperoleh dari kegiatan resmi
kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi,
pelatihan, atau kegiatan lain sejenis yang berlaku umum;
k. Penerimaan hadiah atau tunjangan baik berupa uang atau
barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi
kerja yang diberikan oleh Pemerintah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau,
l. Diperoleh dari kompensasi atas profesi diluar kedinasan,
yang tidak terkait dengan tupoksi dari pejabat/pegawai,
tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak melanggar
aturan internal instansi pegawai.

8. JENIS TINDAK PIDANA LAINNYA YANG BERKAITAN DENGAN


KORUPSI:
 Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21
Undang-Undang Tipikor);
 Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar (Pasal 22 jo. Pasal 28 Undang-Undang Tipikor);
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 20

 Bank yang tidak memberikan keterangan rekening Tersangka


(Pasal 22 jo. Pasal 29 Undang-Undang Tipikor);
 Saksi atau Ahli yang tidak memberi keterangan atau
memberikan keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 35 Undang-
Undang Tipikor);
 Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan palsu (Pasal 22 jo.
Pasal 36 Undang-Undang Tipikor);
 Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo. Pasal 31
Undang-Undang Tipikor).

C. SEBAB DAN AKIBAT TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI

Andi Hamzah menyatakan beberapa kemungkinan penyebab korupsi


dilakukan, antara lain:16

a. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan


dengan pengeluaran atau nilai kebutuhan;
b. Ketidakberesan manajemen;
c. Modernisasi;
d. Emosi mental;
e. Keberadaan masyarakat yang cenderung apatis; dan
f. Gabungan beberapa faktor lainnya.

Sementara itu akibat negatif yang ditimbulkan dari terjadinya


korupsi adalah sebagai berikut:17

a. Menyebabkan kenaikan biaya administrasi;


b. Mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya
dipakai untuk keperluan masyarakat umum;

16
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Op.Cit., hlm. 17 dan
22.
17
David H. Bayley, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1995, hlm. 97-101.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 21

c. Menimbulkan pengaruh buruk bagi pejabat-pejabat aparat


pemerintahan;
d. Menurunkan martabat pemerintah;
e. Memberi contoh yang tidak baik bagi masyarakat;
f. Membuat para pengambil kebijakan menjadi enggan untuk
mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan bagi
pembangunan;
g. Menghambat waktu pengambilan keputusan, dan lain
sebagainya.

D. HUKUM ACARA PADA TINDAK PIDANA KORUPSI


1. Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan
Penyelidikan dan penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi
dapat dilakukan oleh tiga institusi penegak hukum, yakni
Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Kepolisian memiliki
kewenangan untuk mengusut perkara Tindak Pidana Korupsi
berdasarkan pembagian kewenangan dalam sistem peradilan
pidana. Penyelidik dan penyidik polisi mutatis mutandis
berwenang untuk menangani perkara Tindak Pidana Korupsi.
Sebagai tindak pidana khusus, korupsi juga dapat diselidik dan
disidik oleh penyidik dari Kejaksaan, berdasarkan ketentuan
Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Selain kedua institusi penegak hukum tersebut, wewenang
melakukan penyelidikandan penyidikan juga dimiliki oleh KPK
sebagai lembaga yang sengaja dibentuk atas dasar keadaann
penanganan korupsi oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang belum
optimal dan berfungsi secara efektif.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 22

Hal khusus terkait dengan penyidikan dalam perkara Tindak


Pidana Korupsi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Tipikor
antara lain:
a. Ketentuan Pasal 28, terkait kepentingan penyidikan,
Tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan
atau yang diduga mempunyai hubungan dengan Tindak
Pidana Korupsi yang dilakukan Tersangka;
b. Ketentuan Pasal 29 ayat (1), dalam hal kepentingan
penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang meminta keterangan kepada bank tentang
keadaan keuangan Tersangka atau Terdakwa;
c. Ketentuan Pasal 29 ayat (4) menyatakan bahwa Penyidik,
Penuntut Umum, atau Hakim dapat meminta kepada bank
untuk memblokir rekening simpanan milik Tersangka atau
Terdakwa yang diduga dari korupsi;
d. Ketentuan Pasal 30 menyatakan bahwa Penyidik berhak
membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman
melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana
Korupsi yang sedang diperiksa;
e. Ketentuan Pasal 32, yakni dalam hal penyidik menemukan
dan berpendapat bahwa satu atau lebh unsur Tindak Pidana
Korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata
ada kerugian telah ada kerugian keuangan Negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk
dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi
yang dirugikan untuk mengajukan gugatan;
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 23

f. Ketentuan Pasal 34, yakni dalam hal Tersangka meninggal


dunia pada saat dilaukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penyidik
segera meyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk dilaukan gugatan terhadap
ahli warisnya.

Penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi dilakukan oleh


dua institusi, yaitu Kejaksaan dan KPK. Kejaksaan pada
dasarnya merupakan lembaga penuntutan yang ditetapkan oleh
Undang-undang untuk melaksanakan kewenangan negara di
bidang penuntutan terhadap seluruh tindak pidana umum
ataupun tindak pidana khusus yang diatur di dalam peraturan
perundang-undangan. Sedangkan yang menjadi batasan Tindak
Pidana Korupsi dapat ditangani oleh KPK antara lain:
a. Melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara
Negara;
b. Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat; dan
c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit satu miliar
rupiah.

Dengan adanya batasan tersebut, KPK diharap dapat bekerja


lebih baik dalam melaksanakan tugasnya dan tidak terjadi
tumpang tindih dengan tugas Kepolisian dan Kejaksaan dalam
memberantas korupsi.

2. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan
ini berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota. Pengadilan
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 24

Tindak Pidana Korupsi sejatinya memiliki kewenangan dalam


memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sebagai berikut:18
a. Tindak Pidana Korupsi;
b. Tindak pidana pencucian uang yang tidak pidana aslinya
merupakan Tindak Pidana Korupsi; dan/atau
c. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain
ditentukan sebagai Tindak Pidana Korupsi.

Tidak seperti dalam mengadili perkara biasa pada umumnya,


komposisi majelis hakim dalam sidang Tindak Pidana Korupsi
terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc. Hakim Karier
merupakan hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim Tindak
Pidana Korupsi. Sementara itu Hakim ad hoc adalah seseorang
yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan
undang-undang sebagai hakim Tindak Pidana Korupsi.

Komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan


memutus pekara korupsi berjumlah ganjil sekurang-kurangnya
3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang
hakim. Penentuan komposisi majelis hakim ini didasarkan atas
tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus demi
kasus. Lebih lanjut dalam hal kerugian keuangan negara
berjumlah kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh miliar),
maka Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat
menetapkan majelis hakim berjumlah 3 (tiga) orang, begitupun
seterusnya.19

3. Persidangan In Absentia

18
Lihat ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
19
Lihat ketentuan Pasal 12 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun
2010 tentang Struktur Organisasi Kepaniteraan dan Susunan Majelis Hakim serta
Keterbukaan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 25

Persidangan in absentia merupakan suatu kondisi di mana


dalam suatu persidangan tidak dihadiri oleh Terdakwa.
Persidangan in absentia dapat diterapkan dalam pemeriksaan
perkara Tindak Pidana Korupsi dengan merujuk ketentuan
Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Tipikor dengan rumusan
sebagai berikut:
“Dalam hal Terdakwa telah dipanggil secara sah,
dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa kehadirannya”.

4. Sistem Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi


Pembuktian dalam suatu perkara secara umum dibebankan
sepenuhnya kepada Penuntut Umum. Sementara itu dalam
perkara Tindak Pidana Korupsi diterapkan sistem pembuktian
terbalik quasi, yang mana kewajiban pembuktian tetap
merupakan tanggung jawab Penuntut Umum, tetapi Terdakwa
memiliki hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana didakwakan Penuntut
Umum dalam Surat Dakwaan. Dalam hal Terdakwa tidak
menggunakan haknya untuk membuktikan ketidakbersalahan,
maka tidak juga berakibat pada penjatuhan pidana
terhadapnya. Majelis Hakim dalam perkara tersebut hanya akan
menjadikannya bahan pertimbangan dalam memutus.

E. GUGATAN PERDATA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


Penanganan perkara korupsi tidak selalu harus diselesaikan
menggunakan hukum pidana.20 Dalam keadaan tertentu, suatu
perkara korupsi dapat diselesaikan dengan menggunakan
20
Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Modul Tindak Pidana Korupsi, Op. Cit.,
hlm. 59.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 26

mekanisme hukum perdata. Apabila hasil penyidikan tidak


memberikan cukup bukti adanya Tindak Pidana Korupsi sedangkan
secara nyata terdapat kerugian negara, maka penyidik
menyerahkan hasil penyidikannya kepada pengacara negara untuk
dilakukan gugatan secara perdata. Hal tersebut dikarenakan
terhadap putusan bebas dalam perkara korupsi tidak
menghapuskan hak untuk menuntut kerugian keuangan negara. 21
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Tipikor
bermaksud untuk memaksimalkan upaya pengembalian kerugian
negara akibat Tindak Pidana Korupsi bahkan terhadap Tersangka
atau Terdakwa yang pada saat proses penyidikan atau persidangan
meninggal dunia, tetap dapat dilakukan gugatan perdata terhadap
ahli waris Tersangka atau Terdakwa tersebut.

21
Lihat ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 27

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya,
Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 1984.
Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Modul Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta: Kejaksaan Republik Indonesia, 2019.
David H. Bayley, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1995.
Ermasnyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pedoman Pengendalian Gratifikasi,
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2015.
Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta:
LP3ES, 1995.
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Dokumen Hukum
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun 1999. LN No. 140 Tahun 1999.
TLN No. 3874.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN No. 134 Tahun 2001.
TLN No. 4150.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. UU No. 30 Tahun 2002. LN No. 137
Tahun 2002. TLN No. 4250.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perbendaharaan Negara.
UU No. 1 Tahun 2004. LN No. 5 Tahun 2004. TLN No. 4355.
Booklet Departemen Keilmuan HIMA Pidana 2020 | 28

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Badan Pemeriksa


Keuangan. UU No. 15 Tahun 2006. LN No. 86 Tahun 2006. TLN
No. 4654.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. UU No. 46 Tahun 2009. LN No. 155 Tahun 2009. TLN
No. 5074.
Peraturan Mahkamah Agung tentang Struktur Organisasi Kepaniteraan
dan Susunan Majelis Hakim serta Keterbukaan pada Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi. PERMA No. 1 Tahun 2010.

Anda mungkin juga menyukai