Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PKN

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

DISUSUN OLEH:
KAMULA KHUSNUL CHOTIMAH (223121010)
ABDAN AUFA WAFIUDDIN (223121028)
MUHAMMAD ARIEF (223121043)
KHANSA FADHILAH AFAF (223121050)
FAIZAL NUR ABIDIN (223121057)
MUHAMMAD FIKRI BUKHARI (223121071)

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT , yang telah melipahkan rahmat
serta hidayah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu guna memenuhi
tugas pada mata kuliah Pancasila, dosen pengampu Bp Dr. Subar Junanto, S. Pd., M. Pd.
dengan judul “Pendidikan Anti Korupsi”.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis masih merasa banyak kekurangan baik dalam
teknis penulisan maupun materi pada makalah ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun berbagai pihak demi
kesempurnaan makalah ini kedepannya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian
makalah ini semoga Allah Ta’ala memberikan imbalan kebaikan yang setimpal kepada
mereka. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Surakarta, 08 Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi masih menjadi masalah besar yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Korupsi tidak hanya terjadi pada lingkup pemerintahan dan pemangku
kekuasaan saja, akan tetapi budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme juga kerap terjadi
dikalangan bawah seperti masyarakat umum dan juga dunia pendidikan. Berdasarkan
data Anti-Coruption Clearing House (ACCH) 2018 khusus pada kasus korupsi,
terhitung ada banyak 86% pelaku tindak pidana korupsi memiliki latar belakang
riwayat pendidikan sarjana.
Pendidikan anti korupsi adalah salah satu cara dalam mencegah perilaku koruptif bagi
mahasiswa. Pendidikan dalam pengertian menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya
disebut dengan UU Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Korupsi?
2. Apa saja jenis-jenis Korupsi?
3. Apa saja bidang subbidang dalam KPK?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Korupsi.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis Korupsi.
3. Untuk mengetahui bidang subbidang dalam KPK.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Dalam sejarah kehidupan manusia,korupsi bukan hal baru. Sejak manusia
hidup di masyarakat, sudah tumbuh perilaku koruptif atau menyimpang, yang tidak
sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Manusia dan kelompok sosial yang hidup
dalam persaingan memperebutkan tanah dan sumber daya alam untk keperluan hidup,
telah mendorongnya bertindak menyimpang, memanipulasi, menipu, dan melakukan
segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya,
kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak
ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal
telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption).
Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng,
hingga prezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum,
tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian, muncul
dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie,
selamjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi. Alatas (1987),
menandaskan esensi korupsi sebagai prncurian melalui penipuan dalam situasi yang
mengkhianati kepercayaan. Secara etimologi Korupsi berasal dari bahasa latin:
corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok, adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak
wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
B. Jenis-Jenis Korupsi

1. Merugikan Keuangan Negara


Pengertian murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan penyelenggara negara yang melawan
hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan dengan melakukan tindak pidana korupsi.

 Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016


Setiap orang;
Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
Dengan cara melawan hukum;
Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
 Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016
Setiap orang;
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana;
Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Suap Menyuap
Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi
jika adanya transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak.
Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa pasal UU
31/1999 dan perubahannya, yaitu:
a. Pasal 5 UU 20/2021;
b. Pasal 6 UU 20/2021;
c. Pasal 11 UU 20/2021;
d. Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2021;
e. Pasal 13 UU 31/1999.
 Pasal 5 ayat (1) huruf a UU 20/2001
Setiap orang;
Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu;
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya.
 Pasal 5 ayat (1) huruf b UU 20/2001
Setiap orang;
Memberi sesuatu;
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
3. Penggelapan dalam Jabatan
Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau
surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk
melindungi pemberi suap, dan lain-lain.
Adapun ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU
20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.
 Pasal 8 UU 20/2001 memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu;
b. Dengan sengaja menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil
atau membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam
melakukan perbuatan itu;
c. Uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya.
Menurut R. Soesilo, penggelapan memiliki kemiripan dengan arti pencurian. Bedanya
dalam pencurian, barang yang dimiliki belum ada di tangan pencuri. Sedangkan dalam
penggelapan, barang sudah berada di tangan pencuri waktu dimilikinya barang tersebut.
4. Pemerasan
Pemerasan adalah perbuatan di mana petugas layanan yang secara aktif menawarkan
jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau
melanggar prosedur. Pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan
sesuatu dari pemberian tersebut.
Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf (e), (g), dan (h) UU 20/2001 memiliki unsur-
unsur sebagai berikut.

 Pasal 12 huruf e UU 20/2001


Pegawai negeri atau penyelenggara negara
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
Secara melawan hukum;
Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membawa, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuai bagi
dirinya;
Menyalahgunakan kekuasaan.
 Pasal 12 huruf f UU 20/2001
Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Pada waktu menjalankan tugas;
Meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang;
Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya;
Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
 Pasal 12 huruf g UU 20/2001
Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Pada waktu menjalankan tugas;
Meminta, menerima, atau memotong pembayaran;
Kepada pegawai negeri/penyelenggara negara yang lain atau kepada kas
umum;
Seolah-olah pegawai negeri/penyelenggara negara yang lain atau kepada
kas umum mempunyai utang kepadanya;
Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat
membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang yang
melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling
lama tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350
juta. Berdasarkan pasal tersebut, berikut adalah contoh perbuatan curang:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau
kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.

6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan


Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12 huruf (i)
UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara langsung
ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau
persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Misalnya dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai pemerintahan


menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender dan mengupayakan
kemenangannya.
7. Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan:

a. Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b. Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dibuktikan oleh penuntut umum/

Adapun sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
gratifikasi sebagaimana tersebut di atas, adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit
Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Namun demikian, perlu Anda catat bahwa apabila penerima melaporkan gratifikasi
kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima, maka sanksi
atau ancaman pidana terkait gratifikasi tidak berlaku.
BAB III

KESIMPULAN

Pengertian
Secara etimologi Korupsi berasal dari bahasa latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan
publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Jenis - Jenis Korupsi


1. Merugikan Keuangan Negara
2. Suap Menyuap
3. Penggelapan dalam Jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan Curang
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
7. Gratifikasi

Anda mungkin juga menyukai