Anda di halaman 1dari 6

TINDAKAN PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi


Menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Baharuddin Lopa mengartikan korupsi sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan
dengan penyuapan, manipulasi, dan perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan
hukum yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, serta merugikan
kesejahteraan dan kepentingan umum 7 Kelompok Tindak Pidana Korupsi
Korupsi diatur di dalam 13 pasal UU 31/1999 dan perubahannya yang kemudian
dirumuskan menjadi 30 jenis-jenis tindak pidana korupsi. Ketigapuluh jenis tersebut
disederhanakan ke dalam 7 kelompok tindak pidana korupsi, yaitu korupsi yang terkait
dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan,
pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikas

B. Sejarah Korupsi
Sejarah korupsi di Indonesia terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa
pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Pemerintahan rezim Orde
Baru dan Orde Reformasi. Pemerintahan rezim Orde Baru yang tidak demokratis dan
militerisme menumbuh suburkan terjadinya korupsi di semua aspek kehidupan dan
seolah-olah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Jika pada masa Orde Baru dan
sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada
Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara Negara sudah terjangkit “virus
korupsi” yang sangat ganas.

Istilah Korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan
Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan
Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960
tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang
kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16
Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tanggal 21 November 2001. Korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptio” atau
“Corruptus”, yang kemudian diadopsi oleh banyak bahasa di Eropa, misalnya di Inggris
dan Perancis “Corruption” serta Belanda “Corruptie”, dan selanjutnya dipakai pula dalam
bahasa Indonesia “Korupsi”. Secara harfiah/bahasa sehari-hari korupsi berarti :
kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap. Dalam kaidah bahasa menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta “korupsi” diartikan sebagai :
“perbuatan yang buruk seperti : penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “korupsi” diartikan
sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan dsb) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.
 Korupsi banyak jenisnya, seperti di bidang politik, keuangan dan material. Korupsi di
bidang politik dan seolah-olah menjadi penyalahgunaan alat resmi dan dana Negara
untuk kepentingan kampanye partai. Contohnya di Indonesia adanya kasus Bank Bali,
kasus Eddy Tansil yang melibatkan pejabat-pejabat Negara. Disamping itu bukan
rahasia lagi bahwa setiap urusan harus dengan memberi suap, mulai dari mengurus
Kartu Tanda Penduduk, izin dan lain-lainnya. Tanpa memberi suap/sogok, maka urusan
menjadi lamban atau buntu sama sekali.

C. Jenis-jenis Korupsi
Masih mengutip buku 'Teori & Praktik Pendidikan Anti Korupsi' menurut studi yang
dilakukan oleh Transparency International Indonesia, praktik-praktik korupsi, meliputi
manipulasi uang negara, praktik suap dan pemerasan, politik uang, dan kolusi bisnis.
Pada dasarnya praktik korupsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis,

1. Korupsi Mengenai kerugian Negara


Pengertian murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh orang, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), dan penyelenggara negara yang melawan
hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan tindak pidana korupsi Jenis korupsi
yang terkait dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3
UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016. Adapun unsur-unsur korupsi yang
mengakibatkan kerugian negara dalam kedua pasal tersebut adalah

Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK


MK No. 25/PUU-XIV/2016 No. 25/PUU-XIV/2016

 Setiap orang;  Setiap orang;


 Memperkaya diri sendiri, orang lain  Dengan tujuan menguntungkan diri
atau suatu korporasi; sendiri atau orang lain atau suatu
 Dengan cara melawan hukum; korporasi;
 Merugikan keuangan negara atau  Menyalahgunakan kewenangan,
perekonomian negara. kesempatan atau sarana;
   Yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan;
 Merugikan keuangan negara atau
perekonomian negar

2. Tingkat Korupsi mengenai suap menyuap


Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi
terjadi jika terjadi transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak
Suap menyuap dapat terjadi kepada PNS, hakim maupun advokat, dan dapat dilakukan
antar pegawai ataupun pegawai dengan pihak luar. Suap antar pegawai dilakukan guna
memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar
dilakukan ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar
dimenangkan dalam proses tender.
Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa pasal UU 31/1999
dan perubahannya, yaitu:
a. Pasal 5 UU 20/2021;
b. Pasal 6 UU 20/2021;
c. Pasal 11 UU 20/2021;
d. Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2021;
e. Pasal 13 UU 31/1999.
Contohnya Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU 20/2001 dan Pasal 13 UU 31/1999 yang
unsur-unsur pasalnya adalah sebagai berikut.

Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pasal 5 ayat (1) huruf b Pasal 13 UU 31/1999
20/2001 UU 20/2001

 Setiap orang;  Setiap orang;  Setiap orang;


 Memberi sesuatu atau  Memberi sesuatu;  Memberi hadiah atau
menjanjikan sesuatu;  Kepada pegawai negeri janji;
 Kepada pegawai negeri atau atau penyelenggara  Kepada pegawai negeri;
penyelenggara negara; negara;  Dengan mengingat
 Dengan maksud supaya  Karena atau kekuasaan atau
berbuat atau berhubungan dengan wewenang yang melekat
tidak berbuat sesuatu dalam sesuatu yang pada jabatan atau
jabatannya sehingga bertentangan dengan kedudukannya atau oleh
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan pemberi hadiah/janji
kewajibannya. atau tidak dilakukan dianggap, melekat pada
dalam jabatannya jabatan atau kedudukan
tersebut.
3. Tindakan korupsi mengenai Penggelapan dalam Jabatan
Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau
surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk
melindungi pemberi suap, dan lain-lain
Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU
20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.
Contoh penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001 memiliki
unsur-unsur sebagai berikut.
a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu;
b. Dengan sengaja;
c. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain
menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu;
d. Uang atau surat berharga;
e. Yang disimpan karena jabatannya.
Menurut R. Soesilo, penggelapan memiliki kemiripan dengan arti pencurian.
Bedanya dalam pencurian, barang yang dimiliki belum ada di tangan pencuri.
Sedangkan dalam penggelapan, barang sudah berada di tangan pencuri waktu
dimilikinya barang tersebut

4. Tindakan korupsi mengenai Pemerasan


Pemerasan adalah perbuatan dimana petugas layanan yang secara aktif menawarkan
jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya,
walau melanggar prosedur. Pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan
menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut.
Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf (e), (g), dan (h) UU 20/2001 memiliki unsur-
unsur sebagai berikut.

Pasal 12 huruf e UU Pasal 12 huruf f UU Pasal 12 huruf g UU


20/2001 20/2001 20/2001

 Pegawai negeri atau  Pegawai negeri atau  Pegawai negeri atau


penyelenggara negara penyelenggara negara; penyelenggara negara;
 Dengan maksud  Pada waktu menjalankan  Pada waktu menjalankan
menguntungkan diri sendiri tugas; tugas;
atau orang lain;  Meminta atau menerima  Meminta, menerima, atau
 Secara melawan hukum; pekerjaan, atau memotong pembayaran;
 Memaksa seseorang penyerahan barang;  Kepada pegawai
memberikan sesuatu,  Seolah-olah merupakan negeri/penyelenggara
membaya, atau menerima utang kepada dirinya; negara yang lain atau
pembayaran dengan  Diketahuinya bahwa hal kepada kas umum;
potongan, atau untuk tersebut bukan merupakan  Seolah-olah pegawai
mengerjakan sesuai bagi utang. negeri/penyelenggara
dirinya; negara yang lain atau
 Menyalahgunakan kepada kas umum
kekuasaan. mempunyai utang
kepadanya;
 Diketahuinya bahwa hal
tersebut bukan merupakan
utang.

5. Tindakan korupsi mengenai Perbuatan Curang


Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat
membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang yang
melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling
lama tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350
juta. Berdasarkan pasal tersebut, berikut adalah contoh perbuatan curang:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia (“TNI”) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau
kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas

6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan


Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12 huruf (i) UU
20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara langsung
ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan
atau persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai pemerintahan
menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender dan mengupayakan
kemenangannya.

7. Tindaka korupsi mengenai Gratifikasi


Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan:
a. Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Adapun sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima gratifikasi sebagaimana tersebut di atas, adalah pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan
pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun demikian, perlu Anda catat bahwa apabila penerima melaporkan gratifikasi
kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima, maka
sanksi atau ancaman pidana terkait gratifikasi tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai