Korupsi adalah suatu kata yang tidak asing lagi bagi kita. Bahkan mungkin hampir semua
masyarakat di negeri ini mengerti apa itu korupsi. Korupsi adalah suatu penyakit yang susah
untuk disembuhkan. Penyakit yang tumbuh di lingkungan manapun dan bisa menjangkit
siapapun. Bahkan di lingkungan pemerintahan. Korupsi sudah terjadi sejak lama dan walaupun
sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu sampai saat ini Negara kita belum bersih dari korupsi.
Negara ini sudah memiliki lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga yang
membentengi suatu Negara. Akan tetapi adanya Komisi Pemberantasan Korupsi juga tidak
menjamin suatu Negara terbebas dari korupsi, contohnya Negara kita yang tercinta ini. Dapat
kita lihat di media apapun terutama televisi tidak ada hentinya memberitakan perihal tindak
pidana korupsi.
Dengan adanya korupsi banyak sekali pihak yang dirugikan, pembangunan yang direncanakan
pemerintah tidak berjalan sesuai rencana. Terutama masyarakat kecil yang tidak bisa berbuat
apa-apa kecuali menunggu dan hidup mereka semakin sengsara karena uang yang
seharusnya ada di tangan mereka kini malah ada di tangan para koruptor. Undang-undang
yang dibuat oleh pemerintah seakan tidak ada artinya. Mereka sangat serakah dan samak
sekali tidak memikirkan apa dampak dari perbuatan mereka. Sebenarnya bukan hanya
peraturan Negara yang tidak memperbolehkan korupsi, bahkan dari sudut pandang agama pun
melarang keras perbuatan tersebut.
Agama Katolik melarang korupsi. Dalam agama Katolik tertulis dalam Alkitab bahwa korupsi
adalah mencuri. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam keluaran 20:15, Allah berfirman:
Jangan mencuri, demikian jelasnya larangan Tuhan untuk tidak mencuri. Sementara itu korupsi
adalah mencuri dengan cara yang tidak diketahui secara langsung, dengan cara diam-diam,
dan halus. Merugikan Negara dan orang lain demi kepentingan pribadi.
Kreator: Alshaura Putrikianti
7 Tipologi Korupsi :
Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat
dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar. Keluaran 23:8
Terkutuklah orang yang menerima suap untuk menghilangkan nyawa seseorang yang
tidak bersalah. Dan seluruh bangsa itu harus berkata: Amin! Ulangan 27:25
Sungguh, pemerasan membodohkan orang berhikmat, dan uang suap merusakkan hati.
Pengkhotbah 7:7
Celakalah mereka yang menjadi jago minum dan juara dalam mencampur minuman
keras; yang membenarkan orang fasik karena suap dan yang memungkiri hak orang
benar. Sebab itu seperti lidah api memakan jerami, dan seperti rumput kering habis
lenyap dalam nyala api, demikian akar-akar mereka akan menjadi busuk, dan kuntumnya
akan beterbangan seperti abu, oleh karena mereka telah menolak pengajaran TUHAN
semesta alam dan menista firman Yang Mahakudus, Allah Israel. Yesaya 5:22-24
Padamu orang menerima suap untuk mencurahkan darah, engkau memungut bunga
uang atau mengambil riba dan merugikan sesamamu dengan pemerasan, tetapi Aku
kaulupakan, demikianlah firman Tuhan ALLAH&. Aku akan menyerakkan engkau di
antara bangsa-bangsa dan menghamburkan engkau ke semua negeri dan Aku akan
mengikis kenajisanmu dari padamu. Yehezkiel 22:12-15
Tokoh Anti Korupsi dalam Alkitab :
1. Samuel
1 Samuel 12:3-4 TB
12:3 Di sini aku berdiri. Berikanlah kesaksian menentang aku di hadapan TUHAN dan di
hadapan orang yang diurapi-Nya: Lembu siapakah yang telah kuambil? Keledai
siapakah yang telah kuambil? Siapakah yang telah kuperas? Siapakah yang telah
kuperlakukan dengan kekerasan? Dari tangan siapakah telah kuterima sogok sehingga
aku harus tutup mata? Aku akan mengembalikannya kepadamu.” 12:4 Jawab mereka:
”Engkau tidak memeras kami dan engkau tidak memperlakukan kami dengan kekerasan
dan engkau tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun.”
2. Yosafat
2 Tawarikh 19:6-7 :
19:6 Berpesanlah ia kepada hakim-hakim itu: "Pertimbangkanlah apa yang kamu
buat, r karena bukanlah untuk manusia kamu memutuskan hukum, s melainkan untuk
TUHAN, yang ada beserta kamu, bila kamu memutuskan hukum.
19:7 Sebab itu, kiranya kamu diliputi oleh rasa takut kepada TUHAN. Bertindaklah
dengan seksama, karena berlaku curang, t memihak u ataupun menerima suap tidak
ada pada TUHAN, Allah kita."
3. Elisa
Raja-raja.5:25-27
5:25 Baru saja Gehazi masuk dan tampil ke depan tuannya, berkatalah Elisa kepadanya:
"Dari mana, Gehazi?" Jawabnya: "Hambamu ini tidak pergi ke mana-mana!" 5:26 Tetapi
kata Elisa kepadanya: "Bukankah hatiku ikut pergi, ketika orang itu turun dari atas
keretanya mendapatkan engkau? Maka sekarang, g engkau telah menerima perak dan
dengan itu dapat memperoleh kebun-kebun, kebun zaitun, kebun anggur, kambing
domba, lembu sapi, budak laki-laki dan budak perempuan, h 5:27 tetapi penyakit
kusta i Naaman akan melekat kepadamu dan kepada anak cucumu untuk selama-
lamanya." Maka keluarlah Gehazi j dari depannya dengan kena kusta, putih seperti
salju. k
4. Nehemia
Nehemia 5:14-15
5:14 Pula sejak aku diangkat sebagai bupati l di tanah Yehuda, yakni dari tahun kedua
puluh sampai tahun ketiga puluh dua pemerintahan Artahsasta m jadi dua belas tahun
lamanya, aku dan saudara-saudaraku tidak pernah mengambil pembagian yang menjadi
hak bupati. 5:15 Tetapi para bupati yang sebelumnya, yang mendahului aku, sangat
memberatkan beban rakyat. Bupati-bupati itu mengambil dari mereka empat puluh syikal
perak sehari untuk bahan makanan dan anggur. Bahkan anak buah mereka merajalela
atas rakyat. Tetapi aku tidak berbuat demikian karena takut akan Allah
Alkitab dan Korupsi
Dari Kitab Kejadian sampai Wahyu kata ‘korupsi’ tidak ditemukan. Akan tetapi, untuk
menunjuk substansi tindakan ‘korupsi’, Alkitab menggunakan terminologi ‘mencuri’.
Dalam ‘dekalog’ atau ‘sepuluh firman’ mencuri itu termasuk salah satu dosa atau
kejahatan yang digarisbawahi oleh Allah sendiri. Mencuri berarti mengambil barang yang
bukan miliknya. Tidak dikatakan secara eksplisit dalam Alkitab tentang mencuri barang
milik bersama. Ada sejumlah kisah dalam Alkitab yang menceritakan korupsi yang berarti
mencuri barang milik bersama sesuai dengan terminologi sekarang. Kisah-kisah tersebut
memberikan informasi kepada kita bahwa korupsi merupakan persoalan klasik yang
sudah terjadi sejak zaman Perjanjian Lama.
Persoalan korupsinya terletak pada kenyataan bahwa mereka mengambil untuk diri
sendiri. Mereka adalah keluarga yang diberi kepercayaan untuk mempersembahkan
kurban kepada Tuhan tetapi melakukan suatu bentuk ketidakadilan terhadap umat.
Memaksa orang Israel untuk menyerahkan apa yang dimaui oleh kedua anak imam Eli
yaitu Hofni dan Pinehas. Dalam Ulangan 18 : 3, ada bagiaan dari binatang kurban yang
diberikan kepada imam yaitu paha depan, kedua rahang, kepala, dan perut besar.
Sisanya untuk Tuhan dan kemungkinan untuk orang miskin. Anak-Anak Eli tidak hanya
mendapat apa yang menjadi bagiannya tetapi dia juga mengambil hak yang seharusnya
dipersembahkan kepada Allah. Mereka mengambil hak Allah. Hal ini dimungkinkan
karena mereka mempunyai kekuasaan. Yang punya kuasa itulah yang mudah
melakukan korupsi. Keluarga imam Eli merupakan contoh jelas bagaimana orang yang
dipercayakan untuk mengurusi kehidupan agama dan sosial mengambil keuntungan
untuk dirinya sendiri dan akhirnya mereka dihukum Tuhan.
Perjanjian itu isinya adalah menyembah Tuhan dan pertama-tama melakukan keadilan.
Mengapa harus melakukan keadilan? Karena kondisi masyarakat yang adil akan
membuat masyrakat Israel tetap utuh. Ada dua nabi yang memperjuangkan keadilan
yaitu Amos di Kerajaan Utara dan Yesaya di Kerajaan selatan.
Situasi di Kerajaan Israel Utara pada zaman Amos yaitu ada kesenjangan antara yang
kaya dan miskin yang sangat lebar pada zaman Raja Yerobeam II. Di mana letak korupsi
dalam Kerajaan Israel Utara? Begini Amos mengungkapkannya “Oleh karena mereka
menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut; mereka
menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang
sengsara (Amos 2:6-7 ITB) ).”
Kata-kata ini menggambarkan kenyataan pada waktu itu yaitu ada orang benar yang
terlilit utang karena bunganya tinggi dijual. Orang miskin dijual juga hanya karena
sepasang kasut. Kemudian membelokkan jalan orang yang sengsara. Ada tafsiran yang
mengatakan di sinilah letak korupsinya. Perikop lain, Amos 2:8, “mereka merebahkan diri
di samping setiap mezbah di atas pakaian gadaian orang, dan minum anggur orang-
orang yang kena denda di rumah Allah mereka.”
Pada zaman itu kalau orang mengaku dosa di depan mezbah Tuhan lalu imam
memberikan penitensi dengan anggur dan kambing. Anggur dan kambing itu sejatinya
untuk kepentingan rumah Allah namun yang terjadi petugas di bait Allah mengambil
untuk kepentingan pribadi. Lalu ada orang lainyang menikmati korupsi. Misalnya Amos
4:1. “Dengarlah firman ini, hai lembu-lembu Basan, yang ada di gunung Samaria, yang
memeras orang lemah, yang menginjak orang miskin, yang mengatakan kepada tuan-
tuanmu: bawalah ke mari, supaya kita minum-minum!” Yang dimaksudkan dengan
Lembu basan adalah istri-istri dari pejabat pada waktu. Mereka menikmati apa yang
dikorupsi oleh suaminya.
Lantas di mana letak korupsinya? Ada yang melihat bahwa Yesus mengkritik orang yang
menjadikan tempat doa sebagai pasar. Tetapi sebetulnya ada yang lebih dalam yaitu:
Yesus mengkritik skandal korupsi di bait Allah. Kalau kita mencermati kisahnya, di situ
ada dua pasar yaitu pasar hewan dan pasar uang. Ada kecurangan yang dikritik Yesus
di dua pasar itu. Di pasar hewan, Yesus mengkritik pegawai bait Allah, pelaku pemerasan
atas orang-orang miskin yang datang mempersembahkan kurban. Hewan yang ingin
dipersembahkan itu sengaja dibilang tidak layak sehingga jemaat yang datang dari jauh
harus membeli hewan kurban yang dijual di bait Allah dengan harga sangat mahal.
Umat pun kembali diperas di pasar uang. Saat itu, ada kebiasaan orang memberi
persembahan dalam rupa uang. Tetapi salah satu persyaratannya ialah uang yang
bergambar kaisar tidak boleh dipersembahan kepada Allah. Karena kaisar itu kafir. Mata
uang yang bisa dipakai untuk persembahan di Bait Allah ialah mata uang Tirus dan
Sidon. Tetapi masalahnya orang terbiasa dengan mata uang Romawi dan membawa
uang itu ke bait Allah. Supaya bisa mempersembahkan uang di bait Allah, mereka harus
menukar mata uang Romawi dengan mata uang Tirus dan Sidon.
Pada saat penukaran inilah terjadi praktik korupsi yang dikritik Yesus. Ia mengobrak-
abrik meja para penukar uang. Rupanya yang bermain disini adalah pegawai Bait Allah
yang mengantongi izin dari otoritas bait Allah yaitu imam besar yaitu Hanas dan Kayafas.
Ada dugaan bahwa pegawai bait Allah itu memberi suap kepada imam besar Hanas dan
Kayafas.
Tanahnya tanah siapa? Tanah itu adalah tanah Gereja. Ada dugaan bahwa Gerja zaman
dulu seperti gereja zaman sekarang. Ada khas bersama. Rupanya Ananias dan Safira
adalah tokoh penting di situ yang diberi kepercyaan untuk menjual tanah milik bersama
itu. uangnya untuk kehidupan jemaat. Tampaknya si Ananias sepengetahuan istrinya itu
dia menjual tanah itu sebagaian hasilnya digelapkan untuk mereka sendiri dan
sebagiannya dilaporkan kepada jemaat. Jadi ini suatu korupsi dari kas bersama. Ini cerita
yang menunjukkan bahwa menggelapkan milik bersama atau milik gereja hukumannya
langsung dari Tuhan. Karena pada akhirnya Ananias dasn Safira meninggal.
Kasus Suap
Kasus lain yang masih dekat dengan korupsi adalah suap. Biasanya suap berkaitan
dengan dunia pengadilan. Dalam ‘dekalog’ atau ‘sepuluh firman’ dikatakan “Janganlah
bersaksi dusta terhadap sesamamu” itu berkaitan dengan dunia pengadilan. Mengapa
ada larangan ini karena bersaksi dusta kadang- kadang bisa mengakibatkan kematian
seseorang kalau kesaksiannya palsu.
Dan biasanya seorang yang memberikan kesaksian palsu, sebelumnya mendapat suap
dari orang yang diadili. Jadi, suap itu merupakan uang atau gratifikasi yang diberikan
atau dijanjikan untuk mempengaruhi keputusan. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa
memberi dan menerima suap adalah kejahatan. “Suap janganlah kauterima, sebab suap
membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orangorang
yang benar” (Kel 23:8 ITB).
Kitab Ulangan 27: 25 mendefinisikan siapa saja orang yang terkutuk. Dikatakan bahwa
“Terkutuklah orang yang menerima suap untuk membunuh seseorang yang tidak
bersalah. Dan seluruh bangsa itu harus berkata: Amin.”Dikutuk berarti tidak mendapat
berkat. Yesaya mengatakan kalau pemimpin Yerusalem suka menerima suap maka
Yerusalem akan hancur. Jadi kehancuran Yerusalem bukan hanya karena penyembahan
berhala tetapi juga adanya ketidakadilan dalam masyarakat. Dan ketidakadilan dalam
masyarakat membuat masyarakat tidak stabil.
Kesimpulan
Korupsi dan suap dalam Alkitab jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum Taurat.
Ini merupakan pelanggaran terhadap perjanjian YHWH dengan Israel. Dampak dari
pelanggaran adalah kutuk atau tidak adanya berkat untuk Israel. Tidak ada kedamaian
dan keselamatan. Korupsi dan suap mencederai keadilan. Mencederai keadilan berarti
menghina Allah yang adalah sumber keadilan itu sendiri. Korupsi dan suap merusak
tatanan masyarakat yang dibangun atas dasar hukum yaitu hukum Tuhan.
Sumber: Jpicofmindonesia.com
Gereja dan Pemberantasan Korupsi
Oleh: PASTOR PETER C AMAN
Seruan Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia tahun 2016 mengingatkan kita akan
dampak buruk dan massif dari korupsi. Korupsi merusak martabat manusia, bahkan
sudah menjangkit sendi-sendi kehidupan menggereja. Ia sudah ada dalam lingkungan
Gereja dan terwujud dalam penggunaan anggaran yang tidak jelas, penggelembungan
anggaran, bon pengeluaran fiktif, komisi dalam pemberian barang serta pengeluaran
anggaran yang dipas-paskan (Bdk. SP KWI, 2016).
Ini berarti korupsi ada di sekitar kita serta ada dalam keseharian kita. Pilihan kita adalah
apakah kita mengakrabinya, atau melenyapkan-nya? Gereja, melalui ajaran sosialnya
menegaskan komitmen untuk melenyapkannya.
Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang melekat pada posisi atau jabatan
seseorang (sosial, politik, religius). Yohanes Paulus II menyebut korupsi sebagai
penghancuran sistem demokrasi yang paling serius, karena korupsi melecehkan dan
mengkhianati baik prinsip-prinsip moral maupun norma-norma keadilan sosial.
Dampak buruk korupsi amat luas seperti relasi penguasa dan rakyat, melenyapkan
kepercayaan publik pada lembaga-lembaga publik, menghilangkan kepercayaan
masyarakat terhadap politik (partai politik), merusak lembaga-lembaga perwakilan
rakyat, mengubah system representasi menjadi transaksi (Kompendium ASG, no.411).
Lewat seruan KWI tahun 2016, diakui secara terbuka bahwa korupsi menggerogoti
lembaga suci agama, khususnya Gereja. Tentu saja praktek buruk itu tidak dapat
dibenarkan Gereja, yang telah menegaskan komitmennya untuk setia menemani
masyarakat dan bersama orangorang berkehendak baik memberantasnya. Gereja
berdasarkan mandat yang diterimanya dari Kristus memelihara, peduli dan mesti
berupaya agar sistem sosial, ekonomi dan politik ditata dan diarahkan kepada
kepentingan kesejahteraan umum, sebagai dasar beradanya masyarakatnegara (GS,
75).
Kepedulian dan komitmen itu lahir dari definisi diri Gereja, yang menegaskan identifikasi
dirinya dengan dunia, dan bahkan menjadi bagian utuh dunia dengan segala tantangan,
kesulitan dan problematikanya. Gereja tidak berjarak apalagi melarikan diri darinya (GS,
1).
Kejahatan korupsi menghancurkan dan membusukkan eksistensi masyarakat-negara
dari dalam. Dalam surat Apostolik Pasca Sinode Afrika, Yohanes Paulus II menulis
“masalah ekonomi Afrika diperparah oleh para pemimpin busuk yang tidak jujur yang
bersekongkol dengan pengusaha atau korporasi asing yang menghilangkan
(mengalihkan) kekayaan Negara bagi keuntungan mereka sendiri dan mentransfer uang
Negara ke rekening pribadi pada bank-bank di luar negeri. Inilah adalah pencurian,
apapun kemasan hukumnya” (Ecclesia in Africa, 113).
Praktek korupsi yang sedemikian masif dalam masyarakat kita adalah tantangan
sekaligus peluang mengaplikasikan ajaran sosial Gereja, karena ASG memberikan
prinsip-prinsip moral dan sejalan dengan nilai-nilai yang sungguh dibutuhkan pada masa
kini (SRS, 41).
Tema-tema ASG ini merupakan kekuatan serta nilai yang mestinya menghancurkan
korupsi. Namun dalam kenyataannya, korupsi menghancurkan kesejahteraan umum dan
keadilan sosial. Dampak lebih jauh dari itu adalah hilangnya perdamaian dan rukun hidup
bermasyarakat secara manusiawi. Karena itu benarlah jika Paus Paulus VI mengatakan
jika menghendaki perdamaian maka keadilan mesti diwujudkan (PP, 87).
Komisi Keadilan
Gereja memiliki komisi Keadilan dan Perdamaian, yang didirikan 20 April 1967 oleh
Paulus VI, sebagai tindak lanjut dari Konsili Vatikan II: “Adapun Konsili, seraya
mengindahkan penderitaan-penderitaan tiada hingganya, yang sekarang pun masih
menyiksa mayoritas umat manusia, lagi pula untuk di mana-mana memupuk keadilan
maupun cinta kasih Kristus terhadap kaum miskin, memandang sangat pada tempatnya
mendirikan suatu lembaga universal Gereja, yang misinya ialah mendorong persekutuan
umat Katolik, supaya kemajuan di daerah-daerah yang miskin serta keadilan sosial
internasional ditingkatkan” (GS, 90).
Mewujudkan keadilan sosial pada level internasional selalu berarti memulai mewujudkan
keadilan pada level lokal, yang dikerjakan pribadi-pribadi dalam komunitas dan kemudian
dalam masyarakat. Gereja pasti menyadari misinya untuk secara aktif bekerja demi
keadilan. Misi itu tidak dengan sendirinya jelas bagi setiap orang, karena itu peran yang
dapat dimainkan Gereja adalah membangunkan kesadaran masyarakat serta
mendorong mereka mewujudkan keadilan pada tingkat lokal, terutama dengan
menyebarkan dan mewartakan melalui kesaksian nyata kebajikan-kebajikan serta
keutamaan-keutamaan.
Dengan demikian, dampak destruktif korupsi akan terlihat jelas dan upayaupaya
mencegahnya akan dapat dilakukan. Mempromosikan transparansi dan akuntabilitas
sesungguhnya akan membuka praktek korupsi itu sendiri, terutama yang sudah terjadi.
Surat Pastoral KWI tahun 2016 menjalankan peran dan fungsi termaksud, diharapkan
menajamkan kepekaan serta membangun kesadaran moral dalam diri warga masyarakat
(Gereja) serta semua orang berkehendak baik untuk berperang melawan korupsi dan
mengamankan uang publik demi kesejahteraan umum.Gereja Katolik Kamerun tahun
2006 juga mengeluarkan pernyataan melawan korupsi dan penggelapan (pencurian)
uang. Mereka menegaskan bahwa korupsi merusak kepercayaan dan mengabaikan
tanggungjawab. Orang-orang Gereja mendapatkan “jalan-jalan lebih mulus” untuk
melakukan korupsi serta pungutan liar, karena terbungkus rapi dengan “kebijakan suci”
serta pelayanan-pelayanan suci, yang jika dibongkar maka akan terlihat dengan jelas
reproduksi kejahatan dari abad pertengahan yang disebut simoni (jual beli pelayanan
pastoral dan sakramen demi mengumpulkan uang).
Ajakan yang sama diulangi lagi dalam Surat KWI tahun 2010 “Marilah Terlibat dalam
Menata Hidup Bangsa”. Kejahatan korupsi tentu saja melawan keadilan dan
kesejahteraan umum. Suatu kejahatan kemanusiaan yang menciderai martabat dan
keluhuran pribadi manusia serta hak-haknya. Namun lebih dari itu korupsi adalah
halangan utama bagi tugas pokok Gereja dalam mewartakan Injil Kerajaan Allah.
Paus Paulus VI bahkan menegaskan bahwa warta Injil tidak lengkap jika tidak ada
pengaruh timbal-balik pada kehidupan nyata manusia, karena pewartaan Injil mencakup
upaya nyata dalam hak-hak dan kewajiban manusia, keluarga, masyarakat, kehidupan
internasional, perdamaian keadilan dan pembangunan serta pembebasan (Bdk. EN 29).
Para Uskup sedunia dalam Sinode 1971 sudah menegaskan bahwa perjuangan
mewujudkan keadilan merupakan dimensi “konstitutif” dari pewartaan Injil (CU, 6). Lebih
dari sekedar mewartakan secara verbal, Gereja sendiri mesti menjamin otoritas serta
otentisitas evangelisasinya dengan menjadi pelopor dalam melaksanakan apa yang
diwartakannya sendiri. Karena Gereja akan kehilangan otoritasnya dalam pewartaan Injil
jika kesaksian hidup tidak selaras dengan pewartaan verbalnya.
Demikian juga dalam bidang keadilan. “Sementara Gereja wajib memberi kesaksian akan
keadilan, ia mengakui bahwa siapapun yang memberanikan diri untuk berbicara kepada
sesama tentang keadilan harus pertama-tama adil dalam pandangan mereka. Oleh
karena itu kita perlu mengevaluasi cara-cara bertindak, dan harta milik serta pola hidup
yang terdapat dalam Gereja sendiri” (CU 40).
“Gereja wajib hidup serta mengelola harta miliknya sendiri sedemikian, sehingga Injil
diwartakan kepada kaum miskin. Tetapi sebaliknya, kalau Gereja tampak berada di
antara orang-orang kaya dan kaum penguasa dunia ini, Gereja akan kurang dapat
dipercaya” (CU, 47). Umat mencermati para pejabat Gereja di mana mereka berada dan
dengan siapa mereka bersahabat; siapa yang mereka utamakan dan dahulukan. Dan
sayangnya perilaku itu sedemikian jelasnya, sehingga kecipratan rezeki haram dari
orang-orang kaya dan penguasa yang seperti Raja Ahab mencaplok tanah dan
kehidupan Nabot (1 Raj.21:1-16).
Dalam kotbah yang disampaikannya pada tahun 2013 Paus mengecam korupsi sebagai
kejahatan yang patut dihukum. Orang-orang Kristen yang mengambil uang Negara dan
menyumbangkannya kepada Gereja menjalani kehidupan ganda, melakukan dosa yang
patut dihukum, sebagaimana dikatakan Yesus dalam Injil, yakni diikatkan pada batu
kilangan dan dilemparkan ke dalam laut.
Pelaku korupsi dikecam dan orang tua yang menghidupi anak dan keluarga dengan uang
korupsi, kehilangan martabat mansiawinya dan menghidupi anak mereka dengan roti
najis. Kejahatan korupsi sepertinya terjadi di mana-mana dan mereka yang korup
sebenarnya hanya mengulang apa yang biasa dilakukan. Ya, memang benar itulah
kenyataannya, tetapi kejahatan korupsi hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki
wewenang dan karena itu jumlahnya tidak banyak, tetapi dampak buruk perbuatan
mereka menghancurkan sendi-sendi kehidupan bersama dalam masyarakat. “Orang-
orang malang ini (baca: koruptor) kehilangan martabatnya karena mencuri,
sesungguhnya tidak mendapatkan uang, tetapi kehilangan martabat”. Korupsi adalah
“dosa tangan”, kata Paus, artinya dosa yang terjadi karena menggenggam kekuasaan,
berada pada posisi serta wewenang menentukan (Bdk. Homili Paus Fransiskus, 11
November 2013).
Melakukan korupsi merupakan kejahatan yang memangsa mereka yang kecil dan miskin.
Karena itu, Paus menyebut bahwa mereka pantas dihukum dengan batu kilangan dan
ditenggelamkan (Bdk. Mt. 18:6). Kemarahan Paus terhadap korupsi memuncak pada
kecamannya terhadap mereka yang memberikan uang kepada Gereja dengan mencuri
uang Negara (rakyat). Para koruptor demikian Paus, adalah kaum munafik, ibarat kubur,
indah di luar busuk di dalam (Bdk. Mat.23:27).
Paus menyebut korupsi sebagai kejahatan besar pada masa kini. Koruptor membangun
relasi dengan Allah dan sesama di atas dusta. Kita juga dapat menjadi korup bersamaan
dengan rasa nyaman kita. Dari rasa nyaman, hidup baik, uang dan kemudian kuasa,
kesia-siaan dan kebanggaan. Lalu membunuh (Bdk. Deomenico Agasso, Jr. “Francis:
The Corruption of the Powerful is Paid by the Porr” Varican Insider, Rome, 06/17/2014).
Penutup
Korupsi adalah dosa, dosa besar, dosa menghancurkan kehidupan bersama. Korupsi
tidak dapat di atasi hanya dengan mengampuni, tetapi menyembuhkan. Perlu
penyembuhan pada akar yang dimulai dengan pemulihan serta pembentukan pribadi
dengan keutamaan-keutamaan. “Stop korupsi mulai dari diri kita sendiri, keluarga,
lingkungan kerja kita, lalu kita tularkan di sekeliling masyarakat kita. Jadikan sikap dan
gerakan anti korupsi habitus baru kita sehari-hari” (SP KWI 2016).
Bagi Gereja lembaga, menjadi pelopor gerakan anti korupsi berarti berani menjadi
teladan kejujuran dan penegakan hukum di dalam institusi Gereja sendiri, yang nyatanya
sudah terjangkit penyakit korupsi. Tidak mudah memberantas korupsi, tetapi keberanian
untuk memulai dari diri adalah contoh tindakan kenabian, sehingga masyarakat yakin
dan percaya, lantas merapatkan barisan memerangi penyakit dan kejahatan
kemanusiaan ini di dalam dan bersama Gereja. Bagi Gereja, inilah kesempatan dan
peluang baru bagi evangelisasi, melalui ajaran dan teladan.
Nota Pastoral KWI 2017: Mencegah dan Memberantas Korupsi
Korupsi telah merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akar-
akarnya seakan-akan sudah meruyak ke segala lapisan masyarakat bagaikan sel-sel
kanker yang merusak dan membunuh seluruh jaringan tubuh manusia. Maka, Gereja
Katolik Indonesia sebagai bagian dari bangsa ini ingin melibatkan diri dalam
kecemasan dan harapan bangsa, yakni masalah korupsi.
Gereja Katolik Indonesia meyakini bahwa korupsi adalah kejahatan yang merusak
martabat manusia serta sulit diberantas karena sudah sedemikian mengguritanya.
Untuk memberantas korupsi ini, Gereja harus memiliki daya ubah dengan membuat
pembaruan dari dalam diri sendiri maupun secara bersama-sama. Pembaruan dari
dalam diri dilakukan dengan menumbuhkan kepekaan dan kepedulian individu
terhadap masalah-masalah korupsi. Sementara, dilakukan secara bersama melalui
gerakan bersama dalam sebuah sistem yang transparan, akuntabel, dan kredibel.
Oleh sebab itu, dalam Sidang Tahunan Para Uskup November 2016 lalu, Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI) menerbitkan sebuah Seruan Pastoral berjudul “Stop
Korupsi: Membedah & Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif.” Pada waktu
itu para Bapak Uskup meminta agar Seruan Pastoral itu dikembangkan menjadi
sebuah Nota Pastoral yang bisa menjadi panduan arahan bagi umat Katolik untuk
ambil bagian dalam menciptakan keluarga dan masyarakat antikorupsi.
Nota Pastoral KWI 2017 ini telah selesai disusun dan diluncurkan bertepatan dengan
malam peringatan lahirnya Pancasila, Rabu (31/5) di Ruang Sidang KWI. Nota
Pastoral KWI dibagi dalam empat bagian besar:
1. adanya kebutuhan
2. sistem yang membuka peluang
3. keserakahan
Bagian kedua menjelaskan beberapa teks Kitab Suci baik dari Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru yang menegaskan bahwa tindakan mencuri (Kel 20:15; Mrk
10:19), suap (Kel 23:8), penyalahgunaan wewenang (2Raj 5:1-27), keserakahan (bdk.
1Tim 6:10) dan lain-lainnya adalah perbuatan dosa yang bukan hanya membohongi
manusia, melainkan juga mendustai Roh Kudus.
Bagian ketiga menguraikan ajaran Gereja mengenai korupsi. Dalam hal ini ajaran
Gereja yang disitir dalam Nota Pastoral ini adalah penegasan Paus Fransiskus bahwa
seorang Kristen yang terlibat korupsi bukanlah orang Kristiani (Khotbah misa harian
di Domus Sanctae Marthae, 11 Nov 2013), dalam bulla Misericordiae Vultus no 19
mengajak mereka yang terlibat korupsi untuk memohon pengampunan Allah karena
korupsi sudah merusak rencana mereka yang lemah dan bertindak semena-mena
terhadap mereka yang termiskin di antara kaum miskin. Penolakan terhadap
perilaku koruptif ini juga ditegaskan oleh para uskup se-Indonesia dalam Surat
Gembala Prapaskah KWI 1993 serta Surat Gembala Prapaskah KWI 1997. Penolakan
itu juga disuarakan dalam Seruan Pastoral KWI 2017 : stop korupsi!
Bagian keempat menegaskan sikap dan tindakan pastoral yang harus diambil oleh
setiap orang Katolik untuk memberantas korupsi baik melalui komitmen pribadi
maupun bersama-sama.
Sementara itu di lingkungan tempat kerja, setiap pekerja diharapkan ikut aktif
mencegah dan memberantas korupsi. Caranya adalah dengan membangun
komitmen pribadi maupun bersama dan bekerja dengan penuh dedikasi. Selain itu,
imbalan atau upah yang diterima harus disyukuri sebagai perwujudan iman. Setiap
pekerja juga wajib membayar pajak serta kewajiban-kewajiban lainnya sebagai
bentuk tanggung jawab sebagai warga negara yang baik. Di pihak pemberi kerja
diharapkan dapat membuat evaluasi yang objektif serta menghindari sikap like and
dislike bagi para karyawannya, memberi sanksi tegas kepada mereka yang
melakukan korupsi dan memberi apresiasi kepada mereka yang bekerja dengan baik
dan benar; serta mengadakan kegiatan spiritual untuk membina kehidupan rohani
dan memperkuat mental agar tidak jatuh dalam godaan korupsi.
Akhirnya, para Uskup menghimbau agar butir-butir yang disampaikan dalam Nota
Pastoral KWI 2017 ini bisa dikembangkan dan dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat sehingga pendidikan dan gerakan antikorupsi bisa
sungguh terwujud dan menjadi habitus baru dalam diri setiap orang Katolik di
tengah-tengah maraknya perilaku koruptif yang sudah menggurita ini.