Anda di halaman 1dari 13

NAMA : PUJAYASMIN

NIM : 22334096
KELAS : ID
MATA KULIAH : ANTI KORUPSI
PRODI : D III - KEPERAWATAN
SEJARAH, PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KORUPSI

• Asal mula berkembangnya korupsi barangkali dapat di temukan sumbernya pada fenomena
sistem pemerintahan monarki absolut tradisional yang berlandaskan pada budaya feodal.
Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik mutlak raja,
yang kemudian di serahkan kepada para pangeran dan bangsawan, yang di tugasi untuk
memungut pajak, sewa dan upeti dari rakyat yang menduduki tanah tersebut. Di samping
membayar dalam bentuk uang atau in natura, sering pula rakyat di haruskan membayar
dengan hasil bumi serta dengan tenaga kasar, yakni bekerja untuk memenuhi berbagai
keperluan sang raja atau penguasa. Elite penguasa yang merasa diri sebagai golongan
penakluk, secara otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda dan nyawa rakyat yang
di taklukan. Hak tersebut biasanya di terjemahkan dalam tuntutan yang berupa upeti dan
tenaga dari rakyat (Onghokham, 1995).
• Seluruh upeti yang masuk ke kantong para pembesar ini selain di pergunakan
untuk memenuhi kebutuhan pembesar itu sendiri, pada dasarnya juga berfungsi
sebagai pajak yang di pergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan negara.
Hanya saja, belum ada lembaga yang secara resmi ditunjuk sebagai pengumpul
dana (revenue gathering).
• Parahnya kedudukan dalam pemerintahan sebagai pembesar atau pejabat ini dapat
diperjualbelikan (venality of office), yang menyebabkan pembeli jabatan tadi
berusaha untuk mencari kompensasi atas uang yang telah dikeluarkannya dengan
memungut upeti sebesar-besarnya dari rakyat.
• Pada masa-masa sesudahnya, kondisi ini ternyata memperkuat sistem patron -
client, bapak - anak, atau kawula - gusti, dimana seorang pembesar sebagai patron
harus dapat memenuhi harapan rakyatnya, tentu saja dengan adanya jasa-jasa
timbal balik dari rakyat sebagai client-nya. Hubungan patron - client ini
merupakan salah satu sumber korupsi, sebab seorang pejabat untuk membuktikan
efektivitasnya harus selalu berbuat sesuatu tanpa menghiraukan apakah ini untuk
kepentingan umum, kelompok atau perorangan, yakni para anak buah yang
seringkali adalah saudaranya sendiri. Selain itu, sistem patron - client juga
menjadi faktor perusak koordinasi dan kerjasama antar para penguasa, dimana
timbul kecendrungan persaingan antara para penguasa/pejabat untuk menganak-
emaskan orangnya. Disinilah faksionalisme di kalangan elite menjadi
berkepanjangan.
• Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa tersebut ketika
kekuasaan pada birokrasi patrimonial (Weber) yang berkembang pada kerangka
kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur yang
demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan
mudah berkembang (Mochtar Lubis, 1995).
• Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa ruang lingkup korupsi tidak
terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah,
melainkan juga kepada hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
• Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah di jelaskan
dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi di rumuskan ke dalam tiga puluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara
terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
KETIGAPULUH BENTUK/JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI
TERSEBUT PADA DASARNYA DAPAT DI KELOMPOKKAN SEBAGAI
BERIKUT:
 
• 1. Kerugian keuangan negara:
• => Pasal 2 (melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan
keuangan negara);
• => Pasal 3 (menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat
merugikan keuangan negara).

• 2. Suap-menyuap:
• => Pasal 5 ayat (1) huruf a (menyuap pegawai negeri);
• => Pasal 5 ayat (1) huruf b (menyuap pegawai negeri);
• => Pasal 13 (memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya);
• => Pasal 5 ayat (2) (pegawai negeri menerima suap);
• => Pasal 12 huruf a (pegawai negeri menerima suap);
• => Pasal 12 huruf b (pegawai negeri menerima suap);
• => Pasal 11 (pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan
jabatannya);
• => Pasal 6 ayat (1) huruf a (menyuap hakim);
• => Pasal 6 ayat (1) huruf b (menyuap advokat);
• => Pasal 6 ayat (2) (hakim dan advokat menerima suap);
• => Pasal 12 huruf c (hakim menerima suap);
• => Pasal 12 huruf d (advokat menerima suap).
3. Penggelapan dalam jabatan:
• => pasal 8 (pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan);
• => Pasal 9 (pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi);
• => Pasal 10 huruf a (pegawai negeri merusakkan bukti);
• => Pasal 10 huruf b (pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti);
• => Pasal 10 huruf c (pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti).
•  
4. Perbuatan pemerasan:
• => Pasal 12 huruf e (pegawai negeri memeras);
• => Pasal 12 huruf g (pegawai negeri memeras);
• => Pasal 12 huruf f (pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain).
 
5. Perbuatan curang:
• => Pasal 7 ayat (1) huruf a (pemborong berbuat curang);
• => Pasal 7 ayat (1) huruf b (pengawas proyek membiarkan perbuatan curang);
• => Pasal 7 ayat (1) huruf c (rekanan TNI/Polri berbuat curang);
• => Pasal 7 ayat (1) huruf d (pengawas TNI/Polri membiarkan perbuatan curang);
• => Pasal 7 ayat (2) (penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang);
• => Pasal 12 huruf h (pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang
lain).

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan:


• => Pasal 12 huruf i (pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang di urusnya).

• 7. Gratifikasi:
• => Pasal 12 B jo. Pasal 12 C (pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK).
• Penjelasan:
• - Yang di maksud dengan "secara melawan hukum" adalah perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak di atur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
di pidana.
• - Dalam ketentuan ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau
perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-
unsur perbuatan yang sudah di rumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
• - Yang di maksud dengan "advokat" adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik
di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• - Yang di maksud dengan "gratifikasi" adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
pasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang di terima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
• Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi :
• 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
• 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
• 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
• 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;
• 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan
keterangan palsu;
• 6. Saksi yang membuka identitas pelapor.
REFERENSI

Budirahayu, T. (n.d.). Modul: Ruang Lingkup Korupsi. 1–51.

Puspito, N. T. (n.d.). Anti-Korupsi Anti-Korupsi Pendidikan.

Ridwan. (n.d.). Dosen Fakultas Hukum Universtas Sultan Ageng Tirtayasa Banten 78. Kebijakan Formulasi Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, 78–97.

Sina, L. (2008). 1108-Article Text-2205-1-10-20140905.pdf. In Jurnal Hukum (Vol. 26, Issue 1).

Wibawa, D. S., Agustian, M., & Warmiyati, M. T. (2021). Pendidikan Anti Korupsi sebagai Tindakan Preventif
Perilaku Koruptif. Muqoddima Jurnal Pemikiran Dan Riset Sosiologi, 2(1), 1–18.
https://doi.org/10.47776/mjprs.002.01.01
THANK YOU!

Anda mungkin juga menyukai