Anda di halaman 1dari 40

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Batu Gamping (Limestone)

Batu gamping menurut definisi Reijers &Hsu (1986) adalah batuan yang
mengandung kalsium karbonat hingga 95 %, Sehingga tidak semua batuan karbonat
adalah batu gamping. Di Indonesia, batu gamping sering disebut juga dengan istilah
batu kapur, sedangkan istilah luarnya biasa disebut “Limestone”. Batu gamping
merupakan batuan sedimen yang terbentuk dari akumulasi cangkang, karang, alga, dan
pecahan-pecahan sisa organism. Batu gamping juga dapat menjadi batuan sedimen
kimia yang terbentuk oleh pengendapan kalsium karbonat dari air danau ataupun air
laut.
Pada prinsipnya, defenisi batu gamping mengacu pada batuan yang
mengandung setidaknya lebih dari 50% berat kalsium karbonat dalam bentuk mineral
kalsit. Sisanya, batu gamping dapat mengandung nodul besar rijang, nodul pirit dan
nodul siderite. Kandungan kalsium karbonat dari batu gamping memberikan sifat fisik
yang sering digunakan untuk mengidentifikasi batuan ini. Biasanya identifikasi batu
gamping dilakukan dengan meneteskan 5% asam klorida (HCL), jika bereaksi maka
dapat dipastikan batuan tersebut adalah batu gamping.

3.2 Metode dan Sistem Penambangan

Penambangan mineral atau endapan bijih dengan metode tambang terbuka


diketahui ada empat metode yang digunakan, yaitu:
a. Open pit
Open pit adalah metode penambangan yang diterapkan pada tambang terbuka dan
dicirikan dengan bentuk tambang berupa corong (kerucut terbalik) di permukaan bumi.

28
Sedangkan open cut adalah metode penambangan yang hampir mirip dengan cara
penambangan open pit, namun metode penambangan ini dilakukan apabila endapan
bijih yang ditambang berbentuk bukit seperti endapan batu gamping. Bentuk tambang
dapat pula melingkari bukit atau undakan, hal tersebut tergantung dari letak endapan
penambangan yang diinginkan.
b. Strip mine
Penambangan dengan sistem strip mine merupakan penambangan terbuka yang
dilakukan untuk endapan-endapan yang letaknya mendatar atau sedikit miring. Cara
ini sering diterapkan pada penambangan batubara.
c. Quarry mine
Metode penambangan dengan cara Quarry adalah metode penambangan dengan
sistem tambang terbuka yang dilakukan khusus untuk menggali endapan- endapan
bahan galian industri atau mineral industri, seperti batu marmer, batu granit, batu
andesit, batu gamping, dan lain-lain.
d. Alluvial mine
Tambang alluvial adalah tambang terbuka yang diterapkan untuk menambang
endapan-endapan alluvial, misalnya tambang bijih timah, pasir besi, emas, dan lain-
lain. Kegiatan penambangan batu kapur yang akan dibahas adalah sistem kuari (quarry)
dengan memakai aktivitas pemberaian batuan dengan bahan peledak.

3.3. Aktivitas Penambangan

3.3.1. Land clearing


Land clearing merupakan pekerjaan awal yang dilakukan sebelum dimulai
proses penambangan berikutnya. Kegiatan ini berupa pembersihan lahan dan semak-
semak, pohon-pohon besar, sisa pohon yang di tebang, dan membuang semua bagian
yang dapat menghalangi pekerjaan selanjutnya. Selanjutnya kegiatan ini meratakan
lahan dan membuat jalan darurat sebagai jalur keluar masuknya alat mekanis lainnya,

29
membuat saluran air untuk mengeringkan lokasi kerja. Dalam kegiatan clearing alat
yang digunakan adalah bulldozer Caterpillar.
3.3.2. Pengupasan (stripping)
Pengupasan merupakan tahap untuk mengupas lapisan penutup atau
overburden (OB) pada batu kapur dan pembersihan lokasi pemboran. Pada lapisan ini
mengunakan alat berat dozer, lalu excavator sebagai alat gali dan alat muat lalu dump
truck sebagai alat angkut.
3.3.3. Pengeboran (drilling)
Operasi pengeboran dalam pembuatan lubang ledak di tambang terbuka dapat
dilakukan dengan kapasitas besar. Diameter lubang bor yang dibuat relatif besar
dengan jumlah lubang banyak. Hal tersebut dikarenakan pada tambang terbuka dapat
lebih leluasa menggunakan alat-alat mekanis dengan kapasitas kerja yang besar.
Lubang bor dapat dibuat secara vertikal maupun dengan kemiringan tertentu sesuai
kebutuhan.
3.3.4. Peledakan (blasting)
Peledakan merupakan cara yang efektif sebagai alat pembongkar batuan dalam
industri pertambangan. Perhitungan geometri peledakan harus sesuai dengan kondisi
geologi batuan yang akan diledakan dan dengan kondisi lapangan kerja. Pada tambang
terbuka peledakan biasanya dilakukan untuk keperluan produksi ataupun pembuatan
bench, sedangkan di tambang bawah tanah biasanya dilakukan untuk pembuatan
terowongan, adit, cross cut, ataupun untuk keperluan produksi.
3.3.5. Pemuatan dan pengangkutan
Pemuatan adalah kegiatan untuk mengambil dan memuat material ke dalam alat
angkut, atau ke suatu tempat penimbunan material (stockyard), ke dalam suatu
penampungan atau pengatur aliran material (hopper, bin, feeder, dan sebagainya),
adapun peralatan pemuatan diantaranya yaitu excavator, power shovel, back hoe, drag
line. Pengangkutan dapat dilakukan dengan menggunakan dump truck, motor scrapper
ataupun wheel loader serta bulldozer apabila jarak angkut kurang dari 100 meter
(Tenriajeng, 2003). Loading merupakan proses pemuatan material hasil galian oleh alat

30
muat (loading equipment) seperti excavator, powershovel, backhoe, dragline, yang
dimuatkan pada alat angkut (hauling equipment). Ukuran dan tipe dari alat muat yang
dipakai harus sesuai dengan kondisi lapangan dan keadaan alat angkutnya
(Indonesianto, 2005). Adapun hal yang mempengaruhi produksi (output) alat muat
(loading equipment) adalah:
a. Jenis/tipe dan kondisi alat muat, termasuk kapasitasnya
b. Jenis/macam material yang akan dikerjakan
c. Kapasitas dari alat angkut (hauling equipment)
d. Pola muat
e. Kemampuan operator alat berat
Hauling merupakan pekerjaan pengangkutan material hasil galian. Untuk
material lapisan tanah penutup (overburden) diangkut ke waste dump, sedangkan untuk
batubara diangkut menuju stockpile dengan menggunakan alat angkut (hauling
equipment) (Indonesianto, 2005). Produksi (output) dari pekerjaan pengangkutan ini
dipengaruhi oleh:
1. Kondisi jalan angkut
2. Banyak/tidaknya tanjakan
3. Kemampuan operator alat angkut
4. Hal-hal lain yang berpengaruh terhadap kecepatan dari alat angkut (hauling
equipment)
Penggunaan alat-alat berat yang kurang tepat dengan kondisi dan situasi
lapangan pekerjaan akan berpengaruh berupa kerugian antara lain rendahnya produksi,
tidak tercapainya jadwal atau target yang telah ditentukan, atau kerugian biaya
perbaikan yang tidak semestinya.

3.3.6. Crushing dan conveying


A. Crusher
Crusher umumnya digunakan dalam tahap primary crushing untuk
memproduksi produk berukuran sekitar 50 – 100 mm. Crusher dibedakan berdasarkan

31
gaya yang bekerja pada materialnya, mereka dibagi atas jaw, gyratory dan cone crusher
apabila gaya yang bekerja merupakan gaya kompresi, sedangkan disebut hammer
crusher apabila gaya yang bekerja berdasarkan impact atau pukulan.
Hammer crusher dapat dilihat pada (Gambar 3.1) dapat digunakan pada tahap
primary crushing maupun tahap secondary crushing. Hal ini dapat disesuaikan dengan
keperluan proses kominusi. Berbeda dengan jaw crusher yang memiliki dua plat yang
saling menekan material, hammer crusher berbentuk seperti pendulum, hammer atau
pemukul yang ada terikat secara horizontal dalam satu tabung silinder panjang, dimana
hammer tersebut berputar dengan kecepatan tinggi sehingga membuat material yang
dimaksud dapat terpukul dan kontak dengan dinding dari hammer crusher sehingga
menyebabkan pecahnya material yang dimaksud.

Sumber: Oleg D. Neikov, Stanisav S. Naboychenko, and Gordon Downson 2009


Gambar 3.1 Hammer Crusher

Kisi-kisi silindris ataupun screening biasanya ditempatkan dibawah rotor guna


menyaring material hasil crushing. Material harus cukup kecil agar dapat melewati
screening yang ada dibawahnya. Ukuran produk dapat diatur dengan mengubah ukuran
screening yang ada. Hammer crusher memiliki tekanan udara yang tinggi saat
beroperasi, pada saat terjadinya hentakan antara material dengan dinding crusher,
polusi udara pun timbul seiring dengan hancurnya material tersebut, namun hal ini
dirancang sedemikian rupa agar dapat meminimalisir terjadinya polusi.

32
B. Belt Conveyor
Belt conveyor merupakan salah satu alat angkut yang sering digunakan pada
aktivitas penambangan, dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut:

Gambar 3.2 Belt Conveyor

Keunggulan belt conveyor antara lain sebagai berikut :


1. Suatu sistem pengangkutan yang dapat diandalkan untuk mengangkut mined
mineral.
2. Mampu mengangkut bulk material dengan tonagge yang besar pada jarak angkut
yang cukup besar, dan dengan ongkos angkut perton yang lebih rendah.
3. Digunakan secara luas untuk pengangkutan berkapasitas kecil sampai sedang,
karena praktis dan ekonomis untuk mengangkut berbagai macam material.
4. Paling luas penggunaannya dibanding jenis conveyor lainnya seperti chain
conveyor, screw conveyor, dan shaker conveyor.
5. Dapat dimodifikasi untuk melaksanakan fungsi lainnya, seperti
penimbangan,blending, sampling, dan stockpile

33
3.4. Analisis Tempat Kerja

Kondisi geologi dari front penambangan sangat mempengaruhi pola peledakan,


agar menghasilkan fragmentasi yang sesuai dengan kebutuhan diperlukan identifikasi
lebih lanjut terhadap keadaan geologi pada lokasi yang akan dilakukan peledakan.
Peledakan yang dilakukan tidak hanya memeperhitungkan produksi yang akan di capai
namun hasil dari kegiatan peledakan sangat mempengaruhi keberhasilan dari
peledakan tersebut salah satunya yaitu fragmentasi yang dihasilkan.

3.5 Rancangan Peledakan

Rancangan peledakan mencakup seluruh prosedur perhitungan dan gambar


dalam penentuan: (Dr. Ir. S. Koesnaryo, M. Sc., 2001)
1. Geometri peledakan
2. Pola pemboran dan peledakan
3. Kebutuhan bahan peledak dan perlengkapannya
4. Produksi peledakan
5. Penanganan pasca produksi
Beberapa faktor dalam merancang peledakan yang dapat di kendalikan dan tidak dapat
di kendalikan: (Dr. Ir. S. Koesnaryo, M. Sc., 2001)
1. Faktor rancangan yang tidak dapat dikontrol
Faktor-faktor dalam rancangan peledakan yang tidak dapat dikontrol meliputi:
geologi, sifat dan kekuatan batuan, struktur diskontinuitas, kondisi iklim, dan
pengaruh air.
a. Geologi
Batuan yang menyusun kerak bumi dikelompokan menjadi tiga kelompok besar
yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Proses terbentuknya suatu
jenis batuan berbeda dengan jenis batuan lain. Setiap tipe batuan tersusun dari mineral-
mineral dalam berbagai komposisi, ukuran, tekstur, dan struktur yang berlainan.

34
Batuan yang tersingkap di permukaan bumi akan mengalami proses pelapukan dan
proses kecepatan pelapukan setiap jenis batuan juga berbeda-beda. Hal ini sangat
berpengaruh pada sifat fisik dan mekanik dari batuan. Batuan yang masih segar
umumnya memiliki kekuatan yang lebih besar, dan akan berkurang sejalan dengan
proses pelapukan yang dialami. Faktor yang mempengaruhi kecepatan pelapukan
antara lain:
 Komposisi mineral (mineral dengan Fe & Mg tinggi seperti olivin dan piroksin
melapuk lebih cepat dibandingkan dengan amfibol dan biotit, feldspar yang
mengandung Ca tinggi lebih cepat melapuk dibandingkan dengan feldspar yang
mengandung K dan Na tinggi)
 Faktor klimatologi (temperatur, kelembapan, kandungan organik)
 Ukuran butir/mineral (batuan berbutir kasar lebih cepat melapuk dibandingkan
dengan yang berbutir halus)
 Porositas dan permeabilitas batuan (batuan dengan porositas dan permeabilitas
tinggi cenderung lebih cepat melapuk)
 Hubungan/kontak antar batuan (adanya bidang lemah, bidang perlapisan,
diskontinuitas) Sifat pelarutan batuan (batuan yang mudah larut akan melapuk
lebih cepat). (Dr. Ir. S. Koesnaryo, M. Sc., 2001)

b. Struktur diskontinuitas
Massa batuan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu batuan segar dan
batuan lapuk. Untuk batuan segar, sifat diskontinuitas berperan penting, karena melalui
zona diskontinuitas ini proses pelapukan akan berlangsung secara intensif.
Diskontinuitas ini dapat berbentuk kekar, retakan, sesar, bidang perlapisan, dsb.
Struktur perlapisan merupakan ciri utama dari batuan sedimen seperti batugamping,
ketebalan lapisan ini berkisar dari beberapa sentimeter hingga puluhan meter,
tergantung pada kondisi pengendapannya.

35
Pada batuan berlapis seperti batuan sedimen sring dijumpai struktur kekar, yang
kemudian di perhitungkan dalam operasi peledakan. Adanya struktur kekar dalam
massa btuan akan mempengaruhi penyebaran energi ledakan, penentuan arah
peledakan dan fragmentasi batuan yang di hasilkan berkaitan dengan struktur kekar ini,
penentuan arah peledakan adalah: (Dr. Ir. S. Koesnaryo, M. Sc., 2001)
a. Pada batuan sedimen bidang kekar berpotongan satu dengan yang lain, sudut
horisontal yang dibentuk oleh bidang kekar vertikal biasanya membentuk sudut
tumpul (mendekati 1050 ) dan pada bagian lain akan membentuk sudut lancip
(mendekati 750 ).
b. Fragmentasi yang dihasilkan umumnya mengikuti bentuk perpotongan bidang
kekar. Apabila peledakan diarahkan pada sudut runcing akan menghasilkan
pecahan melebihi batas (over break) dan retakan-retakan pada jenjang. Peledakan
selanjutnya menghasilkan bongkah, getaran tangan, suara peledakan (airblast) dan
batu terbang. Untuk menghindari hal tersebut peledakan diarahkan keluar dari
sudut tumpul.
c. Jika dijumpai kemiringan kekar horisontal atau miring maka lubang ledak miring
akan memberikan keuntungan karena energi peledakan dapat berfungsi secara
efisien dapat dilihat pada Gambar 3.3. Jika kemiringan vertikal frgamentasi lebih
seragam dapat dicapai bila peledakan dilakukan sejajar dengan kemiringan kekar.
Adanya bidang diskontinuitas pada batuan akan mempengaruhi banyak hal yang
berhubungan dengan aktifitas penambangan diantaranya adalah pengaruh terhadap
kekuatan dari batuan, semakin banyak bidang diskontinuitas yang memotong massa
batuan, semakin kecil pula kekuatan batuan tersebut. Bidang-bidang diskontinu yang
ada pada massa batuan inilah yang memiliki potensi untuk menyebabkan terjadinya
failure pada batuan yang diekskavasi. Selain itu adanya bidang diskontinu juga akan
memberikan pengaruh lain dalam sebuah kegiatan pertambangan. Hal ini berhubungan
dengan ukuran fragmentasi material yang ditambang.

36
Sumber: edoc.site.rancangan peledakan
Gambar 3.3 Struktur Diskontinuitas Batuan

c. Sifat dan kekuatan batuan


Sifat batuan yang penting untuk dipertimbangkan dalam rangka perbaikan
fragmentasi hasil peledakan antara lain: (Dr. Ir. S. Koesnaryo, M. Sc., 2001)
 Sifat fisik: bobot isi
 Sifat mekanik: cepat rambat gelombang, kuat tekan dan kuat tarik.
 Pada umumnya bobot isi batuan digunakan sebagai petunjuk kemudahan batuan
untuk di pecahkan dan dipindahkan. Batuan yang berat berarti untuk volume
batuan yang sama akan lebih berat dan memerlukan energi yang lebih banyak
untuk membongkarnya.
 Kecepatan rambat tiap batuan berbeda. Batuan yang masif kecepatan perambatan
gelombang yang tinggi, dapat memberikan hasil framentasi yang bila diledakkan
menggunakan bahan peledak yang mempunyai kecepatan detonasi yang tinggi.
 Kuat tekan dan kuat tarik juga dapat digunakan sebagai petunjuk kemudahan
batuan untuk dipecahkan. Batuan pada dasarnya lebih kuat atau tahan terhadap
tekanan dari pada tarikan, hal ini dicirikan oleh kuat tekan batuan lebih besar
dibandingkan dengan kuat tariknya.

37
d. Pengaruh air
Kandungan air dalam jumlah yang cukup banyak dapat mempengaruhi stabilitas
kimia bahan peledak yang sudah diisikian ke dalam lubang ledak. Kerusakan sebagian
isian bahan peledak dapat mengurangi kecepatan reaksi bahan peledak sehingga akan
mengurangi energi peledakan , atau bahkan isian akan gagal meledak (misfire).
Misalnya ANFO yang dapat larut dalam air, tidak baik digunakan untuk zona
peledakan yang banyak airnya. Untuk mengatasi pengaruh air, jika lubang ledak berisi
air maka air dikeluarkan dengan udara bertekanan tinggi dari kompresor.
e. Kondisi cuaca
Kondisi cuaca berhubungan erat dengan skedul kerja dan waktu kerja efektif rata-
rata. Dalam suatu operasi peledakan. Proses pengisian dan penyambungan rangkaian
lubang-lubang ledak dilakukan pada cuaca normal, dan harus dihentikan manakala
cuaca mendung (akan hujan). Pada daerah tropik, semakin banyak hari hujan berarti
jumlah jam kerja efektif untuk operasi peledakan menjadi semakin pendek.
2. Faktor rancangan yang dapat dikontrol
Faktor-faktor dalam rancangan peledakan yang dapat dikontrol meliputi geometri
pemboran, geometri peledakan, bahan peledak, sistem penyalaan dan urutannya. (Dr.
Ir. S. Koesnaryo, M. Sc., 2001)
a. Geometri pemboran
geometri pemboran mencakup:
 Diameter lubang ledak
Penentuan diameter lubang ledak yang ideal tergantung pada faktor-faktor:
1. Volume massa batuan yang akan dibongkar (volume produksi)
2. Tinggi jenjang dan konfigurasi isian
3. Tingkat fragmentasi yang diinginkan
4. Mesin bor yang tersedia (kaitannya dengan biaya pemboran)
5. Kapasitas alat muat yang akan menangani material hasil peledakan

38
 Kedalaman lubang ledak
Kedalaman lubang ledak disesuaikan dengan tinggi jenjang. Pada prinsipnya
kedalaman lubang ledak harus lebih dari pada tinggi jenjang. Kelebihan kedalaman
lubang ledak (subdrilling) dimaksudkan untuk memperoleh lantai jenjang yang
rata.
 Inklinasi lubang ledak
Arah lubang ledak dapat tegak atau miring, arah penjajaran lubang bor pada
jenjang harus sejajar untuk menjamin keseragaman burden dan spasi dalam
geometri peledakan. Lubang ledak yang dibuat tegak, maka bagian lantai jenjang
akan menerima gelombang tekan yang besar, gelombang tekan sebagian akan
dipantulkan pada bagian bebas dan sebagian lagi akan diteruskan pada bagian
bawah lantai jenjang. Perbedaan lubang ledak vertikal dan horizontal dapat dilihat
pada Gambar 3.4 berikut ini:

Sumber: edoc.site.rancangan peledakan


Gambar 3.4 Perbedaan Lubang Ledak Vertikal dan Lubang Ledak Horizontal

 Tinggi jenjang

39
 Pola pemboran
Pada umumnya ada dua macam pola pemboran lubang ledak, yaitu:
1. Pola pemboran sejajar (paralel)
Pola pemboran sejajar adalah pola dengan penempatan lubang-lubang
ledak dengan baris (row) yang berurutan dan sejajar dengan burden.
2. Pola pemboran selang-seling (staggered)
Pola pemboran selang-seling adalah pola pemboran dengan penempatan
lubang ledak terletak pada baris yang berurutan tidak sejajar. Dapat
dilihat pada Gambar 3.5 berikut ini:

Sumber: edoc.site.rancangan peledakan


Gambar 3.5 Pola Pemboran

3.6 Mekanisme Pecahan Batu

Konsep yang di pakai adalah konsep pemecahan dan reaksi-reaksi mekanik


dalam batuan homogen. Sifat mekanis dalam batuan yang homogen akan berbeda dari
batuan yang mempunyai rekahan-rekahan dan heterigen seperti yang dijumpai dalam
pekerjaan peledakan. Proses pecahnya batuan akibat energi ledakan dapat dibagi dalam

40
tiga tingkatan yaitu dynamic loading, quasi-static loading, dan release of loading. (Dr.
Ir. S. Koesnaryo, M. Sc., 2001)
1. Proses pemecahan tingkat I (dynamic loading)
Pada saat bahan peledak meledak, tekanan tinggi menghancurkan batuan di
daerah disekitar lubang ledak. Gelombang kejut yang meninggalkan lubang ledak
merambat dengan kecepatan 3000-5000 m/det, akan mengakibatkan tegangan
tangensial yang menimbulkan rekahan menjari yang menjalar dari daerah lubang ledak.
Rekah menjari pertama terjadi dalam waktu 1-2 ms.
2. Proses pemecahan batuan tingkat II (quasi-static loading)
Tekanan sehubungan dengan gelombang kejut yang meninggalkan lubang ledak
pada proses pemecahan tingkat I adalah positif. Apabila mencapai bidang bebas akan
dipantulkan, tekanan akan turun dengan cepat, kemudian berubah menjadi negatif dan
timbul gelombang tarik. Gelombang tarik ini merambat kembali di dalam batuan. Oleh
karena batuan lebih kecil ketahanannya terhadap tarikan dari pada tekanan, maka
terjadi rekahan-rekahan primer disebabkan karena tegangan tarik dari gelombang yang
di pantulkan. Apabila tegangan regang cukup kuat akan menyebabkan slabbing atau
spalling pada bidang bebas. Dalam proses pemecahan batuan tingkat I dan II fungsi
dari energi gelombang kejut adalah menyiapkan batuan dengan sejumlah rekahan-
rekahan kecil. Secara teoritis energi gelombang kejut jumlahnya antara 5–15 % dari
energi total bahan peledak. Jadi gelombang kejut menyediakan kesiapan dasar untuk
proses pemecahan tingkat akhir.
3. Proses pemecahan tingkat III (release of loading)
Dibawah pengaruh tekanan yang sangat tinggi dari gas-gas hasil peledakann
maka rekahan radial primer (tingkat II) akan diperlebar secara cepat oleh kombinasi
efek dari tegangan tarik disebabkan kompresi radial dan pembajian (pneumatic
wedging). Apabila masa batuan di depan lubang ledak gagal dalam mmepertahankan
posisinya bergerak ke depan maka tegangan tekan tinggi yang berada dalam batuan
akan dilepas, seperti spiral kawat yang ditekan kemudian di lepaskan. Efek dari
terlepasnya batuan adalah menyebabkan tegangan tarik tinggi dalam masa batuan yang

41
akan melanjutkan pemecahan hasil yang telah terjadi pada proses pemecahan tingkat
II. Rekahan hasil dalam pemecahan tingkat II menyebabkan bidang-bidang lemah
untuk memulai reaksi-reaksi fragmentasi utama pada proses peledakan.

3.7 Geometri Peledakan

Untuk memperoleh hasil pembongkaran batuan sesuai dengan yang diinginkan,


maka perlu suatu perencanaan peledakan dengan memperhatikan besaran-besaran
geometri peledakan. Dan salah satunya dengan menggunakan teori coba-coba atau
yang sering disebut dengan Geometri Peledakan “Rules of Thumb” (Dyno Nobel).
Dasar dari penggunaan Teori “Rules of Thumb” adalah dari percobaan para praktisi di
lapangan maupun dari produsen bahan peledak yang tujuannya ingin mempermudah
dalam menentukan geometri peledakan karena geometri yang selama ini digunakan
seperti R.L. Ash (1963) dan C.J. Konya (1972) menyajikan batasan konstanta untuk
menentukan dan menghitung geometri peledakan, terutama menentukan ukuran burden
berdasarkan diameter lubang tembak, kondisi batuan setempat dan jenis bahan
peledak., sehingga para praktisi dilapangan mencetuskan pendesainan geometri “Rules
of Thumb” yang penggunaannya lebih simpel dan disesuaikan dengan kondisi
lapangan.
Untuk menghancurkan batuan maka bahan peledak harus ditempatkan dalam
batuan itu sendiri dengan jarak tertentu dibelakang bidang bebas atau disebut free face.
Masa batuan tersebut harus memiliki satu atau lebih free face. Geometri peledakan
terdiri dari burden, spacing, sub-drilling, stemming, dan kedalaman lubang bor, yang
dapat dilihat pada Gambar 3.6 berikut ini:

42
Sumber : indonesianto,2005
Gambar 3.6 Diagram Desain Peledakan Pada Bench
1. Burden (B)
Burden adalah jarak terdekat antara bidang bebas (free face) dengan lubang
tembak atau ke arah mana batuan yang diledakkan akan terlempar. Burden dipengaruhi
oleh faktor koreksi batuan yang akan diledakkan dan faktor koreksi bahan peledak yang
digunakan serta besarnya diameter lubang ledak. Burden dapat didefinisikan sebagai
jarak dari lubang bor terhadap bidang bebas (free face) yang terdekat pada saat terjadi
peledakan. Peledakan dengan jumlah baris (row) yang banyak, true burden tergantung
penggunaan bentuk pola peledakan yang digunakan delay detonator dari tiap-tiap baris
delay yang berdekatan akan menghasilkan free face yang baru. Burden juga
berpengaruh pada fragmentasi dan efek peledakan. (indonesianto, 2005)
Burden merupakan variabel yang sangat penting dan kritis dalam mendesain
peledakan. Dengan jenis bahan peledak yang dipakai dan jenis batuan yang dihadapi,
terdapat jarak maksimum burden agar hasil ledakan menjadi baik. Ukuran burden juga
sangat menentukan flyrock yang dihasilkan yang dapat dilihat pada (Gambar 3.7),
Secara teoretis besarnya burden dapat ditentukan dengan persamaan:

43
𝐸𝑥𝑝𝑙𝑜𝑠𝑖𝑣𝑒 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦 × 2
𝐵𝑢𝑟𝑑𝑒𝑛 (𝑚) = (( ) + 1,8) × 𝐸𝑥𝑝𝑙𝑜𝑠𝑖𝑣𝑒 𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟: 84
𝑅𝑜𝑐𝑘 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦

Sumber : indonesiano,2005
Gambar 3.7 Hubungan Burden Terhadap Flyrock

2. Spasi (S)
Spasi merupakan fungsi daripada burden dan dihitung setelah burden ditetapkan
terlebih dahulu. Spasi yang lebih kecil dari ketentuan akan menyebabkan ukuran
batuan hasil peledakan terlalu hancur. Tetapi jika spasi lebih besar dari ketentuan akan
menyebabkan banyak terjadi bongkah (boulder) dan tonjolan di antara dua lubang
ledak setelah peledakan. Besarnya spasi dapat digunakan persamaan sebagai berikut:

Spacing (m) = Burden × 1,15


Spasi adalah jarak antara lubang tembak dalam satu baris (row) dan diukur sejajar
terhadap pit wall. Biasanya spacing tergantung pada burden, kedalaman lubang bor,
letak primer, waktu tunda, dan arah struktur bidang batuan. Yang perlu diperhatikan
dalam memperkirakan spacing adalah apakah ada interaksi antar charges yang
berdekatan. Bila masing-masing lubang bor diledakkan sendiri-sendiri dengan interval

44
waktu yang cukup panjang, untuk memungkinkan setiap lubang bor meledak dengan
sempurna, tidak akan terjadi interaksi antar gelombang energi masing-masing. Kalau
waktu tunda diperpendek maka akan terjadi interaksi sehingga menyebabkan efek yang
kompleks.
Spasi merupakan fungsi dari pada burden dan dihitung setelah burden ditetapkan
terlebih dahulu. Spasi yang lebih kecil dari ketentuan akan menyebabkan ukuran
batuan hasil peledakan terlalu hancur. Tetapi jika Spasi lebih besar dari ketentuan akan
menyebabkan banyak terjadi bongkah (boulder) dan tonjolan (stump) diantara dua
lubang ledak setelah peledakan. Pada geometri Rules of Thumb menerapkan peledakan
dengan pola equilateral (segitiga sama sisi) dan beruntun tiap lubang ledak dalam baris
yang sama. Burden dan spasi aktual PT. Semen Padang dapat dilihat pada Gambar 3.8
berikut ini:

Gambar 3.8 Burden dan Spasi Aktual PT. Semen Padang

3. Stemming (T)
Stemming adalah panjang isian lubang ledak yang tidak diisi dengan bahan
peledak tapi diisi dengan material seperti tanah liat atau material hasil pengeboran
(cutting). Stemming berfungsi untuk mengurung gas yang timbul sehingga air blast dan

45
flyrock dapat terkontrol. Namun dalam hal ini panjang kolom stemming juga dapat
mempengaruhi fragmentasi batuan hasil peledakan. Stemming yang terlalu panjang
dapat mengakibatkan terbentuknya bongkah apabila energi ledakan tidak mampu untuk
menghancurkan batuan di sekitar stemming tersebut. Stemming yang terlalu pendek
bisa mengakibatkan terjadinya batuan terbang dan pecahnya batuan menjadi lebih
kecil. Dapat dilihat pada (Gambar 3.9).

Panjang pendeknya stemming juga akan mempengaruhi hasil dari peledakan,


seperti: (indonesianto, 2005)
a. Stemming terlalu panjang, maka:
 Ground vibration tinggi (getar tinggi)
 Lemparan kurang
 Fragmentasi area jelek
 Suara kurang

b. Stemming terlalu pendek:


 Fragmentasi di area bawah jelek
 Terdapat toe di floor (tonjolan di floor)
 Terjadi flying rock (batu terbang)
 Suara keras (noise) or (airblast)

Besarnya stemming dapat digunakan persamaan sebagai berikut:


Stemming (m) = Burden × 0,7

46
Sumber : indonesianto,2005
Gambar 3.9 Perbedaan Stemming Pendek dan Stemming Panjang

4. Subdrilling (J)
Tujuan dari subdrilling adalah supaya batuan bisa meledak secara full face
sebagaimana yang diharapkan. Nilai subdrilling dapat ditentukan dengan
menggunakan rumus-rumus berikut:

Subdrilling length (m) = Burden × 0,3

5. Diameter lubang ledak


Ukuran diameter lubang tembak merupakan faktor yang penting dalam
merancang suatu peledakan, karena akan mempengaruhi dalam penentuan jarak burden
dan jumlah bahan peledak yang digunakan pada setiap lubangnya. Untuk diameter
lubang tembak yang kecil, maka energi yang dihasilkan akan kecil. Sehingga jarak
antar lubang bor dan jarak ke bidang bebas haruslah kecil juga, dengan maksud agar
energi ledakan cukup kuat untuk menghancurkan batuan. Begitu pula
sebaliknya.Pemilihan diameter lubang ledak di didalam teori “Rules of Thumb”
dipengaruhi oleh besarnya tinggi jenjang / bench height .. Berikut adalah formula dari
teori “Rules of Thumb” dalam penentuan diameter lubang ledak:

Blast Hole Diametre (mm) ≤ 15 x Bench Height (m)

6. Blasthole length (L)


Kedalaman lubang ledak tergantung pada ketinggian bench, burden, dan arah
pengeboran. Kedalaman lubang tembak merupakan penjumlahan dari besarnya

47
stemming dan panjang kolom isian bahan peledak. Kedalaman lubang ledak biasanya
disesuaikan dengan tingkat produksi (kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik.
Kedalaman lubang tembak tidak boleh lebih kecil dari burden. Hal ini untuk
menghindari terjadinya overbreaks atau.

Blasthole length (m) = Bench Height + Subdrilling Length

7. Charge length (PC)


Panjang kolom isian merupakan panjang kolom lubang tembak yang akan diisi
bahan peledak. Panjang kolom ini merupakan kedalaman lubang tembak dikurangi
panjang stemming yang digunakan.

Charge Length (m) = Blasthole Length - Stemming Length

8.Tinggi jenjang (H)


Tinggi jenjang maksimum biasanya dipengaruhi oleh kemampuan alat bor dan
ukuran mangkok serta tinggi jangkauan alat muat. Umumnya peledakan pada tambang
terbuka dengan diameter lubang besar, tinggi jenjang berkisar antara 10 – 15 m.
Pertimbangan lain yang harus diperhatikan adalah kestabilan jenjang agar tidak runtuh,
baik karena daya dukungnya lemah atau akibat getaran peledakan. Jenjang yang
pendek memerlukan diameter lubang bor yang kecil, sementara untuk diameter lubang
bor yang besar dapat diterapkan pada jenjang yang lebih tinggi.

9. Loading density
Konsentrasi isian merupakan jumlah isian bahan peledak yang digunakan dalam
kolom isian (PC) lubang tembak. Untuk menghitung lubang tembak maka harus
ditentukan dulu jumlah isian bahan peledak tiap meter panjang kolom isian (loading
density). Untuk menghitung loading density dapat digunakan rumusan sebagai berikut:

48
Loading Density = 0,000785 × Explosive Density × Explosive Diameter2

10. Powder factor (PF)


Powder factor (PF) didefinisikan sebagai perbandingan jumlah bahan peledak
yang dipakai dengan volume peledakan, dengan satuan kg/m3. Volume peledakan
dapat pula dikonversi dengan berat maka PF bisa pula menjadi jumlah bahan peledak
yang digunakan dibagi berat peledakan (kg/ton). Volume peledakan merupakan
perkalian dari B × S × H, sehingga:

PF =Wbahan peledak / B × S × H
Dimana:
W = Berat Bahan Peledak (kg/lubang)
B = Burden (m)
S = Stemming (m)
H = Bench Height (m)

Nilai powder factor dipengaruhi oleh geometri peledakan, struktur geologi, dan
karakteristik massa batuan itu sendiri. Pada Tabel 3.1 dapat diketahui hubungan
powder factor dengan beberapa jenis batuan.
Pengisian bahan peledak terlalu banyak mengakibatkan jarak stemming menjadi
kecil sehingga menyebabkan batuan terbang dan ledakan tekanan udara (airblast).
Sedangkan bila pengisian terlalu kecil maka jarak stemming menjadi besar sehingga
menimbulkan bongkah dan backbreak di sekitar dinding jenjang.

Types of Rock Powder Factor (kg/m3)


Massive high strength rocks 0,60 – 1,50
Medium strength rocks 0,30 – 0,60

49
Highly fissured rocks, weathered or 0,10 – 0,30
soft
Tabel 3.1 Hubungan Nilai Powder Factor dengan Tipe Batuan
Sumber: Jimeno,1995

3.8 Pola Peledakan

Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antar lubang bor dalam satu
baris dengan baris berikutnya atau antara lubang bor yang satu dengan yang lain
(Anonim, 2004). Pola peledakan ini ditentukan berdasarkan urutan waktu peledakan
serta arah runtuhan material yang diharapkan. Agar peledakan berjalan dengan baik,
maka perlu perencanaan yang teliti dalam menentukan pola peledakan. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan pola peledakan, yaitu: (Anonim,
2004)
1) Kuat tekan batuan yang akan diledakkan
2) Fragmentasi hasil peledakan yang diinginkan
3) Bidang bebas yang ada serta arah jatuhnya batuan
4) Jenis bahan peledak yang akan digunakan
5) Jumlah baris yang didasarkan pada lebar daerah yang akan diledakkan sesuai
untuk kebutuhan produksi
Ada dua macam pola peledakan yang dibagi berdasarkan arah runtuhan batuan (hasil
peledakan) dan waktu peledakan (Anonim, 2004).
Pola peledakan dipengaruhi oleh penentuan waktu tunda serta kondisi kerja pada
area penambangan. Pertimbangan dasar dalam menetukan arah lemparan batuan ialah
lokasi yang aman dan terhindar dari aktivitas manusia serta peralatan mekanis. Secara
umum pola peledakan terdiri atas (Dyno Nobel, 2006):
1. Row by row adalah pola peledakan yang mana lemparan batuan hasil peledakan
mengarah ke arah depan dari free face dapat dilihat pada Gambar 3.10 berikut:

50
Sumber: Dyno Nobel, 2006
Gambar 3.10 Pola Peledakan Row By Row

2. Echelon adalah pola peledakan yang memanfaatkan tersedianya dua bidang


bebas. Arah lemparan batuan pada pola peledakan ini mengarah ke arah samping
jenjang. Tipikal pola peledakan ini mampu menghasilkan bentuk jenjang yang
baik. Dapat dilihat pada Gambar 3.11 berikut:

Sumber: Dyno Nobel, 2006


Gambar 3.11 Pola Peledakan Echelon

3. Chevron adalah pola peledakan yang digunakan ketika hanya tersedia satu bidang
bebas dengan tujuan untuk menumpuk batuan hasil peledakan pada salah satu
bagian dari jenjang. Dapat dilihat pada Gambar 3.12 berikut:

51
Sumber: Dyno Nobel, 2006
Gambar 3.12 Pola Peledakan Chevron

4. V cut adalah pola peledakan yang mirip dengan pola peledakan chevron akan
tetapi arah lemparan batuannya lebih mengerucut dan berbentuk seperti huruf
“V”. Dapat dilihat pada Gambar 3.13 Berikut:

Sumber: Dyno Nobel, 2006


Gambar 3.13 Pola Peledakan V Cut

5. Diamond cut, adalah pola peledakan yang diterapkan ketika ingin melempar
batuan ke arah pusat dari area peledakan. Pola peledakan ini lazim diterapkan
ketika hanya tersedia satu bidang bebas. Dapat dilihat pada Gambar 3.14 berikut:

52
Sumber: Dyno Nobel, 2006
Gambar 3.14 Pola Peledakan Diamond Cut

3.9 Waktu Tunda (Delay Period)

Peledakan-Peledakan pada perusahaan tambang dilakukan untuk memberaikan


batuan dari batuan induknya. Dan dilakukan untuk menunjang operasi penggalian yang
dilakukan excavator, karna tujuan dari peledakan itu sendiri membuat fragmentasi
sehingga dapat menghasilkan rekahan pada batuan, yang dapat memudahkan dalam
proses penggalian batuan tersebut. Secara umum pola peledakan menunjukan urutan
atau sekuensial ledakan dari sejumlah lubang ledak adanya urutan peledakan berarti
terdapat jeda waktu ledakan yang disebut dengan waktu tunda (delay time). Beberapa
keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan waktu tunda pada sistem peledakan
yaitu : (Anonim, 2004)
1. Mengurangi getaran.
2. Mengurangi overbreak dan batu terbang (fly rock).
3. Mengurangi gegeran akibat airblast dan suara (noise).
4. Dapat mengarahkan lemparan fragmentasi batuan.
5. Dapat memperbaiki ukuran fragmentasi batuan hasil ledakan.

Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara


beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah:
1) Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik
2) Dapat mengurangi timbulnya getaran tanah
3) Dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya

Bila waktu tunda antar baris pendek, muatan di baris depan menghalangi
pergeseran baris berikutnya, material di baris kedua tersembur vertikal dan menumpuk.

53
Bila waktu tundanya terlalu lama, maka produk hasil bongkaran akan terlempar jauh
ke depan serta kemungkinan besar akan mengakibatkan flyrock. Hal ini terjadi karena
tidak ada dinding batuan yang berfungsi sebagai penahan lemparan batuan di
belakangnya.

3.10 Bahan Peledak

Bahan peledak ialah zat padat, cair, gas, atau campurannya, bila terkena panas,
benturan, atau gesekan akan berubah secara kimiawi menjadi zat lain dan menjadi gas.
Perubahan tersebut berlangsung sangat singkat, disertai efek panas serta tekanan yang
sangat tinggi (Kepres RI No.5). Bahan peledak yang biasa digunakan sesuai kebutuhan
dalam peledakan tambang adalah:
1. Ammonium nitrate fuel oil (ANFO)
Merupakan suatu bentuk campuran berbentuk butiran terdiri dari bahan bakar dan
bahan pengoksidasi yang dimaksudkan untuk peledakan. Semua bahan-bahan
campuran tersebut tidak terdapat bahan yang dapat diklarifikasikan sebagai bahan
peledak. Campuran yang dihasilkan tidak dapat diledakkan dengan detonator karena
memiliki sifat sebagai bahan peledak jika diberi sensitizer tertentu atau booster/primer.
Komposisi bahan bakar yang tepat yaitu 5,7% atau 6%, dapat memaksimumkan
kekuatan bahan peledak dan meminimalkan fumes, Artinya pada komposisi ANFO
yang tepat dengan AN = 94,3% dan FO = 5,7% akan diperoleh zero oxygen balance.
Kelebihan FO disebut dengan overfuelled akan menghasilkan reaksi peledakan dengan
konsentrasi CO berlebih, sedangkan bila kekurangan FO atau underfuelled akan
menambah jumlah NO2.
2. Slurry/emultion/watergel
Istilah slurry dan water gel bermakna sama, yaitu campuran oksidator, bahan
bakar, dan pemeka (sensitizer) di dalam media air yang dikentalkan memakai gum.
Gum adalah semacam perekat, sehingga campuran tersebut berbentuk jeli atau slurry
yang mempunyai ketahanan terhadap air sempurna.

54
Slurry merupakan campuran oksidator (NaNO3, NHNO3), fuel sensitizer, 15 –
20% air, dan ditambah bahan pengikat (gelling agent) yang menyebabkan slurry tahan
air. Pada emulsi pengikatnya adalah sejenis oil dan paraffin (lilin).
3. Bahan peledak heavy ANFO
Bahan peledak heavy ANFO adalah campuran dari emulsi dengan ANFO dengan
perbandingan yang bervariasi. Keuntungan dari campuran ini sangat tergantung pada
perbandingannya, walaupun sifat atau karakter bawaan dari emulsi dan ANFO tetap
mempengaruhinya. Keuntungan penting dari pencampuran ini adalah:
- Energi bertambah
- Sensitivitas lebih baik
- Sangat tahan terhadap air
- Memberikan kemungkinan variasi energi di sepanjang lubang ledak.

3.11 Fragmentasi

Kepentingan dari fragmentasi tidak bisa diremehkan karena pada tingkatan


yang luas fragmentasi merupakan ukuran dari suksesnya peledakan, hal ini
mempengaruhi biaya operasional dan perawatan dari operasi-operasi selanjutnya serta
termasuk pengoperasian alat berat seperti penggalian atau pemuatan, pengangkutan
dan crushing. Oleh karena itu pengeboran dan peledakan sangat berhubungan dengan
optimasi operasi-operasi selanjutnya. Fragmentasi yang buruk menghasilkan
oversize atau bongkahan besar yang mengakibatkan bertambahnya biaya
penghancuran sekunder untuk mengurangi ukurannya sampai pada ukuran yang dapat
diolah secara ekonomis, aman dan efisien dengan alat-alat angkut dan muat. Faktor
fragmentasi batuan dapat digolongkan dalam tiga kelompok parameter:
a. Parameter peledak, mencakup densitas, kecepatan detonasi, volume gas dan
energi yang tersedia.
b. Parameter pemuatan lubang ledak, mencakup diameter lubang ledak, stemming,
de-coupling, serta tipe dan titik inisiasi.

55
c. Parameter batuan yang berhubungan dengan densitas batuan, kekuatan
(compressive dan tensile), tekstur dan kecepatan propagasi.
Produksi berlebih dari batuan undersize atau berukuran halus juga tidak
diinginkan karena mengindikasikan penggunaan berlebih yang tidak berguna dari
bahan peledak, pengurangan ukuran yang ekonomis dapat dicapai dengan penggunaan
instalasi crushing yang sesuai. Biar bagaimanapun dibawah kondisi tertentu,
fragmentasi dapat diperbaiki dengan mengadopsi salah satu atau lebih lengkah berikut
(diterapkan dalam peledakan bench):
1. Mengurangi spacing antara lubang yang saling sejajar dalam baris.
2. Mengurangi jarak burden.
3. Menggunakan detonator dengan short delay.
Sangat penting mengetahui fragmentasi hasil peledakan secara teoritis sebelum
peledakan dilakukan. Peramalan fragmentasi dengan memperhitungkan factor geologi
disamping beberapa parameter peledakan lain biasanya dilakukan dengan cara Kuz-
Ram (Cunningham, 1983). Cara ini terdiri dari dua persamaan, yaitu:
1. Persamaan Kuznetsov untuk mencari ukuran rata-rata dari hasil peledakan dalam
cm.

0 ,8 1 9
 Vo   E 
30

X  A  .Qe 6  
1

 Qe   115 

Keterangan,
X = ukuran rata-rata dari hasil peledakan (cm)
A = Faktor batuan,
7 untuk batuan medium strength
10 untuk batuan keras yang berjoint intensif
13 untuk batuan keras dengan sedikit joint
sebaiknya antara 8 – 12 (Cunningham, 1983)
Blastability index (BI) x 0,15 (Lily, 1986)
Vo = volume batuan dalam m3 per lubang ledak

56
(burden x spacing x tinggi bench)
Qe = Massa bahan peledak yang digunakan tiap lubang ledak (kg)
E = Kekuatan berat relative bahan peledak
(ANFO = 100 ; TNT = 115)

2. Persamaan Rosin-Ramler untuk mencari material yang tertahan pada saringan.


n 1
 x


  X  n

Re  xc


.100% X c   
 0.693 

Keterangan,
R = Perbandingan material yang tertahan pada saringan
X = Ukuran screen
Xc = Karakteristik dari ukuran batuan
n = index keseragaman
(2,2 – 14 B/d) (1 – W/B) (1 + (A’ – 1)/2) L/H . SF
B = burden
d = diameter lubang tembak (mm)
W = standart deviasi dari kedalaman lubang bor (m)
A’ = spacing / burden
L = panjang charge di atas level (m)
H = tinggi bench (m)
SF = staggered factor (Jika memakai staggered drilling pattern maka n
dinaikkan 10 %) 1,1 untuk pemakaian staggered drilling pattern.
3.12 Perlengkapan dan Peralatan Peledakan

3.12.1 Perlengkapan peledakan


Perlengkapan peledakan adalah bahan-bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan
peledakan namun digunakan hanya dalam satu kali peledakan saja. Peralatan peledakan
terdiri dari (Lihat Lampiran C.3):

57
1. Bahan Peledak
Bahan peledak adalah suatu campuran dari bahan-bahan berbentuk padat atau cair
atau campuran dari keduanya yang apabila diberikan aksi misalnya panas, gesekan,
benturan akan berubah secara kimiawi menjadi zat-zat lain yang sebagian besar atau
seluruhnya berbentuk gas, dan perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang singkat,
disertai efek panas dan tekanan yang sangat tinggi (Keppres RI No.5 Tahun 1988).
Berdasarkan Keppres No.5 Tahun 1988 juga SK Menhakam No.
SKEP/974/VI/1988membagi bahan peledak (Explosive) menjadi dua golongan besar
yaitu:
a. Bahan peledak industri (komersial)
b. Bahan peledak militer
Bahan peledak industri dibedakan ke dalam dua kelompok sesuai dengan kecepatan
kejutnya (Jimeno dkk, 1995), yaitu:
a. Bahan peledak cepat (Rapid and Detonating Explosives)
Memiliki kecepatan antara 2000-7000 m/s dan dibedakan menjadi dua yaitu
primer (energinya tinggi dan sensitive, untuk isian detonator dan primer cetak,
seperti mercury fulminate, PETN, Pentolite), dan sekunder yang kurang
sensitive, dipakai untuk isian lubang ledak
b. Bahan peledak lambat (Slow and Deflagrating Explosives)
Memiliki kecepatan dibawah 2000 m/s, contoh gunpowder, senyawa piroteknik,
dan senyawa propulsive untuk artileri.
Ahli bahan peledak lain (Manon, 1976) membedakan bahan peledak industri
menjadi dua kelompok yaitu:
a. Bahan peledak kuat (High Explosives)
Mempunyai kecepatan detonasi antara 1600-7500 m/s, sifat reaksinya detonasi
(propagasi gelombang kejut) dan menghasilkan efek menghancurkan (Shattering
Effect), contoh: dynamit, TNT (Tri Nitro Toluen), PETN (Penta Era-Thritol Tetra
Nitrat). Bahan peledak kuat dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Primary explosives ( initiating explosives)

58
Yaitu bahan peledak yang mudah meledak karena terkena api, benturan,
gesekan, dan semacamnya, misalnya PbN6(ONC)2
2) Secondary explosives (Non initiating explosives)
Yaitu bahan peledak yang hanya akan meledak apabila ada ledakan yang
mendahuluinya, misalnya ledakan dari sebuah detonator.
b. Bahan peledak lemah ( low explosives)
Kecepatan reaksi kuran dari 1600 m/s, sifat reaksinya deflagrasi (reaksi kimia
yang cepat) dan menimbulkan efek pengangkatan (heaving effect). Contoh: black
powder, propelant.
Booster adalah bahan peka detonator yang dimasukan kedalam detonator kolom
lubang ledak yang berfungsi sebagai penguat energi ledak. Primer adalah suatu istilah
yang diberikan pada bahan peledak berbentuk catridge berupa pasta atau keras yang
sudah dipasang detonator yang diletakan didalam kolom lubang ledak. Pembuatan
primer umumnya dilakukan dengan cara memasang detonator atau sumbu ledak
kedalam catridge bahan peledak kuat atau bahan peledak peka detonator. Booster yang
digunakan yaitu Pentolite Daya Prime 200 keluaran Dahana. Booster digunakan
sebagai pemicu kedua peledakan sebelum merambat menuju Dabex. Booster akan
terbakar dan meledakan serta akan memicu peledakan yang kuat oleh dabex. Dapat
dilihat pada Gambar 3.15 berikut ini:

Gambar 3.15 Booster

59
Dalam melakukan peledakan batu gamping, PT. Semen Padang bekerjasama
dengan perusahaan penyedia bahan peledak PT. Dahana (Persero) dengan sistem
kontrak. Bahan peledak yang digunakan di PT. Semen Padang yaitu ANFO dan
DABEX dengan komposisi campuran 30% Amonium Nitrat dan 70% Bulk Emulsion.
Bahan peledak ANFO digunakan pada peledakan untuk pengembangan (development)
dan bahan peledak dabex digunakan pada peledakan untuk produksi. Dahana Bulk
Emulsion Explosive (DABEX) merupakan produksi emulsi curah yang ditemukan dan
diproduksi secara mandiri oleh PT. Dahana. Riset DABEX dilakukan oleh Dahana
sejak tahun 1998 berawal dari ide bagaimana bahan peledak dapat dioperasikan di area
tambang dalam kondisi basah dan masih tetap memberikan energi tinggi dan
fragmentasi batuan yang baik. DABEX dapat digunakan secara langsung 100 %
emulsion maupun dalam bentuk blends/campuran dengan ANFO. DABEX berbasis
ammonium nitrat terlarut dalam air yang diselimuti bahan bakar (water in oil)
terdispersi dalam minyak bakar dengan bantuan bahan pengemulsi sehingga
membentuk emulsi. Dengan bulk explosives loading strength yang dapat dioptimalkan,
maka biaya blasting dapat ditekan seminimal mungkin. DABEX dapat dilihat pada
Gambar 3.16 berikut:

60
Gambar 3.16 DABEX
2. Detonator

Detonator adalah alat pemicu awal yang menimbulkan inisiasi dalam bentuk
letupan (ledakan kecil) sebagai bentuk aksi yang memberikan efek kejut terhadap
bahan peledak peka detonator atau primer dapat dilihat pada (Gambar 3.17). Nonel
Inhole yang digunakan yaitu delay 500 ms keluaran Dahana.

Sumber : PT. Semen Padang, 2018

Gambar 3.17 Detonator

3. Delay Connector Nonel


Delay yang digunakan biasanya memiliki waktu tunda 25,42 dan 67 keluaran
Dahana yang dapat dilihat pada Gambar 3.18 dan Gambar 3.19 dan Gambar 3.20
sebagai berikut ini:

61
Gambar 3.18 Delay Connector Nonel 25 ms

Gambar 3.19 Delay Connector Nonel 42 ms

62
Gambar 3.20 Delay Connector Nonel 67 ms

4. Plastik Pembungkus
Digunakan untuk membungkus bahan peledak seperti booster, DABEX dan
ANFO yang penggunaannya ketika lubang bor untuk peledakan terdapat retakan-
retakan maka dilakukan pembungkusan agar daya ledak yang dihasilkan tetap
maksimal. Dapat dilihat pada Gambar 3.21 berikut:

Gambar 3.21 Plastik Pembungkus

3.12.2 Peralatan peledakan


Peralatan peledakan adalah bahan-bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan
peledakan dapat digunakan dalam beberapa kali kegiatan peledakan saja. Peralatan
peledakan terdiri dari:
1. Blasting machine
Merupakan alat untuk mengalirkan arus dari delay menuju ke detonator dan
menghasilkan ledakan. Biasanya disambung menggunakan kabel. Dapat dilihat
pada Gambar 3.22 berikut:

63
Gambar 3.22 Blasting Machine (BM)

2. Mobile Manufacturing Truck (MMT)


Mobile manufacturing truck (MMT) merupakan sebutan dari sebuah truck yang
berfungsi untuk mengangkut dan mencampur bahan peledak yang pada akhirnya
menghasilkan bahan peledak yang siap untuk dimasukan ke dalam lubang ledak.
Dapat dilihat pada Gambar 3.23 berikut:

64
Gambar 3.23 Mobile Manufacturing Truck (MMT)

3. Blaster Ohm Meter (BOM)


Blaster ohm meter merupakan suatu alat untuk mengukur tegangan yang ada
pada delay yang sudah terpasang dengan detonator. Gunanya agar mengetahui
tegangan pada masing-masing delay maupun keseluruhan delay. Sehingga dapat
diketahui apakah arus sudah ada atau belum. Dapat dilihat pada Gambar 3.24
berikut:

Gambar 3.24 Blaster Ohm Meter


4. Cangkul
Cangkul digunakan untuk menimbun lubang ledak dengan material stemming.
Material stemming yang digunakan adalah material drillcutting. Dapat dilihat pada
Gambar 3.25 berikut:

65
Gambar 3.25 Cangkul

5. Lead wire
Lead wire yang digunakan yaitu sejenis kabel telepon sepanjang 500 meter
yang menghubungkan detonator listrik dengan Blasting machine. Dapat dilihat
pada Gambar 3.26 berikut:

Gambar 3.26 Lead Wire

66
67

Anda mungkin juga menyukai