Anda di halaman 1dari 9

TINDAK PIDANA KORUPSI

Dosen Pengampu: AYU EFRITADEWI SH.,MH


SYAFIRA FAYA ANTARI
HOSSE MILENIO
FARIDA ARILIANA
AGNIS MATULISY
SURMITA
MAY SANDY PURBA
ZIDANNI
MITA SURIANTI
ENDRIANSYAH S.
CHINTYA NANDASARI
Korupsi adalah semua perbuatan atau tindakan yang diancam dengan sanksi
PENGERTIAN sebagaimana diatur di dalam
. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
.
Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindakan yang dimaksud adalah:
a.Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan
keuangan/perekonomian negara (Pasal 2)
b.Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan / kedudukan yang dapat
merugikan keuangan / kedudukan yang dapat merugikan keuangan /
perekonomian Negara ( Pasal 3 )
c. Penyuapan (Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 11)
d. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10)
e. Pemerasan dalam jabatan (Pasal 12)
f. Berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7 )
g.Gratifikasi (Pasal 12B dan Pasal 12C)
Dalam ukuran umum, korupsi adalah semua tindakan tidak jujur dengan
memanfaatkan jabatan atau kuasa yang dimiliki untuk mendapatkan
keuntungan bagi pribadi atau orang lain.
CIRI- CIRI KORUPSI
Secara garis besar ciri-ciri korupsi dapat diidentifikasikan
sebagai berikut :
1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang,
2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara
keserbarahasiaan,
3. Mereka yang melakukan cara-cara korupsi biasanya
berusaha menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung dibalik hukum,
4. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
timbal-balik,
5. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang
menginginkan keputusan secara tegas dan
mereka yang mampu mempengaruhi keputusan tersebut,
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan,
biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum,
7. Setiap bentuk perbuatan korupsi adalah pengkhianatan
kepercayaan,
8. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma
tugas dan pertanggungjawaban
tatanan masyarakat2
RUANG LINGKUP KORUPSI
Ruang lingkup tindak pidana korupsi yang cukup luas, sebagaimana diatur dalam Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pada hakikatnya sudah cukup baik. Namun demikian Undang-
undang tersebut, masih terdapat persoalan-persoalan yuridis dalam merumuskan tindak pidana korupsi, di
mana persoalan-persoalan tersebut dapat mengakibatkan sulitnya operasionalisasi KUHP sebagai sistem
induk dalam menjembatani pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Persoalan-persoalan tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi belum merumuskan batasan-batasanyuridis atau pengertian yuridis mengenai tindak pidana
korupsi dalam hal permufakatan jahat, sedangkan permufakatan jahat yang terdapat dalam KUHP Pasal
88 merupakan istilah yang diatur dalam Bab IX yang tidak mungkin dioperasionalkan mengingat Pasal
103 KUHP mensyaratkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana.
Demikian juga mengenai istilah “pembantuan” yang merupakan istilah yuridis, belum diatur dalam
undang-undang ini.
2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi tidak mencantumkan kualifikasi delik apakah sebagai “pelanggaran” atau “kejahatan” sehingga
KUHP tidak dapat dioperasionalkan terhadap tindak pidana korupsi
SEJARAH KORUPSI
Asal mula berkembangnya korupsi barangkali dapat di temukan sumbernya pada fenomena sistem
pemerintahan monarki absolut tradisional yang berlandaskan pada budaya feodal. Pada masa lalu, tanah-
tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik mutlak raja, yang kemudian di serahkan kepada
para pangeran dan bangsawan, yang di tugasi untuk memungut pajak, sewa dan upeti dari rakyat yang
menduduki tanah tersebut. Disamping membayar dalam bentuk uang atau in natura, sering pula rakyat di
haruskan membayar dengan hasil bumi serta dengan tenaga kasar, yakni bekerja untuk memenuhi berbagai
keperluan sang raja atau penguasa. Elite penguasa yang merasa diri sebagai golongan penakluk, secara
otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda dan nyawarakyat yang di taklukan. Hak tersebut
biasanya di terjemahkan dalam tuntutan yang berupa upeti dan tenaga dari rakyat.;
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde
Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas
korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat
dibagi dua, yaitu periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi dari KPK, faktor penyebab korupsi dibagi menjadi dua,
faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor penyebab korupsi yang
datang dari diri pribadi. Faktor ini terdiri dua aspek perilaku, yaitu individu dan sosial.

- Sifat tamak/rakus manusia (Sudah


berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai
hasrat besar untuk memperkaya diri)
- Moral yang kurang kuat (Godaan itu bisa
berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahannya, atau pihak yang lain yang
02 EKSTERNAL

memberi kesempatan untuk itu.)


• Faktor Politik (Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya
korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik,

01
kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih
dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan
INTERNAL
dan politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.)
• Faktor Ekonomi (Selain rendahnya gaji pegawai, banyak aspek
ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya
adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor
kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan
mereka dan kroninya)
KASUS KORUPSI
Berikut kasus korupsi yang terjadi saat masa-masa awal kemerdekaan:
Korupsi MinyakJaksa Penuntut Umum BAS Tobing mengajukan tuntutan masing-masing lima
tahun penjara kepada Kepala Depo PT Shell Kramasan Kertapati, Palembang Singgih
Handjojo dan Kepala PN Pertamin Perwakilan Sumsel di Palembang, Jahja Abdurrachman,
pada Agustus 1965 silam.Keduanya didudga telah melakukan pemalsuan DO penjualan
minyak pelumas dan melanggar pasal tindak pidana korupsi. Mereka dianggap merugikan
negara sebesar Rp 4.650.000. Peristiwa itu terjadi sekitar bulan November 1964. Keduanya
mencantumkan harga di atas nota pengangkutan di bawah harga tertinggi, setelah minyak
pelumas dinaikkan 200 persen dari harga tersebut.Kasus itu bahkan mendapat sorotan dari
Jaksa Agung. Sebab, perbuatan keduanya terjadi pada saat negara tengah gencar melakukan
nasionalisasi aset perusahaan yang di dalamnya terdapat modal asing.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai