Anda di halaman 1dari 10

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Gratifikasi

Kelompok 1

Liviana Katiandagho

Yuriske Salindeho

Agnes Tulong

Kelas B

Dosen pengampuh: Drs. Jiffry F. Kawung S.Th., M.Si

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN KRISTEN

INSTITUT AGAMA KRISTEN


2023

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gratifikasi

Salah satu bentuk korupsi yang paling banyak diungkap saaat ini adalah korupsi dalam
bentuk gratifikasi. Gratifikasi adalah suatu pemberian, imbalan atau hadiah oleh orang yang
pernah mendapat jasa atau keuntungan atau oleh orang yang telah atau sedang berurusan dengan
lembaga publik atau pemerintah dalam misalnya untuk mendapatkan suatu kontrak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai uang hadiah kepada
pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.”1

Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa: “Yang dimaksud dengan
”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik” 2

B. Landasan Hukum Tentang Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana gratifikasi merupakan bagian dari tindak pidana korupsi yang terdiri dari
pemberi dan penerima gratifikasi. Ketentuan hukum terhadap penerima gratifikasi terdapat pada
Pasal No. 20 Tahun 2001 yaitu :

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), ed. Ke-3, cet. Ke-
3, hlm. 371.
2
Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi,(Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010),
hlm. 3.
1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).

Keberadaan Pasal 5 dan Pasal 12B ini masih membingungkan dan dalam penerapannya akan
terjadi tumpang tindih dengan ketentuan hukum yang lain. Hal ini terlihat dalam dari ketentuan
Pasal 12C Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Psal 12B, ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
3) Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam waktu Paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi
milik penerima atau milik negara.
4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimaa dimaksud dalam ayat (2)
dan penentuan status gratifikasi sebagaimana diamksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi berasal dari dua kata yaitu tindak pidana dan korupsi. Istilah tindak
pidana berasal dari istilah hukum Belanda yaitu strafbaar feit. Pada dasarnya istilah strafbaar
feit ini berasal dari tiga kata yaitu straf, baar, feit. Straf diartiakn dengan pidana atau hukum,
baar diartikan dengan dapat atau boleh, dan feit diterjemahkan dengan tindaka, peristiwa atau
perbuatan. Dengan demikian strafbaar feit diartikan sebagai suatu tindakan yang menurut
rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum, artinya
perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian
perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu perbuatan yang
sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang
sebenarnya dilarang oleh hukum).3

C. Kategori Gratifikasi

Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yaitu gratifikasi yang
dianggap suap dan gratifikasi yang tidak dianggap suap, yaitu :

1) Gratifikasi yang Dianggap Suap


Yaitu gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
berhubungan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
2) Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap
Yaitu gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kegiatan resmi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang sah dalam pelaksanaan
tugas, fungsi dan jabatannya dikenal dengan kedinasan. Dalam menjalankan
kedinasannya pegawai negeri atau penyelenggara negara sering dihadapkan pada peritiwa
gratifikasi sehingga gratifikasi yang tidak dianggap suap dapat dibagi menjadi 2 sub yaitu

3
Ibid, hal. 9
gratifikasi yang tidak dianggap suap yang terkait kedinasan dan gratifikasi yang tidak
dianggap suap yang tidak terkait kedinasan.
Gratifikasi yang tidak dianggap suap yang terkait dengan kegiatan kedinasan meliputi
penerimaan dari:
a) Pihak lain berupa cenderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat,
seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
b) Pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti
honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur
pada standar biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat
pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik kepentingan, atau tidak melanggar
ketentuan yang berlaku di instansi penerima.

D. Factor-Faktor Penyebab Gratifikasi

Secara umum faktor penyebab gratifikasi dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Faktor Internal
dan Faktor Eksternal. Faktor Internal terdiri dari aspek sosial dan aspek perilaku individu yaitu:

a. Aspek Sosial Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku koruptif.
Menurut kaum bahviouris, lingkungan keluarga justru dapat menjadi pendorong
seseorang bertindak korupsi, mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi
karakter priHbadinya. Lingkungan justru memberi dorongan bukan hukuman atas
tindakan koruptif seseorang.4
b. Aspek Perilaku Individu meliputi5
1) Gaya hidup yang konsumtif. Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif
menjadi faktor pendorong internal korupsi. Gaya hidup konsumtif misalnya
membeli barangbarang mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan
yang serba glamor. Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup
konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai.
2) Sifat tamak/rakus. Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang
selalu tidak merasa cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat
4
Badan Kepegawaian Negara, “Pemberantasan Korupsi Melalui Zuhud Di Lingkungan ASN”,
https://www.bkn.go.id/unggahan/2022/06/30- Policy-Brief-April-2019.pdf, diakses pada 9 Maret 2023.
5
Pusat Edukasi Antikorupsi, “Kenapa Masih Banyak Yang Korupsi? Ini Penyebabnya!”, https://aclc.kpk.go.id/action-
information/loremipsum/20220407-null, diakses pada 9 Maret 2023.
tamak, seseorang menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya
sudah banyak atau jabatannya sudah tinggi. Dominannya sifat tamak membuat
seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat
ini menjadikan korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para profesional,
berjabatan tinggi, dan hidup berkecukupan.
3) Moral yang lemah
Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Aspek lemah moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu
melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi
yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman
setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk
melakukannya.
Faktor Eksternal terdiri dari6 :
1) Aspek Sosial
Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi,
terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga
malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan
mereka. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang
mendukung korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai seseorang
karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada
pejabat.
Dalam means-ends scheme yang diperkenalkan Robert Merton, korupsi
merupakan perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga
menyebabkan pelanggaran norma-norma. Menurut teori Merton, kondisi sosial
di suatu tempat terlalu menekan sukses ekonomi tapi membatasi kesempatan-
kesempatan untuk mencapainya, menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi.
Teori korupsi akibat faktor sosial lainnya disampaikan oleh Edward Banfeld.
Melalui teori partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi dengan tekanan
keluarga. Sikap partikularisme merupakan perasaan kewajiban untuk
membantu dan membagi sumber pendapatan kepada pribadi yang dekat dengan

6
Ibid
seseorang, seperti keluarga, sahabat, kerabat atau kelompoknya. Akhirnya
terjadilah nepotisme yang bisa berujung pada korupsi.
2) Aspek Ekonomi
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di
antaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi
kebutuhan. Fakta juga menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh
mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan
oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi. Banyak kita lihat pemimpin
daerah atau anggota DPR yang ditangkap karena korupsi. Mereka korupsi
bukan karena kekurangan harta, tapi karena sifat serakah dan moral yang
buruk. Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara
dirangkai sedemikian rupa agar menciptakan kesempatan - kesempatan
ekonomi bagi pegawai pemerintah untuk meningkatkan kepentingan mereka
dan sekutunya. Kebijakan ekonomi dikembangkan dengan cara yang tidak
partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel.
3) Aspek Politik
Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi
faktor eksternal penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada
akhirnya menciptakan money politics. Dengan money politics, seseorang bisa
memenangkan kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih
atau anggota -anggota partai politiknya. Pejabat yang berkuasa dengan politik
uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus kewajiban utamanya yaitu
mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung -rugi, pemimpin hasil
money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang
terpenting baginya adalah bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan
berlipat ganda. Balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan
partai politik juga mendorong pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik
yang mengharuskan imbal jasa akhirnya memunculkan upeti politik. Secara
rutin, pejabat yang terpilih membayar upeti ke partai dalam jumlah besar,
memaksa korupsi.
4) Aspek Organisasi
Faktor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor
berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena
membuka peluang atau kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas
dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas,
atau lemahnya sistem pengendalian manajemen.
5) Aspek Hukum
Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi
perundang -undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari
celah di perundang - undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu,
penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat
koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi. Hukum menjadi faktor
penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-
pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk
menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap
pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para
pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara.

E. Contoh- Contoh Gratifikasi

Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi
adalah:

1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan
atau bawahannya
2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor
pejabat tersebut
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi
secara cuma-cuma
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu

KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa gratifikasi adalah pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya.

Faktor yang menyebabkan terjadinya gratifikasi, secara umum faktor penyebab gratifikasi
dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal. Faktor Internal terdiri
dari aspek sosial dan aspek perilaku individu, dan Faktor Eksternal terdiri dari Aspek Sosial,
Aspek Ekonomi, Aspek Politik, Aspek Hukum, Aspek Organisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Mauliddar, N. Din, M. Rinaldi, Y. 2017. Gratifikasi Sebagai Tindak pidana Korupsi Terkait
Adanya Laporan Penerima Gratifikasi. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol 19(1),pp 155-
173. Magister Ilmu Hukm Fakultas Hukum: Universitas Syiah Kuala.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.2003, Jakarta: Balai Pustaka

Direktorat Gratifikasi. 2014. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia.

Pusat Edukasi Antikorupsi. (n.d.). Kenapa Masih Banyak Yang Korupsi? Ini Penyebabnya!
Retrieved from https://aclc.kpk.go.id/action-information/lorem-ipsum/20220407

Badan Kepegawaian Negara. (n.d.). Pemberantasan Korupsi Melalui Zuhud Di Lingkungan


ASN. Retrieved from , https://www.bkn.go.id/unggahan/2022/06/30-Policy-Brief April-
2019.pdf

Anda mungkin juga menyukai