Kata Pengantar
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan
badan dan fikiran sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dalam mata kuliah
Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah yang merupakan tugas makalah
perdana yang di berikan dosen kepada kami. Shalawat dan salam kami sanjungkan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah mengubah peradaban manusia
dari zaman jahiliah ke arah islamiah yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Alhamdulillah saat ini kami, satuan madya praja, kelas F-3, kelompok 7, dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Gratifikasi. Meskipun ini adalah tugas
makalah perdana, tetapi kami berharap bahwa hasil kerja kami ini dapat berguna
bagi kami sendiri dan bagi yang membacanya dalam memperoleh pengetahuan
tentang dimensi-dimensi strategis dalam administrasi pemerintahan.
Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Elvira Mulya Nalien, S.SIP, M.Si,
selaku dosen mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi yang telah membimbing kami
dalam mempelajari tentang korupsi dan menghindarinya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak hal yang harus diperbaiki. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat dibutuhkan untuk menjadi bahan intropeksi serta masukan agar
makalah-makalah selanjutnya dapat menjadi makalah yang lebih baik.
KELOMPOK 3
1
GRATIFIKASI
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar……………………………………………………………….. 1
Daftar Isi…………………………………………………............................... 2
BAB I Pendahuluan…………………………....……………......................… 3
A. Latar Belakang…………………………………………....................... 3
B. Rumusan Masalah…………………….................................................. 3
C. Tujuan………………............................................................................. 3
BAB II Pembahasan…….................................................................................. 4
A. Pengertian Manajemen dan Sistem………………...………............….. 4
B. Manajemen Keuangan Daerah……………..……………...………….. 5
C. Sistem Keuangan Daerah…………...……………………………….... 15
BAB III Penutup………………………………………………....................... 26
A. Kesimpulan………………………………….………………………......... 26
Daftar Pustaka………………………………………………….........….......... 28
KELOMPOK 3
2
GRATIFIKASI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah
dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari
tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya
sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi
yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal
batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan
kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik maupun
privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena. Penyelenggaraan
negara yang bersih menjadi penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktek-
praktek korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi juga oleh
keluarga dan kroninya, yang apabila dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan berada
dalam posisi yang sangat dirugikan. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan
bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar
penyelenggara negara, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti
keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara.
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan
keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugiankerugian pada
perekonomian rakyat. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, tindak pidana korupsi
merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian
besar masyarakat; tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh
masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
B.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Gratifikasi?
C.Tujuan
Agar dapat mengetahui definisi gratifikasi dan bagaimana gratifikasi bekerja.
KELOMPOK 3
3
GRATIFIKASI
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Secara etimologi, Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.
Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua yang berarti
kerusakanatau kebobrokan. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti
Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie,
korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.
Pengertian Korupsi Menurut Black’s Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang tidak resmi dengan
menggunakan hak-hak dari pihak lain, yang secara salah dalam menggunakan jabatannya
atau karakternya di dalam memperoleh suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang
lain, yang berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Pengertian Korupsi Menurut Robert Klitgaard adalah suatu tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh
keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi atau perorangan, keluarga dekat,
kelompok sendiri, atau dengan melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku
pribadi.
KELOMPOK 3
4
GRATIFIKASI
B. Gratifikasi
1. Pengertian
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik. Pengecualian: Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Pasal 12 C ayat (1): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KELOMPOK 3
5
GRATIFIKASI
KELOMPOK 3
6
GRATIFIKASI
Poin penting yang dapat dipahami dari pandangan sejumlah ahli di atas
adalah, bahwa memang praktik penerimaan hadiah merupakan sesuatu yang wajar
dari sudut pandang relasi pribadi, sosial dan adat-istiadat, akan tetapi, ketika hal
tersebut dijangkiti kepentingan lain dalam relasi kuasa maka cara pandang
gratifikasi adalah netral tidak bisa dipertahankan. Hal itulah yang disebut dalam
Pasal 12B sebagai gratifikasi yang dianggap suap, yaitu gratifikasi yang terkait
KELOMPOK 3
7
GRATIFIKASI
dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima. Dalam
konteks Pasal 12B ini, tujuan dari gratifikasi yang dianggap suap dari sudut
pandang pemberi adalah untuk mengharapkan keuntungan di masa yang akan
datang dengan mengharapkan pegawai negeri/penyelenggara negara akan
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangannya, demi kepentingan
si pemberi tersebut.
Prinsip Transparansi
Akan tetapi, prinsip ini tidak serta merta melekat pada setiap tahapan
pelaporan penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri/penyelenggara negara.
Ketika pelaporan tersebut masuk ke dalam proses penanganan penetapan
KELOMPOK 3
8
GRATIFIKASI
Prinsip Akuntabilitas
Demikian juga dengan prinsip akuntabilitas yang juga melekat pada KPK
yang menjalankan tugas untuk menerima hingga menetapkan status kepemilikan
gratifikasi. KPK mempunyai kewajiban untuk menentukan status kepemilikan
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja. Kegiatan dan hasil yang
dilakukan oleh KPK dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Prinsip Kemanfaatan
KELOMPOK 3
9
GRATIFIKASI
Prinsip ini mengacu pada aspek pemanfaatan barang gratifikasi yang telah
ditetapkan menjadi milik Negara untuk sebesar-besarnya kepentingan Negara.
Sedangkan gratifikasi lain yang tidak dianggap suap namun terkait dengan
kedinasan, kemanfaatan patut diarahkan pada kemanfaatan oleh institusi dan
kemanfaatan bagi masyarakat tidak mampu, sehingga dalam kondisi tertentu
gratifikasi yang tidak dianggap suap namun terkait dengan kedinasan dapat
disumbangkan pada panti asuhan atau lembaga sosial lainnya yang dinilai
membutuhkan.
Prinsip Independensi
KELOMPOK 3
10
GRATIFIKASI
KELOMPOK 3
11
GRATIFIKASI
Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur
dalam Pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001. Namun, jika penerima gratifikasi
melaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja, maka Pn/PN dibebaskan dari ancaman
pidana gratifikasi. Berikut adalah pasal yang mengatur tentang gratifikasi:
Pasal 12B
1. Setiap gratifikasi kepada Pn/PN dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi Pn/PN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12C
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
KELOMPOK 3
12
GRATIFIKASI
Selain itu, Pasal 16 UU No. 30/2002 tentang KPK juga mengatur bahwa setiap
Pn/PN yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan. KPK menerbitkan Peraturan KPK (Perkom)
Nomor: 02 Tahun 2014 dan Perkom Nomor: 06 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaporan
dan Penetapan Status Gratifikasi. Untuk menjelaskan lebih jauh, KPK juga menerbitkan
Pedoman Pengendalian Gratifikasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 16 Perkom
tersebut.
D. Pengendalian Gratifikasi
2. Dasar Hukum
a. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
d. Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1992 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 10 Tahun 1974 tentang Beberapa Pembatasan Kegiatan Pegawai
Negeri Dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup;
KELOMPOK 3
13
GRATIFIKASI
KELOMPOK 3
14
GRATIFIKASI
Bentuk organisasi dari pelaksana fungsi ini disesuaikan dengan kebutuhan aktual
instansi dalam proses pembangunan Sistem Pengendalian Gratifikasi. Pembentukan unit
khusus, satuan tugas maupun tim, diperkenankan untuk mengakomodir kebutuhan
pelaksanaan fungsi pengendalian gratifikasi. Yang perlu diperhatikan di sini adalah
personil yang ditugaskan untuk melaksanakan fungsi ini, memiliki standar integritas,
kemampuan telaah dan analisis untuk memberikan usulan perbaikan sistem pengendalian
gratifikasi di lingkungan instansinya.
KELOMPOK 3
15
GRATIFIKASI
5. Komitmen Pimpinan
KELOMPOK 3
16
GRATIFIKASI
KELOMPOK 3
17
GRATIFIKASI
KELOMPOK 3
18
GRATIFIKASI
KELOMPOK 3
19
GRATIFIKASI
Landasan diaturnya defenisi dan ruang lingkup Pejabat Publik pada Peraturan
KPK didasarkan pada ketentuan dalam United Nation Convention Against Corruption,
2003 (UNCAC, 2003) yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Semangat terpenting
perlunya pejabat publik dijangkau dalam konsep pengendalian gratifikasi berangkat
dari kesadaran bahwa subjek hukum penerima gratifikasi saat ini bukan hanya
pegawai negeri dan penyelenggara negara, melainkan dapat juga orang-orang yang
secara formil tidak termasuk kualifikasi pegawai negeri atau penyelenggara negara
akan tetapi menjalankan fungsi publik, baik di sebuah badan publik ataupun korporasi
yang melakukan pelayanan publik. Hal ini perlu diatur karena perbuatan dari orang
yang menjalankan fungsi publik akan berakibat pada publik atau masyarakat yang
dilayaninya. Mempertimbangkan akibat buruk gratifikasi yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan tugas penerima gratifikasi, terutama jika dilihat dari aspek objektifitas
dan pengaruh dari adanya vested interest pada penerima, maka sudah sepatutnya
pejabat publik juga diatur sebagai subjek hukum terkait pengendalian gratifikasi ini.
KELOMPOK 3
20
GRATIFIKASI
Seperti diungkapkan di atas, konsep inti dari pejabat publik ini selain
mencakup pada orang- orang yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan juga
meliputi orang yang menjalankan fungsi publik dan menduduki jabatan tertentu pada
badan publik. Contoh-contoh badan publik tersebut diantaranya badan hukum yang
mendapatkan bantuan dari keuangan negara/keuangan daerah, partai politik,
organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lainnya.
1) Instansi Pejabat Publik selain Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat
membentuk Unit Pengendali Gratifikasi di lingkungan kerja masing-masing.
2) Unit Pengendali Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja dengan
berpedoman pada Peraturan ini.
KELOMPOK 3
21
GRATIFIKASI
Beberapa hal dapat diangkat terkait penerapan delik gratifikasi dalam kerangka
penindakan tindak pidana korupsi, yaitu:
1. Aturan gratifikasi dibentuk untuk memberantas praktik gratifikasi yang dianggap sebagai
akar korupsi.
Konsep ini tercermin dari beberapa hal yang menjadi pembeda antara delik Gratifikasi
dan delik suap yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:
a. Unsur pasal gratifikasi yang dianggap suap lebih sederhana dari unsur pasal suap,
yaitu tidak mensyaratkan terpenuhinya unsur “melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang berlawanan kewenangan” dari pegawai negeri/penyelenggara negara.
Hal ini bermakna, cukup dengan diterimanya gratifikasi yang tidak sah oleh pegawai
negeri/penyelenggara negara dari pihak yang memiliki hubungan jabatan dan tidak
dilaporkan kepada KPK dalam waktu yang ditentukan, maka pegawai
negeri/penyelenggara negara tersebut dianggap telah menerima suap dan terancam
hukuman pidana sampai dibuktikan sebaliknya.
b. Ancaman pidana delik gratifikasi lebih tinggi dari delik suap. Bentuk ancaman pidana
yang lebih tinggi pada delik gratifikasi, tampak dengan diberlakukannya pidana
seumur hidup kepada pegawai negeri/penyelenggara negara yang tidak melaporkan
penerimaan gratifikasi yang dianggap suap kepada KPK dalam waktu yang
ditentukan.
c. Adanya mekanisme pembalikan beban pembuktian atas dakwaan penerimaan
gratifikasi yang dianggap suap yang melebihi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
sebagaimana diatur dalam Pasal 12B ayat (2) Undang-Undang \Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam bagian Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut,
mekanisme pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan upaya pemberantasan
korupsi yang mengandung sifat prevensi khusus. Dengan adanya aturan ini, apabila
pegawai negeri/penyelenggara negara didakwa menerima gratifikasi yang dianggap
suap, maka pegawai negeri/penyelenggara negara tersebut yang memiliki kewajiban
untuk membuktikan di pengadilan.
2. Implementasi dari delik gratifikasi yang dianggap suap di Indonesia.
Walaupun delik gratifikasi yang dianggap suap masih relatif baru diatur dalam konteks
KELOMPOK 3
22
GRATIFIKASI
tindak pidana di Indonesia, namun delik gratifikasi dinilai cukup efektif jika diterapkan
dalam konteks temuan kekayaan yang tidak wajar milik pegawai negeri/penyelenggara
negara. Di bawah ini dua kasus korupsi yang menggunakan Pasal 12B dalam dakwaan
hingga putusan hakim.
3. Ancaman pemidanaan bagi pemberi gratifikasi
Pemberi gratifikasi, baik dalam kondisi penerima gratifikasi melaporkan maupun tidak
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, secara hukum dapat diancam
pidana sebagai pemberi suap, sepanjang unsur-unsur pasal bagi pemberi suap, yaitu Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
terpenuhi. Pendapat tersebut didasarkan pada penafsiran yang digunakan dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 50 K/Kr/1960 tanggal 13 Desember 1960 yang menyatakan
bahwa undang-undang atau hukum tidak mengenal ketentuan jika seorang pegawai negeri
dituduh melakukan kejahatan sebagai dimaksud Pasal 418 KUHP (kemudian menjadi
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999), maka pemberi suapnya harus dituntut
dengan Pasal 209 KUHP.
Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang
tidak berhubungan dengan jabatannya dan yang tidak berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Gratifikasi semacam ini tidak wajib dilaporkan.
Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Gratifikasi semacam ini wajib dilaporkan.
KELOMPOK 3
23
GRATIFIKASI
Perbedaan Gratifikasi
Dianggap Suap/ Tidak Dianggap Suap/
NO ASPEK
Wajib Dilaporkan Tidak Wajib Dilaporkan
Hubungan antara
2. Pemberi & Timpang. Setara.
Penerima
Hubungan yang
3. Pasti ada. Umumnya tidak ada.
Bersifat Strategis
Timbulnya Konflik
4. Pasti ada. Umumnya tidak ada.
Kepentingan
Memungkinkan kesenjangan
Kesenjangan Tidak memungkinkan ada waktu yang panjang pada saat
7.
Waktu kesenjangan waktu yang panjang. pemberian kembali (membalas
pemberian).
KELOMPOK 3
24
GRATIFIKASI
Ikatan yang Sifatnya jangka pendek dan Sifatnya jangka panjang dan
9.
Terbentuk transaksional. emosional.
Kecenderungan
Tidak terjadi sirkulasi
10. Adanya Sirkulasi Terjadi sirkulasi barang/produk.
barang/produk.
Barang/Produk
Nilai atau Harga Menitikberatkan pada nilai
11. Menekankan pada nilai moneter.
dari Pemberian instrinsik sosial.
Mekanisme Berdasarkan
Ditentukan oleh pihak-pihak yang
13. Penentuan kewajaran/kepantasan secara
terlibat.
Nilai/Harga sosial (masyarakat).
Akuntabilitas
14. Tidak akuntabel secara sosial. Akuntabel dalam arti sosial.
Sosial
KELOMPOK 3
25
GRATIFIKASI
Ketentuan tentang gratifikasi yang dianggap suap seperti diatur pada Pasal 12B
dan 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut berbeda
dengan suap. Hal ini perlu ditegaskan mengingat selama ini masih terdapat kerancuan
berpikir seolah-olah delik gratifikasi merupakan bentuk lain dari suap atau menyamakan
delik gratifikasi dengan suap. Berikut sejumlah argumentasi hukum yang menegaskan
bahwa delik gratifikasi bukanlah suap, yaitu:
a) Gratifikasi merupakan jenis tindak pidana baru. Hal ini ditegaskan pada sambutan
pemerintah atas persetujuan RUU tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Rapat Paripurna
Terbuka DPR-RI tanggal 23 Oktober 2001.
KELOMPOK 3
26
GRATIFIKASI
Prof. Dr. Eddy Omar Syarif, SH., MH., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada. Ahli mengungkapkan perbedaan gratifikasi dan suap
terletak pada ada atau tidak meeting of mind pada saat penerimaan. Pada tindak pidana
suap, terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak
pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima. Meeting
of mind merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional.
Drs. Adami Chazawi, SH., Dosen Fakultas Hukum Pidana Universitas Brawijaya.
Ahli memberikan penajaman perbedaan delik gratifikasi dengan suap. Menurut Adami,
pada ketentuan tentang gratifikasi belum ada niat jahat (mens rea) pihak penerima pada
saat uang atau barang diterima. Niat jahat dinilai ada ketika gratifikasi tersebut tidak
dilaporkan dalam jangka waktu 30 hari kerja, sehingga setelah melewati waktu tersebut
dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Sedangkan pada ketentuan tentang suap,
pihak penerima telah mempunyai niat jahat pada saat uang atau barang diterima.
Djoko Sarwoko, SH, MH, Mantan Ketua Muda Pidana Khusus dan Hakim Agung
pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Suap dan Gratifikasi berbeda. Dalam kasus
tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK, ketika tersangka melaporkan setelah ditangkap
KPK sedangkan perbuatan yang mengindikasikan meeting of mind sudah terjadi
sebelumnya, maka itu tidak bisa disebut gratifikasi. Pelaporan gratifikasi dalam jangka
waktu 30 hari tersebut harus ditekankan pada kesadaran dan kejujuran dengan itikad baik.
Dalam suap penerimaan sesuatu dikaitkan dengan untuk berbuat atau tidak berbuat yang
terkait dengan jabatannya. Sedangkan gratifikasi dapat disamakan dengan konsep self
assessment seperti kasus perpajakan yang berbasis pada kejujuran seseorang.
KELOMPOK 3
27
GRATIFIKASI
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Peran dari seorang manajer keuangan pemerintah daerah merupakan peran yang
sangat penting untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta mengajak peranan
publik untuk berpartisipasi dalam proses anggaran yang jujur dan berkeadilan. namun, sangat
disayangkan kebijakan mendagri melalui kepmen no, 29 tahun 2000 agak rigid sebagai
rujukan atau pedoman yang dapat segera ditetapkan di daerah.
Walaupun demikian minimal enam fungsi ini bagi seorang manajer keuangan daerah
yang perlu diperhatikan dalam kepengurusan dan pengelolaan anggaran adalah sebagai
berikut:
1. pengalokasian sumber daya daerah;
2. proses penyusunan;
3. pengukuran kinerja dan standarisasi;
4. kebijakan akuntansi;
5. pelaporan lpj kepala daerah;
6. pengendalian dan pengawasan.
Langkah langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah:
a. Intensifikasi
b. Ekstensifikasi
KELOMPOK 3
28
GRATIFIKASI
Pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah pada periode tahun
anggaran tertentu. Pengeluaran daerah meliputi :
1. Belanja rutin,
2. Belanja investasi
3. Pengeluaran tidak tersangka
1. Akuntabilitas
2. Value of money
KELOMPOK 3
29
GRATIFIKASI
Daftar Pustaka
Anthony J. Berry, Jane Broadbent and David Otley. 1995. Management Control, Theories,
Issues and Practices. London: McMillan.
Bachtiar Arif, Muchlis, dan Iskandar. 2002. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta: Salemba
Empat
C. William Gardner. 1991. Accounting and Budgeting in Public and Non Profit Organization,
A Manager Guide’s. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
KELOMPOK 3
30