Anda di halaman 1dari 27

TUGAS

MAKALAH GRATIFIKASI
Untuk memenuhi tugas mata kuliah PBAK yang diampuh oleh Dr. Yuni
Kusmiyati, SST., MPH

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
ALJENG A

1. Intan Rizdha Viana P07124320011


2. Srigita Dewiyana P07124320002
3. Gebriani Rizka P07124320023
4. Wilda Inayah P07124320035
5. Suci Nuripa P07124320025

PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN


JURUSAN KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN
KESEHATAN YOGYAKARTA
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas

yang berjudul “Makalah Gratifikasi” dapat diselesaikan dengan tepat waktu Tugas

kelompok ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah PBAK. Selain itu,

tugas ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang Gratifikasi.

Kami menyadari bahwa tugas yang kami buat masih jauh dari kata sempurna

baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna

menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Yogyakarta, Januari 2021

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Definisi Gratifikasi dan Dasar Hukum..........................................................3


B. Sejarah Gratifikasi................................................................................5
C. Kultur dan Gratifikasi...........................................................................7
D. Etika Terkait Gratifikasi.......................................................................8
E. Peran Serta Masyarakat dan Korporasi.................................................9
F. Perlindungan Pelapor Terhadap Gratifikasi..........................................12
G. Fraud di Bidang Kesehatan...................................................................13
H. Program Pengendalian Gratifikasi........................................................14
I. Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan, dan Suap.................15

BAB III PENUTUP.........................................................................................18

A. Kesimpulan...........................................................................................18
B. Saran.....................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................19

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang
belakangan ini cukup marak di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya kasus korupai yang terungkap dan yang masuk di KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi). Kenyataan menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa pandang bulu,
status sosial baik tua muda, pejabat pemerintah pusat hingga pejabat
daerah seolah berlomba melakukan tindak pidana korupsi. Permasalahan
lanjutan yang tidak kalah peliknya yaitu dikhawatirkan hilangnya sosok
penerus bangsa di kemudian hari apabila tradisi korupsi tidak segera
mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Selain tindak korupsi dikalangan atas, dikalangan mahasiswa sendiri
terdapat budaya korupsi seperti gratifikasi, penyuapan, bahkan uang
pelicin untuk mendapatkan suatu keinginan dari pribadi bahkan kelompok
yang kadang sering disalahartikan. Budaya korupsi dimahasiswa yang
sering dilakukan yaitu budaya mencontek saat ujian ataupun saat pelajaran
biasa. Oleh hal tersebut mahasiwa sangat penting dibekali pendidikan
tentang korupsi (gratifikasi, penyuapan, uang pelicin dan pemerasan)
supaya para mahasiswa bisa memilah mana yang bisa dikatakan
korupsi mana yang bukan, karena kriteria korupsi sendiri ini sangatlah
kompleks jika kita tidak berhati-hati. Serta agar mahasiswa dapat
menerapkan secara benar sikap antikorupsi di lingkungan keluarga,
kampus ataupun masyarakat.

B. Rumusan Masalah
a. Apa Definisi Gratifikasi Serta Dasar Hukumnya?
b. Bagaimana Sejarah Gratifikasi Tersebut?
c. Bagaimana Kultur Dan Gratifikasi?

1
d. Bagaimana Etika Yang Terkait Dengan Gratifikasi?
e. Bagaimana Peranan Masyarakat Serta Korporasi?
f. Bagaimana Perlindungan Terhadap Pelapor Gratifikasi?
g. Bagaimana Fraud di Bidang Kesehatan?
h. Apa Program Pengendalian Gratifikasi?
i. Apakah Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Suap?

C. Tujuan
1. Mengetahui Definisi Gratifikasi dan Dasar Hukum
2. Mengetahui Sejarah Gratifikasi
3. Mengetahui Kultur dan Gratifikasi
4. Mengetahui Etika terkait Gratifikasi
5. Mengetahui Peran Serta Masyarakat dan Korporasi
6. Mengetahui Perlindungan Pelapor Terhadap Gratifikasi
7. Mengetahui Fraud di Bidang Kesehatan
8. Mengetahui Program Pengendalian Gratifikasi
9. Mengetahui perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Suap

2
10.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Dasar Hukum Gratifikasi


1. Definisi Gratifikasi (Penjelasana Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001)
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tnapa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
2. Dasar hukum Gratifikasi
Pengaturan tentang gratifikasi diperlukan untuk mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara
negara atau pegawai negeri dan masyarakat dapat mengambil langkah-
langkah yang tepat, yaitu menolak atau segera melaporkan gratifikasi
yang diterimanya. Secara khusus gratifikasi diatur dalam:
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001,
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12B:
1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berb=hubungan
dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) yang nilai Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

3
b) yang nilai kurang dari Rp. 10.000.000,000 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Ayam (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12C
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1)
tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Kopursi.
2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima
laporan, wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik
penerima atau milik negara.
4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status
gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Konsekuensi hukum dari tidak melaporkan gratifikasi yang
diterima cukup berat, yaitu pidana penjara minimum empat tahun, dan
maksimal 20 tahun atau pidana penjara seumur hidup, dan pidana

4
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),
maksimum Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

5
B. Sejarah Gratifikasi
Praktik pemberian gratifikasi dalam bentuk hadiah terjadi sejak
jaman Sriwijaya dan Majapahit. Catatan seorang Biksu Budha I Tsing (Yi
Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke-7 membenarkan terjadinya
praktik tersebut. Pada abad tersebut, pedagang dari Champa –saat ini
Vietnam dan Kamboja- dan Tiongkok datang dan berusaha membuka
perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya di Palembang. Berdasarkan
catatan tersebut, pada tahun 671M adalah masa di mana Kerajaan
Sriwijaya menjadi pusat perdagangan di wilayah Asia Tenggara.
Dikisahkan bahwa para pedagang dari Champa dan Tiongkok pada saat
kedatangan di Sumatera disambut oleh prajurit Kerajaan Sriwijaya yang
menguasai bahasa Melayu Kuno dan Sansekerta sementara para pedagang
Champa dan China hanya menguasai bahasa Cina dan Sansekerta berdasar
kitab Budha, hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan komunikasi.
Kerajaan Sriwijaya saat itu sudah cukup maju. Dalam transaksi
perdagangan mereka menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar
namun belum berbentuk mata uang hanya berbentuk gumpalan ataupun
butiran kecil, sebaliknya Champa dan China telah menggunakan emas,
perak dan tembaga sebagai alat tukar dalam bentuk koin serta cetakan
keong dengan berat tertentu yang dalam bahasa Melayu disebut “tael”.
Dalam catatannya, I Tsing menjabarkan secara singkat bahwa para
pedagang tersebut memberikan koin- koin perak kepada para prajurit
penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak Kerabat Kerajaan Sriwijaya
yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga
bertujuan untuk mempermudah komunikasi.
Pemberian koin perak tersebut kemudian menjadi kebiasaan
tersendiri di kalangan pedagang dari Champa dan China pada saat
berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menjalin hubungan
baik serta agar dikenal identitasnya oleh pihak Kerajaan Sriwijaya.
Namun, ketika kebiasaan memberi hadiah terus terjadi, pemegang

6
kekuasaan dengan sadar mengubahnya menjadi bentuk pemerasan. Hal ini
dapat terlihat juga dari catatan I Tsing pada masa dimana sebagian
kerajaan Champa berperang dengan Sriwijaya, para pedagang China
memberitakan bahwa prajurit prajurit kerajaan di wilayah Sriwijaya tanpa
ragu-ragu meminta sejumlah barang pada saat para pedagang tersebut akan
menemui kerabat kerajaan. Disebutkan, jika para pedagang menolak
memberikan apa yang diminta, maka para prajurit tersebut akan melarang
mereka memasuki wilayah pekarangan kerabat kerajaan tempat mereka
melakukan perdagangan. Disebutkan pula bahwa pedagang Arab yang
memasuki wilayah Indonesia setelah sebelumnya mempelajari adat istiadat
wilayah Indonesia dari pedagang lain, seringkali memberikan uang tidak
resmi agar mereka diizinkan bersandar di pelabuhan-pelabuhan Indonesia
pada saat itu.
Tentang praktik gratifikasi yang mengakar begitu dalam pada
kebudayaan Indonesia, berbagai catatan mengenai perkembangan praktik
terkini pemberiah hadiah di Indonesia terungkap oleh studi Verhezen
(2003)1, Harkristuti (2006) dan Lukmantoro (2007). Verhezen dalam
studinya mengungkapkan adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah
pada masyarakat Jawa Modern yang menggunakan hal tersebut sebagai
alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit
ekonomi. Pemberian hadiah (Gratifikasi) dalam hal ini berubah menjadi
cenderung ke arah suap. Dalam konteks budaya Indonesia pemberian
hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan yang
sifatnya personal adalah praktik umum, budaya pemberian hadiah menurut
Verhazen lebih mudah mengarah pada suap. Penulis lain, Harkristuti
(2006) terkait pemberian hadiah mengungkapkan adanya perkembangan
pemberian hadiah yang tidak ada kaitannya dengan hubungan atasan-
bawahan, tapi sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang
dianggap telah memberikan jasa atau memberi kesenangan pada sang
pemberi hadiah.

7
Demikian berkembangnya pemberian ini, yang kemudian
dikembangkan menjadi ‘komisi’ sehingga para pejabat pemegang otoritas
banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan ‘hak mereka’.
Lukmantoro (2007) membahas mengenai praktik pengiriman parsel pada
saat perayaan hari besar keagamaan atau di luar itu yang dikirimkan
dengan maksud untuk memuluskan suatu proyek atau kepentingan politik
tertentu sebagai bentuk praktik politik gratifikasi.

C. Kultur dan Gratifikasi


Perlu disadari bahwa korupsi dan grtifikasi bukanlah budaya.
Budaya dapat diartikan sebagai cara hidup yang berkembang dan dimiliki
Bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke gernerasi
serta terbentuk dari berbagai unsur seperti adat istiadat, bahsa, agama,
hingga lokasi.
Kebiasaan di masyarakat adalah memandang Penyelenggara Negara/
Pegawai Negeri adalah profesi yang memungkinkan praktek-praktek
gratifikasi terjadi. Meskipun mungkin dulu dianggap sebagai suatu hal
biasa, terbukti praktek itu melanggar hukum ketika muncul UU yang
mengatur tentang gratifikasi. Dengan aturan perundangan yang tegas
itu,semestinya pewarisan kebiasaan dari generasi ke generasi dapat
terputus.
Kalau dulu mungkin memandang wajar seorang Penyelenggara
Negara saat punya hajatan, semuanya dicukupi oleh rekanan. Tapi kini,
Penyelenggara Negara yang masih menerapkan praktek itu akan dengan
cepat terkena tuduhan gratifikasi. Sebuah tuduhan serius karena itu adalah
akar dari penyuapan dan dekat dengan praktek korupsi.
Jadi, gratifikasi dan korupsi bukanlah budaya, tetapi pencegahan
korupsi dan gratifikasilah yang harus menjadi budaya. Artinya,
Penyelenggara Negara/ Pegawai Negeri yang terkena aturan gratifikasi
harus mematuhi Undang-Undang yang berlaku. Gratifikasi memang
menjadi daya Tarik jabatan tetapi bisa membuat kedudukan seseorang

8
Penyelenggara Negara jatuh. Budaya intergritas di dalam perusahaan
BUMN akan mempermudah terwujudnya tata Kelola perusahaan yang
baik.
Pendekatan budaya kerja yang bersih tanpa kompromi pada
gratifikasi akan menjadi modal awal bagi setiap pribadi dalam perusahaan
tersebut dengan menolak godaan perbuatan yang menjurus pada tindak
pidana korupsi. Perlu diperhatikan bagaimana gratifikasi dengan mudah
dipraktekan pada aktivitas keseharian penyelenggara Negara atau Pegawai
Negeri. Mulai dari pemberian pinjaman barang dari rekanan secara cuma-
cuma. Pemberian tiket perjalanan dari pihak ketiga, dan pemberian insentif
oleh BUMN/BUMD kepada swasta ketika target penjualan tercapai.
Agar praktek-praktek tersebut dapat dihindari, penting membuat
sistem integritas dari semua personel untuk menjunjung tinggi
profesoionalitas. Sistem integritas ini dapat berjalan apabila ada dukungan
dan contoh dari atasan, serta sistem tersebut adalah bagian tak terpisahkan
dari pengembangan karir seseorang. Bila integritas terbangun, budaya
perang melawan korupsi sekalipun sekadar gratifikasi dapat dilakukan
dengan mudah.
Alhasil gratifikasi memang bukan budaya. Di tangan kita sekarang
pewarisan sikap-sikap buruk dan melanggar hukum seperti gratifikasi
harus dihentikan. Kalau tidak, korupsi akan selalu membesar indeks-nya
karena persoalan mendasar seperti gratifikasi tidak diselesaikan dengan
baik.

D. Etika Perilaku Terkait Gratifikasi


Aturan etika memberi dan menerima Gratifikasi diperlukan untuk
memberikan landasan atau standar perilaku bagi pegawai di instansi dalam
menghadapi praktik penerimaan dan pemberian gratifikasi. Dalam aturan
ini, sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Kewajiban menolak gratifikasi yang dianggap suap;

9
2. Kewajiban pelaporan atas penerimaan, penolakan dan pemberian
gratifikasi;
3. Bentuk gratifikasi yang wajib dilaporkan;
4. Bentuk gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan;
5. Sikap pegawai negeri/penyelenggara negara apabila menghadapi
praktik penerimaan, penolakan dan pemberian gratifikasi;
6. Pengelolaan penerimaan dan pemberian gratifikasi yang terkait
kedinasan;
7. Mekanisme pelaporan penerimaan, penolakan dan pemberian
gratifikasi;
8. Tugas dan wewenang pelaksana fungsi pengendalian gratifikasi;
9. Perlindungan pelapor gratifikasi.
Aturan tersebut secara ideal dituangkan dalam keputusan pimpinan
instansi/lembaga, dan memiliki keberlakuan yang mengikat kepada setiap
individu yang berada dalam lingkungan instansi/lembaga, termasuk
pegawai tidak tetap/honorer maupun pihak ketiga yang mengikat kerja
sama atau melaksanakan pekerjaan dengan instansi/lembaga.
E. Peran Serta Masyarakat dan Korporasi
1. Menolak Permintaan Gratifikasi dari Pegawai Negeri/Penyelenggara
Negara
Dalam proses pelayanan publik dan perizinan sering kali terdapat
pegawai negeri/penyelenggara negara yang meminta sejumlah uang
atau fasilitas tertentu. Permintaan tersebut dapat disertai atau tidak
disertai ancaman terselubung untuk mempersulit proses menggunakan
sarana birokrasi yang ada. Perbuatan yang dilakukan pegawai
negeri/penyelenggara negara tersebut sesungguhnya adalah perbuatan
pidana pemerasan seperti yang diatur di Pasal 12e Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kondisi tersebut
masyarakat perlu memahami terlebih dahulu bahwa secara prinsip
pegawai negeri/penyelenggara negara merupakan pelayan publik yang
mengurusi kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya.

10
Prinsip ini ditegaskan mulai dari konstitusi yakni prinsip
kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan tersebut kemudian
diturunkan pada lembaga-lembaga Negara dan pegawai-pegawai yang
melakukan kerja penyelenggaraan Negara, mulai tingkat pusat hingga
daerah yang paling bawah. Selanjutnya, masyarakat perlu mengetahui
berapa biaya yang sah secara hukum yang harus dibayar untuk sebuah
pelayanan. Hal ini memang secara seimbang juga harus menjadi
kewajiban institusi pegawai negeri/penyelenggara negara untuk
mengumumkan sedemikian rupa proses dan biaya dalam sebuah
pelayanan yang harus dibayar masyarakat.
2. Tidak Memberikan Gratifikasi
Budaya atau kebiasaan yang perlu dibangun dan dilembagakan di
masyarakat adalah budaya atau kebiasaan menolak memberikan
gratifikasi kepada pegawai negeri/penyelenggara negara. Diperlukan
kampanye yang masif dan berkelanjutan dengan pesan utama bahwa
dengan tidak (menolak) memberi kepada pegawai
negeri/penyelenggara negara adalah wujud peran serta konkret
masyarakat dalam pemberantasan Korupsi khususnya gratifikasi, suap,
atau uang pelicin.
Menolak memberikan gratifikasi adalah langkah terpuji dan
menghargai martabat pegawai negeri/penyelenggara negara serta
bukan berarti anggota masyarakat tersebut bersikap pelit atau bahkan
berkekurangan secara materi. Contoh partisipasi sederhana adalah
menolak untuk memberikan gratifikasi dalam bentuk barang, uang,
atau bentuk lainnya kepada guru sekolah pada saat mengambil laporan
(raport) anak walaupun orang tua/wali murid lain menganggap praktik
tersebut sesuatu yang wajar. Orang tua/wali murid yang baik adalah
yang menghargai martabat seorang guru dengan tidak
merendahkannya
melalui pemberian gratifikasi.
3. Menyusun Standar Etika untuk Internal dan Sektoral

11
Dalam rangka membangun lingkungan korporasi yang bersih dan
selalu menjunjung tinggi etika beserta nilai-nilainya, adanya standar
etik berupa kode etik (code of ethic) dan/atau kode perilaku (code of
conduct) adalah prasyarat mutlak (conditio sine qua non). Mengingat
korporasi adalah kumpulan orang-orang yang memiliki pandangan,
pendapat, pemahaman, ataupun keyakinan yang berbeda-beda sesuai
dengan latar belakang budaya, lingkungan, ataupun kepercayaan,
keberadaan kode etik dan/atau kode perilaku di internal korporasi
tersebut akan lebih memudahkan orang-orang yang berada dalam suatu
korporasi untuk membedakan apa yang baik atau yang tidak baik, yang
patut atau tidak patut, dan bahkan yang etis atau tidak etis berdasarkan
standar etika yang sudah disepakati dan ditetapkan.
Selain kode etik dan/atau kode perilaku di internal korporasi,
adanya kode etik dan/atau kode perilaku yang bersifat sektoral menjadi
hal yang sangat penting untuk menjadi pedoman bagi berbagai
korporasi yang mempunyai sifat yang mirip atau sejenis sehingga
antara korporasi tersebut akan saling menguatkan dalam menjalankan
praktik bisnis atau non-bisnis yang sehat dan beretika. Untuk korporasi
yang berusaha untuk mendapatkan profit dan tergabung dalam
asosiasi, saat ini sudah cukup lazim adanya kode etik yang bersifat
sektoral, beberapa diantaranya adalah: Kode Etik Asosiasi Konsultan
Non Konstruksi Indonesia, Kode Etik Asosiasi Perusahaan Pemboran
Migas, Kode Etik Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi, Kode Etik
Asosiasi Tenaga Teknik Indonesia, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
4. Memberntuk Unit Pengendalian Gratifikasi
Adanya berbagai aturan di internal korporasi baik yang bersifat
tertulis maupun tidak tertulis (konvensi), termasuk kode etik dan/atau
kode perilaku, akan semakin efektif dalam hal implementasi dan
manfaatnya dengan adanya suatu unit pengendali gratifikasi (UPG).
UPG tidak dipahami secara kaku berupa suatu unit khusus yang harus

12
ada dalam struktur organisasi karena UPG dimaknai secara fungsional
yang mana fungsinya melekat dalam fungsi pengawasan dan
pembinaan. Adapun Tugas-tugas minimal UPG antara lain:
a. melakukan sosialisasi pengendalian gratifikasi,
b. melakukan koordinasi dengan unit atau bagian terkait
implementasi dan efektivitas pengendalian gratifikasi,
c. melakukan identifikasi/kajian atas titik rawan atau potensi
gratifikasi,
d. mengusulkan kebijakan pengelolaan, pembentukan lingkungan
anti gratifikasi dan pencegahan korupsi di lingkungan Instansi,
dan
e. menerima laporan gratifikasi dari pihak internal dan
mengkoordinasikannya dengan KPK
5. Melaporkan Upaya Permintaan yang Dihadapi Swasta
Dalam beberapa kesempatan terungkap bahwa pihak
swasta/korporasi relatif lebih dapat mengendalikan praktik penerimaan
gratifikasi terhadap pegawai atau pejabatnya. Yang menjadi tantangan
adalah menghadapi upaya-upaya permintaan yang dilakukan
khususnya oleh pegawai negeri/penyelenggara negara baik secara
individual ataupun kelompok, misalnya dalam hal pengurusan
perizinan atau pemenuhan persyaratan administrasi.
Timbul dilema etik antara memenuhi permintaan tersebut dengan
harapan proses birokrasi atau administrasi menjadi lebih cepat atau
tidak terhambat atau tidak memenuhi permintaan dengan risiko
menghadapi prosedur berbelit yang mengakibatkan hilangnya peluang
atau kesempatan bisnis atau peluang/kesempatan beralih kepada
pesaing yang bersedia memenuhi permintaan. Sudah menjadi seperti
rahasia umum bahwa beberapa badan usaha telah mencadangkan suatu
dana sebagai “uang pelicin”, “overhead”, “entertainment”, dan bahkan
yang bersifat off-book untuk memenuhi berbagai permintaan yang
sudah diprediksi atau bahkan untuk tujuan menyuap.

13
F. Perlindungan Pelapor Terhadap Gratifikasi
Pelapor gratifikasi mempunyai hak untuk diberikan perlindungan
secara hukum. Menurut Pasal 15 UU KPK, KPK wajib memberikan
perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor yang telah menyampaikan
laporan atau memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana
korupsi. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi
Korban (LPSK) mempunyai tanggung jawab untuk memberikan
perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Dalam konteks ini,
pelapor gratifikasi dapat akan dibutuhkan keterangannya sebagai saksi
tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi.
Misalnya, ketua dan anggota tim di sebuah instansi diduga menerima
gratifikasi terkait pelaksanaan tugasnya, akan tetapi, hanya satu orang
pelapor yang menyampaikan laporan gratifikasi. Dengan laporan tersebut,
secara tidak langsung dapat membuka informasi terkait dugaan
penerimaan gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri/penyelenggara
negara lainnya, dan dugaan tindak pidana korupsi lainnya. Kondisi inilah
yang selanjutnya dapat memosisikan pelapor sekaligus sebagai
whistleblower yang berpotensi mendapatkan ancaman dari pihak lainnya.
Pelapor gratifikasi yang menghadapi potensi ancaman, baik yang
bersifat fisik ataupun psikis, termasuk ancaman terhadap karir pelapor
dapat mengajukan permintaan perlindungan kepada KPK atau LPSK.
Instansi/Lembaga Pemerintah disarankan untuk menyediakan mekanisme
perlindungan khususnya ancaman terhadap karir atau aspek administrasi
kepegawaian lainnya. Bentuk perlindungan tersebut dapat diatur dalam
peraturan internal.

G. Fraud di Bidang Kesehatan


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 16 tahun
2019 tentang Fraud adalah Kecurangan (fraud) tindakan yang dilakukan

14
dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program
Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui
perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pencegahan dan penanganan kecurangan (fraud)
serta pengenaan sanksi administrasi terhadap kecurangan (fraud) dalam
pelaksanaan program jaminan kesehatan. Menetapkan peraturan menteri
kesehatan tentang pencegahan dan penanganan kecurangan (fraud) serta
pengenaan sanksi administrasi terhadap kecurangan (fraud) dalam
pelaksanaan program jaminan Kesehatan.
H. Program Pengendalian Gratifikasi
Program pengendalian gratifikasi (PPG) adalah program yang
bertujuan untuk mengendalikan penerimaan gratfikasi secara transparam
dan akuntabel, melalui serangkaian kegiatan yang melibatkan partisipasi
aktif badan pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat untuk membentuk
lingkungan pengendalian gratifikasi. Berikut tahapan program
pengendalian gratifikasi
1. Pra implementasi
a. Pengenalan PPG (KPK – Pimpinan K/L/O/P kesepakatan
pembentukan tim teknis persiapan PPG)
b. Analisis posisi instansi (Tim teknis KPK – K/L/O/P analisis
bersama posisi instansi rencana kerja umum PPG)
c. Penandatanganan komitmen penerapan PPG (Pimpinan KPK –
K/L/O/P penandatanganan komitmen penerapan PPG)
2. Implementasi
a. Pembangunanan aturan pengendalian gratifikasi (Tim teknis
KPK- K/L/O/P
b. ToT PPG (KPK- K/L/O/P agen perubahan)
c. Pembetukan pojka/UPG (KPK- K/L/O/P – pelaksana fungsi
pengendalian gratifikasi)
d. Diseminasi program pengendalian gratifikasi (KPK- K/L/O/P –
pemangku kepentingan (informasi penerapan PPG)

15
e. Implementasi program (KPK- K/L/O/P – terlaksananya
implenetasi PPG)
3. Monitoring dan evaluasi
Memonitoring dan mengevaluasi program pengndalian gratifikasi
(KPK – Pokja/UPG (laporan hasil monev)

16
I. Perbedaan antara Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Suap
1. Gratifikasi
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
2. Uang Pelicin
Secara teknis, pemberian sejumlah uang untuk mendapat
pelayanan ekstra ini disebut uang pelicin. Transparency International
Indonesia (TII) mendefinisikan uang pelicin sebagai sejumlah
pemberian (biasanya dalam bentuk uang) untuk memulai,
mengamankan, mempercepat akses pada terjadinya suatu layanan.
Sejatinya, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu atau bekerja lebih
cepat lantaran adanya insentif adalah sebuah bentuk pertentangan
terhadap kewajiban seseorang Pemberian uang pelicin merupakan
salah satu bentuk tindakan suap.
Penyuapan sebagai tindak pindana tersebut diatur di dalam
sejumlah peraturan yang ada di Indonesia, terutama dalam Undang-
Undang Tindak Pindana Korupsi (Tipikor) UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberian uang
pelicin yang merupakan satu bentuk tindakan suap diatur dalam pasal-
pasal berikut ini dari UU Tipikor. Di dalam UU Tipikor, total ada 12
rumusan pasal tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap.
3. Pemerasan

17
Pemerasan merupakan suatutindakan yang dapat menguntungkan
seseorang/pihak (pemeras) dan merugikan bagi pihak lainnya (yang
diperas).Pemerasan adalah bahasa hukum yang rumusan pidananya ada
dalam hukum positif. Bila dilihat kata ‘pemerasan’ dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata dasar ‘peras’ yang bisa bermakna leksikal
‘meminta uang dan jenis lain dengan ancaman.4 Dalam Black’s Law
Dictionary (2004: 180), blackmail diartikan sebagai ‘a threatening
demand made without justification’. Sinonim dengan extortion, yaitu
suatu perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan cara melawan
hukum seperti tekanan atau paksaan.
Pengaturan terkait pemerasan dan pengancaman sesungguhnya
telah diatur dalam KUHP dan beberapa Undang-Undang lain yang
juga memuat ketentuan pemerasan dan pengancaman dalam beberapa
pasalnya. Dalam KUHP, ketentuan mengenai pemerasan dalam bentuk
pokok diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, pemerasan yang
diperberat diatur Pasal 368 ayat (2) KUHP, sedangkan pengancaman
pokok diatur dalam Pasal 369 KUHP dan pengancaman dalam
kalangan keluarga diatur dalam Pasal 370 KUHP. Kedua macam
tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu
perbuatan bertujuan untuk mengancam orang lain, sehingga tindak
pidana ini diatur dalam bab yang sama yaitu Bab XXIII KUHP.
4. Penyuapan/Suap
Penyuapan (atau suap saja) adalah tindakan
memberikan uang, barang atau bentuk lain dari pembalasan dari
pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah
sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap
tersebut berlawanan dengan penerima. Dalam kamus hukum Black's
Law Dictionary, penyuapan diartikan sebagai tindakan menawarkan,
memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk
mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang
bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum. 

18
Penyuapan juga didefinisikan dalam Undang-undang Nomor 11
Tahun 1980 sebagai tindakan "memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang
berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum"; juga "menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia
mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum". Dengan tujuan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gratifikasi adalah suatu pemberian, imbalan atau hadiah oleh orang
yang pernah mendapat jasa atau keuntungan atau oleh yang telah atau
sedang berurusan dengan suatu lembaga publik atau pemeintah untuk
mendapatkan suatu kontrak. Dimana grratifikasi ada yag dianggap suap
maupun tidak. Grftifikasi juga dianggap buruk untuk diri sendiri dan orang
lain.
B. Saran

Kita sebagai manusian yang mengerti dan dapat berfikir hendaknya


bisa membedakan gratifikasi dan korupsi dan bisa menghindari gratifikasi
dimana pun kita berada dan pelajari sehingga kita tidak menyimpang serta
pahami tentang gratifikasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Doni Muhardiansyah. BUKU SAKU MEMAHAMI GRATIFIKASI.


https://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/memahami_gratifikasi.pdf .
Diakses pada tanggal 16 januari 2021.

Gratifikasi. 2017. https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/gratifikasi. Diakses


pada tanggal 12 Januari 2021.

Mengenal Gratifikasi. https://upg.kkp.go.id/publikasi/mengenal-gratifikasi/96-


definisi-gratifikasi-dan-dasar-hukumnya#:~:text=Gratifikasi%20merupakan
%20pemberian%20dalam%20arti,%2Dcuma%2C%20dan%20fasilitas
%20lainnya. Diakses pada tanggal 16 januari 2021

Mohammad Kenny Alweni. KAJIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN


BERDASARKAN PASAL 368 KUHP1 2019.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/25630. Diakses pada
tanggal 12 Januari 2021.

Perbedaan Gratifikasi, Uang Pelicin, Pemerasan dan Penyuapan.


https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-
korupsi/infografis/perbedaan-gratifikasi-uang-pelicin-pemerasan-dan-suap.
Diakses pada tanggal 12 Januari 2021.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Pedeoman Pengendalian Gratifikasi.


https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/Pedoman_Pengendalian_Gratifikasi.pdf.
Diakses pada tanggal 16 Januari 2021

21
Spora Communication. 2015. Pengantar Gratifikasi. Komisi Pemberantasan
Korupsi:Jakarta. https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2018/07/Buku-
Pengantar-Gratifikasi.pdf. Diakses pada tanggal 16 Januari 2021

Transparency International Indonesia. 2014. Indonesia Bersih Uang


Pelicin:Jakarta. https://ti.or.id/wp-content/uploads/2018/04/uang_pelicin.pdf.
Diakses pada tanggal 12 Januari 2021.

HASIL DISKUSI

22
Hari/Tanggal : Senin, 22 Februari 2021
Kelompok 5

Pertanyaan : Yunita Wiwid Widuri (P07124320004)


- Perbedaan spesifik dari gratifikasi dan uang pelican?

Jawaban :
- Gratifikasi yaitu dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.
- Sedangkan uang pelican adalah pemberian sejumlah uang untuk mendapat
pelayanan ekstra disebut uang pelican atau sejumlah pemberian dalam bentuk
uang untuk memulai, mengamankan, mempercepat akses pada terjadinya
suatu layanan. Contoh : pemberian uang kepada staff rumah sakit agar
mempermudah jalan masuknya melamar pekerjaan di rumah sakit tersebut.

23

Anda mungkin juga menyukai