Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN MARKET INTELLIGENCE

PERKEMBANGAN INDUSTRI PUPUK DI INDONESIA


September 2008
Industri Pupuk Menunggu Jaminan Pasokan Gas
Kebijakan masa lalu dalam sektor energi Indonesia yang berorientasi dalam
penerimaan devisa, mengakibatkan sebagian besar produk energi termasuk gas
berorientasi ekspor dan terikat kontrak jangka panjang. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kebutuhan gas didalam negeri oleh industri pupuk tidak dapat begitu
saja dipenuhi oleh produksi gas dalam negeri.
Kondisi ini terjadi pada PT Asean Aceh Fertilizer yang sudah dilikuidasi serta PT PIM
yang sempat tidak produksi pada September 2005 dan baru beroperasi kembali pada
tahun 2007, padahal berlokasi di sekitar ladang - ladang gas terbesar di Nanggroe
Aceh Darussalam.
Produsen pupuk di Indonesia tidak dapat begitu saja membeli gas sesuai harga
pasar, karena harga jual pupuk telah ditetapkan oleh pemerintah melalui harga
eceran tertinggi (HET). Industri pupuk yang hanya sanggup membeli gas sekitar
2US$ per MMBTU jelas tidak mampu bersaing dengan harga yang ditawarkan oleh
PLN, PGN maupun untuk LNG.
Keterbatasan pasokan gas ke pabrik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) masih belum
tuntas karena sulitnya mendapatkan pasokan gas sesuai kebutuhannya, saat ini PIM
masih mengandalkan swap gas dari PT Pupuk Kaltim yang jumlahnya terbatas
hanya 3 kargo atau setara 8.806.515 MMBTU atau hanya cukup untuk memenuhi
25% kebutuhan gasnya.
Hal yang sama terjadi pada PT AAF, karena tidak adanya pasokan gas membuat
berhenti beroperasi sejak 2003, dan saat ini fasilitas produksi di PT AAF tersebut
70% nya sudah tidak dapat dioperasikan.
Sementara itu Untuk menghadapi peningkatan konsumsi pupuk oleh industri
pertanian dengan rencana swasembada pangan pada tahun 2015, pemerintah akan
melakukan peningkatan produksi industri pupuk melalui program revitalisasi industry
pupuk yang akan dianggaran sebesar Rp 49,01 triliun.
Program ini membutuhkan jaminan pasokan gas dari pemerintah, karena perbankan
nasional yang akan memberikan kredit dalam program revitalisasi tersebut meminta
pemerintah memberikan jaminan pasokan gas selama 20 tahun, karena masih
mengkhawatirkan jika terjadi keterbatasan pasokan gas akan menghambat
kelancaran operasional pabrik pupuk tersebut di kemudian hari.
Kapasitas produksi
Kapasitas produksi pabrik pupuk di Indonesia relatif tidak mengalami penambahan
yang signifikan sejak tahun 2003 hingga tahun 2007. Penambahan kapasitas
terdapat pada pabrik Urea pada tahun 2005 yang meningkat kapasitas produksinya
menjadi 8.030.000 ton dari sebelumnya sebesar 7.517.000 ton.
Kapasitas produksi pupuk relatif tidak berkembang, karena kebutuhan pupuk masih
sangat tergantung pada kebijakan pemerintah yang menentukan jumlah pupuk yang
akan digunakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, hal ini terutama terkait
dengan jumlah subsidi pupuk yang akan diberikan.
Selain itu untuk memperbaiki pola pemupukan agar tercipta efisiensi serta
produktivitas yang optimal, pemerintah menggalakan penggunaan pupuk majemuk
(NPK), yang meskipun harganya lebih mahal, tetapi secara teknis mampu
memberikan hasil produksi yang lebih baik yang berdampak pada biaya produksi
yang lebih rendah.
Untuk mendukung program tersebut pada tahun 2005 juga terdapat penambahan
kapasitas produksi pupuk NPK sebesar 100.000 ton pada pabrik pupuk PT Petrokimia
Gresik, kemudian kapasitas produksi NPK PT PKG meningkat kembali hingga total
kapasitas produksi NPK nya menjadi 910.000 ton per tahun. PT PKG merupakan
satu-satunya produsen NPK di Indonesia. Sementara itu kapasitas produksi ZA dan
TSP maupun SP-36 tidak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir ini.
PT Pusri merupakan produsen pupuk tertua di Indonesia, dengan enam pabrik yang
mempunyai total kapasitas produksi sebesar 2.280.000 ton per tahun. Sementara itu
PT PKG merupakan satu-satunya produsen ZA , Fosfat dan NPK di Indonesia.
Kapasitas produksi totalnya mencapai 2.583.000 ton per tahun.
PT Pupuk Kujang merupakan produsen Urea dengan kapasitas produksi mencapai
1.140.000 ton per tahun. PT Pupuk Kaltim mempunyai kapasitas produksi sebesar
2.980.000 ton per tahun, dan merupakan produsen terbesar pupuk Urea di
Indonesia.
PT Asean Aceh Fertilizer, yang merupakan perusahaan patungan beberapa negara
ASEAN sejak 2003 sudah tidak berproduksi dan telah di likuidasi pada tahun 2006.
Fasilitas produksinya mempunyai kapasitas sebesar 627.000 ton dan dalam kondisi
rusak. Sementara itu PT PIM yang juga sempat berhenti produksi mempunyai
kapasitas produksi sebesar 1.170.000 ton, yang memproduksi Urea dan Urea
Granula.
Produsen Pupuk

Di Indonesia pupuk diproduksi oleh enam perusahaan, lima diantaranya adalah
Badan Usaha Milik Negara(BUMN) yang membentuk sebuah Holding Company,
dimana PT PUSRI merupakan Leading Company. Salah satu perusahaan, yaitu PT
Asean Aceh Fertilizer di likuidasi pada tahun 2006, karena sudah tidak dapat
meneruskan kegiatan produksinya sejak 2003 serta sudah rusaknya sebagian besar
peralatan di pabrik tersebut.
PT Pupuk Sriwijaya (PUSRI)
PUSRI berdiri pada tahun 1959 di Palembang, Sumatera Selatan, pabrik ini dibangun
khusus untuk memproduksi pupuk Urea. Pabrik Pupuk Sriwijaya mulai berproduksi
pada tahun 1963, dengan kapasitas produksi sebesar 100.000 ton. Untuk memenuhi
kebutuhan yang tinggi terhadap Urea di Indonesia, kemudian didirikan empat pabrik
baru pada tahun 1974, 1976, 1977 dan 1994, hingga total kapasitas produksinya
mencapai 2,28 juta ton per tahun.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11
Februari 2003 mengenai pola Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk
Sektor Pertanian, yaitu dengan pola rayonisasi distribusi pupuk bagi produsen
pupuk. PT Pupuk Sriwidjaja (Unit Usaha) ditetapkan bertanggung jawab atas
distribusi pupuk ke Propinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, dan
Kalimantan Barat.
PT Petro Kimia Gresik (PKG)
Pemerintah Indonesia mendirikan PKG di Gresik, Jawa Timur pada tahun 1972,
untuk memproduksi ZA (Zwavelzuur Ammonia atau Ammonium Sulphate), dengan
kapasitas produksi sebesar 200.000 ton per tahun. Pembangunan pabrik ini untuk
mengatasi kekurangan pupuk berbasis Nitrogen yang lebih murah selain Urea karena
kegiatan pertanian semakin berkembang saat itu. Pembangunan pabrik baru
dilakukan pada tahun 1985 dan 1986, sehingga total kapasitas produksi PT PKG
untuk ZA adalah 650.000 ton.
Untuk mengurangi jumlah impor pupuk fosfat yaitu TSP (Triple super phosphate) /
SP-36, serta memenuhi kebutuhan di dalam negeri PKG juga membangun dua pabrik
pupuk fosfat pada tahun 1979, dengan kapasitas masing -masing mencapai 500.000
ton, sehingga total kapasitas produksi pupuk fosfatnya mencapai 1 juta ton per
tahun.
PT PKG juga membangun pabrik Urea dengan kapasitas 460.000 ton per tahun yang
mulai berproduksi pada tahun 1994. Selain itu PKG juga merupakan satu-satunya
perusahaan yang memproduksi pupuk majemuk NPK (Nitrogen-Phospor-Kalium).
Pabrik ini dibangun untuk mengurangi jumlah impor pupuk jenis ini. Jenis NPK yang
diproduksi adalah NPK Phonska, NPK Blending, NPK Granulasi. Total kapasitas
produksi NPK PKG mencapai 910.000 per tahun.
PT Pupuk Kujang (PKC)
PKC dibangun pada tahun pada tahun 1975 di Cikampek, Jawa Barat, dengan
kapasitas produksi mencapai 570.000 ton per tahun. Pabrik ini dibangun untuk
mengatasi masih kurangnya pasokan pupuk Urea di dalam negeri, terutama untuk
kegiatan pertanian di Jawa..
Kapasitas produksi PKC meningkat dengan dibangunnya kembali pabrik baru yang
beroperasi pada tahun 2005 dengan kapasitas yang sama, sehingga total kapasitas
produksinya mencapai 1,14 juta ton per tahun.
PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT)
Untuk meningkatkan efisiensi pengadaan bahan baku (gas ) dan distribusi pupuk
Urea, pemerintah membangun pabrik Pupuk Kalimantan Timur (PKT) di Bontang ,
Kalimantan Timur, dengan kapasitas produksi sebesar 700.000 ton. Pabrik ini mulai
beroperasi pada tahun 1984.
Empat pabrik baru didirikan dan mulai berproduksi pada tahun 1985, 1989, 1999
dan 2002, sehingga total kapasitas pabrik Urea milik PKT mencapai 2,98 juta ton.
PKT saat ini merupakan produsen pupuk terbesar di Indonesia dan berencana
membangun Unit pabrik pupuk Urea KaltimV yang diharapkan dapat berproduksi
pada tahun 2011.Pembangunan pabrik ini juga sebagai antisipasi meningkatnya
kebutuhan pupuk pada tahun 2015.
PT Asean Aceh Fertilizer (AAF)
Berdasarkan deklarasi Bangkok pada tahun 1979 dibentuk perusahaan patungan
oleh sebagian negara ASEAN, yaitu PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Lhokseumawe
(Aceh) yang khusus memproduksi Urea. PT AAF adalah perusahaan patungan yang
sahamnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh PT PUSRI (60%),
Thailand yang diwakili Departemen Keuangannya (13%), Malaysia yang diwakili
Petronas (13%), Filipina yang diwakili oleh National Fertilizer Corporation serta
Singapore yang diwakili oleh Temasek Holding Pte Ltd. (1%).
Pabrik ini berproduksi pada tahun 1983, dengan kapasitas terpasang sebesar
627.000 ton per tahun, dan produksinya ditujukan hanya untuk pasar ekspor. Tidak
tersedianya pasokan gas ke pabrik ini, membuat kegiatan produksinya terhenti sejak
tahun 2003.
Terhentinya pasokan gas tersebut terjadi karena tidak adanya kesepakatan harga
antara PT AAF dengan ExxonMobil Indonesia (EMOI). EMOI menginginkan harga gas
saat itu dijual sebesar US$ 1,85 juta Matrix Brtitish Thermal Unit (MMBTU)
sedangkan PT AAF tetap bertahan dengan harga US$ 1 per MMBTU.
PT AAF sempat meminta subsidi gas kepada pemerintah, namun usulan tersebut
ditolak karena penjualan produk PT AAF hanya untuk pasar ekspor. Karena sudah
lama terhenti produksinya, serta 70% fasilitas produksinya sudah rusak, akhirnya PT
AAF di likuidasi pada tahun 2006.
PT Pupuk Iskandar Muda (PIM)
PT PIM merupakan pabrik terakhir yang didirikan pemerintah Indonesia yang
berlokasi di Lhokseumawe (Aceh) pada tahun 1982. Pabrik ini khusus memproduksi
Urea dan mulai berproduksi pada tahun 1984 dengan kapasitas 600.000 ton per
tahun. Produksi PIM digunakan untuk memasok kebutuhan pupuk Urea di Nanggroe
Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, serta sebagian lagi diekspor kebeberapa
negara.
Pabrik kedua didirikan dan mulai berproduksi pada tahun 2005 dengan kapasitas
sebesar 570.000 ton per tahun. Total kapasitas produksi PT PIM hingga tahun 2007
mencapai 1,17 juta ton. Kedua pabrik tersebut sempat terhenti pada tahun 2005,
karena tidak mendapat pasokan gas, dan baru beroperasi lagi dengan satu pabrik
(PIM 1) setelah mendapatkan gas dari pengalihan (swap) gas untuk ke PT Pupuk
Kaltim.
PIM masih mengandalkan ExxonMobil untuk memasok kebutuhan gas pada tahun
2008 dan 2009, karena untuk kebutuhan pada tahun 2010 hingga 2020 PT PIM telah
melakukan kontrak jangka panjang dengan Medco E&P pada Maret 2007.
Produksi mandeg
Produksi pupuk sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah, karena produsen
pupuk yang semuanya merupakan BUMN tujuan utamanya adalah untuk mendukung
kegiatan pertanian dan perkebunan di Indonesia.
Selain produksi yang mengacu pada kebutuhan domestik, perkembangan produksi
pupuk juga terkendala pasokan gas yang terbatas jumlahnya untuk memenuhi
kebutuhan industri pupuk di Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan perkembangan
produksi cenderung stagnan.
Produksi pupuk Urea pada tahun 2003 mencapai 5.733.121 ton dan tidak mengalami
perubahan yang signifikan hingga tahun 2007. Penambahan kapasitas produksi pada
tahun 2005 menyebabkan tingkat pemanfaatan kapasitas produksinya menurun
menjadi 70,4% pada tahun 2006, menurun dari tahun 2003 yang mencapai 76,3%.
Produksi pupuk ZA meningkat cukup besar dari 479.281 ton pada tahun 2003
menjadi 625.000 ton pada tahun 2006, demikian pula dengan pupuk NPK mengalami
peningkatan yang signifikan dari 113.842 ton pada tahun 2003 menjadi 412.663 ton
pada tahun 2006.
Tingkat pemanfaatan kapasitas produksi NPK meningkat pesat , dari 31,6% pada
tahun 2003 menjadi 89,7% pada tahun 2006. Pada tahun 2007 produksi NPK
meningkat kembali menjadi 746.347 ton, tetapi tingkat pemanfaatannya menurun
menjadi 82,2% karena bertambahnya kapasitas produksi NPK dari PT Petrokimia
Gresik. Program penggalakan penggunaan pupuk NPK untuk meningkatkan
produktivitas pertanian, menjadi pendorong utama peningkatan ini.
Urea yang merupakan pupuk utama dalam sektor pertanian, dari tahun 2003 hingga
2007 produksinya masih didominasi oleh PT Pusri dan Pupuk Kaltim, dengan
produksi yang relatif stabil setiap tahunnya. Produksi PT Pusri mencapai 2.020.760
ton pada tahun 2007 dan relatif tidak mengalami perubahan berarti dari produksi
tahun 2003 yang mencapai 2.053.410 ton.
Penambahan produksi Urea sebagian besar berasal dari produksi PT Pupuk Kujang
yang sejak tahun 2006 bertambah produksinya sejak adanya penambahan kapasitas
produksi baru dari pabrik pupuk Kujang 1B pada tahun 2005.
Penurunan produksi terjadi pada PT PIM yang mengalami kesulitan pasokan gas
sejak tahun 2003, hingga sempat terhenti produksinya dan mendapat swap gas dari
pasokan gas untuk ke PT Pupuk Kaltim dari ExxonMobil.
Sulitnya pasokan gas juga terjadi pada PT AAF, bahkan berakibat pada penghentian
operasi sejak tahun 2003, hingga akhirnya dilikuidasi pada tahun 2006.
Bahan baku gas masih menjadi persoalan utama
Gas merupakan unsur terbesar dari struktur biaya produksi urea, yaitu sekitar 50-
60%. Ketidaktersediaan gas dapat mengakibatkan sejumlah pabrik pupuk tidak
beroperasi atau untuk sementara menghentikan kegiatan produksinya, seperti yang
terjadi pada PT Asean Aceh Fertilizer

Anda mungkin juga menyukai