Anda di halaman 1dari 6

SAMUEL REYNALDI (215010100111157)

1. Sebagai penyidik, pasal yang dapat diterapkan kepada para tersangka adalah Pasal 2 ayat
(1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, diancam dengan pidana penjara paling singkat
4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak
Rp1 miliar.
Sedangkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyatakan
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliyar rupiah).
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut:
o Melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu melakukan tindakan yang
bertentangan dengan ketentuan hukum, dalam hal ini juknis Permendiknas no.2
tahun 2018.
o Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu mendapatkan
keuntungan secara tidak sah dari tindakan yang dilakukan.
o Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu menimbulkan
kerugian bagi keuangan negara atau perekonomian negara.
Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada para tersangka adalah pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah).
Dalam hal ini, terdapat indikasi bahwa E dan S berperan sebagai pelaku utama dalam
tindakan korupsi tersebut, sedangkan Masdar berperan sebagai pihak yang membantu
melakukan tindakan korupsi (penyertaan). Oleh karena itu, Masdar dapat dijerat dengan
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
membantu melakukan tindak pidana, dipidana sebagai pelaku. Ancaman pidana bagi
Masdar sama dengan yang dijatuhkan pada pelaku utama.

2. Berdasarkan kasus yang diberikan, terdapat beberapa pasal yang dapat diterapkan kepada
para tersangka berdasarkan peran masing-masing, yaitu:
o Dirut keuangan PT Angkasa Pura (A) yang menerima pemberian uang sebesar
57.000 dollar Singapura dari dirut PT.INTI (D') Pasal yang dapat diterapkan untuk
dirut keuangan PT Angkasa Pura (A) adalah Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini menyatakan
bahwa Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
peembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.Dasar
hukum ini dapat diterapkan karena dirut keuangan PT Angkasa Pura (A) menerima
pemberian uang yang diduga sebagai suap dari dirut PT.INTI (D') untuk
mempengaruhi keputusan tender.
o Manajer Executive Maintenance Angkasa Pura yang merubah spesifikasi BHS
sehingga ada kerugian keuangan negara sebesar 5 milyar rupiah. Pasal yang dapat
diterapkan untuk Manajer Executive Maintenance Angkasa Pura adalah Pasal 3
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini
menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur
hidup, Dasar hukum ini dapat diterapkan karena Manajer Executive Maintenance
Angkasa Pura diduga melakukan tindakan korupsi dengan merubah spesifikasi
BHS menjadi lebih rendah dari seharusnya, sehingga mengakibatkan kerugian
keuangan negara sebesar 5 milyar rupiah.

3. Kasus tersebut merupakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai tata usaha
Kejaksaan Negeri Pati yang telah memanfaatkan uang denda tilang untuk kepentingan
pribadinya. Tindakan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar 2 milyar
dan terjadi selama 2 tahun, yaitu 2020 sampai dengan 2021.
Tindakan korupsi yang dilakukan oleh tersangka tersebut merupakan pelanggaran hukum
yang sangat serius karena merugikan negara dan masyarakat secara luas. Tindakan korupsi
ini merupakan tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan
menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi masyarakat, karena uang yang seharusnya
digunakan untuk kepentingan publik justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Tersangka juga melakukan pelarian selama 3 bulan saat dilakukan audit internal dan baru
ditangkap polisi pada awal bulan Agustus 2022. Hal ini juga merupakan tindakan yang
tidak patut dilakukan oleh seorang pegawai negeri yang harusnya bertanggung jawab atas
tindakannya.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana
seumur hidup,
Dalam kasus ini, tersangka sebagai pegawai tata usaha Kejaksaan Negeri Pati
memanfaatkan jabatannya untuk memanipulasi uang denda tilang demi kepentingannya
sendiri. Tindakan ini dengan jelas merupakan perbuatan yang merugikan keuangan negara.
Sanksi bagi tersangka atas tindakannya dapat dijatuhkan berdasarkan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu
pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit
Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara itu, menghilangnya tersangka selama 3 bulan setelah dilakukan audit internal
juga dapat menjadi dasar untuk menjeratnya dengan Pasal 21 UU Tipikor yang
menjelaskan bahwa setiap orang yang mempunyai kewajiban untuk memberikan
keterangan dalam penyidikan atau pemeriksaan dan sengaja tidak hadir atau kabur dari
penyidikan atau pemeriksaan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun
atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Dalam kasus ini,
tersangka telah melakukan tindak pidana korupsi dan juga melarikan diri saat dilakukan
audit internal sehingga dapat dikenakan sanksi tambahan berupa pidana penjara dan denda.

4. Kasus yang diuraikan mengindikasikan terjadinya tindakan korupsi oleh para pihak yang
terlibat dalam pemberian restitusi pajak PT WAK. Tindakan korupsi dalam hal ini terjadi
karena penerimaan uang terima kasih oleh para tersangka dari DM selaku Dirut PT WAK
yang memberikan restitusi pajak.
Dasar hukum yang berkaitan dengan tindakan korupsi tersebut terdapat pada Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12
ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa "setiap orang yang memberikan hadiah atau janji
kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara lainnya dengan maksud agar ia
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah)."
Berdasarkan pasal tersebut, tindakan penerimaan uang terima kasih oleh para tersangka
merupakan suatu tindakan korupsi yang dapat dipidana dengan pidana penjara dan denda
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, tindakan para tersangka juga melanggar etika dan kode etik profesi mereka
sebagai Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara, karena telah melakukan tindakan yang
merugikan negara dan masyarakat.
Dalam hal terkait dengan pemberian restitusi pajak oleh PT WAK, pihak-pihak yang
terlibat harus memastikan bahwa pemberian restitusi pajak dilakukan secara benar dan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan memberikan
restitusi pajak yang tidak sesuai atau didasarkan pada kesepakatan tertentu dapat
menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat, serta melanggar ketentuan perpajakan
yang berlaku.
Dalam hal ini, tindakan pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian restitusi pajak dan
penerimaan uang terima kasih harus ditindaklanjuti secara hukum untuk memberikan efek
jera dan memastikan bahwa tindakan korupsi tidak terjadi di masa yang akan datang.

5. Salah satu contoh kasus obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi adalah kasus
korupsi e-KTP yang melibatkan beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri. Dalam
kasus ini, terdapat upaya-upaya untuk menghalangi proses penyidikan dan persidangan,
antara lain dengan menghilangkan atau memalsukan dokumen-dokumen penting.
Pasal yang dapat dikenakan pada pelaku obstruction of justice dalam kasus ini adalah Pasal
21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal tersebut
berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Dalam kasus korupsi e-KTP, beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri yang terlibat
dalam obstruction of justice dijerat dengan Pasal 21 tersebut.

6. Perbuatan F dan ED dalam kasus ini dapat dipidana atas tindak pidana pencucian uang
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Dasar hukum tersebut mengacu pada Pasal 3 UU TPPU yang menyebutkan bahwa setiap
orang dilarang melakukan tindak pidana pencucian uang. Sementara itu, Pasal 2 ayat (1)
UU TPPU menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan melakukan transaksi
keuangan terhadap hasil tindak pidana yang dilakukan dengan maksud menyembunyikan
atau menyamarikan asal-usul atau sifat asli dari hasil tindak pidana tersebut.
Dalam kasus ini, F terbukti melakukan tindak pidana penipuan dan merugikan H sebesar
83 Milyar. F kemudian mengirimkan uang tersebut secara berkala ke perusahaan cangkang
di Panama yang dijadikan istrinya sebagai direktur utama, serta mengirimkan uang belanja
bulanan ke rekening istrinya sebesar 500 juta setiap bulan. Hal ini dapat diindikasikan
sebagai upaya untuk menyembunyikan atau menyamarikan asal-usul atau sifat asli dari
hasil tindak pidana penipuan tersebut.
Dalam hal ini, F dan ED dapat dipidana berdasarkan Pasal 3 jo. Pasal 2 ayat (1) UU TPPU
dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 20 tahun dan/atau denda paling
banyak 10 miliar rupiah.

Anda mungkin juga menyukai