Anda di halaman 1dari 20

Pengantar Hukum

Bisnis 2
Kelompok 3
Anggota Kelompok
Mohammad Adi
Agus Alfianto Yogi Saputra Saputra
(43122010079) (43121010137) (43121010124)

Raihan Juan
Anandra Arief Maulana Sejati
(43121010136) (43121010150)
01
Pengertian Hukum
Bisnis
Hukum Bisnis adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah untuk mengatur perdagangan
dalam kegiatan ekonomi guna mewujudkan
keamanan dan ketertiban perekonomian
Indonesia. Pelanggaran aturan hukum di area
bisnis ini dikenakan sanksi berat.
02
SUBJEK HUKUM HUKUM
BISNIS!
Hukum memiliki subjek, subjek hukum adalah orang atau badan hukum
yang merupakan subjek dari suatu kewajiban hukum dan suatu
hak.Hukum bisnispun memiliki subjek yang jelas, yaitu:
1. Manusia (Natuurlijk Person); setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama
selaku pendukung hak dan kewajiban. Dimulai sejak lahir (misalnya bayi dapat
warisan yang ditinggal mati orang tuanya) dan berakhir setelah meninggal dunia.

2. Badan Hukum (rechts person); suatu lembaga yang dibuat oleh hukum dan
mempunyai tujuan tertentu. Baik Privat/Swasta maupun publik atau negara.
03
OBJEK HUKUM HUKUM
BISNIS
Berdasarkan buku dasar-dasar hukum bisnis edisi 2 yang ditulis oleh bapak Ustad
Adil, SHI,MH. Objek hukum bisnis adalah benda, maka penulis akan mengupas
benda, hukum benda serta materi yang terkait dengan benda. sekilas apapun
benda, hukum benda serta materi yang terkait dengan benda.

1. Pengertian Benda
2. Pengertian Hukum Benda
3. Macam-macam Benda dan Hak Kebendaan
Pengertian Benda
Pengertian benda adalah pertama; segala sesuatu yang ada dalam alam yang dimaksudkan
untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-
mesin dalam suatu pabrik. Selanjutnya, tidak bergerak karena memang demikian ditentukan
oleh undang-undang segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak
bergerak.

Pada sisi lain masih menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang
bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang.
Pengertian Hukum Benda
■ Hukum kebendaan merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengatur hubungan
hukum secara langsung antara seseorang (subjek hukum) dengan benda (objek hukum),
yang melahirkan berbagai hak kebendaan (zakelijkrecht). Hak kebendaan memberikan
kekuasaan langsung kepada seseorang dalam penguasaan dan kepemilikan atas sesuatu
benda di manapun bendanya berada. Pengaturan hukum kebendaan sebagian besar
bersumber dalam KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya di luar KUH
Perdata, yang kandungan materinya meliputi pengertian benda, pembendaan benda, dan
hak-hak kebendaan.
Macam-Macam Benda Dan Hak Kebendaan
■ Untuk mengetahui berbagai macam kebendaan dalam hukum perdata berdasarkan
perspektif kitab undang-undang hukum perdata, penulis akan kupas berdasarkan KUH
perdata:

1. Kebendaan dibedakan atas benda tidak bergerak (anroe rende zaken) dan benda bergerak
(roerendes zaken) (Pasal 504 KUH perdata).

2. Kebendaan dapat dibendakan pula atas benda yang berwujud atau bertubuh (luchamelijke
zaken) dan benda yang tidak berwujud atau berubah (onlichme Lijke Zaken) (Pasal 503 KUH
perdata).

3. Kebendaan dapat dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) atau tak
dapat dihabiskan (Pasal 505 KUH perdata).
04
Sanksi Pelanggar
Hukum Bisnis
dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Bab Bab VII Kejahatan yang
mendatangkan Bahaya Bagi Keamanan Umum Manusia atau barang telah
dijelaskan secara umum mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha,
yang termuat dalam pasal 204-206.4 Pasal 204:

(1)Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagibagikan barang


yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat
berbahaya tidak diberitahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.

(2) Jika perbuatan itu dapat menyebabkan orang mati, yang bersalah diancam
dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun.
Pelaku usaha yang melalaikan tanggung jawabnya dan
melanggar larangan-larangan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dikategorikan sebagai telah melakukan
wanprestasi dan untuk itu terdapat 3 (tiga) jenis sanksi,
yaitu:
1. Sanksi Administratif
■ Sanksi administratif ditentukan dalam Pasal 60 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimana Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif
yaitu yang berupa ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). Sehingga kewenangan ada pada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), bukan pada pengadilan. Sanksi administrasi tersebut dapat
dijatuhkan terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti
kerugian dari pelaku usaha kepada konsumen yang dirugikan akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
2. Sanksi Pidana Pokok
■ Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan
dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. a. Pidana
penjara paling lama 5 tahun atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (1) huruf a,b, c, dan e, ayat (2) dan Pasal 18. b. pidana
penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) terhadap epelanggaran atas
ketentuan Pasal 11, pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, pasal 16,
Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f.
3. Sanksi Pidana Tambahan
■ Ketentuan Pasal 63 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi
pidana pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan Pasal 62
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Selain sanksi
pokok maka diatur juga sanksi pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan berupa:
■ a. Perampasan barang tertentu
■ b. Pengumuman keputusan hakim
■ c. Pembayaran ganti rugi
■ d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsume
■ e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
■ f. Pencabutan izin usaha.
05

Studi Kasus
Kasus Perdagangan Ayam Tiren
■ Gudang peredaran ayam mati kemarin (tiren) yang berada di Kampung Rawa Sumur,
Kawasan Industri Pulogadung, Cakung, Jakarta Timur sudah beroperasi selama tujuh
bulan. Pelaku mengoplos ayam tiren dengan ayam yang belum lama disembelih.
"Produksinya di sini, buat campuran yang hidup sama yang mati. Saya baru tujuh bulan
jalani bisnis ini," kata Pardi (38), pedagang tiren oplosan di Polsek Cakung, Jakarta Timur,
Senin (14/12/2015). Pardi mengaku, dirinya mendapatkan pasokan ayam tiren itu dari
pemotongan yang ada di kawasan Pulogadung. Modal untuk membeli bangkai ayam itu
sekitar Rp4.000 hingga Rp5.000. "Ayam nya dari yang mati-mati di truk (hewan)," ujar
Pardi. Setelah itu, ayam dibawa ke gudang milik Pardi. Di sana, ayam tiren dicampur
dengan ayam hidup yang dibelinya. Ia mengaku setelahnya menjual kembali ayam tiren
itu dengan harga Rp7.000 hingga Rp8.000. Meski demikian, dia mengaku tidak
mengetahui para pembelinya itu dari kalangan ibu rumah tangga atau pedagang makanan.
Bagi dia, yang penting dagangannya laris.
Hal ini bisa membahayakan konsumen sebab ayam tiren sudah tidak layak konsumsi dan
menimbulkan penyakit yang serius apabila dikonsumsi.
THANKS!
Do you have any questions?

Anda mungkin juga menyukai