Anda di halaman 1dari 6

Tindakan Anarkis saat Demonstrasi

Pada dasarnya kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak


konstitusional yang dilindungi Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berbunyi:

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Permendagri nomor 9 Tahun 2009 menegaskan pentingnya fungsi fasum dan fasos ini
sebagai bagian penting dari pembangunan perumahan dan permukiman. Sehingga,
amanat permendagri ini pun mewajibkan para pengembang untuk menyerahkan
prasarana, sarana, dan utilitas perumahan dan permukiman yang harus dilaksanakan
paling lambat satu tahun setelah masa pemeliharaan.

Jenis-jenis prasarana, sarana dan permukiman sebagaimana yang dimaksud dalam


permendagri ini adalah sebagai berikut : 1, Prasarana perumahan dan permukiman
antara lain Jaringan jalan, Jaringan saluran pembuangan air limbah, Jaringan saluran
pembuangan air hujan (drainase), Tempat pembuangan sampah. 2, Sarana perumahan
dan permukiman antara lain Sarana perniagaan/ perbelanjaan, Sarana umum dan
pemerintahan, Sarana pendidikan, Sarana kesehatan, Sarana peribadatan, Sarana
rekreasi dan olah raga, Sarana pemakaman, Sarana pertamanan dan ruang terbuka hijau,
Sarana parkir.

Kemudian yang 3, Utilitas perumahan dan permukiman antara lain Jaringan air bersih,
Jaringan listrik, Jaringan telepon, Jaringan gas, Jaringan transportasi, Pemadam
kebakaran, Sarana penerangan jasa umum. Penyediaan berbagai fasilitas tersebut telah
diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan rencana rincinya, dimana
implementasinya dapat dilakukan dengan kerjasama antara Pemerintah Daerah (Pemda)
dengan masyarakat maupun swasta. Pembangunan fasos dan fasum di lingkungan
perumahan dapat dilakukan oleh pihak pengembang dan kemudian diserahkan kepada
Pemda.

Permendagri 9 tahun 2009 pada dasarnya mensyaratkan penyerahan fasum dan fasos
oleh pengembang dalam keadaan terpelihara. Namun, melihat kondisi di lapangan
sepertinya yang terjadi adalah pengembang hanya menyerahkan beberapa bidang tanah
lapang yang belum dibangun dan dipelihara. Selain itu, permasalahan lain adalah tidak
dipenuhinya janji developer untuk membangun beberapa fasilitas di lingkungan
perumahan.

Implikasi yang terjadi pada beberapa kasus, terjadi eksklusifitas dalam pemanfaatan
fasilitas tersebut. Padahal, fasos dan fasum merupakan public goods. Artinya,
pemanfaatannya tidak dipungut biaya dan tidak boleh ada pihak yang dikecualikan

1
dalam pemanfaatan fasilitas tersebut. Terkait masalah ini, masyarakat dapat mengajukan
tuntutan pada Pemda apabila terjadi pelanggaran.

sumber: http://mediatataruang.com

Lebih lanjut, kemerdekaan berpendapat di muka umum tersebut diatur ke dalam


Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum (“UU 9/1998”). Demo yang Anda maksud kami asumsikan sebagai
unjuk rasa atau demonstrasi, yang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang
atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara
demonstratif di muka umum.[1] Pasal 23 huruf e Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7
Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan
Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (“Perkapolri 7/2012”)
kemudian menyatakan bahwa kegiatan penyampaian pendapat di muka umum
dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran apabila berlangsung anarkis, yang disertai
dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang
membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dan kejahatan terhadap
penguasa umum.

Sedangkan anarkis yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau
terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan
norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum,
mengancam keselamatan barang dan/atau jiwa, kerusakan fasilitas umum, atau hak
milik orang lain.[2] Prosedur Penindakan Pelaku Anarkis saat Demonstrasi Pelaku
pelanggaran dan perbuatan anarkis dapat ditindak secara hukum.[3] Tindakan-tindakan
yang dapat dilakukan mencakup:[4] menghentikan tindakan anarkis melalui himbauan,
persuasif, dan edukatif; menerapkan upaya paksa sebagai jalan terakhir setelah upaya
persuasif gagal dilakukan; menerapkan penindakan hukum secara profesional,
proporsional, dan nesesitas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi; dalam hal
penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, maka dilakukan upaya
mengumpulkan bukti-bukti dan kegiatan dalam rangka mendukung upaya penindakan di
kemudian hari; dan melakukan tindakan rehabilitasi dan konsolidasi situasi. Akan
tetapi, dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, dengan
pertimbangan kemungkinan akan terjadi kerusuhan yang lebih luas atau dapat memicu
kerusuhan massa, maka tindakan penegakan hukum tetap dilaksanakan setelah situasi
kondisi memungkinkan dilakukan penindakan.[5] Selanjutnya, terdapat ketentuan-
ketentuan yang perlu diperhatikan pihak kepolisian selama melakukan penanganan
tindakan anarkis. Pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara
manusiawi, tidak dilakukan tindakan kekerasan, dan pelecehan seksual.[6] Sementara
itu, polisi yang melakukan tindakan upaya paksa harus menghindari terjadinya hal-hal
yang kontra produktif, antara lain:[7] tindakan aparat yang spontanitas dan emosional,
mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan,
dan menghujat; keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa
2
secara perorangan; tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan
di lapangan sesuai tingkatannya; tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;
dan melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan. Penyidikan perkara penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan
dengan prosedur:[8] penindakan tilang; tindak pidana ringan; penyidikan perkara cepat;
dan penyidikan perkara biasa.

Prosedur penyidikan perkara biasa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan. Dalam hal terdapat barang bukti terkait pelanggaran berupa
demonstrasi yang anarkis, prosedur penyitaan dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.[9]Sanksi Pidana

Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan
perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.[10] Salah satu pasal yang dapat menjerat
pelaku perusakan fasilitas umum adalah Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“KUHP”), yang selengkapnya berbunyi:

Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan


kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan.

Tentang pasal ini, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 147),
kekerasan yang dimaksud harus dilakukan di muka umum karena kejahatan ini memang
dimasukkan ke dalam golongan kejahatan ketertiban umum.

Sebagai informasi tambahan, di samping pelakunya dapat dijerat pidana berdasarkan


KUHP, perbuatan tersebut juga dilarang di dalam peraturan daerah. Sebagai contoh di
Jakarta yang tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun
2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”).

Pasal 54 Perda DKI Jakarta 8/2007:

Setiap orang atau badan dilarang merusak prasarana dan sarana umum pada waktu
berlangsungnya penyampaian pendapat, unjuk rasa dan/atau pengerahan massa.

Setiap orang atau badan dilarang membuang benda-benda dan/atau sarana yang
digunakan pada, waktu penyampaian pendapat, unjuk rasa, rapat-rapat umum dan
pengerahan massa di jalan, jalur hijau, dan tempat umum lainnya.

3
Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 54 ayat (1) di atas,
dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana kejahatan.[11]

Contoh Kasus

Sebagai contoh, kita dapat melihat Putusan Pengadilan Negeri Sleman


305/Pid.B/2018/PN Smn. Para terdakwa dalam putusan tersebut diajukan ke pengadilan
karena telah membakar ban bekas, membakar pos polisi dengan bom molotov, dan
merusak rambu-rambu lalu lintas serta payung pos polisi saat berunjuk rasa (hal. 25).
Hakim kemudian memutus bahwa para terdakwa telah melanggar Pasal 170 ayat (1)
KUHP. Masing-masing dihukum dengan pidana penjara selama lima bulan dan 15 hari
(hal. 32).

Dasar Hukum:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat


di Muka Umum;

Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka
Umum;

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum.

Putusan:

Putusan Pengadilan Negeri Sleman 305/Pid.B/2018/PN Smn.

Referensi:

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.

Tataurutan PerUU di Indonesia

 . Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) , UUD 1945 merupakan perundang-


undangan tertinggi di Indonesia.

 Undang-Undang (UU), Pembuatan undang-undang dilakukan oleh pemerintah.


Dalam pembuatannya, harus sesuai dengan isi UUD 1945.

4
 Peraturan Pemerintah merupakan peraturan yang dibuat oleh Presiden.
Pembuatan peraturan pemerintah digunakan untuk melaksanakan ketentuan UU
atau undang-undang.

 Peraturan presiden dibuat dan ditetapkan oleh Presiden. Peraturan ini dibuat
untuk melaksanankan aturan atau ketentuan undang-undang.

 Peraturan Daerah (Perda) merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah


daerah.

https://www.pustaka.ut.ac.id/lib/e-resources/082906988/tata-urutan-perundang-
undangan-nasional-ada-uud-1945-hingga-peraturan-daerah?page=3

Kesimpulan :

Pada dasarnya demonstrasi sebagai salah satu bentuk kemerdekaan menyampaikan


pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional yang dilindungi. Namun
demonstrasi dapat disebut sebagai pelanggaran apabila berlangsung anarkis, yang
disertai dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang
membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dan kejahatan terhadap
penguasa umum. Pelaku yang merusak fasilitas umum saat berdemonstrasi dapat dijerat
dengan Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

5
Daftar Pustaka

http://perkimtaru.pemkomedan.go.id/artikel-1028-pentingnya-penyediaan-fasilitas-
umum-dan-fasilitas-sosial.html#ixzz7CLRJUmjf

https://www.pustaka.ut.ac.id/lib/e-resources/082906988/tata-urutan-perundang-
undangan-nasional-ada-uud-1945-hingga-peraturan-daerah?page=3

http://mediatataruang.com

https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--masyarakat-harapkan-penguatan-undang-
undang-pelayanan-publik

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.

Anda mungkin juga menyukai