Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penyampaian Pendapat Di Muka Umum

A.1. Definisi Penyampaian Pendapat Di Muka Umum

Salah satu fakta sejarah menunjukan gerakan yang mampu merubah tatanan

masyarakat didunia adalah gerakan massa atau gerakan kolektif dalam jumlah

banyak yang salah satu bentuknya adalah “unjuk rasa”. Fakta itu nampak dalam

gerakan buruh, gerakan mahasiswa dan lain sebagainya, yang di Indonesia

menumbang rezim otoriter Soeharto.

Menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1998 penyampaian pendapat dimuka

umum adalah menyampaikan pikiran dengan lisan (pidato, dialog, diskusi),

tulisan (petisi, pamlet, gambar, poster, brosur, selebaran, spanduk), dan

sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sementara “Muka umum” yang dimaksud

adalah “dihapadan orang banyak, atau orang lain termasuk juga ditempat yang

dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang”1

Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum adalah hak setiap

warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya

secara bebas dan bertanggungjawab sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

A.2. Bentuk-Bentuk Penyampaian Pendapat Di Muka Umum

1
Lihat Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

1
Beberapa bentuk kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum setidaknya

sebagai berikut:2

1. Unjuk rasa atau demonstrasi adalah “kegiatan yang dilakukan oleh

seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran, dengan lisan, tulisan, dan

sebagainya secara demonsratif di muka umum”.

2. Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan dijalan

umum.

3. Rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk

menyampaikan pendapat dengan tema tertentu.

4. Mimbar bebas adalah kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum

yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Jadi “Unjuk Rasa atau Demonstrasi” yang menjaid fokusan penelitan penulis

dalam hal penelitian hukum ini merupakasan salah satu bentuk cara untuk

menyampaikan pendapat dihadapan orang banyak, yang dilindungi oleh Undang-

Undang-Undang.

A.3. Dasar Hukum dan Mekanisme Penyampaian Pendapat Di Muka

Umum

Unjuk rasa menjadi salah satu bentuk cara untuk menyampaikan pendapat

dimuka umum yang dilakukan secara kelompok atas rasa kekecewaan,

perlawanan, penolakan dan/atau atas terjadinya ketimpangan, ketidakadilan dalam

berbagai bidang kehidupan masyarakat. Penyampaian pendapat dimuka umum

2
Lihat Pasal 1 Ayat 4,5,6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

2
diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Adapun Mekanisme dalam Penyampaian pendapat dimuka umum dilakukan

dengan cara yakni:

1. Pemberitahuan secara tertulis.

Pemberitahuan secara tertulis wajib dilakukan oleh pemimpin,

penanggungjawab kelompok, selambat-lambatnya 3x24 jam sebelum

kegiatan dimulai dan diterima oleh Kepolisian setempat. Surat

Pemberitahuan tersebut minimal berisi:3

- Maksud dan tujuan


- Tempat, lokasi, dan rute
- Penanggungjawab
- Penanggunjawab bertanggungjawab pada terlaksanakanya kegiatan
secara aman, tertib, dan damai. Apabila peserta aksi unjuk rasa sampai
100 orang maka Penanggungjawab minimal 1 sampai 5 orang.4
- Nama dan alamat organisasi, kelompok atau perangan
- Alat peraga yang dipergunakan
- Jumlah peserta

2. Pemberian Surat Tanda Terima Pemberitahuan.

Setelah mendapatkan Surat Pemberitahuan dari masyarakat, maka

Kepolisian harus segera memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan,

dan melakukan koordinasi dengan pimpinan lembaga/oraganisasi,

penanggungjawab kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum, serta

mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi dan rute. Dalam pelaksaaan

penyampaian pendapat dimuka umum Polri wajib memberikan


3
Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum
4
Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum

3
perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat dimuka

umum.5

Akan dalam praktinya, yang penting dalam perlindungan hak asasi dalam

kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum yang harus dilaksanakan oleh

aparat penegak hukum maupun pemerintah adalah sebagaimana yang ditegaskan

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang berbunyi “dalam pelaksanaan

penyampaian pendapat dimuka umu oleh warga negara, aparatur pemerintah wajib

bertanggungjawab untuk:

a. Melindungi hak asasi manusia

b. Menghargai asas legalitas

c. Menghargai prinsip pradug tak bersalah

d. Menyelenggakan pengamanan

B. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (KNRI)

B. 1. Istilah Polisi dan Kepolisian

Jauh istilah polisi lahir sebagai sebuah organ, kata “polisi” telah dikenal

dalam bahasa Yunani, yakni “politeia”. Kata “politeia” digunakan sebagai title

buku pertama Plato yakni “politeia” yang mengandung makna suatu negara yang

ideal sesuai dengan cita-citanya, suatu negara bebas dari pemimpin negara yang

rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.6

5
Lihat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum
6
Sadjijono, 2010, Memahami Hukum Kepolisian, Laskbang Pressindo Group, Cetaka I,
Yogyakarta, Hal. 2

4
Kemudian dikenal sebagai bentuk negara, yaitu negara polisi (polizeistaat)

yang artinya negara yang menyelenggarakan keamanan dan kemakmuran. Di

dalam negara polisi dikenal dua konsep polisi (polizei), yakni sicherheit polizei

yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan, dan verwaltung polizei

yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonommian atau penyelenggaran

semua kebutuhan hidup warga negara.7

Dilihat dari sisi historis, istilah “polisi” di Indonesia tampaknya mengikuti

dan menggunakan istilah “politei” di Belanda. Hal ini sebagai akibat dan

pengaruh dari bangunan system hukum Belanda yang banyak di anut di negara

Belanda.8

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan “Kepolisian

adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan”.9 Istilah kepolisian dalam Undang-

Undang dengan Polri mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan

lembaga polisi.

Beranjak dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa istilah

“polisi” dan “kepolisian” mengandung pengertian yang berbeda. Istilah “polisi”

adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur

dalam organisasi negara, sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang

serta tanggungjawab lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan

fungsinya. Dengan demikian berbicara kepolisian berarti berbicara tentang fungsi


7
Ibid.
8
Ibid.
9
Lihat Pasal 1 angka 1 dan 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 dan
Peraturan Pemerintah R.I. Tahun 2010 tentang Kepolisian, Bandung, Cetakan I, Juli 2010,
Penerbit Citra Umbara, Hal. 3

5
dan lembaga kepolisian.10 Dalam implementasinya KNRI bertujuan untuk

mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharaya keamanan dan

ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman

masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.11

B. 2. Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Menurut Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000 Tahun

2000 tentang Peran TNI dan KNRI dalam Pasal 6 ayat 1 dan 2 menyatakan

“KNRI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat. Dan dalam menjalankan peranya, KNRI wajib

memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional. Dan kemudian dipertegas

dengan frasa yang sama pada Pasal 5 ayat 1 Undang Undang No.2 Tahun 2002

tentang KNRI serta ditambah frasa yang dilakukan “dalam rangka terpeliharanya

keamanan dalam negeri”.

Keamanan Dalam Negeri yang dimaksud adalah suatu keadaan yang

ditandai dengan terjaminya kemananan dan ketertiban masyarakat, tertib dan

tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat.12

Sedangkan fungsi pokok kepolisian yang diatur dalam Pasal 2 Undang-

undang Kepolisan adalah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

kemananan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,


10
Sadjijono, Op.cit. Hal. 5 1
11
Ibid Hal. 5
12
Ibid Hal. 3

6
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 13 Artinya Kepolisian merupakan

lembaga negara yang melaksanakan tugas eksekutif yang berhadapan dengan

masyarakat sipil dalam memeliharan keamanan dan ketertiban kehidupan

masyarakat yang dilaksanakan di seluruh wilayah negara republik indonesia.

Salah satu fungsi kepolisian merupakan fungsi pemerintahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 Jo Pasal 13 UU a-quo.

B. 3. Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan pengertian diatas, bahwa fungsi kepolisian tersebut menjadi

tugas pokok kepolisian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 13 dan 14 UU a-

quo, bahwa Tugas pokok Kepolisian adalah a. Memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, b. Menegakan hukum, c. Memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

dengan demikian, tugas pokok kepolisian dapat dimaknai sebagai fungsi

utama kepolisian yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan, yakni

terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Sementara mengenai

wewenang Kepolisian terbagi dalam wewenang umum yang diatur dalam pasal 15

ayat 1, wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan lainya yang diatur

dalam pasal 15 ayat 2, dan wewenang dalam bidang proses pidana yang diatur

dalam pasal 16 ayat 1. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pejabat

kepolisian senantias bertindak berdasarkan norma hukum dan norma agama,

kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.14

C. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia

13
Ibid Hal. 5
14
Ibid Hal. 13 lihat Pasal 9 ayat 1 dan 2

7
B.1. Definisih Hak Asasi Manusia

Istilah hak asasi manusia berasal dari bahasa perancis Droits L'Homme

yang artinya hak-hak manusia. Dalam bahasa inggris menjadi Human Rights dan

dalam bahasa belanda disebut Menselijke Rechten. dan Setelah berkembangnya

ajaran negara hukum dengan pemerintahan demokrasi di mana warganegara

memiliki hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi oleh pemerintah dan

dijamin dalam konstitusi, maka berkembang istilah Basic Rights atau

Fundamental Rights.15

Konsep dasar Hak asasi manusia (yang selanjutnya disingkat HAM)

adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia, Umat

manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau

berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya

sebagai manusia.16 Maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis

kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap

mempunyai hak-hak tersebut. Inilah prinsip utama HAM yang bersifat universal

dan hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable).17 Artinya seburuk apapun

perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan

seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki

hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai

makhluk insani.

15
Ni Ketut Sri Utari (Et-all), 2016, Hukum Hak Asasi Manusia, Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar. Hal. 13
16
Rohana K.M. Smith, 2008, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Penerbit PUSHAM UII, Cetakan
Pertama, Yogyakarta. Hal. 11
17
Ibid.

8
Konsep HAM ini bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory).

Sedangkan hak kodratir berangkat dari teori hukum kodrati (natural law theory).18

Konsep hak unilah yang dianut dalam hukum dan HAM di Indonesia,

sebagaimana tercermin dalam Undan-Undang HAM.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, HAM adalah:

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.19

Jadi dapat disimpulkan bahwa HAM adalah sesuatu yang ada, melekat

pada setiap diri, yang bukan produk aturan, negara maupun pemberian

masyarakat, melainkan karena ia sebagai manusia. Dan menurut hukum Indonesia

ia wajib dilindungi oleh Pemerintah, negara dalam rangka mempertahankan harkat

dan martabatnya.

B.2. Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia

Pada pokoknya HAM teridiri dari dua jenis yakni non derogable rigths dan

derogable rigths. Non Derogable Rigths adalah hak asasi manusia yang tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apapun yaitu:20

1) Hak untuk hidup.

2) Hak untuk tidak disiksa.

3) Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.


18
Ibid. Hal. 12
19
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
20
Jimly Asshidiqie, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Cetakan Kedua, Jakarta. Hal. 362

9
4) Hak beragama

5) Hak untuk tidak diperbudak

6) Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum

7) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Salah satu hak dasar setiap orang atau warga negara adalah Pasal 28C

UUD “berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif

untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”21

B.3. Subjek Hak Asasi Manusia

Subjek hukum adalah sebuah entitas (seorang individu secara fsik,

sekelompok orang, sebuah perusahaan atau organisasi) yang memiliki hak dan

kewajiban berdasarkan hukum internasional.22 Pada prinsipnya, suatu subjek

hukum internasional dapat menerapkan haknya atau mengajukan perkara ke

hadapan pengadilan internasional, ia juga dapat mengikatkan dirinya dengan

subyek hukum lainnya melalui perjanjian, dan subyek hukum lainnya dapat

melakukan kontrol (dalam konteks dan tingkatan tertentu) terhadap bagaimana

sebuah subyek hukum melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya.

1. Aktor Negara-Pemangku Kewajiban

Negara merupakan subyek utama hukum internasional dan dengan

demikian juga merupakan subyek hukum hak asasi manusia. Defnisi negara tidak

berubah dan selalu diidentifkasi sama dalam berbagai produk hukum internasional

serta mempunyai empat karakteristik yaitu (1) populasi tetap;(2) wilayah yang

21
UUD 45 dan Perubahanya, Penerbit Redaksi Tangga Pustaka, Cetakan Pertama,2009, Jakarta
Selatan. Hal. 31
22
Rohana K.M. Smith, Op.cit. Hal. 52

10
tetap; (3) pemerintahan; (4)kemampuan untuk melakukan hubungan dengan

negara-negara lain.23

Dalam konteks hak asasi manusia, negara menjadi subyek hukum

utama, karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab

melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, setidaknya

untuk waga negaranya masing-masing. Ironisnya, sejarah mencatat

pelanggaran hak asasi manusia biasanya justru dilakukan oleh negara, baik

secara langsung melalui tindakan-tindakan yang termasuk pelanggaran hak

asasi manusia terhadap warga negaranya atau warga negara lain, maupun

secara tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik baik di

level nasional maupun internasional yang berdampak pada tidak dipenuhinya

atau ditiadakannya hak asasi manusia warga negaranya atau warga negara

lain.24

Yang cukup dalam hal Negara sebagai aktor pemangku kewajiban atas

pemenuhan dan penegakan hak adalah sebagaimana yang di katakan....... bahwa :

Dalam pemahaman umum dalam hukum kebiasaan internasional,


sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia
(gross violation of human rights) jika (1) negara tidak berupaya melindungi
atau justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-
derogable rights; atau (2) negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya
atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak kejahatan
internasional (international crimes) atau kejahatan serius (serious crimes)
yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang. dan atau negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut
pertanggungjawaban dari para aparat negara pelaku tindak kejahatan
tersebut.25

23
Ibid. Hal. 53
24
Ibid.
25
Ibid. Hal. 54

11
Dengan demikian pandangan ini menjadi doktrin bahwa negara, pemerintah

memiliki tanggungjawab sebagai pemegang kewajiban dalam pemenuhan,

pemajuan, dan penegakan HAM maupun penyelesaian pelanggaran HAM.

2. Aktor Non Negara-Pemangku Kewajiban

Aktor non negara sebagai pemangku kewajiban ini adalah oragnisasi yang

menyerupai negara, atau lembaga negara yang menyerupai negara seperti

“Vatikan”. Dan ia didefiniskan sebagai seseorang atau suatu kesatuan di luar

negara yang memiliki hak dan kewajiban yang timbul dari norma hukum

internasional sebagai suatu subjek hukum internasional.26 Subjek hukum sebagai

pemangku kewajiban ini terdiri dari (1). Korporasi Multinasional, (2) Kelompok

Bersenjata, (3) Individu.27

3. Aktor Non Negara-Pemangku Hak

Selain subyek hukum hak asasi manusia sebagai pemilik wewenang dan

tanggung jawab, pemilik hak juga dianggap sebagai subyek dalam hukum hak

asasi manusia internasional. Yang termasuk pemilik hak di sini tentu saja adalah

individu, dan kelompok-kelompok individu, khususnya yang dikategorikan

sebagai kelompok rentan pelanggaran hak asasi manusia. 28 Subjek ini terdiri dari

individu dan kelompok lain.29

B.4. Instrumen Hak Asasi Manusia Nasional dan Internasional

Pada prinsipnya instrumen HAM baik nasional maupun internasional sangat

berkembang pesat dan diadopsi oleh berbagai negara maju maupun berkembang
26
Ibid. Hal. 55
27
Ibid. Hal. 56-57
28
Ibid.
29
Ibid. Hal.58

12
dibelahan dunia. Salah satunya Indonesia dalam mengadopsi hukum HAM dalam

konstitusi negara dilakukan setelah Indonesia memiliki Ketetapan MPR Nomor

XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang No.39

Tahun 1999 Tentang HAM dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang

Pengadilan HAM. Inilah yang menjadi cikal bakal instrumen HAM Nasional,

kemudian diperkuat dengan peraturan perundangan yang lain.

Seiring dengan diratifikasinya beberapa instrumen HAM Internasional yang

setidaknya 8 instrumen diantaranya :

1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against


Women (UU no. 7/1984);
2. Convention on the Rights of the Child (Keppres no. 36/1990), termasuk
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the
Involvement of Children in Armed Conflict (UU no. 9/2012) dan
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the
Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (UU no. 10
tahun 2012);
3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading
Treatment or Punishment (UU no. 5/1998);
4. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination, 1965 (UU no. 29/1999);
5. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (UU
no. 11/2005);
6. International Covenant on Civil and Political Rights (UU no. 12/2005);
7. Convention on the Rights of Persons With Disabilities (UU no.19/2011);
8. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Members of Their Families (UU no. 6/2012).30

Dalam kaitanya dengan kemerdekaan penyampaian pendapat dimuka umum

melalui unjuk rasa, secara khusus hak tersebut diatur dalam Konvensi

30
Kementrian Luar Negeri RI, 2020, Indonesia dan Hak Asasi Manusia, dalam
https://kemlu.go.id/, yang diakses Pada 15 September 2020

13
Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik yang diratfikasi dengan UU No. 12

Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik, yang didalamnya mengatur tentang hak

menyampaikan pendapat.

D. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia

C.1. Definisi Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar terhadap

perdamaian, keamanan dan stabilitas suatu negara. Tetapi apa yang dimaksud

dengan pelanggaran hak asasi manusia? Pertanyaan krusial ini penting pula

mendapat porsi pembahasan dalam buku ini. Alasannya bukan hanya karena

alasan pedagogis semata, tetapi juga karena beragamnya pemahaman tentang

pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

Ambil contoh Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, yang memberikan defnisi hukum terhadap istilah pelanggaran hak asasi

manusia. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, HAM adalah:

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang


atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.31

Defnisi yang dirumuskan dalam Undang-Undang itu bukan saja tidak

mencukupi, tetapi juga bisa mengaburkan konsep tanggungjawab negara dalam

hukum hak asasi manusia internasional. Pertautan antara instrumen internasional

31
Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

14
hak asasi manusia dengan hukum nasional inilah yang membedakan apa yang

dimaksud dengan pelanggaran HAM dengan pelanggaran hukum biasa.32

Para ahli secara umum bersekapat mendefinisikan Pelanggaran HAM

adalah “pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-

instrumen internasional hak asasi manusia”. Pelanggaran negara terhadap

kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (acts of

commission) maupun oleh karena kelalaiannya sendiri (acts of ommission).33

Dalam rumusan yang lain, pelanggaran HAM adalah “tindakan atau kelalaian oleh

negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana nasional tetapi

merupakan norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional”. Inilah

yang membedakan pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran hukum

biasa.

Dalam rumusan di atas terlihat dengan jelas bahwa pihak yang

bertanggungjawab adalah negara, bukan individu atau badan hukum lainnya. Jadi

sebetulnya yang menjadi titik tekan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah

tanggung jawab negara (state responsibility).

Jadi dapat disimpulkan oleh penulis bahwa pelanggaran HAM menurut

doktrin hukum internasional adalah bentuk kelalalian negara atas kewajibanya

baik yang harus dilakukan akan tetap tidak dilakukan, seperti membiarkan warga

negaranya mengalami penindasan, perlakuan yang tidak, maupun dengan cara

melakukan yang hal berdampak timbulnya pelanggaran HAM setiap warga

negara.
32
Rohana K.M. Smith, Op.Cit. Hal. 67
33
C. de Rover, To Serve and to Protect (International Committee of the Red Cross, 1988). Hal.
455, dalam Rohana K.M. Smith, Op.Cit. Hal. 69

15
C.2. Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Berdasarkan ketentuan hukum HAM yang berlaku, secara tegas

dinyatakan bahwa pelanggaran HAM pada dasarnya dapat dilakukan oleh

seseorang maupun kelompok orang, termasuk aparat negara baik yang disengaja

maupun tidak sengaja, atau karena kelalain yang secara melawan hukum,

mengurangi, menghalangi, membatasi dan bahkan mencabut HAM seseorang atau

kelompok orang yang Haknya telah dijamin oleh undang-undang. Sehingga

pelaku pelanggaran HAM dapat dibagi dalam beberapa:

1. Individu

2. Kelompok orang

3. Negara

Pelanggaran HAM pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk

pelanggaran hukum. Dimana secara termninologi hukum, bahwa ada yang disebut

pelanggaran hukum pidana, pelanggaran hukum perdata, pelanggaran hukum tata

usaha negara (TUN), pelanggaran hukum admnistrasi negara, termasuk

pelanggaran hukum Hak Aasi Manusia.34

Adapun pelaku pelanggaran HAM dapat dikelompokan menjadi dua yakni:

1. Pelaku Negara (State Actor)

Pelaku Negara (State Actor) sebagaimana diterangkan dalam hukum HAM

Internasional sebagaimana penulis uraikan diatas, Pelaku Negara (State

Actor) adalah negara atau seluruh penyelenggara negara baik organ

negara, lembaga negara, lembaga pemerintahan, dan termasuk lembaga


34
Muhamad Hamdan dan Nanike Pangestu, 2017, Pelanggaran HAM, Pusat Pengembangan
Teknis Diklat dan Kepemimpinan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan
HAM RI, Jakarta. 6

16
non kementrian.35 Penggolongan lembagan negara di Indonesia dapat

dibedakan menjadi tiga kelompok yakni :

a. Lembaga negara yang keberadaanya atau disebut dalam UUD 1945

yang kewenanganya ditentukan secara tegas dalam UUD.

b. Lembaga negara yang keberadaanya tidak disebut dalam UUD 1945

namun kewenanganya ditentukan juga dalam UUD.

c. Lembaga negara yang keberadaanya dan kewenangnya tidak disebut

dalam UUD 1945, akan tetapi keberadaanya disebut sebagai

constitutional importance sebagai lembaga Komisi Perlindungan

Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia, dan lain-lainya.36

Maka negara dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM sebagai

konsenkuensi atas tanggungjawab yang di embanya yaitu:

- Untuk menghormati (to respect) HAM

- Untuk melindungi (to protect) HAM

- Untuk memenuhi (to Fulfill) HAM

Sehingga ketika suatu negara baik sengaja atau karena kelalainya

melakukan tindakan yang melanggar ketiga kewajiban tersebut, maka negaera

telah melakukan pelanggaran HAM. Hal ini terutama jika negara tidak berupaya

melindungi atau meniadakan hak-hak rakyatranya yang bersifat non derogable

35
Ibid. Hal. 7
36
Ibid.

17
rights (hak-hak yang tidak dapat disimpangi dan dikurang-kurangi) dan

membiarkan arapart-aparat negara melakukan pelanggan HAM itu sendiri.37

2. Pelaku No-Negara (non State Actor )

Jauh sebelum Pelaku No-Negara (non State Actor) dijadikan sebagai pelaku

pelanggaran HAM, awalnya hanya terbatas pada negara sebagai pengaku

kewajiban atau entitas legal dalam hukum HAM internasional. Akan tetapi pasaca

perang dingin, permasalah HAM meluas pada perlaku aktor-aktor non negara (non

State Actor).38

Salah satu elemen penting yang haru sdiperhatikan dalam hal ini adalah

adanya sekelompok masa yang terorganisir, perusahaan multinasional atau

perusahaan transansional. Perusahan-perusahaan itu memiliki aset eknomi dan

kekuasaan yang mampu menekan dan mempengaruhi pemerintah bahkan

kebijakan negara. Dampak dari kegiatan mempengaruhi pemerintah atau

kebijakan negara yang berdampak negatif terhadap hak asasi manusia bagi seluruh

warga masyarakat Indonesia.

Ada beberapa contoh permasalahan hak asasi manusia yang timbul sebagai

akibat pengaruh pelaku non negara yang berakibat terjadinya pelanggaran HAM

disuatu wilayah terutama pada bidang sipil, ekonomi, sosial, budaya yaitu:

a. Perburuhan.
Ada beberapa hal yang berakibat pada pelanggaran HAM terkait
dengan permasalahan perburuhan di Indonesia, misalnya aktor non
state mempengaruhi pemerintah sehingga mengeluarkan kebijakan
pemberian upah yang kecil dan pembayaran gaji yang tidak
memperhatikan standar biaya hidup minimal di wilayah tertentu.
Bisa juga tindakan kontrol yang ekstra ketat terhadap organisasi
37
Ibid.
38
Ibid. Hal. 8

18
perburuhan dengan membayar aparat keamanan (polisi dan tentara)
untuk menghadapi organisasi buruh yang ada.
b. Lingkungan
Permasalahan HAM oleh aktor non-negara yang berdampak pada
hak lingkungan, antara lain: (1). Privatisasi sumber daya alam di
sekitar wilayah operasi perusahaan yang berdampak negatif pada
kesejahteraan masyarakat berupa sulitnya mendapatkan air bersih.
(2). Pembukaan lahan-lahan pertanian dan hutan untuk
pengembangan perusahaan yang berdampak pada hilangnya lahan-
lahan masyarakat adat dan kerusakan lingkungan.
c. Kelompok rentan
(1). Anak, ketika perusahaan memperkerjkan anak dengan tujuan
menekan biaya produksi karena pekerja anak bisa dibayar dengan
sangat murah. Banyak terjadi kasus anak di bawah umur bekerja di
perusahaan pertambangan. (2). Masyarakat adat, ketika perusahaan
membuka lahan usaha dengan memanfaatkan lahan-lahan komunal
milik masyarakat adat, sebagaimana kasus Mesuji dan kasus lahan
sawit di Kalimantan. (3). Perempuan, ketika perempuan yang
bekerja sebagai buruh tidak mendapatkan hak-hak cuti haid,
menyusui serta jam kerjanya yang melampaui batas.
d. Kehidupan yang layak bagi.
Ada beberapa kasus perusahaan yang beroperasi di suatu wilayah
tidak dibarengi dengan upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar dan membangun insfrastruktur seperti sarana
jalan dan jembatan yang layakbagi masyarakat di sekitarnya.39

Dengan demikian, seseorang atau kelompok masyarakat yang melakukan

aksi unjuk rasa karena menolak suatu kebijakan dapat menjadi korban pelangaran

HAM dalam bentuk kekerasan atau penyiksaan yang aktornya adalah negara

melalui aparat-aparat negara, lembaga negara yang menyelengarakan urusan pada

tersebut seperti Kepolisian.

C.3. Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia

39
Ibid. Hal. 9

19
Menurut Rohana K.M. Smith dkk, bahwa pelanggaran hak asasi manusia

senantiasa disangkal oleh aktor yang justru harus bertanggungjawab terhadapnya,

yaitu negara. Inilah paradok hukum hak asasi manusia internasional.40

Jadi dapat penulis katakan bahwa negara yang melakukan pelanggaran

HAM akan tetapi negara juga yang berdalih atau menyangkal bahwa negara tidak

melakukan pelanggaran HAM dengan alasan bahwa tindakan dengan

mengeluarkan kebijakan atau bahkan penangangan masa unjuk rasa yang menolak

kebijakan negara tersebut adalah yang sudah sesuai dengan prosedur penanganan

masa aksi, dan menuduh bahwa masa aksilah yang melakukan tindakan yang

melanggar hukum.

Sebagaimana yang telah dipaparkan dibagian atas yang menguraikan

pelanggaran HAM, dan pada prinsipnya, pelanggaran HAM adalah pelanggaran

terhadap kewajiban negara yang lahir dari adanya instrumen-instrumen HAM,

baik instrumen nasional maupun internasional. Pelanggaran tersebut dapat berupa

kelalaian negara atas norma yang belum masuk dalam pidana nasional namun

menjadi bagian dari hak yang diakui secara internasional. Oleh karenanya, titik

tekan palanggaran HAM adalah tanggung jawab negara (state responsibility)

sedangkan pelanggaran pidana berkaitan dengan pelaku non negara.

Sementara bentuk-bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi terbagi dalam

dua kategori yakni:

1. Pelanggaran HAM

2. Pelanggaran HAM Berat

40
Rohana K.M. Smith, Op.Cit. Hal. 70.

20

Anda mungkin juga menyukai