Anda di halaman 1dari 3

DISKUSI 7 HUKUM TATA PEMERINTAHAN

Diskusikan dan jelaskan dengan contoh konkrit, apa yang dimaksud dengan terwujudnya
kemanfaatan atau kemaslahatan hukum,tersbut, berikut jelaskan perbedaannya di antara kedua
pengertian tersebut?!

Jawaban :

Indonesia adalah negara hukum. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Sebagai Negara hukum maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Secara historis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, antara lain negara hukum
menurut agama Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan
rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan
konsep negara hukum Pancasila.

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis;
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan
adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
3. Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility).

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan
diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis, maka  tidak akan menimbulkan
keraguan karena adanya multitafsir sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Menurut Utrecht kepastian hukum mengandung dua pengertian; pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,
dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

Keadilan hukum menurut L.J Van Apeldoorn tidak boleh dipandang sama arti dengan
penyamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang
sama. Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi
seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup
secara damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan di mana terdapat keseimbangan
antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak mungkin
yang menjadi bagiannya.

Kemanfaatan hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam
melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan, seyogyanya dipertimbangkan asas
kemanfaatan. Contoh konkret misalnya, dalam menerapkan ancaman pidana mati kepada seseorang
yang telah melakukan pembunuhan, dapat mempertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman
kepada terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau hukuman mati dianggap lebih bermanfaat bagi
masyarakat, hukuman mati itulah yang dijatuhkan.

Pertambangan adalah “urusan tambang menambang” yang berkata dasar tambang, yang berarti
“lombong tempat mengambil hasil dari dalam bumi”. Tanpa, memiliki arti “tidak
dengan”. Sedangkan izin adalah “sikap atau pernyataan meluluskan/mengabulkan dan tidak
melarang”. Secara keseluruhan dapat diartikan urusan terkait kegiatan pengambilan hasil dari dalam
bumi yang dilakukan dengan tidak mendapatkan pernyataan terkait untuk
meluluskan/memperbolehkan hal tersebut dilakukan. Pengertian Pertambangan dalam Undang-
Undang No. 4 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memiliki arti
“Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi,
studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan
penjualan serta kegiatan pasca tambang. Pengertian izin disini adalah izin untuk melakukan usaha
pertambangan sebagaimana diatur dalam UU No. 4 tahun 2009, yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang yaitu Bupati/Gubernur/Menteri sesuai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang
menjadi kewenangannya masing-masing”.  Di dalam Undang-Undang khusus (lex spesialis) dalam hal
ini Undang-Undang No.4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ketentuan
pidana diatur pada Bab XXIII Pasal 158 sampai Pasal 165. Ketentuan pidana yang terdapat didalam
undang-undang ini banyak mengatur persoalan izin yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin
Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Pertambangan tanpa izin atau yang biasa disebut ilegal mining ini tidak hanya merugikan negara
secara finansial, tapi sering juga menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan seperti kerusakan
lingkungan, konflik sosial, kejahatan, ketimpangan nilai ekonomi atau bahkan mendorong terjadinya
kemiskinan baru. Fenomena ilegal mining di beberapa wilayah bahkan sampai mengganggu dan
mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Ilegal mining sebagai bagian dari kejahatan
terhadap kekayaan negara merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009. Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak ditemukan
definisi dari pertambangan tanpa izin (ilegal mining) ini. Ilegal miningini merupakan terjemahan dari
pertambangan yang tidak memiliki izin. Izin yang dimaksud adalah 3 jenis izin yang diakui dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Ketiga izin tersebut adalah IUP (Izin Usaha Pertambangan),
IPR (Izin Pertambangan Rakyat), dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Hal ini secara tidak
langsung disebutkan dalam Bab XIII Ketentuan Pidana, yang menyebutkan dengan tegas sanksi
administratif maupun sanksi pidana terhadap pertambangan tanpa izin (ilegal mining). Penindakan
terhadap tindak pidana pertambangan sendiri seharusnya mempertimbangkan sisi efisiensi dari
penindakan tersebut. Namun perlu dikaji mengenai hakikat efisiensi. Efisiensi berkaitan dengan dua
hal yaitu Pertama, apakah perbuatan-perbuatan yang ingin ditanggulangi dengan hukum pidana
tidak banyak memerlukan biaya untuk menanggulanginya sehingga keuntungan yang hendak diraih
darinya lebih besar; dan kedua, apakah sanksi pidana yang dijatuhkan lebih besar/berat
dibandingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku dari melakukan perbuatan pidana. Jika sanksi
pidana lebih berat dari biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku, dapat dipastikan bahwa pelaku
akan menghindar untuk melakukan kejahatan. Analisis ekonomi berkaitan dengan prinsip efisiensi
itu jika dihubungkan dengan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan. Yang pertama kali
harus diperhatikan adalah bentuk-bentuk sanksi pidana apa saja yang tersedia yang akan dijatuhkan
kepadanya. Kemudian, dari bentuk-bentuk sanksi pidana yang ada, dianalisis mana yang paling
efisien dilihat dari prinsip biaya dan keuntungan. Umumnya, bentuk-bentuk sanksi pidana berupa
pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, dan pidana denda.

Referensi :

1. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158
2. Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, hal 23
3. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya Paramita,
1993, hlm. 11
4. Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Putusan
Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3,
September 2012, hlm. 484
5. Zulham Effendy Harahap, Op.Cit., Hlm 47.
6. Dany Andhika Karya Gita, dkk., Kewenangan Kepolisian Dalam Menangani Tindak Pidana
Pertambangan (Ilegal Mining) Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (Studi Di
Kepolisian Negara Indonesia), Jurnal Daulat Hukum Vol. 1. No. 1 Maret 2018 ISSN: 2614-
560X, Hlm. 24
7. Ibid., Hlm. 25
8. Mahrus Ali, Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas
Hukum), Jurnal Hukum No.2 VOL.15 April  2008, hlm.230

Anda mungkin juga menyukai