oleh: anin
Pengarang : Elvira Syamsir
Summary ratin g: 2 stars (283 Tinjauan)
Kunjungan :19337
kata:600
More About : epistemologi filsafat
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786495-epistemologi-ilmu/
Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 1. Ontologi
(hakikat apa yang dikaji) Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara
kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme.
Secara ontologis, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna
membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa
hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan
ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada”.
Persoalan yang didalami oleh ontologi ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu?
Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda
yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya mengenai apa dan
bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya. 2. Epistemologi
(filsafat ilmu) Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sum-ber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan,
validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan
perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan
yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi,
merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga
dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis,
positivisme, fenomenologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai
kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan
(ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan
merupakan daerah persinggungan antara benar dan diperca-ya. Pengetahuan bisa diperoleh
dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan
kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur
dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains)
diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah)
menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan
statistika. Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi
jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara
empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang
tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau ju-ga naluri) dapat diuji, apakah
sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian
artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya
dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika
seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana
yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas
dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.
Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita
mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-
ubah dan berkembang. 3. Aksiologi ilmu (nilai kegunaan ilmu) Meliputi nilai-nilai kegunaan yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang dijumpai
dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang
ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-
GHOZALI - EPISTEMOLOGI FILSAFAT
AL-GHOZALI
by gieb
genre
description:
tafsir
chapters
chapter 1 — updated May 11, 2008 — 15698 characters — 2 people liked this writing
Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada seorang
nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan ini meskipun
tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta
akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus
keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk
menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah
lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam
(Nurcholis Madjid, 1996).
Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali itu
bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman tersebut
dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya rasionalisme,
yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama,
usahanya dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa
Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau
bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga
semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam.
Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa
pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun perlahan tapi
pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin
lengkap dengan lahirnya karya sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada
kenyataannya memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek
romantisme dengan Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut
pandang ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak
mengherankan bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan
kemunduran dunia Islam.
Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang pasti dia
telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang diciptakannya dalam
berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-Ghozali, baik dalam kapasitasnya
sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi. Sebab jangan-jangan kemunduran dunia Islam itu bukan
semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan umat Islam sendiri yang terlalu fanatik
terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan bangunan epistemologinya dan semangat
pencariannya akan kebenaran yang hakiki, tetapi sekedar produk pemikirannya secara taken for
granterd .
Sebagai derivasi dari kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana
epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai ditegaskan Amin
Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber pengetahuan; dari mana
dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua, sifat pengetahuan ;apakah segala
sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak) ataukah essensial (hakiki)?. Ketiga, validitas (kebenaran) suatu
pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang benar dan yang salah dapat dibedakan.
Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut. Pertama,
idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-
bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan
bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat
memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996).
Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan
agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang
tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam
yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide", suatu alam
dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide
bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu
pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala
sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam
sesungguhnya.
Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting
pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus
dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak
mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan
pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling
absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti
penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995).
Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun
untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali
Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan,
akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil
pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).
Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi
kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya
dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui
kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah
rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan
seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab
kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai
suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran
dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita
mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah
tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya
bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan
struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian
menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran
dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar
sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa
mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul
kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan
sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang
kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa
sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang
tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku". (Al-
Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali
keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan
lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang
meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang
pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah
menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan
secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
"Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya,
penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat
bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit,
tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu
ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-
contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat
dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada
hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi,
sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang
dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah
itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang
sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang
sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali
dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar
biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah
diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan
pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali.
Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian
aksiomatis (awalli) dari akal.
"Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan yang
bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau
bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru dan
pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau
sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama." (Al-Ghazali, 1961). "……
dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal.
Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang
dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari
sampai pada sesuatu yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari
terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan." (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang
ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu
kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan
yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan
pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan
tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-
Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali
sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
"……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati, sebagai
syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci pintunya laksana
takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama
sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-
rahasia) dan musyahadah (penyaksian langsung)……"(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak dari
bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan
yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah
membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku
dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).
Catatan Akhir
Dari sekilas uraian tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya pengaruh paradigma rasionalisme
dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan epistemologis hujjatul Islam tersebut,
walaupun akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua paradigma pengetahuan
Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai
puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan beberapa
kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat
antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga
melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu
pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri, khususnya
yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut lebih tajam kepada
batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan masukan-masukan yang diberikan oleh
empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme yang tersimpan dibalik paradigma empirisme
tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya mereka justru mendapatkan watak idealisme
yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi
paradigma epistemologi yang seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan
dan dikotomis dalam memecahkan masalah.
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
Posted on 4 December 2008 by Asep Sofyan
http://bermenschool.wordpress.com/2008/12/04/epistemologi-filsafat-pengetahuan/
PEMBAGIAN PENGETAHUAN
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang
memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia
keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan
humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan
ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk
ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama,
seni, bahasa, dan sejarah.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak
kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat.
Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu
ilmu saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau
multidisplin dalam memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di
perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis
keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari gabungan berbagai
disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi
keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari
berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-
wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau
Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami
dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan
filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk
dalam fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan
kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih
dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini
menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah.
Sekadar contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan
pemahaman akan biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa
saham, ilmu ekonomi harus dipahami. Dll.
Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Aksiologi
Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh
perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama,
tetapi metode dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan
dalam hal objek (sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb),
tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak
pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
SUMBER PENGETAHUAN
Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar
kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni
indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan
ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan
macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-
bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan
tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu
lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur.
Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang
utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang
disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari
Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan
mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya,
dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam
kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah
yang bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap
bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah
kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-
fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus
mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam,
kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau
ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan
sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori.
Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat,
dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal.
Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa
akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme,
dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis
umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan
menipu.
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti;
ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada
praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam
kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu
logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun
tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di
trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati
pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu
saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan
hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah.
Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu
ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi
berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau
suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah
digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman
emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga
hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai
pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich)
atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena),
sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun,
tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding
sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan
hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang
mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra
(w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah
pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam
kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu
dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling
tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan
rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan
kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam
tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan
intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua.
Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas
tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan
intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini
kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada
wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.
LOGIKA
Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles
(384-322 SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut
Immanuel Kant, 21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik
penambahan maupun pengurangan.
Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal dengan istilah
deduksi dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah
menarik kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal dari
silogisme adalah:
Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh:
- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara)
TEORI-TEORI KEBENARAN
Korespondensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh
pernyataan “bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang ditempatinya”, adalah benar
karena kenyataannya demikian. “Kota Jakarta ada di pulau Jawa” adalah benar karena
sesuai dengan fakta (bisa dilihat di peta). Korespondensi memakai logika induksi.
Koherensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati” sesuai (koheren) dengan
pernyataan sebelumnya bahwa “semua manusia akan mati” dan “Asep adalah manusia”.
Terlihat di sini, logika yang dipakai dalam koherensi adalah logika deduksi.
Pragmatik
Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi praktis.
Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara koherensi dan
korespondensi. Jika ada dua teori keilmuan yang sudah memenuhi kriteria dua teori
kebenaran di atas, maka yang diambil adalah teori yang lebih mudah dipraktikkan.
Agama dan seni bisa cocok jika diukur dengan teori kebenaran ini. Agama, dengan satu
pernyataannya misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara pragmatik (adanya Tuhan
berguna untuk menopang nilai-nilai hidup manusia dan menjadikannya teratur), lepas
dari apakah Tuhan ada itu sesuai dengan fakta atau tidak, konsisten dengan pernyataan
sebelumnya atau tidak.
***
FILSAFAT
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah
karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya
berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan
filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisikanya dalam buku yang
berjudul Philosophie Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith
(1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam
kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga
mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun ensiklopedi
besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam
merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana
diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal
dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam,
mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik
yang ditentukan begitu saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat
memelajari segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang
mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat,
yakni Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan alam (makrokosmos).
Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang bersifat
empiris.
Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para ahli ke dalam
beberapa bidang. Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun Suriasumantri (1998)
membagi bidang kajian filsafat itu ke dalam empat bagian besar, yakni logika
(membahas apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah), etika (membahas
perihal baik dan buruk), estetika (membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika
(membahas perihal hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat
bagian ini bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap ilmu yang dikenal
sekarang ada filsafatnya, misalnya filsafat ilmu, filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat
pendidikan, dan filsafat sejarah.
Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya kebenaran yang
sungguh-sungguh benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis filsafat ini tampak dari asal
katanya philos (cinta) dan sophia (pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran). Seorang
filosof tidak akan berhenti pada pengetahuan yang tampak benar, melainkan
menyelidiki hingga ke baliknya. Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya masih
terdapat kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun dalam
kenyataannya tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas dari kontradiksi.
Dengan kata lain, tidak ada filosof yang berhasil sampai pada Kebenaran atau
kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa disebut mendekati Kebenaran.
Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang menjadi
ajaran hidup, isme. Filsafat yang sudah menjadi isme ini difungsikan oleh penganutnya
sebagai sumber nilai yang menopang kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme
banyak dipakai oleh kaum agamawan gereja; ajaran neoplatonisme banyak dipakai oleh
kaum mistik; materialisme, komunisme, dan eksistensialisme bahkan sempat menjadi
semacam padanan agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya agama
formal.
AGAMA
Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir
sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga
membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika,
namun jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan,
objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau metodenya.
Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita
memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita
lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama,
setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi
ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu
tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau
bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan
seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung
mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat
Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda
atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama
agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup
budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia.
Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-
sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya
Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang
paling banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah dan
hari kemudian).
SAINS
Ontologi
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan
ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis
dan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala
sesuatu sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material terbatas
jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains
dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan antropologi
memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda.
Sosiologi memelajari struktur dan dinamika masyarakat, antropologi memelajari
masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu
alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam
memelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu
ilmu alam (fisika, kimia, astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi,
botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak
sekali. Ilmu kimia saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.
Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak
sepesat ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga
karena benturan antara metodologi dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun
ilmu-ilmu sosial sudah sangat beragam dan canggih. Yang paling utama adalah
sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik.
Epistemologi
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan
menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan
empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran
korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi
sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan
diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat
objektif, artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak
munculnya teori relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim
objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.
Membuat hipotesis
Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan
bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan,
baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi
(pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu
sebagaimana diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi,
jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu
menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh,
jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu tempat kita
menemukan satu burung gagak yang tidak hitam, berarti pernyataan itu salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah
sama sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial,
namun seberapa besar kemungkinan teori itu benar (probabilitas). Probabilitas benar
95 persen dianggap sudah cukup untuk men-sahihkan sebuah teori dan memakainya
untuk memecahkan masalah.
Aksiologi
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk pengetahuan
itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam memecahkan
masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description
(menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan), dan controling (mengontrol).
Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan
memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita memersiapkan langkah-
langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah
itu merugikan atau menguntungkan.
Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya
dengan agama atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya
bermaksud untuk netral, dalam arti ia hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara
apa adanya. Tetapi sains dapat mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini
tidak netral. Misalnya teori evolusi Darwin dapat menjadi pandangan dunia yang
mekanistik dan ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan bagi kaum agamawan.
Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat teori itu
dilahirkan. Konteks meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang
budaya, bahasa, dll. Pengaruh konteks ini terutama sangat terasa pada sains sosial
sehingga suatu sains bisa menghasilkan beragam aliran dan perspektif. []
Referensi pokok:
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Harapan, 1998.
didukung oleh
Oleh: Giyanto
Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Vol. II, Edisi 19, Tanggal 03 Maret 2008
(Bag. 2 – Tamat)
Tidak bermaksud menjadi kiri, tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa
yang kita yakini dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli ilmu sosial
sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri.
Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai
paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di dunia
akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan karena para akademisi
akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk berstatus quo karena terkait
dengan profesi, daripada benar-benar melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan
kebenaran ilmiah yang belum tentu hasilnya. Apalagi ide-ide tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil”
seperti kita.
Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan
selalu mengingatkan setiap penyimpangan yang ada di masyarakat. Termasuk dunia akademis. Dan
mengenai peran untuk mendebatkannya secara filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang yang
setidaknya sudah saya sebut dalam tulisan ini.
Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas ilmu pengetahuan sosial. Sejarah perjuangan ideologi
ataupun sejarah penemuan teori-teori di bidang ilmu alam telah dapat menjadi bukti bagi seringnya
ketersesatan perjalanan menegakkan ilmu pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh
Wegner dalam memperjuangkan Toeri Kontinental Drift bisa dijadikan bukti, atau nasib Galieo,
Kopernikus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi saya
memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan berdengung keras di dunia akademik ekonomi
setelah penyia-nyian masyarakat akademis yang tidak lepas dari pengaruh ideologi politik yang bermain
sekarang ini. Akan tetapi, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat
nanti.
Namun demikian sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti
yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali
orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial biasanya orang-orang “terpinggirkan”
dalam dunia akademiknya. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena tersebut. Contoh lain
barangkali bisa dilihat dari produktivitas karya-karya sosial. Dari pengamalan saya sebagai pembaca,
pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang
sering menjadi kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan lain
sebagainya.
Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi
setiap manusia yang berpikir. Dan apabila ada yang sebagian atau bahkan kebanyakan diam itu
disebabkan keberadaan mereka di struktur internal organisasi yang menerapkan paradigma yang ada.
Toh apabila orang-orang yang “berpikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam daripada untuk
memilih melakukan “keributan” yang barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar. Barangkali
dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas.
Analisis lain yang saya tuduhkan kalau bisa dikatakan gugatan terkait keberadaan bangsa Indonesia
yang dalam “kelahirannya” “berbarengan” atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-
ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965 dan selanjutnya pengaruh liberalisme ala aqlo
saxon dari tahun 1966 sampai sekarang masih menjadi landasan “darimana” gagasan itu seharusnya
muncul sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar
belakang geografis, budaya, peradaban atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut menandakan
kesempitan bepikir. Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk
menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang kita malah
menjauhi dari idealisme tersebut.
Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat
seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah
mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-penerbitan jurnal malah lebih banyak
dilakukan oleh pihak-pihak yang secara akademik berada di luarnya. Mereka sebagian berdiri disebabkan
oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya
dengan pikiran terbuka. Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi semua pihak, termasuk
intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi,
dan tidak harus sebagai filsuf yang seringkali dimimpikan oleh para intelektual jika hanya ingin
meninggikan strata ilmiahnya.
Dari fakta tersebut, begitu sangat jelas, sehingga mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk
mengambil posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-putar untuk berpindah profesi untuk
hanya sekedar mencari dan terus mencari apa yang seharusnya dan patut diperjuangkan.
Selain ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang sesuai dalam menggunakan alur
berpikir logis dalam upaya menelaah sumber permasalahan ilmu sosial.
Cerita singkat mengenai perjalanan panjang diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan
inspirasi. Dari perspektif kesejarahan ilmu alam, saat Alfred Lothar Wegener menemukan Teori
Continental Drift, mula-mula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika Selatan dengan garis
pantai barat Afrika yang begitu identik, Wegener membayangkan bahwa kedua benua tersebut pernah
menyatu. Baru kemudian dia mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada untuk mendukung
teorinya.
Padahal, penelitian geologis telah lama dilakukan oleh para geolog yang hanya mefokuskan detail-detail
geologi tanpa membayangkan gambaran muka bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener
mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari para ahli geologi yang merasa paling tahu pada
bidang tersebut. Namun demikian, Wegner bersikap acuh dan menikmati bidangnya dalam klimatologi.
Hingga 60 tahun kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti yang mengarah bahwa benua itu
bergerak semakin banyak.
Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para
ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan terlalu menjeneralisasikan manusia melalui
sederet angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum tentu kesahihannya telah menjadi
agregat-agregat yang dianggap mewakili manusia. Tanpa menyelidiki pada tingkat mikro apa yang
sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan mereka melakukan sesuatu, bagaimana mereka bertindak
untuk mencapai tujuan tersebut, belum diselidiki sama sekali. Sehingga, hanya orang-orang jalanan atau
praktisi yang mengetahui dengan jelas tapi kurang mampu menyatakannya secara argumentatif tertulis
ataupun mendasarkan pada teori yang sahih untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapinya.
Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga beras mereka dibandingkan dengan barang
kebutuhan konsumsi yang lain sangat rendah, apabila sekarang harga beras ditingkat dasar mencapai
Rp. 4000,- bisa jadi harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-. Barangkali dalam mekanisme
pasar hal tersebut dapat diterima karena jalur distribusi yang terlalu panjang. Namun, yang lebih
memprihatinkan, dengan harga dasar Rp. 4000,- Seandainya dibandingkan dengan harga komoditas lain
serta ditambah faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik, maka
nilai beras dengan nominal yang demikian sangat tidak menjadi berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi
yang lebih keren, akan terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang sering ditempuh
petani, bapak saya biasanya, dengan menyewakan salah satu sawahnya untuk menyokong biaya
produksi pada tiap awal musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut sehingga para petani tidak
pernah mengalami keuntungan sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang
sifatnya inflasif. Belum lagi biaya-biaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain sebagainya.
Fenomena pemiskinan secara sistematis tersebut sering dianggap hal yang remeh-temeh; permasalahan
sosial yang demikian dianggap terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa dianggap sahih ialah
pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui angka-angka. Dengan demikian laporan pertanggungjawaban
pemerintahan dapat diterima oleh rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-data” yang
telah dianalisis oleh kementrian ekonomi. Dan sandiwara tersebut diulang berkali-kali tiap lima tahun
sekali.
Memang tidak mudah menerapkan paradigma individualisme metodis dalam epistemologis ilmu sosial.
Mises telah memperingatkan:
“Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat divisualisasikan adalah suatu ilusi. Keseluruhan
kolektif tidak pernah dapat dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil dari pemahaman atas makna
yang diberikan manusia pada tindakannya. Kita memang dapat melihat keramaian, misalnya
kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu hanya sekedar pertemuan ataukah sebuah badan
teorganisasi atau jenis lain dari entitas sosial merupakan sebuah pertanyaan yang hanya dapat
dijawab oleh pemahaman akan makna yang mereka berikan bagi keberadaan tersebut. Dan makna
ini selalu merupakan makna dari individunya. Bukanlah indera kita, melainkan pemahaman kita,
sebagai sebuah proses mental, yang membuat kita memahami entitas sosial.”
Mises menambahkan:
“Siapa saja yang bermaksud memulai kajian tentang tindakan manusia dari unit-unit kolektif akan
mendapati rintangan tak terperi berupa kenyataan bahwa setiap individu pada saat yang sama juga
dapat merupakan bagian nyata dari beragam entitas kolektif. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan
oleh mulitiplisitas unit-unit sosial yang berkoeksistensi dan antagonisme-antagonisme mutual mereka
dapat diatasi hanya melalui individualisme metodologi.”
Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan kesalahan terbesar abad ini, namun dengan sengaja
kita, masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan
ilmu pengetahuan.
Salah seorang dosen saya pernah mengatakan dengan enteng bahwa: “Abad dua puluh adalah abad
kuantitatif”. Namun dalam hati saya mengatakan “Abad dua puluh ialah abad kegelapan”.
(Catatan: Lanjutan ini merangkum Bagian 2 dan 3 dalam naskah asli yang diterima redaksi.
Dipublikasikan di Jurnal A&K dengan penyuntingan minimum. Hak cipta ada pada penulisnya.)