Anda di halaman 1dari 47

Hal yang dibahas adalah:

1. Objek Material Filsafat Ilmu


2. Objek Formal Filsafat Ilmu
3. Permasalahan Dalam Kefilsafatan
4. Ruang Lingkup Dari Filsafat
5. Metode Kritis menurut Socrates dan Plato
6. Metode Intuitif menurut Platinos dan Bergson
7. Metode Skolastik menurut Aristoteles dan Thomas Aquinas
8. Metode Geometris menurut Rene Descartes
9. Metode Empirisme menurut Francis Bacon dan Thomas Hobbes
10. Metode Empirisme menurut John Locke
11. Metode Empirisme menurut David Hume
12. Metode Transendental menurut Immanuel Kant
13. Metode Fenomenologis menurut Husserl
14. Metode Dialektis menurut Marx
15. Metode Positivisme menurut Comte
16. Metode Analitika Bahasa menuurt Wittgenstein
17. Bidang Kajian Ontologi dari Filsafat
18. Bidang Kajian Epistomologi dari Filsafat
19. Bidang Kajian Aksiologi dari Filsafat
20. Perbedaan Masalah dari Bidang Kajian Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi
21. Aliran-Aliran Filsafat Ilmu
22. Kontribusi Ilmuwan Fisika dalam Filsafat

1. Pertanyaan:
Bagaimana Objek Material Filsafat Ilmu?
Jawaban:
Objek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan
pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, yang dibedakan menjadi duan,yaitu
objek material dan objek formal.
a. Objek Material Filsafat
Objek material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu. Objek material juga adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu
disiplin ilmu. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret ataupun hal yang abstrak.
Objek material dari filsafat ada beberapa istilah dari para cendikiawan, namun semua itu sebenarnya
tidak ada yang bertentangan.
1. Mohammad Noor Syam berpendapat, Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu
dibedakan atas objek material atau objek materiil filsafat; segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada, baik materiil konkret, psikis maupun nonmateriil abstrak, psikis. Termasuk pula
pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual, dan nilai-nilai. Dengan demikian, objek filsafat
tidak terbatas. (Mohammad Noor Syam, 1981, hlm. 12)
2. Poedjawijatna berpendapat, jadi, objek material filsafat ialah ada dan yang mungkin ada.
Dapatkah dikatakan bahwa filsafat itu keseluruhan dari segala ilmu yang menyelidiki segala
sesuatunya juga? Dapat dikatakan bahwa objek filsafat yang kami maksud adalah objek
materialnya-sama dengan objek material dari ilmu seluruhnya. Akan tetapi, filsafat tetap filsafat
dan bukan merupakan kumpulan atau keseluruhan ilmu. (Poedjawijatna, 1980, hlm.8)
3. H.A Dardiri berpendapat, objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada
dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Kemudian, apakah
gerangan segala sesuatu yang ada itu?
Segala sesuatu yang ada dapat dibagi dua, yaitu
a) ada yang bersifat umum, dan
b) ada yang bersifat khusus
4. Ilmu yang menyelidiki tentang hal ada pada umumnya disebut ontologi. Adapun ada yang
bersifat khusus dibagi dua, yaitu ada yang mutlak, dan ada yang tidak mutlak. Ilmu yang
menyelidiki alam disebut kosmologi dan ilmu yang menyelidiki manusia disebut antropologi
metafisik. (H.A. Dardiri, 1986, hlm. 13-14)
5. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan.
Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek
yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis
dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara
umum (Adib, 2010: 53).

6. Menurut Susanto (2011), isi Filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan. Objek sendiri
adalah sesuatu yang menjadi bahan dari kajian dari suatu penelaahan/penelitian tentang
pengetahuan.Objek yang diselidiki oleh filosof meliputi objek material dan objek formal.
2. Pertanyaan:
Bagaimana Objek Formal dalam Filsafat?
Jawaban:
Objek formal, yaitu sudut pandangan yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Objek formal suatu
ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari
bidang-bidang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga
menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya, objek materialnya adalah manusia dan manusia
ini ditinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari
manusia diantaranya psikologi, antropologi, sosiologi, dan sebagainya.
Objek formal filsafat adalah mencari keterangan sedalam-dalamnya. Filsafat tidak menyelidiki
benda dari segi susunannya saja, tetapi totalitas benda itu. Filsafat menyoroti dari segi hakikat, inti
terdalam. Ilmu-ilmu lain membatasi diri hanya pada pengalaman empiris, sebaliknya filsafat
berusaha mencari keterangan tentang inti dan hakikat segala sesuatu.
Objek formal filsafat, yaitu sudut pandangan yang menyeluruh, secara umum sehingga dapat
mencapai hakikat dari objek materialnya. (Lasiyo dan Yuwono, 1985, hlm. 6). Oleh karena itu, yang
membedakan antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain terletak dalam objek material dan objek
formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri, sedangkan pada filsafat
tidak membatasi diri. Adapun pada objek formalnya membahas objek materialnya itu sampai ke
hakikat atau esensi dari yang dihadapinya. Objek formal, yaitu sifat penelitian, penyelidikan yang
mendalam.Kata mendalam berarti ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Menurut Lasiyo dan
Yuwono (1985: 6), objek formal adalah sudut pandang yang menyeluruh secara umum sehingga
dapat mencapai hakikat dari objek materialnya. Jadi objek formal filsafat ini membahas objek
materialnya sampai ke hakikat/esensi dari yang dibahasnya.
3. Pertanyaan:
Apa saja permasalahan dalam kefilsafatan?
Jawaban:
Filsafat sebagai suatu ilmu khusus merupakan salah satu cabang dari ruang lingkup filsafat
ilmu seumumnya. Pada kelanjutannya filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat.
Dengan demikian, pembahasan mengenai lingkupan filsafat sesuatu ilmu khusus tidak terlepas
dari kaitan dengan persoalan-persoalan dan filsafat ilmu dan problem-problem filsafat pada
umumnya. Clarence Irving Lewis (1956) juga mengemukakan adanya dua gugus persoalan

yakni, problem- problem reflektif dalam suatu ilmu khusus yang dapat dikatakan membentuk
filsafat dari ilmu tersebut dan problem-problem mengenai asas permulaan dan ukuran-ukuran
yang berlaku umum bagi semua ilmu maupun aktivitas kehidupan seumumnya.
Problem menurut definisi A. Cornelius Benjamin ialah sesuatu situasi praktis atau teoritis yang
untuk itu tidak ada jawaban lazim atau otomatis yang memadai, dan yang oleh sebab itu
memerlukan proses-proses refleksi. (Runes, ed.,1975: 55).
Banyak sekali pendapat para ahli filsafat ilmu mengenai kelompok atau perincian problem apa
saja yang diperbincangkan dalam filsafat ilmu. Untuk medapat gambaran yang lebih jelas
perlulah kiranya dikutipkan pendapat-pendapat berikut:
1. Cornelius Benjamin (1977: 542 -547) menggolong-golongkan segenap persoalan filsafat
ilmu dalam tiga bidang: (1) Bidang pertama meliputi semua persoalan yang bertalian
secara langsung atau tidak langsung dengan suatu pertimbangan mengenai metode
ilmu; (2) Persoalan -persoalan dalam bidang kesdua dalam filsafat ilmu agak kurang
terumuskan baik dari problem -problem tentang

metode.

Dalam

suatu

makna,

banyak darinya merupakan pula persoalan-persoalan metode. Tetapi, penunjukannya


secara langsung lebih kepada pokok soal daripada kepada prosedur sehingga persoalan
-persoalan itu menyangkut apa yang umumnya disebut pertimbangan -pertimbangan
metafisis dalam suatu cara bidang terdahulu tidak menyangkutnya. Ini bertalian dengan
analisis terhadap konsep-konsep dasar dan praanggapan-praanggapan dari ilmu-ilmu;
(3) Bidang ketiga dari filsafat ilmu, terdiri dari aneka ragam kelompok persoalan yang
tidak mudah terpengaruh oleh suatu penggol ongan sistematis. Kesemua itu dapat
secara kasar dilukiskan sebagaimana bersangkut paut dengan implikasi-implikasi yang
dipunyai ilmu dalam isi maupun metodenya bagi aspek-aspek lain dari kehidupan kita
2. Michael Berry (Bullock & Stallybrass, 1977: 559 -560) mengemukakan dua problem
yang berikut: (1) Bagaimana kuantitas dari rumusan dalam teori - teori ilmiah?
(misalnya suatu ciri dalam genetika atau momentum dalam mekanika Newton) berkaitan
dengan peristiwa -peristiwa dalam dunia alamiah di luar pikiran kita; (2) Bagaimana
dapat dikatakan bahwa teori atau dalil ilmiah adalah benar berdasarkan induksi dari
sejumlah persoalan yang terbatas?
3. Menurut B. Van Fraassen dan H. Margenau (1968: 25 -27) problem- problem
utama dalam filsafat ilmu setelah tahun -tahun enam puluhan ialah: (1) Metodologi (Halhal yang menonjol yang banyak diperbincangkan adalah mengenai sifat dasar dari
penjelasan ilmiah, dan teori pengukuran). (2) Landasan ilmu-ilmu (ilmu-ilmu empiris
hendaknya melakukan penelitian mengenai landasannya dan mencapai sukses seperti
halnya landasan matematik). (3) Ontologi (Persoalan utama yang diperbincangkan ialah

menyangkut konsep-konsep substansi, proses, waktu, ruang, kausalitas, hubungan budi


dan materi, serta status dari entitas -entitas teoritis).
4. David Hull (1974) seorang ahli filsafat dan biologi ini mengemukakan persoalan yang
berikut: Persoalan menyampingkan yang meliputi jilid -jilid belakangan ini (seri
Foundations of Philosophy) ialah apakah pembagian tradisional dari ilmu -ilmu empiris
dalam cabang-cabang pengetahuan yang terpisah seperti geologi, astronomi dan
sosiologi mencerminkan semata -mata perbedaan dalam pokok soal ataukah hasil dari
perbedaan pokok dalam metodologi. Secara singkat, adakah suatu filsafat ilmu tunggal
yang berlaku merata pada semua bidang ilmu kealaman, atau adakah beberapa filsafat
ilmu yang masing-masing cocok dalam ruang lingkupnya sendiri? (Hull, 1974: 1-2)
5. Victor Lenzen (1965: 94) mengajukan dua problem: (1) Struktur Ilmu, yaitu metode
dan bentuk pengetahuan ilmiah; (2) Penting nya ilmu bagi praktek dan pengetahuan
tentang realitas.
Alasan:
J. J. C. Smart (1968: 4-5) mengumpamakan kalau seorang awam bukan filsuf membukabuka beberapa nomor dari majalah Amerika serikat berjudul
Philosophy of Science dan majalah Inggris The British Journal of the Philosophy of science,
maka akan dijumpainya dua jenis persoalan: (1) Pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu, misalnya
pola-pola perbincangan ilmiah, langkah-langkah pengujian teori ilmiah, sifat dasar dari dalil
dan teori dan cara - cara merumuskan konsep ilmiah; (2) Perbincangan filsafati yang
mempergunakan ilmu, misalnya bahwa hasil -hasil penyelidikan ilmiah akan menolong para
filsuf menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan alam semesta.
Joseph Sneed (Butts & Hintikka, eds., 1977: 245) menyatakan bahwa pembedaan
dalam jenis problem-problem filsafat ilmu khusus (misalnya variabel tersembunyi,
determinisme dalam mekanika quantum) dan jenis problem-problem filsafat ilmu seumumnya
(misalnya ciri -ciri teori ilmiah) yang telah umum diterima adalah menyesatkan. Hal itu
dinyatakannya demikian, Saya menyarankan bahwa dualitas diantara problem -problem
filsafat ilmu ini adalah menyesatkan. Saya

berpendapat bahwa problem - problem

filasafati tentang sifat dasar ilmu seumumnya tidaklah, dalam suatu cara yang mendasar,
berbeda dengan problem-problem filasafati yang bertalian semata-mata dengan ilmu-ilmu
khusus. Secara khusus tidaklah ada makna khusus bahwa filsafat ilmu seumumnya merupakan
sustu usaha normatif, sedangkan filsafat ilmu-ilmu khusus tidak.
Menurut Frederick Supple (1974: 3), problem yang paling pokok atau penting dalam
filsafat ilmu adalah sifat dasar atau struktur teori ilmiah. Alasannya ialah kerena teori
merupakan roda dari pengetahuan ilmiah dan terlibat dalam hampir semua segi usaha ilmiah.

Tanpa teori tidak akan ada problem-problem mengenai entitas teoritis, istilah teoritis,
pembuktian kebenaran, dan kepentingan kognitif. Tanpa teori yang perlu diuji atau diterapkan,
rancangan percobaan tidak ada artinya. Oleh karena itu hanyalah agak sedikit melebih-lebihkan
bilamana dinyatakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu analisis mengenai teori dan peranannya
dalam usaha ilmiah.
D.W. Theobald (1968: 5-6) menyatakan bahwa filsafat ilmu terdapat dua kategori
problem yaitu: (1) Problem -problem Metodologis yang menyangkut struktur pernyataan
ilmiah dan hubungan -hubungan diantara mereka. Misalnya analisis probabilitas, peranan
kesederhanaan dalam ilmu, realitas dari entitas teoritis, dalil ilmiah, sifat dasar penjelasan, dan
hubungan antara penjelasan dan peramalan, (2) Problem-problem

tentang

ilmu

yang

menyelidiki arti dan implikasi dari konsep-konsep yang dipakai para ilmuwan. Misalnya
kausalitas, waktu, ruang, dan alam semesta.
Pakar filsafat sejarah W. H. Walsh (1960: 9) menyatakan bahwa filsafat ilmu mencakup
problem yang timbul dari metode dan praanggapan dari ilmu serta sifat dasar dan persyaratan
dari pengetahuan ilmiah.
Walter Weimer (1979: 2-3) mengemukakan empat problem filsafat ilmu sebagai berikut:
a) Pencarian terhadap suatu teori penyimpulan ras ional (ini berkisar pada penyimpulan
induktif, sifat dasarnya dan pembenarannya).
b) Teori dan ukuran bagi pertumbuhan atau kemajuan ilmiah (Ini berkisar pada pertumbuhan
pengetahuan ilmiah, pencarian dan penjelasannya. Misalnya dalam menilai bahwa teori
Einstein lebih unggul daripada teori sebelumnya, apakah ukurannya?)
c) Pencarian terhadap suatu teori tindakan Pragmatis (dalam menentukan salah satu teori di
antara teori-teori yang salah, bagaimanakah caranya untuk mengetahui secara pasti teori
yang palin g terkecil kesalahannya?)
d) Problem mengenai kejujuran intelektual

(Ini

menyangkut

usaha mencocokkan

prilaku senyatanya, dari para ilmuwan dengan teori yang mereka anut setia).
Philip Wiener (Bronstein, 1957: 226) menyatakan bahwa para pakar filsafat ilmu dewasa ini
membahas problem-problem yang menyangkut: (1) Struktur logis atau ciri-ciri metodologis
umum dari ilmu-ilmu; (2) Saling hubungan antara ilmu-ilmu; (3) Hubungan ilmu-ilmu yang
sedang tumbuh dengan tahapan-tahapan lainnya dari peradaban, yaitu kesusilaan, politik, seni
dan agama.
e)
f)

Problem-problem filsafat secara umum berkisar pada enam hal pokok,

yaitu pengetahuan, keberadaan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan.


Berdasarkan keenam sasaran itu, bidang filsafat dapat secara sistematis dibagi dalam
enam cabang pokok, yaitu epistemologi (teoripengetahuan), metafisika (teori mengenai

apa yang ada), metodologi (studi tentang metode), logika (teori penyimpulan), etika
(ajaran moralitas) dan estetika (teori keindahan).
g)
Oleh karena filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat
keseluruhan, maka problem-problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga dapat
digolongkan menjadi enam kelompok sesuai dengan cabang -cabang pokok filsafat
itu. Dengan demikian, seluruh problem dalam filsafat ilmu da pat ditertibkan menjadi:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Problem-problem epistemologis tentang ilmu


Problem-problem metafisis tentang ilmu
Problem-problem metodologis tentang ilmu
Problem-problem logis tentang ilmu
Problem-problem etis tentang ilmu
Problem-problem estetis tentang ilmu

h)
i)

Philip Weiner (menyangkut hubungan ilmu dengan kesusilaan sebagai

suatu segi perdaban manusia). Problem-problem estetis yang menyangkut ilmu pada
dasawarsa terakhir ini dimulai menjadi topik perbincangan oleh sebagian filsuf dan
ilmuwan. Dalam tahun 1980 diadakan sebuah konferensi para ahli yang membahas
dimensi estetis dari ilmu.
j)
Adapun permasalahan dalam kefilsafatan mengandungciri-ciri seperti yang
dikemukakan Ali Mudhofir (1996), yaitu sebagai berikut.
1) Bersifat sangat umum. Artinya, persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek
khusus. Sebagian besar masalah kefilsafatan ide-ide besar. Misalnya, filsafat tidak menanyakan
berapa harta yang Anda sedekahkan dalam satu bulan? Akan tetapi, filsafat menanyakan apa
keadilan itu?
2) Tidak menyangkut fakta disebabkan persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif. Persoalan yang
dihadapi dapat melampaui pengetahuan ilmiah.
3) Bersangkutan dengan nilai-nilai (values), artinya persoalan kefilsafatan bertalian dengan nilai,
baik nilai moral, estetis, agama, dan sosial. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu kuaitas
abstrak yang ada pada sesuatu hal.
4) Bersifat kritis, artinya filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep dan arti yang
biasanya diterima dengan begitu saja oleh suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis.
5) Bersifat sinoptik, artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan.
Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
6) Bersifat implikatif, artinya kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, dari jawaban
tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan. Jawaban yang
dikemukakan mengandung akibat lebih jauh yang menyentuh berbagai kepentingan manusia.
k)
4. Pertanyaan:
l) Apa ruang lingkup dari filsafat?
m) Jawaban:

n)

Filsafat Ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah berkembang begitu pesat

sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang amat luas dan begitu mendalam.
Lingkupan filsafat ilmu berkembang begitu pesat sehingga menjadi suatu bidang
pengetahuan yang amat luas dan mendalam. Lingkupan filsafat ilmu sebagaimana telah
dibahas oleh para pakar filsafat kontemporer, dapat dikemukakan secara ringkas seperti di
bawah ini.
1. Menurut Peter Angeles (1981: 250), filsafat ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi
utama: (1) Telaah mengenai berbagai k onsep, praanggapan, dan metode Ilmu, berikut
analisis, perluasan dan penyusunannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan
cermat; (2) Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut struktur
perlambangnya; (3) Telaah mengenai kaitan diantara berbagai ilmu; (4) Telaah mengenai
akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan pencerapan dan
pemahaman manusia terhadap realitas, hubungan logika dan matematika dengan realitas,
entitas teoritis, sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.
2. Arthur Danto (1967: 296-297) menyatakan, lingkupan filsafat ilmu cukup luas mencakup
pada kutub yang satu, yaitu,persoalan -persoalan konsep yang demikian erat bertalian
dengan ilmu itu sendiri, sehingga pemecahannya dapat seketika dipandang sebagai suatu
sumbangan kepada ilmu daripada kepada filsafat, dan pada kutub yang lain persoalan
-persoalan begitu umum dengan suatu pertalian filasafati sehingga p emecahannya
akan

sebanyak merupakan suatu sumbangan kepada metafisika atau epistimologi

seperti kepada filsafat ilmu yang sesungguhnya. Begitu pula, rentangan masalah masalah yang diselidiki oleh filsuf-filsuf ilmu dapat demikian sempit sehingga menyangkut
keterangan tentang sesuatu konsep tunggal yang dianggap penting dalam suatu cabang ilmu
tunggal, dan begitu umum sehingga bersangkutan dengan ciri-ciri struktural yang tetap
bagi semua cabang ilmu yang diperlakukan sebagai suatu himpunan.
3. Edward Madden (19968: 31) berpendapat bahwa apapun lingkup filsafat umum, tiga bidang
tentu merupakan bahan perbincangannya yaitu: (1) Probabilitas; (2) Induksi; (3) Hipotesis.
4. Ernest Nagel (1974: 14) menyimpulkan bahwa filsafat ilmu mencakup tiga bidang luas:
(1) Pola logis yang ditunjukkan oleh penjelasan dalam ilmu. (2) Pembentukan konsep
ilmiah. (3) Pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah.
5. Menurut P. H. Nidditch (1971: 2) lingkupan filsafat ilmu luas dan beraneka ragam. Isinya
dapat digambarkan dengan mendaftar serangka ian pembagian dwi bidang yang saling
melengkapi: (1) Logika ilmu yang berlawanan dengan epistimologi Ilmu. (2) Filsafat ilmu
-ilmu kealaman yang berlawanan dengan filsafat ilmu-ilmu kemanusiaan. (3) Filsafat ilmu
yang berlawanan dengan telaah masalah-masalah filsafati dari suatu ilmu khusus. (4)

Filsafat ilmu yang berlawanan dengan sejarah ilmu. Selain itu, telaah mengenai hubungan
ilmu dengan agama juga termasuk filsafat ilmu.
6. Israel Scheffler (1969: 3) berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum
tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
mencakup

tiga

bidang:

(1)

Menelaah

ilmu.

Lingkupannya

hubungan - hubungan antara faktor-faktor

kemasyarakatan dan ide-ide ilmiah. (2) Berusaha melukiskan asal mula dan struktur alam
semesta menu rut teori-teori yang terbaik dan penemuan-penemuan dalam kosmologi. (3)
Menyelidiki metode umum, bentuk logis, cara penyimpulan, dan konsep dasar dari ilmu
-ilmu.
7. J.J.C. Smart (1968: 5) menganggap filsafat ilmu mempunyai dua komponen utama: (1)
Bahan analitis dan metodologis tentang ilmu. (2) Penggunaan ilmu untuk membantu
pemecahan problem -problem filsafati.
8. Menurut Marx Wartofsky (1963: vii), rentangan luas dari soal -soal interdispliner
dalam filsafat ilmu meliputi: (1) Perenungan mengenai konsep dasar, struktur formal, dan
metodologi Ilmu; (2) Persoalan -persoalan ontologi dan epistemologi yang khas bersifat
filasafati dengan pembahasan yang memadukan peralatan analitis dari logika modern dan
model konseptual dari penyelidikan ilmiah

9.
5. Pertanyaan:
10. Bagaimana metode kritis Socrates dan Plato?
11. Jawaban:
12.

Socratic

diturunkan dari nama socrates, seorang filosofi yang sangat

terkenal dan berpengaruh pada pengembangan keterampilan berpikir kritis. Selama berabadabad, ia dikagumi sebagai orang yang memiliki integritas dan intelektual dan dianggap
sebagai seorang pemikir kritis, karena kemempuannya berpikir kritis, namanya diabadikan
sebagai pertayaan socratic untuk pertanyaan-pertanyaan kritis (Redhana, 2012: 352).
13.
Dalam proses pembelajran Jones, Bagford, dan Walen (Yunarti, 2011: 47)
mendefinisikan metode socratic sebagai sebuah proses diskusi yang dipimpin guru untuk
membuat siswa memepertanyakan validitas penalaran atau untuk mencapai sebuah
kesepakatan. Metode ini memudahkan siswa untuk mendapatkan pemahaman secara
berangkai dari bentuk tanya jawab yang dilakukan.
14.
Menurut Maxwell (Yunarti, 2011 : 46), metode socrates dinamakan
demikian untuk mengabadikan nama penciptanya. Socrates (469-399 BC) merupakan
filsuf Yunani yang tinggal di Athena selama masa kejayaan Yunani. Socrates dikenal di
Athena pada saat dia berusia empat puluhan tahun karena kebiasaannya terlibat dalam
percakapan filosofi di lingkungan publik maupun swasta. S ubjek per-cakapan yang
sering diperbincangkan bergulir sekitar mendefinisikan hal- hal seperti, keadilan,
keindahan, keberanian, kesederhanaan, persahabatan, dan ke- baikan.

Pelacakan

definisi difokuskan pada kebenaran alami dari sifat subjek melalui pertanyaan dan
tidak hanya pada bagaimana kata tersebut digunakan dengan benar dalam kalimat.
Gaya percakapan Socrates sendiri melibatkan penolakan/penyangkalan pengetahuan.
Dalam percakapan-percakapan tersebut, Socrates bersikap sebagai siswa dan lawan
bicaranya dianggap sebagai guru. All I know is that I know nothing. Itulah salah satu
filosofi Socrates.
15.
Dalam pembelajaran, Jones (1994) mendefinisikan metode socrates
sebagai a process of discussion led by the instructor to induce the learner to question
the validity of his reasoning or to reach a sound conclusion, yaitu sebuah proses
diskusi yang dipimpin guru untuk

membuat siswa mempertanyakan validitas

penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan. Sementara Maxwell (Yunarti,


2011: 47)

mendefinisikan

metode

socrates

sebagai

process of inductive

questioning used to successfully lead a person to knowledge through small steps.

16.

Sedangkan menurut S utrisno (2011) metode socrates adalah metode

yang dibuat atau dirancang oleh seorang tokoh filsafat ulung Yunani yang hidup antara
tahun 469-399 Sebelum Masehi, yaitu Socrates. Metode socrates (Socrates Method),
yaitu suatu cara

menyajikan bahan/ materi pelajaran,

dimana anak

didik/siswa

dihadapkan dengan suatu deretan pertanyaan, yang dari serangkaian pertanyaan itu
diharapkan siswa mampu menemukan jawabannya, atas dasar kecerdasannya dan
kemampuannya sendiri. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat digambarkan bahwa
dalam metode socrates memuat dialog atau diskusi yang dipimpin
melalui pertanyaan-pertanyaan

induktif

untuk

oleh

guru

menguji validitas keyakinan siswa

akan suatu objek dan membuat kesimpulan yang benar secara konstruktif.
17.
Menurut Copelend (dalam Afidah, dkk, 1012: 5) socratic circles merupakan
metode pembelajaran yang berpusat pada siswa. Metode socratis circles dominan dengan
menggunakan pertanyaan dalam proses pembelajaran, pertanyaan-pertanyaan ini akan
membantu siswa untuk menemukan dan membangun konsep pengetahuannya sendiri sesuai
denga kemampuannya. Proses tanya jawab dalam metode socratic circles dapat
memperdalam pengetahuan siswa dan mendorong peserta didik berpikir divergen.
18.
Menurut (Martinis, 2013: 54) metode socratic circles atau disebut metode
seminar merupakan kegiatan belajar sekelompok peserta didik untuk membahas topik,
masalah tertentu. Setiap anggota kelompok seminar dituntut agar berperan aktif, dan kepada
mereka dibebankan tanggung jawab untuk mendapatkan solusi dari topik, masalah yang
dipecahkannya. Guru bertindak sebagai narasumber. Seminar merupakan pembahasan yang
bersifat ilmiah, topik pembicaraan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan seharihari. Sebuah seminar adalah sebuah kegiatan pembahasan yang mencari pedoman-pedoman
atau pemecahan-pemecahan masalah tertentu. Itulah sebabnya maka seminar selalu diakhiri
dengan

kesimpulan-kesimpulan

dan

keputusan-keputusan

yang

merupakan

hasil

kesepakatan semua peserta. Malahan tidak jarang metode seminar menghasilkan


rekomendasi dan resolusi.
19.
Sedangkan beberapa pokok pikiran metode kritis dari filosof Plato antara
lain:
1.

Metode filosofis paling utama adalah dialog, dan kemampuan berdialog merupakan seni
manusiawi yang paling tinggi. Sebenarnya metode Plato merupakan perluasan atau

2.

penyempurnaan metode kritis gurunya yaitu Sokrates.


Plato memperkenalkan dialog-dialog dengan menyebut dialog tengah atau metode
hipotesis.

3.

Menurut Plato, kebenaran umum (definisi) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif
(seperti pendapat Sokrates), pengertian umum (definisi) itu sudah tersedia di sana yaitu di

4.

alam idea.
Hakikat esensi itu mempunyai realitas, dan realitas itu di alam idea itu. Jadi, kebenaran
umum itu bukan dibuat tetapi sudah ada di alam idea. Sebenarnya baik Plato maupun gurunya
yaitu Sokrates sama-sama mengakui kekuatan akal (reason) dan kekuatan hati (rasa dan larsa)
(Tafsir, A., 2003).
20.

21. Alasan:
22.

Tidak ada jawaban yang benar-benar final, karena setiap jawaban sama

seperti segala hal lainnya, selalu terbuka untuk dipertanyakan. Pendapat ini menurut
pendapat (Magee, 2001: 23). Diskusi atau dialog socrates berwal dari ketidak tahuan, Plato
menamakan ketidaktahuan socrates ini sebagai euroneia, artinya pura-pura tidak
mengerti. Karena tidak mengerti pertanyaanlah ia, dan terus bertanya.denga demikian
pihak lain makin lama makin merasakan kekurangan pengertiannya dan akhirnya ia
mengakui bahwa belum mengerti (Driyarkarya, 2006: 139)
23.
Dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan itu diharapkan siswa mampu atau
dapat menemukan jawabannya, dan saling membantu dalam menemukan sebuah jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Pertanyaan yang dimaksud bukan hanya sekedar
pertanyaan yang tak bermakna, tetapi pertanyaan yang mampu merespon siswa untuk
selalu berpikir. Hal ini sesuai dengan pendapat Qosyim (2007:11) yang menyatakan bahwa
metode Socrates bukan hanya sekedar pertanyaan tetapi apa yang diakibatkan oleh
pertanyaanpertanyaan tersebut, yang merangsang orang untuk berpikir dan bekerja.
Metode ini merupakan sebuah metode pembelajaran yang membantu siswa untuk
menjawab berbagai macam permasalahan pada kehidupan sehari-hari.

Terdapat enam

tahapan prosedural metode Socrates yang dapat digunakan menurut Qosyim (2007:15)
yaitu: (1) menentukan topik materi pokok bahasan apa yang akan dipelajari, (2)
mengembangkan dua atau tiga pertanyaaan umum dan memulai pelaksanaan tanya jawab,
(3) melihat atau mengobservasi apakah pada diri siswa ada kemungkinan terjadi
ketidakcocokan, pertentangan, atau konflik kognitif, (4) menanyakan kembali tentang halhal yang menimbulkan konflik kognitif, (5) melanjutkan tanya jawab sehingga siswa dapat
memecahkan konflik sampai bergerak ke tingkat analisis lebih dalam, dan (6)
menyimpulkan hasil tanya jawab dengan menunjukkan hal-hal penting yang seharusnya
diperoleh siswa.

24.

Richard Paul (Yunarti, 2011 : 48-49) telah menyusun enam jenis pertanyaan

Socrates yakni klarifikasi, asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti


penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, serta
pertanyaan tentang pertanyaan. Saat metode Socrates diterapkan dalam pembelajaran,
guru harus melaksanakan beberapa strategi agar pembelajaran Socrates dapat berjalan
dengan baik. Strategi-strategi yang dimaksud dalam Yunarti (2011: 60) adalah: (1)
Menyusun pertanyaan sebelum pembelajaran dimulai; (2) Menyatakan pertanyaan dengan
jelas dan tepat; (3) Memberi waktu tunggu; (4) Menjaga diskusi agar tetap fokus pada
permasalahan utama; (5) Menindaklanjuti responrespon siswa; (6) Melakukan scaffolding;
(7) Menulis kesimpulan-kesimpulan siswa di papan tulis; (8) Melibatkan semua siswa
dalam diskusi; (9) Tidak memberi jawaban "Ya" atau "Tidak" melainkan menggantinya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali pemahaman siswa; dan (10) Memberi
pertanyaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
25.
Dari beberapa uraian tentang metode Socrates, dapat disimpulkan bahwa
pebelajaran dengan metode Socrates adalah pembelajaran dengan proses diskusi yang
dipimpin oleh guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau
untuk mencapai sebuah kesimpulan dalam menghadapi suatu masalah. Seluruh
percakapan/diskusi dalam metode Socrates merupakan percakapan yang bersifat
konstruktif

dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan Socrates. Jenis-jenis pertanyaan

Socrates yakni klarifikasi, asumsi penyelidikan, alasan dan bukti penyelidikan, titik
pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, serta pertanyaan tentang
pertanyaan. Pertanyaan yang diberikan desesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa dan
mampu menggali pemahaman siswa.
26.
6. Pernyataan:
27. Bagaimana metode intuitif (platinos dan Bergson)?
28. Jawaban:
29. Tokoh utama metode intuisi atau intuitif adalah Plotinos (204-270) dan Henri
Bergson (1859-1941). Sedangkan pokok-pokok pikiran Plotinos tentang mentode intuisi
antara lain:
a. Pandangan Plotinos pada dasarnya merupakan suatu kulminasi atau sintesa definitif dari
beragam unsur filsafat Yunani. Plotinos mengaku penganut setia pandangan Plato, tetapi
sebenarnya pandangan Plotinos adalah integrasi dari filsafat Plato, Aristoteles, Stoa dan NeoPythagoreanisme.

b. Metode Plotinos dalam filsafat disebut intuitif atau mistik. Pola pemikiran Plotinos sangat
diwarnai oleh kondisi jaman waktu itu yang banyak dijumpai kelompok-kelompok kontemplasi
atau mistik. Sikap kontemplasi demikian meresapi seluruh metode berpikir pada metode
intuisi Plotinos.
c. Plotinos dianggap filosof pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta dengan
mengajukan teori emanasi. Tujuan filsafat menurut Plotinos adalah mencapai pemahaman
mistik, oleh karena itu metode intuisi ada yang menyamakan dengan metode mistik.
d. Plotinos termasuk filosof yang menganut realitas idea, seperti Plato, hanya Plotinos kurang
memperhatikan masalah-masalah sosial seperti Plato. Sistem metafisika Plotinos ditandai oleh
konsep transendens atau mistik
e. Menurut Plotinos, di dalam pikiran manusia terdapat tiga realitas, yaitu: (1) The One (Yang Esa,
yaitu Tuhan). The One itu tidak dapat didekati melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami
melalui pemikiran logis; (2) The Mind atau Nous (idea-idea). Idea-Idea ini merupakan bentuk
asli objek-objek. Kandungan Mind adalah benar-benar kesatuan. Untuk bisa menghayati Mind
manusia harus melalui perenungan terdalam dalam hidupnya; dan (3) The Soul, yaitu realitas
ketiga dalam filsafat Plotinos. Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil.
Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu energi di belakang dunia, dan bentuk-bentuk
alam semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua bentuk, yaitu intelek yang tunduk pada
reinkarnasi dan irasional (moral) (Mangunhardjana, 1997; Tafsir, A. 2003).
30.
31.

Sedangkan Henri Bergson adalah filosof yang tertarik pada pandangan

Plotinos. Sedangkan pokok-pokok pikiran Bergson tentang metode intuisi antara lain:
a. Semua yang ada dalam kehidupan manusia adalah berakar pada dorongan hidup Ielan vital,
karena pada diri manusia terdapat vitalitas naluri dan biologis. Tetapi hal yang paling kunci
adalah vitalitas spiritual, oleh karena itu filsafat Henri Bergson bersifat spiritualistis.
b. Bergson menyelami kegiatan spiritual intern di dalam individu kongkrit, dengan cara ilmiah,
yaitu cara atau metode yang dapat dipertanggungjawabkan (tidak seperti Plotinus yang mistik).
c. Dinamik kosmis hanya dapat dipahami, kalau manusia menyelam dan membiarkan diri
tenggelam dalam arus kesadaran yang terdalam (tak putus-putus).
d. Intuisi itu bukan saja suatu flash of insight yang mustahil diekspresikan, melainkan suatu act,
merupakan suatu asaha mental dan konsentrasi pikiran. Pengalaman batiniah itu harus diuraikan
oleh akal budi seakan-akan mengerti dari luar.
e. Untuk mencairkan konsep-konsep dan untuk mengarahkan visi dan intuisi Bergson
menggunakan banyak simbol. Simbol-simol itu tidak mematikan gerak. Simbol itu mempunyai
dua peranan, yaitu: (1) simbol itu menampakkan realitas tersembunyi; dan (2) simbol-simbol

yang mempunyai peran sebaliknya. Metode Bergson bukan anti-intelektual, tetapi supraintelektual (Bakker, A., 1984).
32.
33.
7. Pertanyaan:
34. Bagaimana metode Skolastik menurut Thomas Aquinas?
35. Jawaban:
36.

Filsafat skolastik terutama dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan

keuskupan. Diantara ciri utama metode filsafat skolastik antara lain: (1) filsafat menjadi
bagian integral dalam teologi; (2) para filosof utama yang mengajarkan integrasi filsafat
dengan agama adalah para imam dan biarawan; dan (3) mementingkan otonomi atau
mendasarkan akal budi manusia dan mengkaji hakikat kehadiran manusia di dunia.
Meskipun filsafat skolastik menyatukan antara filsafat dengan teologi, dia tidak sama
dengan pandangan-pandangan sebelumnya tentang eksistensi Tuhan. Filsafat skolastik
dengan tokoh utamanya Thomas Aquinas menjelaskan eksistensi Tuhan secara rasional,
sedangkan pandangan teologi sebelumnya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan banyak
diwarnai oleh pemikiran mistik atau tidak rasional (Bakker, A., 1984).
37.
Pokok-pokok pikiran dari filosof Thomas Aquinas (1225-1274) antara lain:
1. Hanya ada dua kekuatan yang menggerakkan dinamika perubahan dunia, yaitu agama dan
filsafat. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Tuhan bagi Aquinas adalah Awal dan
Akhir segala kebajikan.
2. Hakikat alam semesta ini adalah terdiri dari lima realitas kelas, yaitu: realitas anorganis, realitas
animal, realitas manusia, realitas malaikat, dan realitas Tuhan. Dan semua realitas tersebut
berpusat atau dibimbing oleh realitas Tuhan.
3. Filsafat Aquinas mendasarkan kepada eksistensi Tuhan, tetapi pandangannya tentang eksisitensi
Tuhan berbeda dengan teolog sebelumnya. Menurut Aquinas eksistensi Tuhan dapat dibuktikan
dengan akal (rasional).
38.
39.

Ada empat dalil yang memperkuat pendapat Aquinas di atas, yaitu: (1)

hakikat segala sesuatu di alam ini bergerak, dan sejatinya penggerak itu bukan benda yang
bergerak, tetapi ada Sang Penggerak Tunggal itulah Tuhan; (2) di dunia indrawi manusia
terbukti ada sebab yang mencukupi (efficient cause) (misalnya kebutuhan indra mata, dan
sebagainya). Secara rasional tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya sendiri.
Jadi, ada Sumber Penyebab itulah Tuhan; (3) logika kemungkinan dan keharusan (possibility
and necessity). Di dunia ini hakikat segala sesuatu itu bisa mungkin ada (possibility) dan

harus ada (necessity). Penyebab yang harus ada itulah Tuhan; dan (4) tentang hukum
keteraturan alam. Manusia menyaksikan benda planet dalam sistem tata surya dan bendabenda di alam ini bergerak dalam hukum keteraturan, padahal benda-benda tersebut tidak
mempunyai akal atau pengetahuan untuk bergerak menuju keteraturan. Hal ini tentu
membuktikan adanya Sang Pengatur Tunggal itulah Tuhan.
40.
Pandangan Aquinas tentang Jiwa (intuisi), yaitu: (1) manusia terdiri dari jiwa
dan raga. Raga menghadirkan matter (potensial) sedangkan jiwa menghadirkan form
(aktualitas atau prinsip-prinsip hidup yang aktual); (2) jiwa adalah kapasitas intelektual
(pikir) dan kegiatan vital kejiwaan lainnya. Manusia adalah makhluk berakal. Jiwa
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari raga, sehingga jiwa harus membimbing raga (fisik).
Jiwa rasional merupakan manifestasi kehidupan tertinggi; (3) jiwa manusia dibagi menjadi
tiga kemampuan, yaitu: kemampuan mengindera (sensation), kemampuan pikir (reason), dan
kemampuan nafsu (appetite), ketiganya menyatu dalam diri manusia. (Tafsir, A. 2003).
41.
8. Pertanyaan:
42. Bagaimana metode Geometris (Rene Descartes)?
43. Jawaban:
44.

Cagito Ergo Sum itulah metode yang diungkapkan Descartes dalam

mengungkapkan makna kebenaran. Descartes adalah seorang filosof, matematikawan dan


ilmuan. Dalam filsafat dan matematika, karyanya bermakna sangat tinggi. namun dalam
sains karyanya tidak sebagus teman sejawatnya (Russell. 2004: 735). Dalam bidang
geomeri, Descartes menemukan teori geometri koordinat, teori ini dikenal dengan nama
koordinat Cartesius. Koordinat ini memperlihatkan bahwa dengan sepasang garis lurus yang
berpotongan sebagai garis-garis pengukur, suatu jaringan garis petunjuk dapat disusun,
tempat bilangan-bilangan dapat ditaruh sebagai titik. Namun pada dasarnya, teori ini
bukanlah murni dari Descartes, akan tetapi dari orang-orang kuno. Dia menggunakan
Aljabar pada geometri, yang murni dari Descartes adalah penggunaan koordinat pada
geometri.
45.

Dalam memecahkan sebuah masalah, dia mengguanakan metode analitik.

Dalam bidang ilmu mekanika, Descartes menerima hukum gerak pertama yang berbunyi
tubuh akan bergerak dengan kecepatan tetap dalam sebuah garis lurus .Descartes
memulai metodenya dengan meragukan segala sesuatu. Dalam keadaan mimpi maupun
jaga seseorang tetap mengalami hal-hal yang sama. Seperti ketika seseorang duduk dalam
mimpinya, padahal kenyataanya dia sedang tidur dalam keadaan berbaring. Hal

seperti inilah yang membuat Descartes meragukan segala sesuatu, bahkan dia sendiri
meragukan akan keberadaan dirinya. Sampai pada suatu ketika, dia meragukan keberadaan
dirinya, dan ada satu hal yang tidak dapat ia ragukan yaitu ragu itu sendiri. Kemudian ia
berfikir saya ragu adalah sesuatu yang ada, saya ragu karena saya berfikir, maka saya
berfikir adalah ada. Maka dari sinilah dia mengemukakan metodenya yakni saya berfikir,
jadi saya ada (Cagito ergo sum). Metode in merupakan dasar (basis) filsafat Descartesm,
karya Descartes yang terkenal adalah Discours de la mthode (1637) dan Meditationes de
prima Philosophia (1641). Descartes membedakan tiga ide yang ada pada diri manusia,
yaitu:
1. Innate ideas : Ide bawaan yang dibawa ,anusia sejak lahir
2. Adventitius ideas: ide-ide yang berawal dari luar diri manusia
3. Factitous Ideas: ide-ide yangb dilahirkan oleh fikiran itu sendiri ( Surajiyo 2008: 33)
46.
47.

Dilihat dari karyanya dalam bidang Matematika, Filsafat, dan Geometri,

pantaslah Descartes di anggap sebagai orang yang penting dalam dunia pendidikan.
Teori yang terkenal adalah Cagito Ergo Sum (aku berfikir, maka aku ada). Descartes juga
dikenal sebagai bapak filsafat modern, dia juga merupakan seorang tokoh penting dalam
aliran rasionalisme. Berangkat dari pembuktiannya bahwa pikiran itu eksis, filsafatnya
membuktikan bahwa tuhan ada dan kemudian membuktikan bahwa benda material ada.
Descrates mendasarkan akan adanya tuhan pada prinsip bahwa sebab harus lebih besar,
sempurna, baik dari akibat. Dalam pikiran Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang
tuhan adalah suatu mahluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin
muncul / disebabkan oleh pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut
merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi
prinsip sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang tuhan

yang ada dalam

kepala (sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah mahluk sempurna yang
menaruhnya dalam pikiran saya, yakni tuhan.
48.
Setelah membuktikan adanya tuhan, Descrates membuktikan bahwa benda
material itu eksis. Ia menyatakan bahwa tuhan menciptakan manusia dengan
ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada. Bahkan
tuhan menciptakan manusia untuk memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda
material itu eksis. Apabila pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah
matriks kompleks yang menipu pikiran manusia, itu berarti tuhan adalah penipu, dan bagi

descrates penipu ialah ketidaksempurnaan. Padahal tuhan ialah mahluk yang sempurna,
oleh karena itu tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda material itu pastilah ada.
49.
Bagi Descrates, realitas terdiri dari tiga hal. Takni benda material
yang terbatas(objek-objek fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia,dsb), benda mentalnon material yang terbatas (pikiran dan jiwa manusia), serta benda mental yang tak terbatas
(Tuhan).Ia juga membedakan antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia.
Pembagian ini juga mengantarkannya pada pembagian keilmuan. Realitas material sebagai
ranah bagi keilmuan baru yang di bawa galileo dan copernicus, realitas mental bagi
keilmuan dalam bidang agama, etika, dan sejenisnya.Namun, dualismenya ini juga yang
kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti Barkley misalnya. Problem
utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran dan tubuh berinteraksi satu sama
lainnya. serta terjebak dalam

pilihan

ekstrim,

baginya

benda

hidup

selain

manusia(cth:hewan) tidak memiliki pikiran dan jiwa, sehingga hanya dipandang sebagai
bentuk material sama halnya seperti mesin.
50.
9. Pertanyaan:
51. Bagaimana metode empiris menurut Francis Bacon dan Thomas Hobbes?
52. Jawaban:
53.

Menurut Francis Bacon meletakkan dasar metode induksi modern dan

mempelopori usaha sistematisasi secara logis produser ilmiah. Seluruh asas filsafatnya
bersifat praktis, yakni untuk menjadikan manusia menguasai kekuatan- kekuatan alam atau
dengan perantara penemuan-penemuan ilmiah. Menurut Bacon filsafat harus di pisahkan
dari pada teologi. Agama yang sama masih juga diterimanya. Ia berpendapat bahwa akal
dapat membuktikan adanya allah. Akan tetapi mengenai hal hal yang lain di dalam teologi,
hal hal itu hanya dapat di kenal melalui Wahyu. Menurut dia, kemenangan iman adalah
yang terbesar, jika dogma dogma agama tampak sebagai hal hal yang tidak masuk akal
sama sekali. Hal ini di sebabkan karena filsafat hanya tergantung kepada akal semata-mata.
Akal manusia pada dirinya memang tidak berdaya dalam ilmu pengetahuan, sebab
tiada keselarasan atau harmoni yang alamiah di antara akal dan kebenaran.

Beberapa

banyak keyakinan yang hingga kini diterima sebenarnya adalah idola, gambaran
gambaran yang menyesatkan, pandangan pandangan yang keliru. Oleh karenanya semua
itu harus dibasmi. Tugas yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan adalah mengusahakan
penemuan- penemuan yang meningkatkan kemakmuran dan hidup yang lebih baik.

54.

Menurut

Francis

Bacon

pengetahuan

yang

sebenarnya

adalah

pengetahuan yang di terima orang melalui persentuhan inderawi dan dunia fakta.
pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati, pengetahuan harus dicapai
dengan induksi, selanjutnya bahwa kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode
deduktif dari dogma dogma , ilmu yang benar adalah yang telah terakumulasi antara
pikiran dan kenyataan , kemudian diperkuat oleh sentuhan inderawi.
55.
Metode Empiris ini oleh Bacon dipandang sebagai sesuatu

yang

menunjukkan bagaimana caranya menyusun data-data yang telah diamati, yang


memang diperlukan sekali bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus didasarkan
kepada penyusunan data-data. Kita tidak boleh bersikap seperti laba-laba, yang
menyulam segala sesuatu dari benang yang di keluarkan sendiri. Kita juga tidak
boleh bersikap seperti semut, yang hanya mengumpulkan saja. Kita juga tidak boleh
bersikap seperti tawon yang selain mengumpulkan juga menyusun atau mengatur.
Bacon menolak

silogisme sebab dipandang

sebagai

hal

yang

tanpa

arti

di

dalam ilmu pengetahuan.


56.
Thomas Hobbes Adalah Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti
aliran empirisme di Inggris yang mendapat pendidikanya di Universitas Oxford.
Perbedaanya dengan Francis Bacon terletak di sini, bahwa Francis Bacon lebih
mempunyai arti dalam bidang
ajaran.

Hobbes

telah

metode penelitian, bukan dalam bidang doktrin atau

menyusun suatu sistem yang lengkap ia berpangkal kepada

Empirisme secara Konsekuen. sekalipun ia berpangkal pada dasar dasar Empiris, namun ia
menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat Matematis. Ia telah
mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat matrealistis yang konsekuen
pada zaman moderen.
57.
Filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat
adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat akibat, atau tentang
penampakan penampakan

yang

sedemikian

seperti

yang

kita

peroleh dengan

merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya,
lagi pula dari sebab- sebab atau asal asal yang sedemikian atau seperti yang dapat di
miliki dari mengetahui terlebih dahulu akibat-akibatnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta
yang diamati, sedang maksudnya adalah mencari sebab sebabnya. Adapun peralatanya
adalah

pengertian

pengertian

yang

di

ungkapkan dalam

kata-kata

yang

menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal


dalam bentuk pengertian pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan
dengan perantaraan pengertian- pengertian; ruang, waktu, bilangan dan gerak, yang diamati
pada benda-benda yang bergerak.
58.
Menurut Hobbes tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah
nyata yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu
sendiri. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya
perasaan yang ada pada pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, yang
hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan
sebab akibat juga situasi kesadaran kita termasuk di dalamnya.
59.
Thomas Hobbes menegaskan bahwa pengalaman merupakan permulaan dari
suatu pengenalan. Filsafat hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai
keterangan tentang yang ada secara mekanis. Ia adalah seorang matrealis yang pertama
dalam filsafat moderen. Dapat dikatakan, bahwa ia adalah seorang matrealis di bidang
ajaran tentang yang ada dan seorang naturalis dibidang ajaran tentang ontologi, serta
seorang absolutis dibidang ajaran tentang negara. Materialisme yang dianut Hobbes
adalah bahwa segala yang ada bersifat bendawi.
60.
10. Pertanyaan:
61. Metode empirisme menurut John Locke?
62. Jawaban:
63.

Menurut wibo (2009), Jhon Locke adalah salah satu di antara pemikir dari

gugusan empirisme. Locke dalam ajarannya mengatakan bahwa pikiran manusia harus
diandaikan seperti tabula rasa (kertas kosong), baru dalam proses pengenalannya terhadap
dunia luar, pengalaman memberi kesan-kesan (impressions) dalam pikiran. Dengan
demikian kebenaran dan kenyataan dipersepsi subjek berdasarkan pengalaman. Atau dengan
kata lain, pengetahuan kita menurut Locke diturunkan atau bersumberkan dari pengalaman.
64.
Pandangan Locke ini tampak jelas berbeda dengan pandangan rasionalisme
(Descartes) yang menyatakan bahwa pengetahuan kita bersumber dari rasio (asas-asas a
priori yang terdapat di dalam rasio).

Adapun pandangan empirisme Locke bisa lebih

jelasnya ditengok dari teori pengetahuannya. Teori pengetahuan Locke ini beranjak dari
asumsi bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman. Menurut Locke, ide-ide yang
kita pikirkan terjadi lewat jalan proses pengindraan yang rumit (kompleks) dengan bertolak
dari pengalaman (Aness, 2003: 333).

65.

Sebelum kita berpikir abstrak, kita harus mengamati warna, ukuran, mencium

bau, atau mendengarkan sesuatu. Apa saja yang kita tangkap dari dunia luar itu menjadi
proses-proses internal kita seperti: berpikir, merasa dan berkehendak. Proses internal
langsung berdasarkan pengalaman lahiriah itu menghasilkan ide-ide seperti: ide sakit, ide
nikmat, ide kesatuan, dsb. Ide yang dihasilkan dari penangkapan langsung ini disebut Locke
ide-ide simpleks. Sementara itu hasil penyusunan ide-ide simpleks yang terpisah-pisah itu
kemudian menjadi ide kompleks. Proses internal dalam manggabung-gabungkan ide-ide
simpleks menjadi ide kompleks ini disebut Locke sebagai abstraksi. Proses abstraksi ini
pada prinsipnya adalah penggabung-gabungan ide-ide simpleks menjadi ide-ide kompleks
yang bersifat universal. Misalnya pada tahap ide simpleks kita mengetahui manusia-manusia
khusus: si A yang pemarah, si B yang pemalu, si C yang pecemburu, si D yang pendiam dan
seterusnya berdasarkan pengamatan langsung; kemudian pada tahap berikutnya kita
menggabungkan semua ide partikular itu sehingga membentuk ide abstrak tentang hakikat
manusia. Tampak pula di sini Locke tidak sama sekali menolak kemungkinan pengetahuan
abstrak, yang ditolak oleh Locke adalah segala pengetahuan a priori.
66.
11. Pertanyaan:
67. Metode empirisme menurut David Hume?
68. Jawaban:
69.

Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas

Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke
dan David Hume. Tokoh empirisme lain sangat David Hume (1711-1776). David Hume
lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume
seorang nyang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat. Karya terpentingnya ialah an
encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the
principles of moral yang terbit tahun 1751.
70.
Pemikiran Locke ini diteruskan dan ditentang oleh David Hume. Hume
mengusulkan agar manusia kembali pada pengamatan spontan menyangkut dunia. Hume
tidak ingin manusia terus menerus dibelenggu oleh konsepsi tentang dunia. Sesungguhnya
manusia meminum air yang nyata bukan konsep tentang air. Hume menyebut bahwa tidak
ada filsuf yang akan membawa kita ke balik pengalaman sehari-hari atau menawarkan pada
kita ke balik pengalaman sehari-hari atau menawarkan pada kita aturan-aturan perilaku yang
berbeda dari yang kita dapatkan lewat perenungan. Manusia sering membicarakan hal-hal
yang berasal dari perenungan dan kehilangan kenyataannnya dalam realitas keseharian.

Manusia telah terbiasa dengan semua itu dan tidak merasa perlu untuk menelitinya. Maka
Hume menawarkan hal yang lain. Ia ingin tahu bagaimana seorang anak menjalani
pengalamannya di dunia. Seorang anak memandang dunia bagaimana adanya, tanpa
menambahkan sesuatu pada segala sesuatu lebih dari yang dialaminya. Karena seorang anak
belum menjadi budak dari harapan dan kebiasaan, jadi pikirannya sangat terbuka pada
pengalaman.
71.
Dalam hidup manusia yang telah dewasa, manusia sering mengharapkan
sesuatu hal yang berbeda dari yang kita alami, missal menyebut kata-kata malaikat pada
sosk manusia bersayap. Kata malaikat sesungguhnya berasal dari gagasan yang rumit yang
tidak bertanggung jawab. Kita mungkin pernah melihat manusia tapi tidak pernah ada yang
bersayap, atau juga melihat sayap namun tidak pernah ada di pundak manusia tetapi justru di
badan burung. Imajinasi kita menyatukannya menjadi manusia bersayap yang menggiring
kita pada inti pemikiran Hume Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang
singkat yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki
persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa
seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaianrangkaian kesan (impression).
Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan
terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression,
atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu
pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di rasionalkan teutama
dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan (observasi) dan uji
coba

(eksperimentasi),

kemudian

menimbulkan

pengertianpengertian dan akhirnya pengetahuan.

kesan-kesan,

kemudian

Hume mengajak manusia mengalami

realitas memulai relasinya dengan realitas melalui persepsi. Persepsi adalah gambaran
inderawi atas bentuk luar dari obyekobyek. Manusia memiliki dua jenis persepsi yaitu kesan
( impressions ) dan gagasan ( ideas ).
72.
Kesan dimaksudkan sebagai penginderaan langsung atas realitas lahiriah, dan
gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan, missal: jika tangan terbakar api akan mendapat
kesan panas dengan segera. Sesudah itu manusia mengingat bahwa tangan terbakar akan
panas, ingatan inilah yang disebut gagasan. Realitas masuk ke dalam diri manusia melalui
kesan. Jadi kesanlah yang membuat kita mengenal realitas, sementara gagasan hanyalah
tiruan samar-samar dari kesan. Hume mengemukakan bahwa kesan maupun gagasan bias
sederhana ( tunggal ) bisa juga rumit ( majemuk ). Sebuah gagasan merupakan perpanjangan

dari kesan, misal: gagasan tunggal berasal dari kesan tunggal, seperti gagasan tentang api
berasal dari kesan indera terhadap api. Gagasan majemuk berasal dri kumpulan kesan
majemuk, missal: kita berjalan-jalan ke sebuah kota metropolitan maka kita akan
mendapatkan kesan majemuk mengenai kota tersebut: udara panas, tugu identitas,
pemukiman kumuh, banyak kejahatan dan gelandangan. Teori ini mengisyaratkan bahwa
gagasan apapun selalu berkaitan dengan kesan, maka oleh karena kesan berkaitan dengan
pengalaman langsung atas realitas maka gagasan harus pula sesuai realitas. Manusia
seringkali membuat gagasan majemuk yang tidak berkaitan dengan obyek yang ada di dunia
fisik, seperti: manusia gerobak atau tuna wisma yang menjadi gagasan majemuk. Indera
hanya mempersepsikan manusia dan gerobak , misalnya lalu pikiran manusia merekatkan
potongan pengalaman inderawi secara asal maka jadi sebuah gagasan manusia gerobak.
Penggabungan ini disebut penuh omong kosong bukti karena tidak pernah memiliki bukti
dalam realitas. Kesan sensasi adalah kesan-kesan yang masuk ke dalam jiwa yang tidak
diketahui sebab musababnya. Apa yang disadari manusia melalui indra merupakan sesuatu.
Kesan refleksi adalah hasil dari gagasan. Indera mencerap realitas, dan mengirimkan kesan
pada diri manusia, kesan itu disalin oleh pikiran sehingga gambaran dari kesan itu tetap ada
walaupun indera sudah tidak lagi mencerap realitas. Gagasan jika muncul ke dalam jiwa
akan membentuk kesan baru.Pada umumnya gagasan majemuk muncul sebagai
penggabungan gagasan-gagasan tunggal. Gagasan majemuk bias dibagi ke dalam rtelasi,
modus dan substansi. Relasi berarti penghubung antara dua gagasan tunggal sehigga bias
menjadi gagasan majemuk. Realsi mengandung arti kausalitas dan menunjuk pada tujuh
relasi filosofis: kesamaan( resemblances ), identitas ( identity ), ruang dan waktu ( space and
time ), kuantitas atau jumlah ( quantity or number ), tingkatan-tingkatan ( degrees ),
kebertentangan ( contrariety ) dan sebab atau akibat ( cause or effect ).
73.
12. Pertanyaan:
74. Bagaimana Metode Transendental menurut Immanuel Kant?
75. Jawaban:
76.

Filsafat Kant merupakan titik tolak periode baru bagi filsafat Barat. Ia

mengatasi dan menyimpulkan aliran Rasionalisme dan Empirisme, yang dibantah oleh
Copleston VI. Dari satu pihak ia mempertahankan obyektifitas, universalitas, dan
keniscayaan. Dalam filsafat Kant, tekanan yang utama terletak pada kegiatan atau
pengertian dan penilaian manusia. Bukan seperti empirisme yang menekankan pada aspek

psikologi, melainkan sebagai analisa kritis, pada pemahaman Kant yang baru, dan sering
disebut revolusi Kopernikus yang kedua.
77.
Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam
menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kant tidak menentang adanya
akal murni, ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu terbatas. Akal murni menghasilkan
pengetahuan tanpa dasar indrawi atau independen dari alat pancaindra.
78.
Kant dalam argumennya, bahwa akal dipandu oleh tiga ide transcendental,
yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, ide dunia, dan ide tentang Tuhan. Ketiganya tersebut
memiliki fungsi masing-masing, yaitu ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala
batiniah yang merupakan cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang psikis,
ide dunia menyatakan segala gejala jasmaniah, ide Tuhan mendasari segala gejala,
segala yang ada, baik batiniah maupun yang lahiriah (Ahmad Tafsir, 2005:150-151, lihat
Mircea Eliade,t.:247)
79.
Kant mengarang macam-macam kritik mengenai akalbudi, kehendak, rasa,
dan agama. Dalam karyanya yang sering disebut metafisika. Menurutnya Metafisika
merupakan uraian sistematis mengenai keseluruhan pengertian filosofis yang dapat dicapai.
Ia berpendapat bahwa pada sekurang-kurangnya pada prinsipnya mungkin untuk
memperkembangkan suatu metafisika sistematis yang lengkap. Namun Kant mulai
meragukan kemungkinan dan kompetensi metafisik, sebab menurut dia metafisik tidak
pernah menemukan metode ilmiah yang pasti untuk memecahkan masalahnya, maka perlu
diselidiki dahulu kemampuan dan batas-batas akal-budi.
80.
Immannuel Kant membedakan akal (vertstand) dari rasio dan budi (vernuft).
Tugas akal merupakan yang mengatur data-data indrawi, yaitu dengan mengemukakan
putusan-putusan. Sebgaimana kita melihat sesuatu, maka sesuatu itu ditrasmisikan ke
dalam akal, selanjutnya akal mengesaninya. Hasil indra diolah sedemikian rupa oleh akal,
selanjutnya bekerja dengan daya fantasi umtuk menyusun kesan-kesan itu sehingga menjadi
suatu gambar yang dikuasai oleh bentuk ruang dan waktu.
81.
Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting diantaranya adalah tentang akal
murni. Menurut Kant dunia luar itu diketahui hanya dengan sensasi, dan jiwa, bukanlah
sekedar tabula rasa. Tetapi jiwa merupakan alat yang positif, memilih dan merekontruksi
hasil sensasi yang masuk itu dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan kategori, yaitu
dengan mengklasifikasikan dan memersepsikannya ke dalam idea. Melalui alat indara
sensasi masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu
masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu yaitu hukum-hukum, dan hukum-hukum

tersebut tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan
tersebut telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan inilah yang dinamakan
hukum-hukum(Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 121).
82.
Demikian gagasan Immanuel Kant yang menjadi penggagas Kritisisme.
Filsafat memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai
sumber pengetahuan manusia. Maka Kritisisme berbeda dengan corak filsafat modern
sebelum sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.
83.
Dengan Kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara
rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hannya
pada rasio, tetapi juga pada hasil indrawi. Kant memastikan adanya pengetahuan yang
benar-benar pasti, artinya menolak aliran skeptisisme, yaitu aliran yang menyatakan tidak
ada pengetahuan yang pasti.
84.
Zaman pencerahan atau yang dikenal di Inggris dengan enlightenment.
Terjadi pada abad ke 18 di Jerman. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan
mengatakan dengan aufklarung, manusia akan keluar dari keadaan tidak akil balig (dalam
bahasa Jerman: unmundigkeint), yang dengan ia sendiri bersalah. Sebabnya menusia
bersalah karena manusia tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya yaitu rasio.
Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi
manusia barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan reformasi. Di Jerman, seorang
filosof besar yang melebihi zaman aufklarung telah lahir yaitu Immanuel Kant.
85.
13. Pertanyaan:
86. Bagaimana Metode Fenomenologis menurut Husserl?
87. Jawaban:
88.

Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama,fenomena selalu

menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua,fenomena dari
sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam kesadaran kita. Oleh karena
itu dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan (ratio),
sehingga mendapatkan kesadaran yang murni (Denny Moeryadi, 2009).
89.
Donny (2005: 150) menuliskan fenomenologi adalah ilmu tentang esensiesensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi dengan kesadaran.
Fenomenologi juga merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman
manusia. Fenomenologi bermakna metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan
baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis, sistematis
kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi sebagai

metode tidak hanya digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan
pendidikan.
90.

Fenomenologi adalah suatu pendekatan ilmiah yang bertujuan untuk

menelaah dan mendeskripsikan sebuah fenomena sebagaimana fenomena tersebut dialami


secara langsung oleh manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti melahirkan dan belajar
(Crotty, 1996; Spiegelberg, 1978; van Manen, 1990). Jadi, fokus telaah fenomenologi adalah
pengalaman hidup manusia sehari-hari. Secara khusus fenomenologi berupaya untuk
menelaah dan mendeskripsikan pengalaman hidup manusia sebagaimana adanya, tanpa
proses interpretasi dan abstraksi (van Manen, 1990).
91.
Dalam sejarah perkembangannya, fenomenologi telah mengalami perjalanan
panjang yang dimulai sekitar 1880-an (Spiegelberg, 1978). Carpenter (1999) membagi
perkembangan fenomenologi menjadi 3 fase yang meliputi fase persiapan, fase Jerman, dan
Fase Perancis. Pelopor utama pada fase persiapan adalah Franz Brentano (1838-1917). Pada
fase persiapan ini fenomenologi belum mempunyai bentuk seperti yang dipahami saat ini.
Walaupun demikian salah satu konsep utama fenomenologi yaitu intentionality
dikembangkan pada fase ini. Konsep intentionality menekankan bahwa setiap subjek selalu
mengarah atau mempunyai ketertarikan (intention) ke arah objek, seperti cinta selalu cinta
terhadap sesuatu atau seseorang yang benci selalu benci terhadap sesuatu atau seseorang.
Husserl menginginkan filosofi yang dikembangkannya menjadi the first philosophy atau
filosofi yang berdiri di atas fondasi yang sangat kokoh dan mampu menjadi dasar bagi
semua filosofi dan ilmu pengetahuan (Spiegelberg, 1978). Keinginan inilah yang
mendorongnya untuk mencari dan menggali akar atau fondasi yang kokoh dari filosofi
tersebut.
92.

Dengan kata lain, Husserl mencari realitas atau fenomena dari filosofinya

(Crotty, 1996; Hammond, Howrad, & Keat, 1991). Dalam proses pencarian ini Husserl
menolak untuk menggunakan fiolosofi yang telah ada dan tetap mencari makna fenomena
dengan caranya sendiri. Husserl percaya bahwa untuk dapat menemukan dan memahami
suatu fenomena seseorang harus melihat kembali fenomena tersebut sejujur dan semurni
mungkin atau look at the thing itself.
93.
Husserl meyakini bahwa fenomena berada dalam consciousness atau
kesadaran seseorang kepada siapa fenomena tersebut menampakkan diri dalam bentuknya
yang asli. Husserl menyatakan bahwa setiap fenomena selalu terdiri dari aktifitas subjektif
dan objek sebagai fokus. Aktifitas subjektif selalu mengarah pada objek. Aktifitas subjektif
menginterpretasikan, memberi identitas, dan membentuk makna dari objek. Oleh karena itu,

aktifitas subjektif dan objek sebagai fokus tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian untuk
dapat memahami objek seseorang harus kembali kepada subjek. Jadi, fenomena hanya dapat
diamati melalui orang yang mengalami fenomena tersebut (Crotty, 1996; Spiegelberg,
1978).
94.

Husserl mengembangkan fenomenologinya menjadi fenomenologi murni di

mana objek dari fenomenologi adalah fenomena murni. Menurut Husserl fenomena murni
adalah fenomena yang bebas dari proses rasionalisasi. Fenomena murni adalah data asli
yang dapat ditangkap oleh kesadaran manusia (Crotty, 1996).

Data menurut Husserl

berbeda dengan data menurut ilmu-ilmu empiris yang hanya terbatas pada data fisik.
Menurut Husserl segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh kesadaran manusia berhak untuk
diterima sebagai fenomena dan layak untuk diakui. Dengan kata lain, fenomena murni
meliputi semua hal yang dialami manusia baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.
95.
Husserl meyakini bahwa fenomena murni hanya terdapat pada dan dapat
diamati oleh kesadaran murni atau pure consciousness. Menurut Husserl kesadaran murni
adalah kesadaran yang bebas dari asumsi, keyakinan, dan pengetahuan yang terbentuk dari
proses interaksi dengan dunia dan hanya kesadaran murni inilah yang mampu melihat
fenomena apa adanya. Proses untuk menyimpan atau mengisolasi asumsi, keyakinan dan
pengetahuan sehari-hari yang dapat mempengaruhi pemahaman dan makna sebuah
fenomena sebagai fenomenologi reduksi (Carpenter, 1999; Crotty, 1996; Spiegelberg, 1978).
Husserl percaya bahwa hanya melalui proses reduksi seseorang akan mampu mencapai
fenomena murni. Husserl, dengan meminjam istilah matematika, menamakan proses reduksi
tersebut sebagai bracketing. Husserl menggunakan kata bracketing untuk menekankan
bahwa tujuan utama fenomenologi adalah untuk mengisolasi sementara dan bukan untuk
menghilangkan asumsi, keyakinan dan pengetahuan tersebut (Spiegelberg, 1978).

96.
14. Pertanyaan:
97. Bagaimana Metode Dialektis menuurt Marx?
98. Jawaban:
99.

Kata dialektika berasal dari bahasa Yunani dialego artinya pembalikan,

perbantahan. Dengan istilah dialektika, dia (Marx) mengacu pada kondisi-kondisi


fundamental eksistensi manusia.

Di dalam pengertian lama, dialektika bermakna seni

pencapaian kebenaran melalui cara pertentangan dalam perdebatan dari satu pertentangan
berikutnya. Pada mulanya menunjuk pada debat dengan tujuan utama menolak argumen
lawan atau membawa lawan kepada kontradiksi-kontradiksi, dilema atau paradoks. Dalam
dialog-dialog Plato, ada upaya untuk menggali hakikat hal-hal melalui proses pernyataan
dan kontradiksi.
100.
Karl Marx tidak pernah menggunakan istilah materialism historis atau
materialism dialektis. Dia memakai istilahnya sendiri, yakni metode dialektika yang
berkebalikan dengan metode dialektika milik Hegel dan metode dialektika dari dasar
materialistisnya.

Dengan istilah metode dialektika, dia mengacu pada kondisi-kondisi

fundamental eksistensi manusia.


101.
Ajaran filsafat Marx disebut juga materialisme dialektik, dan disebut
juga materialisme historis. Disebut sebagai materialisme dialektika, karena peristiwa
ekonomis yang didominir oleh keadaan ekonomis yang meteriil itu berjalan melalui proses
dialektika: teses, antitesis dan sisntesis. Mula-mula manusia hidup dalam keadaan
komunistis asli, tanpa pertentangan kelas, dimana alat-alat produksi menjadi milik bersama
(tesis). Kemudian timbul milik pribadi yang menyebabkan adanya kelas pemilik (kaum
Kapitalis) dan kelas tanpa milik (kaum proletar yang selalu bertentangan) disebut
antitesis. Jurang antara kaum kaya (kapitalis) dan kaum miskin
dalam.

Maka

timbullah

krisis

yang

hebat. Akhirnya

(proletar)

semakin

kaum proletar bersatu

mengadakan revolusi perebutan kekuasaan. Maka timbullah diktaktur proletariat dan


terwujudlah masyarakat tanpa kelas dimana alat-alat produksi menjadi milik masyarakat
atau Negara (sintesis).
102.
Dengan demikian, dialektika berarti suatu metode diskusi tertentu dan
satu cara tertentu dalam berdebat yang didalamnya ide-ide kontradiktif dan pandanganpandangan yang bertentangan dilontarkan. Masing-masing pandangan itu berupaya
menunjukan titik-titik kelemahan dan kesalahan yang ada pada lawannya berdasarkan pada
pengetahuan- pengetahuan dan proposisi-proposisi yang sudah diakui. Dengan demikian,

berkembanglah pertentangan antara penafian dan penetapan dilapangan pembahasan dan


perdebatan, sampai berhenti pada kesimpulan yang di dalamnya salah satu pandangan yang
bertentangan itu dipertahankan, atau sampai munculnya cara pandang baru yang
merujukkan kelemahan masing-masingnya.
103.
Marx menganut dialektika

tersebut

dan menempatkan

filsafat

materialismenya dalam bentuk dialektika murni. Jadi dialektika modern menurut klaimklaim kaum dialektiawan adalah hukum berfikir dan sekaligus realitas. Karena itu,
dialektika modern adalah metode berfikir dan prinsip yang menjadi dasar eksistensi
dan perkembangan realitas. Gerak pikiran tidak lain hanyalah cermin gerak realitas yang
dipindahkan dan ditransformasikan di dalam benak manusia.
104.
105.

Alasan:
106.
Pada abad ke-19, muncul ideologi yang sangat membahayakan tatanan

fundamental masyarakat dan eksistensi manusia (terutama tatanan horizontalnya). Atas


kekejaman kaum penguasa dalam merebut kekuasaan secara eksploitatif, kekerasan, kekejaman,
alienasi dan memanfaatkan kaum marjinal sebagai surplus velue (nilai lebih) dalam mencari
keuntungan keuntungan yang sangat besar dalam segelintir elit. Sejarah merupakan suatu proses
perkembangan tunggal yang penuh arti dan sebuah struktur rasional yang terungkap
dalam waktu menurut hukum dialektika. Menurut Hegel bahwa unit individu dan perjalanan
sejarah dialektika adalah negara-bangsa yang besar, setiap dari mereka mewujudkan sebuah
tingkat dalam memajukan kesadaran kebebasan. Bagi Marx sebaliknya, unit individu dan sejarah
dialektika adalah mode bagi produksi ekonomi. Perubahan sejarah terjadi melalui konflik atau
kontradiksi dalam tiga pondasi ekonomi masyarakat. Konflik ini muncul di antara kekuatan
produksi yang berkembang secara konstan (kemampuan, tekhnologi, penemuan) dan dari
hubungan produksi yang ada atau hubungan hak milik.
107.
Karl Marx menentang asas pokok dari aliran idealisme terutama terminologi
Hegel dan beberapa bagian dari ajaran Feuerbach. Bagi Hegel dan idealisme umumnya, alam
merupakan hasil Roh, tapi bagi Marx segala sesuatu yang bersifat rohani merupakan buah hasil
materi. Dialektika Hegel adalah dialektika idea, dan Marx yang datang dengan pendapatnya
justru ingin menjadikannya sebagai dialektika materi. Di kalangan penganut idealisme sebelum
dan sezaman Karl Marx melekat paham bahwa dialektika hanya dapat diterapkan di dalam dunia
abstrak yaitu pikiran manusia. Karl Marx menyatakan sebaliknya bahwa dialektika terjadinya
di dunia nyata atau dunia materi.
108.
Marx mengambil thesis Feuerbach ini untuk merasionalkan kritiknya terhadap
agama dan transisi dari idealisme Hegel menuju materialisme. Dengan menyatakan bahwa yang

absolut sebenarnya tidak lebih dari sekedar refleksi materi, Marx menggunakan dialektika ini
sebagai kekuatan yang menggerakkan dalam evolusi sejarah. Tujuannya adalah untuk mengubah
dialektika ini dari hukum pemikiran semesta, sebagaimana teori Hegel, menjadi hukum sebabakibat sejarah yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan ini, dialektika pertama-tama harus diberi
makna konkret yang berguna untuk memberikan penjelasan dan prediksi dalam tatanan
sosial, sebagaimana fenomena biologis dan fisik, dan ditentukan oleh materi.
109.
Marx menolak teori idealistis Hegel tentang teori perubahan

sejarah

sebagai perkembangan dialektika ide kebebasan. Bagi Marx, ide-ide tidak bisa menjelaskan apa
pun, ide-ide hanyalah efek dan basis ekonomi masyarakat. Ide sekedar suprastruktur yang hancur
mengiringi dasar ekonomi masyarakat yang juga mulai pecah. Bagi Marx, kekuatan ekonomi
yang cukup kuatlah yang dapat menghasilkan perubahan sejarah.
110.
Proses menuju pembebasan umat manusia berlangsung melaluai proses pekerjaan.
Sebab melalui pekerjaan, manusia merealisasikan dirinya sendiri. Dan pekerjaan
memperoleh pola

serta

bentuknya

dalam

tata

susunan

ini

sosial-ekonomi, dalam cara

berproduksi yang semakin maju, dalam peningkatan alat-alat dan dalam tatanan susunan kerja
yang lebih manusiawi. Sebuah perjuangan lama untuk mengatasi keterasingan manusia dalam
pekerjaannya, tercapai kemenangan kelas buruh. Marx maupun Hegel beranggapan bahwa umat
manusia merealisasikan dirinya dalam sejarah. Tetapi kedua-duanya memilih kunci yang sama
sekali lain untuk membukakan sedikit misteri sejarah bagi pengertian kita. Pada Hegel, Roh
memegang pimpinan. Bagi Marx, cara berproduksi serts hubungan-hubungan kerja menentukan
perjalanan sejarah umat manusia dalam suatu proses dialektika yang mencakup thesis,
anthitesis, dan synthesis. Dalam proses ini, perjuangan kelas berperan sebagai motor yang kuat.
111.
15. Pertanyaan:
112.
Bagaimana Metode Positivistisme menurut Comte?
113.
Jawaban:
114.

Selama dekade 1970 hingga 1980an, muncul keprihatinan terhadap

keterbatasan dan validitas informasi, data serta metode kuantitaf yang sering dihubungkan
dengan positivisme sebagai paradigma yang berlaku saat itu. Paradigma positivisme yang
menurunkan pemahaman kebenaran ilmiah melalui proses penelitian kuantitatif memang
telah berlaku sejak abad ke-19, sehingga metode ilmiah menjadi berkonotasi positivis.
Positivisme mengangap adanya dunia obyektif, yang kurang lebih dapat segera digambarkan
dan diukur oleh metode ilmiah, serta berupaya untuk memprediksikan dan menjelaskan
hubungan sebab-akibat di antara variabel-variabel utamanya secara kuantitatif. Metode
positivistik ini dikritik sebagai menghilangkan konteks dari pemaknaan dalam proses

pengembangan ukuran kuantitaf terhadap fenomena faktual yang diteliti (Lincoln dan Guba
2000).
115.

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis

percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian
empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan.
Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis
dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
116. Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint
Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk
memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang
menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga
merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode
feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari
masyarakat industri.
117. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of
Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari
semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud
dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika
dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala
( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala- gejala (diinspirasi
dari filsafat sejarah Condorcet).
118. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode
positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
119. 1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
120. 2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
121. 3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
122. 4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
123. Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan
dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu
untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
124.
16. Pertanyaan:
125.
Bagaimana Metode Analitika Bahasa menurut Wittgenstein?
126.
Jawaban:
127.

Pemikiran filsafat analitis Wittgestein merupakan karya filsafat yang inovatif,

yang dipengaruhi oleh konsep G.E. Moore, Bertrand Russell, dan Gotto Frege. Karya

filsafat Wittgenstein dibagi atas dua periode, periode pertama Tractatus LogicoPhilosophicus (1922) dan periode kedua Philosophical Investigation (1953). Kedua karya
filsafat tersebut memiliki perbedaan substansial, terutama berkaitan dengan objek
materialnya, tetapi diuraikan dalam suatu pemikiran yang sistematis.
128. Tractatus Logico-Philosophicus merupakan suatu karya filsafat yang singkat
dan padat, serta disajikan dalam suatu deskripsi yang unik, yaitu dengan sistem notasi angka
dengan menunjukkan prioritas logis dari proposisi-proposisinya. Inti filsafat Tractatus
adalah picture theory yang menuraikan logika bahasa. Menurut Wittgenstein hakikat bahasa
merupakan gambaran logis realitas dunia (Wittgenstein 1961:67). Hakikat dunia merupakan
keseluruhan fakta-fakta dan bukannya benda-benda (Wittgenstein 1961:31) dan dunia
terbagi menjadi fakta-fakta (Wittgenstein 1961:31). Adapun fakta merupakan states of
affairs, yaitu suatu keberadaan peristiwa.
129. Oleh karena itu, satuan bahasa yang menggambarkan dunia tersebut
merupakan suatu proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi itu bersifat kompleks dan tidak
terbatas, yang tersusun atas proposisi yang paling kecil yang disebut proposisi elementer
atau proposisi atomis. Proposisi atomis menggambarkan suatu fakta atomis (Poerwowidagdo
1972:21). Proposisi elementer tersusun atas nama-nama yang merupakan unsur satuan
logis sehingga nama akan memiliki makna dalam hubungannya dengan proposisi. Totalitas
dari proposisi adalah bahasa yang menggambarkan realitas dunia. Gambarana teresebut
merupakan gambaran logis dan bentuk pictorial dari realitas yang diwakilinya (Ayer,
1986:17). Kesesuaian antara proposisi dengan realitas tersebut tidak hanya menyangkut
hubungan pictorial saja, tetapi juga menyangkut situasinya (Pitcher, 1964:77).
130. Sebuah gambaran logis tentang kenyataan merupakan sebuah pikiran dan
didalam sebuh proposisi sebuah pikiran mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat diamati
dengan indra (Wittgenstein 1961:3). Hal ini mengandung makna bahwa sebuah proposisi itu
menggambarkan sebuah fakta realitas dunia empiris. Konsekuensinya proposisi yang tidak
bermakna karena tidak mengungkapkan apa-apa.
131. Berdasarkan teori gambar tersebut, Wittgenstein berkeyakinan bahwa
ungkapan metafisis itu tidak mengungkapkan realitas fakta sehingga tidak bermakna. Dalam
hubungannya dengan ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan, estetika dan etika,
Wittgenstein menyebutnya bersifat mistis. Pemikiran Wittgenstein periode pertama ini
dengan kuat mempengaruhi paham positivisme logis, suatu kelompok ilmuwan positif yang
berpusat di Wina. Teori gambar dan logika bahasa digunakan sebagai dasar prinsip
verivikasi dalam ilmu pengetahuan yang sampai saat ini masih besar pengaruhnya
diseluruhnya dunia. Dalam hubungan dengan metafisika, positivisme logis bersikap lebih

radikal dibandingkan Wittgenstein, yaitu ingin menghilangkan metafisika. Pemikiran


Wittgenstein periode kedua, Philosophical Investigation, tidak mendasarkan pada logika
bahasa, tetapi pada bahasa biasa yang dipakai manusia dalam kehidupan sehari-hari. Jika
periode pertama Wittgenstein mendasarkan pemikirannya pada satu bahasa ideal yang
memenuhi syarat logika, pemikiran periode kedua justru mendasarkan pada bahasa biasa
yang bersifat beraneka ragam. Dalam pemikiran kedua justru mendasarkan pada bahasa
biasa yang bersifat beraneka ragam. Dalam pemikiran kedua, Wittgenstein mengakui
kelemahan konsep pertamanya dan melakukan kritik, tetapi ia meletakkannya pada
formulasi pemikiran yang sistematis.
132. Inti pemikiran Wittgenstein periode kedua adalah tata permainan bahasa
(language games). Hakikat bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks
kehidupan manusia. Oleh karena itu, terdapat banyak permainan bahasa yang sifatnya
dinamis, tidak terbatas sesuai dengan konteks kehidupan manusiamenggunakan satu bahasa
tertentu, dengan menggunakan aturan penggunaan yang khas dan tidak sama dengan konteks
penggunaan lainnya. Berdasarkkan macamnya, terdapat banyak penggunaan bahasa yang
masing-masing memiliki aturan sendiri-sendiri dan hal itu merupakan suatu nilai. Misalnya,
penggunaan bahasa dalam memberikan perintah dan mematuhinya, melaporkan suatu
kejadian, berspekulasi mengenai suatu peristiwa, menyusun cerita dan membahsnya,
bermain akting, membuat lelucon, berterimakasih, berdoa, menguji suatu hipotesis dan
penggunaan bahsa lainnya (Wittgenstein, 1983:23)
133. Oleh karena itu, Wittgenstein berkesimpulan bahwa makna sebuah kata
adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam
bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan
manusia. Dalam hubungan ini konteks penggunaan logika bahsa sebagaimana terdapat
dalam Tractatus merupakan satu macam permainan bahasa tersendiri. Dalam pemikirannya
yang kedua ini, Wittgenstein tidak lagi mendasarkan pada bahasa ideal dan logis, tetapi
mengembangkan pemikiran tentang pluralitas bahsa dalam kehidupan manusia.
134. Pemikiran filsafat Wittgenstein periode kedua ini berpengaruh terhadap
munculnya aliran filsafat bahasa lain (Ordinary Language Philosophy) dan postmodernisme.
Aliran filsafat bahasa biasa ini berkembang di Eropa terutama di Inggris dan Amerika, serta
memiliki pemikiran filsafat yang beraneka ragam. Berdasarkan sejarah perkembangan
linguistik pragmatik, pemikiran filsafat bahasa biasa inilah yang merupakan inspirasi
dikembangkannya pragmatik.
135. Filsafat analisis Wittgenstein tersebut relevan bagi pengembangan filsafat
bahasa. Secara ontologis dalam hakikat bahasa terkandung nilai sehingga relevan jika

dikembangkan aksiologi bahasa, yang mendeskripsikan nilai bahasa dalam berbagai


macam konteks kehidupan manusia. Aspek lain yang relevan untuk dikembangkan adalah
Teologi Gramatikal, yaitu salah satu bidang kajian bahasa pada penggunaannya dalam
kehidupan religius.
136. Pemikiran Wittgenstein tersebut secara heuritis relevan bagi pengembangan
dasar filosofis pragmatik yang meliputi aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Bahasa sebagai objek material filsafat dan ilmu pengetahuan secara objektif memiliki nilai,
yang terkandung dalam aturan penggunaan bahasa dalam berbagai konteks kehidupan
manusia. Persepektif nilai yang terkandung dalam bahasa itulah yang secara filosofis
merupakan sumber kajian pragmatik sehingga selanjutnya dapat dikembangkan sebagai
suatu bidang kajian empiris. Hal itu menunjukkan bahwa kajian bahasa bersifat ideografik.
Yaitu mendeskripsikan suatu objek dan bukannya bersifat nomotetik, yaitu mencari hukumhukum yang bersifat alamiah dan tetap.
137.
17. Pertanyaan:
138.
Apa saja bidang kajian Ontologi dari Filsafat?
139.
Jawaban:
140.

Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani: On = being, dan Logos = logic.

Jadi Ontologi adalah The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan). Louis O. Kattsoff dalam Elements of Filosophy mengatakan, Ontologi itu
mencari ultimate reality dan menceritakan bahwa diantara contoh pemikiran ontology
adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate substance
yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua benda hanya satu saja yaitu air.
141. Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan, ontology
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan
Lorens Bagus, menjelaskan yang ada dalam meliputi semua realitas dalam semua
bentuknya.
142.

Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam

Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang nyata secara fundamental dan cara
yang berbeda dimana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek
fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam kerangka tradisional ontologi
dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada sedangkan dalam hal
pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.

143.

Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontologi

mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu ia disebut ilmu
hakikat, hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama ontology memikirkan
tentang Tuhan.
144. Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan, ontologi
berasal dari kata ontos = sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud,
tentang hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi
145.
146.

berdasarkan pada logika semata-mata.


Term ontologi
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun1636 M untuk

menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangan
selanjutnya Christian Wolf (1679 1754 M) membagi Metafisika menjadi 2 yaitu :
a. Metafisika Umum : Ontologi
147.

Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Jadi metafisika

umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau
paling dalam dari segala sesuatu yang ada.
b. Metafisika Khusus : Kosmologi, Psikologi, Teologi (Bakker, 1992).
148.
149.
150.

Pahampaham dalam Ontologi


Dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok/aliran-aliran

pemikiran antara lain: Monoisme, Dualisme, Pluralisme, Nihilisme, dan Agnotisisme.


a. Monoisme
151.
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah
satu saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun rohani. Paham ini kemudian
terbagi kedalam 2 aliran :
1) Materialisme
152. Aliran materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546
SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan.
Aliran ini sering juga disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa /ruh
tidak berdiri sendiri. Tokoh aliran ini adalah Anaximander (585-525 SM). Dia berpendapat
bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari
segala kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini sering dikaitkan dengan teori Atomisme.
Menurutnya semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur
itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang

dinamakan atom-atom. Tokoh aliran ini adalah Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat
bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung
dan amat halus. Atom-atom inilah yang merupkan asal kejadian alam.
2) Idealisme
153. Idealisme diambil dari kata idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idelisme
sebagai lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serbacita,
spiritualisme berarti serba ruh. Aliran idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu

sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.


154. Tokoh aliran ini diantaranya :
Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada dialam mesti ada

idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.


Aristoteles (384-322 SM), memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu

sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.


Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753

M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.


Kemudian Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831 M),

dan Schelling (1775-1854 M).


155.
b. Dualisme
156.
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari 2 macam hakikat sebagai asal
sumbernya yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
157.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak
filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan
dunia ruang (kebendaan).
158.
Tokoh yang lain : Benedictus De spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von
Leibniz (1646-1716 M).
159.
c. Pluralisme
160.
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Lebih
jauh lagi paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur.
161.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air,
api, dan udara.
162.
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M) yang terkenal sebagai
seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of

Truth, James

mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap,

yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Apa yang kita anggap benar sebelumnya
dapat dikoreksi/diubah oleh pengalaman berikutnya.
163.
d. Nihilisme
164.
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Doktrin
tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya yaitu Gorgias (483-360
SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu: Pertama, tidak ada sesuatupun yang
eksis, Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui, Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
kita ketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh modern aliran ini
diantaranya: Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), ia
dilahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta.
165.
e. Agnotisisme
166.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu Agnostos
yang berarti unknown A artinya not Gno artinya know. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat
eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti: Soren Kierkegaar (1813-1855 M), yang terkenal
dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme dan Martin Heidegger (1889-1976 M)
seorang filosof Jerman, serta Jean Paul Sartre (1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan
Prancis yang atheis (Bagus, 1996).
167.
18. Pertanyaan:
168.
Apa saja bidang kajian Epistemologi dari Filsafat?
169.
Jawaban:
170.

Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang

dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi
berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi
dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.
171. Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ?
apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel
Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
172. Menurut Musa Asyarie, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang

sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu
obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah
cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi
sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
173. Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan Dagobert
D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas
sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra
menambahkan, bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian,

175.

pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan..


174.
Ruang Lingkup Epistemologi
176. M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan
validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur,
macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan,
bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana
asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar,
apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui,
dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua
masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
177. M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih
banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara
konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan
mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya
justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat
perhatian yang layak.
178. Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan
pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan
epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung
menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai

epistemologi sebagai metode

pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran,

sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif.
Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah
epistemologi.
179.
180.

Objek Dan Tujuan Epistemologi


181. Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material
adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan
hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal
(sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yang-ada).
182. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa segenap proses
yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang
harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir,
sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
183. Tujuan epistemologi menurut Jacques Martain mengatakan: Tujuan
epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu. Hal ini
menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun
keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.

184.
19. Pertanyaan:
185.
Apa saja bidang kajian Aksiologi dari Filsafat?
186.
Jawaban:
187.

Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan axios (yunani) yang

berarti nilai, dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
(Burhanuddin Salam,1997).
188. Atau menurut Jujun S. Sumantri dalam filsafat Ilmu Suatu Pengantar,
aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.
189.

Sejalan dengan itu, Wibisono mengatakan, aksiologi adalah nilai-nilai

(value) sebagai tolak ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.

190.

Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai

suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan,
meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece Rakhmat, 2010)
191.
192.

Penilaian Aksiologi
193.

Bramel (Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam tiga

bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin
khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan
apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi
sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik
tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai
sang pencipta.
194.

Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi

keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena
disekelilingnya.
195.

Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar Amsal, 2004), nilai itu

objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul
dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan
validitasnya

tergantung

pada

reaksi

subjek

yang

melakukan

penilaian

tanpa

mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif
akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti
perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah pada suka atau tidak
suka, senang atau tidak senang.
196.

Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau

kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat
tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada (Bakhtiar
Amsal, 2004).
197. Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan
social politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Manfaat dari ilmu adalah sudah
tidak terhitung banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara

keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg , ilmu terus
berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan ilmu manusia bisa
sampai ke bulan, dengan ilmu manusia dapat mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan
terkecil dari sel tubuh manusia. Ilmu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
peradaban manusia, tapi dengan ilmu juga manusia dapat menghancurkan peradaban
manusia yang lain.
198. Mengutip pendapatnya Francis Bacon dalam Suriasumantri (1999) yang
mengatakan bahwa Pengetahuan adalah kekuasaan. Apakah kekuasaan itu akan
merupakan berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak pada system nilai
dari orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak
mengenal sifat baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai
sikap.
199.
200.

Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang

besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskan kedalam 4 tahapan

yaitu:
-

Untuk apa ilmu tersebut digunakan?


Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral / professional.
201.

Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu

yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat,
sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya
meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu
apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
202.
20. Pertanyaan:
203.
Bagaimana Aliran-Aliran dalam Filsafat?
204.
Jawaban:
205.
maupun
sekaligus

Dampak yang terjadi dari munculnya kondisi pemikiran-pemikiran tersebut,

berkembangnya

pemikiran-pemikiran

lainnya,

pada akhirnya mendorong

mengakibatkan lahirnya beragam aliran-aliran dalam filsafat yang cukup

berpengaruh. Para filosof, di antaranya adalah : rasionalisme, empirisme, kritisisme,

materialisme, idealisme, positivisme, pragmatisme, sekularisme, dan filsafat Islam (J. S


206.

Praja, 2003).
Untuk mengetahui secara utuh

bagaimana cara manusia memperoleh pengetahuan,

inilah gambaran tentang aliran-aliran dalam filsafat tersebut:


1. Rasionalisme
207.
Aliran ini berpandangan bahwa pengetahuan bersumber pada rasio atau akal,
ketika memutuskan, menyelesaikan suatu masalah. Aliran ini berpendapat di dalam rasio
terdapat ide-ide dan dengan itu manusia dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa
menghiraukan realitas di luar rasio.
208.
Akal memperoleh bahan lewat indra, kemudian diolah oleh akal menjadi
pengetahuan. Rasionalisme mendasarkan metode deduksi, yaitu cara memperoleh kepastian
melalui langkah-langkah metodis yang bertitik tolak dari hal-hal
mendapat kesimpulan yang bersifat khusus.
209.
Salah seorang tokoh rasianalis

berpengaruh

yang bersifat umum untuk


bernama

Rene Descartes,

membedakan tiga ide yang ada dalam diri manusia, yaitu:


a) Ide-ide yang dibawa manusia sejak lahir.
b) Ide-ide yang berasal dari luar diri manusia.
c) Ide-ide yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri.
210.

Motto Descartes, adalah cogito ergo sum, artinya saya berpikir, maka saya ada,

dan de omnibus dubitandum, artinya ragukan segala sesuatu itu. Tokoh-tokoh rasional abad
modern antara lain : Rene Descartes, Nicholas Malerbrance, Spinoza, Gottfried, Wilhelm
Leibnis, Christian Wolf, dan Blaise Pascal.
211.
2. Empirisme
212.
Aliran empiris yang menegaskan bahwa pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Kaum empiris berpendirian semua pengetahuan diperoleh lewat indra. Indra memperoleh
kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian terkumpul dalam diri manusia, lalu menjadi
pengalaman. Pengetahuan yang berupa pengalaman terdiri atas penyusunan dan pengaturan
kesan-kesan yang bermacam-macam.
213.
Istilah Empiris berasal dari kata

emperia dalam bahasa Yunani berarti

pengalaman indrawi. Empiris sangat berlawanan dengan aliran Rasionalis.


214.
Tokoh aliran ini, Thomas Hobbes yang lahir di Inggris. Dia, mengatakan :
pengalaman permulaan segala pengenalan. Kemudian, John Locke dengan teori tabularasa
rasio manusia

harus dilihat seperti lembaran kertas putih dan tokoh lain George

Berkeley, dan David Hume.


215.
3. Kritisisme

216.

Aliran yang memadukan antara Rasionalisme dan Empirisme. Menurut aliran ini,

baik rasionalisme atau empirisme tidak seimbang. Pengalaman manusia merupakan paduan
antara sintesa unsur-unsur aspriori (terlepas dari pengalaman) dengan unsur-unsur apos
teriori (berasal dari pengalaman). Tokoh kritsisme adalah Imanuel Kant.
217.
Aliran Kritisis memiliki ciri-ciri yang dapat disimpulkan dalam tiga hal :
a) Menganggap objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
b) Menegaskan keterbatasan kemampuan akal manusia untuk mengetahui realitas dan
hakikat sesuatu, akal hanya mampu menjangkau gejala dan fenomenanya saja.
c) Pengenalan manusia terhadap sesuatu diperoleh dari perpaduan antara unsur akal dan
pengalaman.
218.
4. Materialisme
219.
Aliran ini berpandangan bahwa materi itu ada sebelum jiwa (self), dan dunia
materi adalah yang pertama, sedangkan pemikiran tentang dunia adalah nomor dua.
Materialisme modern mengatakan bahwa alam universe merupakan kesatuan material yang
tak terbatas termasuk di dalamnya segala materi, energi (gerak dan tenaga) selalu ada dan akan
tetap ada, dan alam adalah realitas yang keras, objek yang dapat diketahui manusia. Aliran
materialisme terbagi dua macam :
a) meterialisme mekanik, semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur
materi dan gerak.
b) materialisme dialektik, dan tokoh sentralnya Karl Marx, menilai dunia misterius ini
konstan, baik dalam gerak, perkembangan, maupun regenerasinya, materi adalah primer
sedangkan ide atau kesadaran adalah sekunder.
220.
5. Idealisme
221.
Menekankan akal mind sebagai hal yang lebih dahulu primer dari pada materi,
bahwa akal itulah yang riil dan materi hanyalah produk sampingan. Aliran ini mengatakan
realitas terdiri-dari, ide-ide, pikiran- pikiran, akal, jiwa, dan bukan bendamaterial dan
kekuatan.Idealisme berpendirian bahwa

pengetahuan adalah

proses-proses mental dan

proses-proses psikologis yang sifatnya subjektif. Pengetahuan tidak

menggambarkan

kebenaran yang sesungguhnya, atau pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat
tentang hakikat sesuatu yang berada di luar pikiran manusia. Idealisme terbagi menjadi tiga
faham :
a) Idealisme subjektif-immaterialisme, akal, jiwa, dan persepsi- persepsinya dan ide- ide
merupakan segala yang ada, tetapi hanya dalam akal yang mempersepsikannya.
b) Idealisme objektif, pikiran adalah esensi dari alam, dan alam adalah keseluruhan jiwa yang
diobjektifkan. Tokohnya adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian, yaitu dunia

persepsi dan alam di atas alam benda, disebut alam konsep, ide, univesal, atau esensi
yang abadi.
c) Idealisme personal atau personalisme, keinginan pribadi.
222.
223.
6. Positivisme
224.
Positivisme berasal dari kata positip yang berarti factual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta.
Positivisme senada dengan empiris sebagai sumber pengetahuan. Perbedaan Positivisme
dengan

empiris

adalah

pasitivisme tidak

menerima sumber pengetahuan melalui

pengalaman batiniah, tetapi hanya mengandalkan fakta-fakta belaka. Tokoh positivisme yang
terkemuka adalah Auguste Comte, dengan karyanya yang terkenal adalah Cours de
Philosophie Positive (Kursus tentang Filsafat Positif). Aliran positvisme ini banyak diikuti
oleh orang-orang yang beranggapan bahwa, untuk memperoleh ilmu yang tepat, harus
berdasarkan faktanya (apa adanya), tidak dibuat-buat atau direkayasa hasilnya.
225.
7. Pragmatisme
226.
Pragmatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa
yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibat yang bermanfaat
secara praktis. Aliran ini bersedia menerima sesuatu asal membawa akibat praktis manfaat
bagi hidup praktis.
227.
Tokoh utama aliran ini, William James, John Dewey dari Amerika, FC. Schiiller,
Charles S. Pierce, dan George Herbert Mead, dari Inggris. Pragmatisme, tidak mempersoalkan
hakikat

pengetahuan,

melainkan menanyakan apaguna

pengetahuan tersebut.

Daya

pengetahuan hendaklah dipandang sebagai sarana bagi perbuatan.


228.
8. Sekularisme
229.
Sekularisme adalah, sistem etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi
atau pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada Tuhan, Kitab suci, dan hari
kemudian (Juhaya S.P. 2003). Sedangkan menurut

Encyclopedia

Americana

lebih

menonjolkan sekularisma sebagai sesuatu sistem etika yang didasarkan atas prinsip-prinsip
moralitas alamiah dan bebas dari agama wahyu dan spiritual.
230.
Prinsip esensial dari sekularisme ini ialah mencari kemajuan manusia dengan alat
materi semata-mata. Dengan demikian, jelaslah bahwa sekularisme masuk dalam kategori
materialisme. Tokoh pendiri sekularisme adalah Jacob Holyaoke yang merupakan bentuk

peniadaan peran warna Kristiani pada seluruh kehidupan Barat, baik politik, ekonomi, sosial,
maupun budaya pada umumnya.
231.
21. Pertanyaan:
232.
Siapa Saja Ilmuwan Fisika yang Berkontribusi dalam Filsafat?
233.
Jawab:
234.
a

Kontribusi Ilmuwan Fisika dalam Filsafat

Aristoteles
235.
Dibidang ilmu alam ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan
mengklasifikasikan spesies-spesial biologi secara sistematis. Karyanya ini meggambarkan
kecenderungannya akan analisis kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan
pada alam.
236.
Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia
ada (eksis), hal tersebut berlawanan dengan Plato yang menyatakan teori tentang bentuk-bentuk
ideal benda. Pemikiran lainnya adalah tentang gerak dimana dikatakan semua benda bergerak
menuju satu tujuan, sebuah pendapatyang dikatakan bercorak teleologis. Karena benda tidak
dapat bergerak dengan sendirinya maka harusada penggerak dimana penggerak itu harus
mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang
kemudian disebut Theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang berarti Tuhan.
237.
Logika Aristoteles adalah suatu hukum berpikir deduktif (Deduktive
Reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran
tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula
pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif ( Indutive Thinking). Hal lain dalam
kerangka berpikir yang menjadi sumbangan penting Aristoteles adalah Silogisme yang
digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari dua kebenaran yang telah ada.
Misalkan ada 2 pernyataan (premis) :
1 Setiap manusia pasti akan mati (premis mayor)
2 Sokrates adalah manusia (premis minor) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sokrates
pasti akan mati.
238.
b Archimedes
239.
Archimedes menemukan cara menghitung volume benda yang tidak memiliki
bentuk baku. Archimedes diperintahkan raja Hiero II untuk memeriksa apakah mahkota raja
terbuat dari emas murni ataukah mengandung tambahan perak. Saat archimedes berendam
dalam bak mandinya, dia melihat bahwa air yang bertumpah keluar sebanding dengan besar
tubuhnya. Archimedes menyadari bahwa efek ini dapat digunakan untuk menghitung volume
dan isi dari mahkota tersebut. Dan membagi berat mahkota dengan volume air yang
dipindahkan, kerapatan dan berat jenis mahkota dapat diperoleh. Berat jenis mahkota lebih
rendah daripada berat jenis emas murni apabila pembuat mahkota tersebut berlaku curang dan
menambahkan perak atau dengan logam yang berat jenisnya lebih rendah. Seperti itulah
Archimedes mendapatkan pengetahuannya. Dan sampai sekarang, hukum Archimedes masih
digunakan dalam ilmu fisika.
240.

Newton

241.
Pertengahan abad ke-17 adalah periode pembenihan ilmu pengetahuan.
Penemuan teropong bintang dekat permulaan abad itu telah merombak seluruh pendapat
mengenai ilmu perbintangan. Filosof Inggris, Francis Bacon dan Filosof Perancis, Rene
Descartes kedua-duanya berseru kepada ilmuwan seluruh eropa agar tidak lagi menyandarkan
diri pada kekuasaan Aristoteles, melainkan melakukan percobaan dan penelitian penelitian atas
dasar titik tolak dan keperluan sendiri. Apa yang dikemukaan oleh Bacon dan Descartes, sudah
dipraktekkan oleh sihebat Galileo. Penggunaan teropong bintang, penemuan baru untuk
penelitian astronomi oleh Newton telah merevolusionerkan penyelidikan bidang itu, dan yang
dilakukannya hukum mekanika telah menghasilkan apa yang kini terkenal dengan sebuatan
Hukum Geark Newton yang pertama.
242.
Dengan berbagai hasil karya ilmiah yang dicapainya, Newton menulis sebuah
buku Philosopiae Naturalis Principia Mathematica. Newton mengembangkan teori kalkulus.
Newton merupakan orang pertamayang menjelaskan tentang teori gerak dan berperan penting
dalam merumuskan gerakan melingkar dari hukum Kepler, dimana Newton memperluah
hukum tersebut dengan beranggapan bahwa suatu orbit gerakan melingkar tidak harus selalu
berbentuk lingkaran sempurna (seperti Elipse, hiperbola, dan parabola). Newton menemukan
hukum warnaketika melakukan percobaan dengan melewati sinar putih pada sebuah prisma, dia
juga percaya bahwa sinar merupakan kumpulan dari partikel-pertikel. Newton juga
mengembangkan hukum tentang pendinginan yang didapatkan dari teori binomial, dan
menemukan sebuah prinsip momentumdan angular momentum.
243.
Penerbitan pertama penemuannya adalah menyangkut penjugkir-balikan
anggapan lama tentang hal-ihwal cahaya. Dalam serentetan percobaan yang seksama, Newton
menemukan fakta bahwa apa yang lazim disebut orang cahaya putih sebenarnya tak lain dari
campuran semua warna yang terkandung dalam pelangi. Dan iapun dengan sangat hati-hati
melakukan analisa tentang akibat-akibat hukum pemantulan dan pembiasan cahaya. Berpegang
pada hukum ini dia pada tahun 1668 merancang dan sekaligus mebangun teropong refleksi
pertama, model teropong yang dipergunakan oleh sebagian besar penyelidik bintang-bintang
saat ini.
244.
245.
Dampier, W.C, 1944
246.
22. Pertanyaan:
247.
Bagaimana Perbedaan Permasalahan antara Kajian Ontologi, Epistomologi
dan Aksiologi?
248.
Jawaban:
249.

Menurut Wibisono (2001) ketiga bidang filsafat tersebut secara terperinci

dapat dibagi lagi berdasarkan pembahasannya yaitu :


1. Bidang ontologi mempermasalahkan a. Apakah hakikat yang ada (being, sein) b. Apakah yang
ada itu sesuatu yang tetap, abadi atau terus menerus berubah c. Apakah yang ada itu sesuatu
2.

yang abstrakuniversal atau yang konkrit individual.


Bidang epistemoligo mempermasalahkan : a. Apakah sarananya dan bagaimana caranya untuk
mempergunakan sarana itu guna mencapai pengetahuan, kebenaran atau kenyataan (akal, akal

budi, atau kombinasinya). b. Apakah tolak ukur bagi sesuatu yang dinyatakan sebagai yang
benar dan yang nyata yang terus menerus dicari oleh ilmu pengatahuan.
3. Bidang aksiologi mempermasalahkan : a. Nilai dan norma b. Apa makna dan tujuan hidup ini
dan nilainilai mana yang secara imperatif harus dipenuhi.
250.
251.

Dengan perbedaan tersebut filsafat mencoba menunjukkan bagaimana upaya manusia yang

tidak pernah menyerah untuk menentukan kebenaran atau kenyataan secara kritis, mendasar dan
integral karena itu dalam filsafat proses yang dilalui merupakan suatu refleksi, kontemplasi,
abstraksi, dialog, evaluasi menuju suatu sintesa permasalahan. Penegasan tersebut dapat
dipahami karena ilmu pengetahuan dalam penerapannya mengenakan ukuran. Ukuran pertama
adalah dimensi fenomenal yaitu ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat
sebagai proses dan sebagai produk.
252. Kaidah yang melandasinya adalah universalisme, komunalisme, dis-interestedness dan
skepsisme yang terarah dan teratur. Ukuran kedua adalah dimensi strukturalnya yaitu bahwa
ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, objek sasaran yang hendak
diteliti yang sedang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas darar motif dan
tata cara tertentu, sedang hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem.
253.

Anda mungkin juga menyukai