Anda di halaman 1dari 3

Nama: Aulia Effryanti Maulidani Nasution

Kelas/ NIM: HI 4 B / 11151130000043

Review: Feminisme dalam Teori HI oleh Jacqui True

Feminisme adalah suatu teori Hubungan Internasional yang lahir pada akhir tahun
1980an hingga awal tahun 1990an. Sebagai bagian dari teori post positivisme, teori ini
percaya adanya kaitan antara ilmu pengetahuan dan power. Ilmu pengetahuan sosial yang
dipelajari oleh pelajar-pelajar di seluruh belahan dunia dibentuk oleh orang-orang yang
memiliki power, sehingga dengan demikian dapat memperkuat power yang dimilikinya. Oleh
karena itu, bagi feminisme, tidak ada objektivitas dalam ilmu pengetahuan sosial.

Feminisme memperkenalkan gender sebagai kategori analisis untuk memahami


power dalam dunia global. Sesuai dengan namanya, feminisme melihat adanya marginalisasi
perempuan baik dalam politik domestik maupun perempuan. Selain itu, dalam memahami
aktor internasional, alih-alih hubungan antar negara, feminisme lebih fokus pada analisa
aktor-aktor transnasional (non-negara) dan transformasi mereka dalam politik global. Aktor-
aktor tersebut dianggap termarginalisasi oleh teori-teori dengan pendekatan positivis yang
menganggap mereka adalah subjek derivatif dari aktor negara. Peristiwa 9/11 memperkuat
posisi feminisme di antara teori HI lainnya dengan kenyataan bahwa aktor transnasional yang
merasa termarginalisasi bisa mempengaruhi stabilitas internasional.

Dalam menganalisa fenomena politik domestik dan global, feminisme dibagi menjadi
dua generasi. Generasi pertama membahas reformulasi teori menurut feminisme. Mereka
memperdebatkan ontologi dan epistemologi yang digunakan oleh positivis, sehingga tak
jarang mereka dilibatkan dalam Debat Ketiga antara positivisme dan postpositivisme.
Kemudian, generasi kedua melihat fenomena-fenomena kebijakan luar negeri, ekonomi
politik internasional, dan keamanan dengan kacamata gender. Generasi kedua inilah yang
mengembangkan teori feminisme dalam HI.

Untuk memahami feminisme lebih lanjutnya, pembahasan dibagi menjadi beberapa


bagian feminisme, yaitu empirical feminism, analytical feminism, dan normative feminism.
Empirical feminism adalah jenis feminisme yang menginvestigasi penyebab wanita selalu
diabaikan dalam studi HI dengan kerangka empiris. Empirical feminism seakan-akan
menentang isi positivisme yang terlalu state-centric namun di sisi lain, ia mengambil sisi
epistemologinya. Jenis feminisme ini menganggap bahwa neorealisme dan neoliberalisme
membuat teori tentang politik internasional yang menjamin agar politik feminin (hal-hal
dilakukan dalam HI yang menggunakan politik domestik secara halus) tidak terlihat sehingga
agenda penelitian mereka tetap berjalan. Padahal, politik domestik juga harus diperhatikan
dengan memberdayakan wanita agar terdidik, memiliki perekonomian yang kuat, dan selalu
sehat, sehingga pendapatan keluarga pun dapat bertambah dan mengurangi jumlah populasi
dalam negara berkembang. Selain itu, dominasi maskulinitas seperti perang dan power
membuat wanita lebih menderita. Dengan adanya perang, beban wanita sebagai perawat
anak-anaknya semakin besar.

Analytical feminism selanjutnya ingin mengungkap adanya bias gender yang


menyebar dalam konsep hubungan internasional dan menghambat pemahaman yang akurat
dan komprehensif mengenai hubungan internasional. Mereka mengungkap adanya konstruksi
sosial mengenai maskulin dan feminin yang asimetris dan bukan termasuk perbedaan secara
biologis. Dalam jenis ini, dikenal konsep hegemonic masculinity yang diasosiasikan
dengan otonomi, kedaulatan, objektivitas, dan universalisme dimana maksud konsep
femininity ialah ketidakadaan atau kurangnya hal-hal tersebut. Adapun normative feminism
memperlihatkan proses menerjemahkan fenomena hubungan internasional ke dalam suatu
teori sebagai bagian dari agenda untuk merubah dunia. Mereka menggunakan konteks sosial,
konteks politik, dan subjektivitas sebagai bagian dari penjelasan teoritis. Berdasarkan
perspektif normative feminism, perbedaan gender bukanlah dilihat karena adanya hubungan
antara maskulin dan feminin, namun mengenai politik ilmu pengetahuan, bagaimana dan
siapakah yang berada pada puncak hirarki.

Namun, di balik analisa feminisme terhadap fenomena internasional, feminisme


masih memiliki berbagai kekurangan. Empirical feminism, yang menyatakan bahwa analisa
gender sebagai aspek empiris dalam hubungan internasional, dapat menimbulkan interpretasi
bahwa tipologi feminisme ini telah keluar dari ranah postpositivisme. Pasalnya, dalam
menganalisa fenomena wanita dalam politik global, ilmuwan empirical feminism
menggunakan pendekatan-pendekatan empiris layaknya positivisme.

Misalnya, penelitian yang dilakukan Mary Caprioli dan Mark Boyer mengenai kaitan
antara kesetaraan gender domestik dengan intensitas penggunaan kekerasan negara tersebut
dalam ranah internasional. Dalam penelitian ini, mereka menggunakan indikator statistik
untuk mengukur kesetaraan gender, seperti tingkat partisipasi wanita dalam parlemen dan
penggunaan hak pilih. Hal ini kemudian dikritik oleh banyak ilmuwan Feminisme lainnya.
Bagi mereka, rasanya tidak tepat menggunakan indikator statistik untuk memahami tingkat
kesetaraan gender dimana hal tersebut sebenarnya terjadi karena adanya labelling pada
wanita yang membuat wanita jauh dari posisi power.

Kekurangan lainnya ialah bahwa teori feminisme masih homogen dalam


memperlakukan wanita tanpa memperhatikan faktor lain. Teori feminisme yang dikenal
dalam teori HI seakan-akan hanya berfokus pada subordinasi yang dialami oleh wanita Barat,
dimana mereka masih bisa dikatakan sebagai wanita yang berkedudukan. Hal ini
dinyatakan demikian karena pada saat abad 20 hingga sekarang, peradaban Barat
mendominasi dunia. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Chandra Mohanty, masih ada
wanita dari Dunia Ketiga yang lebih menderita dari wanita Barat. Mereka kelaparan, tidak
berpendidikan, miskin karena faktor budaya, ras, dan lokasi geografis mereka yang jelas
berbeda keadaannya dengan wanita Barat. Oleh karena itu, dalam menganalisa subordinasi
gender, feminist seharusnya lebih memperhatikan faktor subjektif, seperti ras, suku, budaya,
dibandingkan membuat suatu pemahaman universal mengenai wanita.

Anda mungkin juga menyukai