Feminisme adalah suatu teori Hubungan Internasional yang lahir pada akhir tahun
1980an hingga awal tahun 1990an. Sebagai bagian dari teori post positivisme, teori ini
percaya adanya kaitan antara ilmu pengetahuan dan power. Ilmu pengetahuan sosial yang
dipelajari oleh pelajar-pelajar di seluruh belahan dunia dibentuk oleh orang-orang yang
memiliki power, sehingga dengan demikian dapat memperkuat power yang dimilikinya. Oleh
karena itu, bagi feminisme, tidak ada objektivitas dalam ilmu pengetahuan sosial.
Dalam menganalisa fenomena politik domestik dan global, feminisme dibagi menjadi
dua generasi. Generasi pertama membahas reformulasi teori menurut feminisme. Mereka
memperdebatkan ontologi dan epistemologi yang digunakan oleh positivis, sehingga tak
jarang mereka dilibatkan dalam Debat Ketiga antara positivisme dan postpositivisme.
Kemudian, generasi kedua melihat fenomena-fenomena kebijakan luar negeri, ekonomi
politik internasional, dan keamanan dengan kacamata gender. Generasi kedua inilah yang
mengembangkan teori feminisme dalam HI.
Misalnya, penelitian yang dilakukan Mary Caprioli dan Mark Boyer mengenai kaitan
antara kesetaraan gender domestik dengan intensitas penggunaan kekerasan negara tersebut
dalam ranah internasional. Dalam penelitian ini, mereka menggunakan indikator statistik
untuk mengukur kesetaraan gender, seperti tingkat partisipasi wanita dalam parlemen dan
penggunaan hak pilih. Hal ini kemudian dikritik oleh banyak ilmuwan Feminisme lainnya.
Bagi mereka, rasanya tidak tepat menggunakan indikator statistik untuk memahami tingkat
kesetaraan gender dimana hal tersebut sebenarnya terjadi karena adanya labelling pada
wanita yang membuat wanita jauh dari posisi power.