Anda di halaman 1dari 12

Fadhly Nurman Hassanal Abdullah

11151130000062/Politik Islam Global

MENINGKATNYA ISLAMOPHOBIA DAN PENGARUHNYA BAGI


PENGANUT AGAMA ISLAM DI PERANCIS
Pendahuluan

Ajaran Islam di Eropa telah hadir dan berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Islam
hadir dengan mencoba memperluas wilayah kekuasaanya ke negara Andalusia pada 756-1492
di Semenanjung Iberia, dan kemudian melalui Sisilia, serta penguasaan Balkan oleh
kekhalifahan Utsmaniyyah pada 1389. Kemudian kehadiran Islam di Eropa hadir karena
adanya imigrasi umat Islam dari negara-negara Islam ke negara di wilayah Eropa pasca Perang
Dunia Kedua. Meskipun masyarakat di Eropa pada saat itu mayoritas memeluk ajaran agama
non Islam, namun perkembangan Islam di Eropa tergolong sangat pesat. Namun, hingga
sampai saat ini penduduk yang beragama Islam masih menjadi golongan minoritas di tanah
Eropa.

Selain itu, Eropa juga dikenal sebagai kawasan yang menjunjung tinggi
multikulturalisme. Untuk lebih memahami definisi multikulturalisme, mengutip Bikhu Parekh
dalam bukunya Rethinking Multiculturalism, multikulturalisme adalah keanekaragaman atau
perbedaan yang dilekatkan secara kultural. Dalam proses pelekatan ini dibutuhkan toleransi
untuk menerima kelompok lain sebagai suatu kesatuan dengan melepaskan dinding-dinding
perbedaan. Sejarah peperangan yang telah terjadi membuat Eropa membangun identitas
bersama sehingga mencapai integrasi yang sedemikian rupa. Nilai-nilai universal seperti
demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan toleransi terhadap perbedaan telah menjadi nilai-
nilai bersama (shared values) Eropa dibawah konsep multikulturalisme.1

Pasca terjadinya Perang Dunia Kedua yang telah menghancurkan sebagian besar negara
di Eropa, pembangunan di kawasan tersebut membutuhkan tenaga pekerja dari luar Eropa
untuk membangun kembali infrastruktur yang sudah hancur. Mayoritas negara-negara Eropa
mempekerjakan para pekerja dari negara-negara Islam, seperti Aljazair, Maroko, India dan
Turki.2 Data statistik terakhir mengenai demografis Eropa menunjukkan bahwa orang Islam di
Eropa (Uni Eropa) berjumlah 4% dari total penduduk Eropa atau sekitar 23 juta pada 2003
meski data yang tercatat sekitar 15,5 juta. Presentase ini jauh lebih besar di Eropa Barat di

1
Modood, Tariq, Andafyllidou, Anna Tri dan Zapata-Barrero, Richard. 2006. Multiculturalism, Muslim and
Citizenship: A European Approach. New York: Routledge
2
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 110. 2008
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

mana pertumbuhan populasi Muslim sungguh cepat. Padahal pada 1982, populasi muslim di
Eropa hanya 6,8 juta atau hanya 1,6%.

Bahkan dalam tiga dekade sebelumnya yakni pada 1950-an, populasi Muslim berada
dibawah 0,5%. Jumlah tersebut masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan populasi
minoritas lainnya seperti Yahudi dan Gipsi. Namun, dalam kurun waktu tiga dekade ini, telah
terjadi peningkatan yang sangat signifikan terhadap jumlah populasi Muslim di Eropa.3 Adanya
kedatangan para pekerja Muslim membuat perkembangan penduduk Muslim di Eropa semakin
berkembang pesat, bahkan sampai para pekerja tersebut berkeluarga dan bahkan sampai
memiliki keturunan di negara mereka bekerja. Tidak sedikit dari imigran membawa keluarga
mereka dan menetap di Perancis. Sebagian besar dari imigran itu berasal dari ras negroid dan
beragama Islam.

Adanya proses shock culture dari pekerja Muslim tersebut membuat mereka mengalami
kesulitan untuk membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat mereka
bekerja. Hal tersebut menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada kerusuhan dan
kekerasan. Adanya kejadian-kejadian tersebut menjadikan masyarakat negara setempat
memandang negatif Islam. Masalah ini membuat kondisi politik dan sosial di negara Eropa
bergejolak karena banyaknya jumlah imigran Muslim di Eropa terutama di Perancis.
Permasalahan imigran ini juga digunakan oleh partai ekstrim kanan yang cenderung nasionalis
untuk mengajak masyarakat Perancis bersikap Xenophobia. Mereka menolak imigran karena
dianggap mengganggu stabilitas masyarakat Perancis. Ketakutan akan pendatang sudah
menjadi momok bagi sebagian masyarakat Perancis.

Nicholas Sarkozy, mantan presiden Perancis adalah satu contoh nyata dari orang yang
anti imigran.4 Masalah Xenophobia ini kemudian berkembang menjadi masalah yang lebih
spesifik yaitu Islamophobia. Terlebih lagi dengan banyaknya aksi teror yang dilakukan oleh
teroris yang berbau Islam membuat masyarakat Eropa khususnya di Perancis semakin
ketakutan untuk hidup berdampingan dengan masyarakat pendatang muslim. Pandangan
negatif yang terbentuk mengenai Muslim di Perancis memunculkan isu-isu yang menyudutkan
umat Muslim yang menetap disana. Salah satu isu yang muncul dan berpengaruh terhadap

3
Savage, Timothy M. Europe and Islam: Crescent Waxing, Cultures Clashing, The Washington Quarterly
Summer 2005 Vol. 27:3, hlm. 25-50
4
The New York Times, 5 Agustus 2010
(http://www.nytimes.com/2010/08/06/opinion/06fri2.html?_r=0) diakses pada 7 November 2017 pkl 09:34 WIB
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

kehidupan Muslim adalah adanya pelarangan simbol-simbol keagamaan di lingkungan


pendidikan pada 2003.

Adanya beberapa isu yang muncul tentang pelarangan simbol agama membuat pengaruh
yang signifikan terhadap negara-negara Eropa. Negara-negara Eropa lainnya seperti Belgia,
Swiss dan Spanyol juga berusaha untuk merancang dan mengesahkan Rancangan Undang-
Undang (RUU) yang serupa dengan negara Perancis. Perlahan tapi pasti, Perancis memulai
untuk memperluas cakupan undang-undang pelarangan simbol keagamaan di lingkungan
pendidikan. Undang-undang pelarangan pemakaian simbol keagamaan ternyata tidak hanya
berlaku di lingkungan pendidikan, akan tetapi pelarangan tersebut juga berlaku di tempat-
tempat yang memberikan pelayanan publik.5

Pemerintah Perancis menjadikan peraturan tersebut tentu saja bukan tanpa alasan. Alasan
utama pemerintah Perancis melarang pemakaian simbol keagamaan tersebut merupakan
sebuah pertentangan dari prinsip dasar laicite di Perancis.6 Masyarakat Perancis menganggap
laicite adalah sebuah konsep yang menunjukkan identitas Perancis dan juga digunakan oleh
berbagai macam elemen di masyarakat Perancis sebagai pondasi dasar dari tindakan politik
dan budaya di Perancis. Bahkan konsep laicite ini digunakan oleh para ilmuwan dan politisi
untuk mempelajari apa yang terjadi dengan fenomena politik masa kini yang terjadi di
Perancis.7

Peraturan yang muncul tentang pelarangan penggunaan simbol keagaaman tentu saja
menimbulkan ketegangan yang mengganggu ketenangan umat Muslim saat itu antara Muslim
dan Non-Muslim yang merupakan warga mayoritas di Perancis. Aturan yang melarang simbol
agama pada 2010, yaitu jilbab, burqa dan niqab juga memicu kemarahan bagi kaum Muslim.
Pihak-pihak yang dianggap melanggar aturan tersebut ditangkap meskipun tidak semuanya
dijatuhi hukuman. Adanya berbagai penangkapan tersebut merupakan hal yang menarik
mengingat penggunaan simbol agama tersebut bagi seorang perempuan Muslim merupakan
sebuah pilihan dan juga merupakan salah satu dari bentuk kebebasan beragama bagi seorang
wanita Muslim yang taat kepada Tuhan-nya.

5
Faiza Zeroula, Headscarf ban turns Frances Muslim women towards homeworking, 3 oktober 2014, diakses
pada 7 November 2017, tersedia di http://www.theguardian.com/world/2014/oct/03/france-Muslim-women-
home-working;
6
Raphael Liogier, Laicite on the Edge in France: Between the Theory of Church-State Separation and the
Praxis of States-Church Confusion, Macquarie Law Journal vol 9 (2009): 26
7
Davis, Lifting the Veil: Frances New Crusade, 120.
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

Pembahasan

Salah satu negara Eropa Barat yang mempunyai sentimen negatif dengan Islam adalah
Perancis. Padahal Perancis adalah rumah bagi sebagian besar komunitas Muslim di Eropa.
Perkembangan Islam yang begitu signifikan di Perancis menjadikan agama tersebut sebagai
agama terbesar kedua setelah Kristen.8 Dengan jumlah Muslim sekitar enam persen dari total
penduduk Perancis9, Islam dipandang sebagian masyarakat Perancis sebagai sebuah ancaman
yang mampu mengancam kedaulatan dan nilai-nilai negara Perancis.10 Pandangan negatif yang
terbentuk mengenai Muslim di Perancis memunculkan isu-isu yang menyudutkan penduduk
Muslim. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan perlakuan diskriminatif terhadap
minoritas Muslim di Perancis seperti yang dikatakan oleh Morgane Hoarau dan Patrycja Sasnal
bahwa semakin banyak Muslim minoritas satu negara di Eropa, maka tingkat perlakuan
diskriminatif di negara tersebut juga akan meningkat.11
Imigran Muslim yang berada di Perancis pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman
hingga pada saat generasi kedua dan ketiga tumbuh, barulah Perancis menganggap bahwa
Muslim mampu memunculkan masalah serta ancaman bagi Perancis. Bagi sebagian penduduk
Perancis, kehadiran jutaan umat Islam di Perancis dianggap sebagai ancaman bagi pondasi
sekulerisme dan demokrasi yang telah terbangun sejak ratusan tahun yang lalu di negara
tersebut. Kekhawatiran penduduk Perancis itu didasari oleh meningkatnya jumlah populasi
Muslim di Perancis yang kemudian juga meningkatkan tingkat kegiatan peribadatan Muslim
disana.
Selain itu meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas keagamaan, minoritas Muslim
Perancis diperkirakan berpotensi melahirkan gerakan-gerakan radikalisme Islam ekstrimis
yang dapat mengganggu stabilitas keamanan di Perancis. Hal ini diperjelas oleh Caesari dengan
berbagai fakta seperti kondisi dimana Islam mulai menanamkan etnisitas di tengah-tengah
Perancis dengan Jilbab sebagai simbolnya, isu politik dengan pendirian masjid yang
menguatkan eksistensi Islam, serta privatisasi terhadap Islam atas penggunaan simbol
agamanya di tengah-tengah masyarakat Perancis.

8
Jocelyne Caesari, Islam in France: The Shaping of a Religious Minority, dalam Muslims in the West, from
Sojourners to Citizens, ed. Yvonne Haddad-Yazbek, (New York: Oxford University Press, 2002), 36.
9
Britton D. Davis, Livting the Veil: Frances New Crusade, 34 B.C. Intl & Comp. L. Rev. 117 (2011),
http://lawdigitalcommons.bc.edu/iclr/vol34/iss1/6.
10
Robert JPauly, Islam in France dalam Islam in Europe: Integration or Marginalization? (Burlington:
Ashgate Publishing Company, 2004), 42-45.
11
Morgane Hoarau dan Patrycja Sasnal, The Rise of Islamophobia in Europe, The Polish Institue of
International Affair. No 55, (2013): 509.
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

Dengan banyaknya perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh warga mayoritas di


Perancis dan juga adanya faktor kesamaan identitas di antara para imigran Muslim juga ikut
memperbesar peluang munculnya organisasi-organisasi Muslim di Perancis. Organisasi
Muslim di Perancis ini banyak yang dibentuk utuk mempresentasikan identitas asal mereka
seperti Muslim Algeria yang diwakili oleh Grande Mosquee de Paris (GMP), The National
Federation of Muslims in France (Federation Nationale des Musulmans de France, (FNMF))
yang mewakili Muslim asal Maroko dan Muslim Turki yang bernaung di bawah Coordination
Comitte of Turkish Muslims in France (Comite de Coordination des Musulmans Turcs de
France, Milli Gorus (CIMG France).12
Negara yang menganut paham laicite ini memiliki tingkat pertambahan Muslim yang
cukup signifikan setiap tahunnya baik itu yang berasal dari luar Perancis maupun dari para
mualaf. Laicite melindungi warga negara Perancis dari tekanan kelompok minoritas yang
mengancam identitas sekuler Perancis, terutama dari kelompok yang bersifat religius. Selama
berabad-abad, perlindungan ini fokus pada pengurangan pengaruh Gereja Katolik.13 Negara
yang menganut laicite ini didominasi oleh penduduk Katolik. Namun pada 2007, penelitian
yang dilakukan oleh Catholic World News, jumlah pemeluk Katolik di Perancis menurun
menjadi 51%. Sementara itu, dari sumber yang sama juga menunjukkan 31% diidentifikasikan
sebagai Atheis, 10% dari agama lain, 4% Islam, 3% Protestan, 1% Budha dan 1% Yahudi.
Menyinggung fenomena Islamophobia, istilah Islamophobia sendiri adalah sebuah
perasaan ketakutan atau kebencian terhadap Islam, orang-orang yang memeluk Islam bahkan
budaya Islam.14 Istilah ini muncul pertama kali pada 1922 dalam sebuah essai yang berjudul
LOrient vu delOccident karya Etienne Dinet, seorang tokoh orientalis asal Perancis. Pada
1990-an Islamophobia dijadikan sebuah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan
perlakuan diskriminatif yang diterima oleh umat Islam di wilayah Eropa Barat.
Secara garis besar, Islamophobia memiliki maksud dan makna yang mengarah pada
suatu keseragaman mengenai terbentuknya ideologi atau sebuah pemikiran ketakutan yang
dianggap tidak wajar dalam Islam. Adanya perasaan ketakutan yang tidak wajar ini menjadikan
sebuah akar pemikiraan yang menganggap bahwa semua kaum Muslim atau pemeluk agama
Islam adalah pengikut yang fanatik dan mereka menggagap hal tersebut berpotensi

12
Zwilling, Main Muslim Organisation in France, 189-190.
13
Davis, Op.cit., 122.
14
Muhammad Qobidl Ainul Arif. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam
Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 1. 2014.
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

menimbulkan keresahan karena orang muslim berpotensi melakukan kekerasan terhadap orang
Non-Muslim, bahkan orang Eropa mengganggap ajaran Islam menolak nilai-nilai seperti
toleransi antar umat, belas kasihan, bahkan demokrasi.15
Pada 2001 di Amerika Serikat terjadi peristiwa 9/11 yang memberikan dampak buruk
sangat mendalam bagi citra dunia Islam. Efek adanya penyerangan tersebut membuat negara-
negara di dunia memproteksi negara mereka dengan sangat ketat dari ancaman terorisme, tidak
terkecuali negara-negara di Eropa. Penyerangan tersebut sontak saja membuat Muslim di Eropa
khawatir karena pemerintah negara yang mereka tempati akan melakukan sesuatu yang tidak
menyenangkan untuk mereka. Bahkan hampir semua negara Eropa memperluas kajian hukum
negara mereka untuk meredam ancaman potensial, terutama terorisme, yang akan timbul dari
populasi Muslim di masing-masing negara di Eropa.
Tindakan teror tersebut membuat adanya peningkatan Xenophobia yang sangat
signifikan di kawasan Eropa. Hingga sampai saat ini, Islamophobia masih terus terjadi bahkan
meningkat. Di Eropa, sejak abad kedelapan masehi gejala kebencian terhadap Islam telah
muncul di Eropa. Adanya pola pikir yang terkonstruksi oleh masyarakat Eropa tentang Islam
sudah dijelaskan dalam teori Konstruktivisme bahwa sistem internasional yang terbentuk saat
ini mengenai Islamophobia merupakan sekumpulan ide, pemikiran dan norma yang
dikreasikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian mengenai hal itu, khususnya adalah
orang-orang yang menjadi korban dalam tragedi-tragedi yang dilakukan oleh teroris untuk
menyudutkan agama Islam.16 Dengan begitu, masyarakat Eropa yang merupakan korban
tersebut merasa mempunyai hak untuk memperluas Islamophobia di negaranya bahkan di
seluruh dunia.
Di masa kini, indikasi mengenai penyebaran Islamophobia di Eropa Barat telah
dibuktikan dengan adanya laporan dari The European Centre on Racism and Xenophobia
(EUMC), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemantau Eropa, mengenai Laporan
Islamophobia di Uni Eropa pasca tragedi 9/11.17 Laporan tersebut mengatakan bahwa
penduduk Muslim di Eropa mengalami kondisi yang kurang menguntungkan. Adanya bukti-
bukti mengenai merebaknya Islamophobia di Eropa serta pengucilan terhadap komunitas

15
Daniel Norman. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University Press. Vide. 1980.
16
Robert Jackson dan Sorensen. (2006) Introduction to International Relations Theories and Approaches. 162-
164
17
Chris Allen dan Jorgen S. Nielsen. Summary Report on Islamophobia in the EU after 11 September 2001
fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-report_en.pdf diakses 31 Oktober 2017 pukul 8:21
WIB
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

Muslim di Eropa yang mengarah kepada radikalisasi semakin meningkatkan perdebatan di Uni
Eropa.18
Munculnya beberapa permasalahan diantara kaum mayoritas dengan minoritas Muslim
di Eropa seperti Islamophobia, identitas, makanan, aktivitas keagamaan dan juga permasalahan
simbol keagamaan. Dari beberapa masalah di atas, terdapat beberapa permasalahan yang
belakangan ini telah menjadi topik hangat di Eropa bahkan dunia karena permasalahan tersebut
meninggalkan ketegangan antara minoritas Muslim dengan mayoritas Non-Muslim di Eropa.
Permasalahan mengenai larangan penggunaan simbol keagamaan yang awalnya diberlakukan
bagi seluruh agama di beberapa negara di Eropa namun kenyataannya adalah mengarah kepada
agama Islam.
Hal ini dapat dilihat dari data, bahwa dari tahun 2001 hingga 2004, terdapat banyak
sekali penyerangan yang dilakukan terhadap tempat ibadah Islam. Selain itu berbagai macam
website anti-Islam juga sudah bermunculan di wilayah Perancis. Terlebih lagi hal tersebut
sudah masuk ke ranah individu, salah satunya adalah pelarangan perempuan Muslim
menggunakan hijab. Fenomena ini lebih dikenal dengan Hijaphobia. Bahkan hijab
dikategorikan dengan simbol fundamentalis yang dianggap sebagai ancaman oleh mayoritas
warga Perancis.19
Perdebatan pelarangan penggunaan jilbab sejatinya sudah dimulai pada 1989 yang
terjadi pada tiga orang siswi yang dilarang mengikuti kegiatan belajar karena menggunakan
jilbab. Walaupun pada akhirnya mereka diperbolehkan untuk menggunakan jilbab, akan tetapi
efek yang ditimbulkan dari kejadian tersebut ternyata menimbulkan efek domino terhadap
sekolah lain karena terinspirasi untuk mengikuti adanya larangan penggunaan simbol agama di
tempat pendidikan Perancis. Selain itu, adanya penyerangan 9/11 juga menimbulkan kenaikan
retorika anti imigran yang kemudian membuat angka serangan terhadap Muslim meningkat.
Hal tersebut kemudian mendapat perhatian dari Jean Pierre Raffarin yang pada saat itu
menjabat sebagai Perdana Menteri. Di saat setelah terjadinya penyerangan tersebut, Jean Pierre
membuat pernyataan bahwa Perancis harus segera memberlakukan penggunaan jilbab di
sekolah umum.20

18
Stephen Castle. T.t. Islamophobia Takes a Grip Across Europe.
http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 31 Oktober 2017 pukul 9:41
WIB
19
Vincent Geisser. Islamohobia: A French Specifity in Europe? Human Architecture: Journal of the Sociology
of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.
20
Davis, The Veil that Covered Frances Eye, 743.
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

Sedangkan pada 2015 adalah masa dimana kaum Muslim diuji dengan banyaknya
kejadian terror di benua Eropa. Data yang dicatat Collectif Contre L'Islamophobie in France
(CCIF), tiga minggu sejak penyerangan Charlie Hebdo bulan Januari, terdapat 120 tindak
kriminal. Dalam laporan tahunan (2015) Commission Nationale Consultative des Droits de
L'Homme (CNCDH) yang menyatakan bahwa iklim diskriminasi di Perancis meningkat dalam
lima tahun terakhir. Survey yang diadakan oleh CNCDH tentang praktik keagamaan Islam,
shalat, dan makanan halal yang dianggap sebagai penghalang kehidupan bersama. Hampir
sekitar 47% penduduk Perancis beranggapan bahwa kaum Muslim memiliki dampak negatif
bagi Perancis di Perancis, hanya 26% yang beranggapan Muslim itu berdampak positif. Hal ini
membuktikan adanya radikalisasi terhadap opini publik terhadap Islamophobia.
Rangkaian peristiwa yang terjadi di Perancis pada 2015 menimbulkan kesalahan
pemahaman masyarakat Eropa antara terorisme dan Islam. Kesalahpahaman ini tidak hanya
terjadi di masyarakat saja, tapi menyeluruh pada tokoh politik dan jurnalis. Adanya kedua aktor
tersebut memegang peranan penting terjadinya radikalisasi pada kaum muda di Perancis.
Adanya ketidakpedulian dari mayarakat Perancis untuk mempelajari Islam secara mendalam
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Ketimpangan akses pendidikan, tingkat pengangguran
tinggi dan diskriminasi dalam dunia kerja.
Mengambil data dari The Polish Institute International Affairs yang mengutip data dari
Eurobarometer, diskriminasi terhadap Islam bertambah parah dari tahun ke tahun.
Islamophobia menjadi isu serius dalam multikulturalisme di Perancis. Data terbaru menyatakan
bahwa Perancis (66%) adalah negara dengan tingkat diskriminasi paling tinggi, kemudian
disusul oleh Belgia (60%), Swedia (58%), Denmark (54%), Belanda (51%), dan Inggris (50%).
Dibandingkan dengan tahun 2009, terlihat peningkatan signifikan di tahun ini pada Perancis
(66%) dan Belgia (60%). Persentase itu naik 30% dibandingkan tahun 2011, dan naik hampir
lima kali lipat dibandingkan 1992.21

21
Morgane Hoarau dan Patrycya Sasnal, 'The Rise of Islamophobia in France, The Polish Institute of
International Affairs, 2013 (https://www.pism.pl/files/?id_plik=13739) diakses pada 7 November 2017 23:56
WIB
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

Gambar 1.1 Diagram diskriminasi terhadap perempuan Muslim tahun 2015


Sumber: Laporan tahunan CCIF 2015

Data tahun 2015 yang diperlihatkan pada gambar 1.1 juga membuktikan bahwa 74%
diskriminasi Islamophobia terjadi pada perempuan terutama bagi yang mengenakan penutup
kepala. 79% masyarakat Perancis menganggap perempuan berkerudung adalah 'penghalang'
bagi 'kehidupan bersama' di Perancis. Ironisnya, penolakan besar-besaran masyarakat Perancis
terlihat di ranah publik, 93% responden menyatakan bahwa perempuan berkerudung tidak
memiliki tempat di Perancis.22
Adanya keterkaitan antara rezim hegemoni sekuler dan Kristen di Eropa memunculkan
benturan antara Islam dan entitas Eropa sendiri. Adanya hubungan yang kompleks antara
Kristen dan sekulerisme di Eropa menjadikan Islam sebagai ancaman yang akan terus
berkembang di Eropa seiring dengan stabilnya pertumbuhan Muslim disana dan juga
kebudayaan-kebudayaan Islam yang dibawa para imigran seperti jilbab, niqab dan burqa.23
Perbedaan Islam dan Eropa menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan Eropa.
Eropa yang terbentuk dari beragam negara dan bertujuan untuk menciptakan kesatuan
transnasional di luar negara-negara dan menawarkan kerangka politik baru untuk hak-hak
demokratis dan kebebasan. Namun kedatangan Muslim memunculkan pertanyaan mengenai
entitas Eropa sebagai benua Kristen. Dalam hal ini, Eropa kemudian justru sedang berusaha
untuk mempertahankan identitas dan warisan budaya mereka agar tidak terdegradasi oleh
kebudayaan yang dibawa oleh imigran Muslim.

22
Pierre Tvanian, "Le voile mdiatique. Un faux dbat: l'affaire du foulard islamique',
Paris, Liber, 2005.
23
P.G. Danchin, Suspect Simbols: Value Pluralism as a Theory of Religious Freedom in International Law
Yale Journal of International Law. (2010): 21-22.
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

Kesimpulan

Munculnya Islamophobia di daratan Eropa membuat tingkat keamanan dan ketenangan


disana mengalami penurunan yang nyata. Terlebih lagi sejak terjadinya peristiwa World Trade
Center 11 September 2001 membuat seluruh Muslim di muka bumi ini khawatir dengan
keberadaannya yang mulai terganggu dengan adanya sentimen-sentimen negatif yang muncul
dari masyarakat internasional. Agama Islam dianggap paling bertanggung jawab atas
terjadinya beberapa keadian teror yang dilakukan oleh kaum ekstrimis. Prasangka anti Muslim
berkembang begitu cepat pada beberapa tahun setelah terjadinya serangan tersebut. Adanya
istilah Islamophobia dipercaya akan membuat posisi Muslim cukup tertekan.

Di kawasan Eropa, Islomphobia sudah dikenal cukup lama. Sekitar abad ke delapan
sebenarnya Islam sudah mulai dibenci karena perkembangannya yang sangat pesat saat itu.
Fenomena kebencian itu bahkan terus berlanjut hingga sampai saat ini. Dengan adanya
berbagai macam serangan teror yang terjadi daratan Eropa membuat posisi Islam semakin
terdesak. Bahkan kebencian tersebut sudah mulai tidak masuk diakal dengan berbagai macam
peraturan pemerintah negara untuk menyudutkan pemeluk agama Islam.

Perancis adalah salah satu negara di Eropa yang menerapkan peraturan pelarangan
simbol agama. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Perancis tergolong
mencerminkan ketidakberpihakkan terhadap warganya. Padahal konstitusi Perancis
mengatakan bahwa negara menjamin kesetaraan semua warganya di depan hukum, tanpa
membedakan suku asal, ras maupun agama. Dalam konstitusi tersebut negara juga diharuskan
untuk menghormati semua keyakinan yang ada di Perancis. Akan tetapi dengan adanya prinsip
laicite membuat kaum Muslim di Perancis merasa terpojokkan karena warga negara yang
beragama tidak diperbolehkan untuk menunjukkan identitas agamanya.

Dalam menanggapi fenomena tersebut, penganut agama Islam dapat menyikapi


kejadian tersebut sebagai sebuah refleksi untuk tidak terlalu mempersoalkan perihal mayoritas-
minoritas terkait Suku Ras Agama dan Antar Golongan, pentingnya menyadari perbedaan dan
kompleksitas perbedaan sebagai masyarakat multikultur, menjunjung tinggi hak asasi manusia,
serta kesetaraan hak dan kewajiban pada setiap individu. Aspek tersebut diharapkan tidak
hanya diterapkan pada individu saja, melainkan juga diterapkan pada politik, ekonomi, sosial
dan aspek lainnya dalam negara. Demikian adanya agar toleransi akan perbedaan pun tercipta
sehingga konflik tentang Islamophobia dapat dihadapi dengan baik.
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

Daftar Pustaka

Buku

Daniel Norman. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University
Press. Vide. 1980.

Davis, Lifting the Veil: Frances New Crusade, 120.

Davis, The Veil that Covered Frances Eye, 743.

Jocelyne Caesari, Islam in France: The Shaping of a Religious Minority, dalam Muslims in
the West, from Sojourners to Citizens, ed. Yvonne Haddad-Yazbek, (New York: Oxford
University Press, 2002), 36.

Modood, Tariq, Andafyllidou, Anna Tri dan Zapata-Barrero, Richard. 2006.


Multiculturalism, Muslim and Citizenship: A European Approach. New York: Routledge
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 110. 2008

Morgane Hoarau dan Patrycja Sasnal, The Rise of Islamophobia in Europe, The Polish
Institue of International Affair. No 55, (2013): 509.

Muhammad Qobidl Ainul Arif. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen
Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 1. 2014.

P.G. Danchin, Suspect Simbols: Value Pluralism as a Theory of Religious Freedom in


International Law Yale Journal of International Law. (2010): 21-22.

Pierre Tvanian, "Le voile mdiatique. Un faux dbat: l'affaire du foulard islamique',
Paris, Liber, 2005.

Robert Jackson dan Sorensen. (2006) Introduction to International Relations Theories and
Approaches. 162-164

Robert JPauly, Islam in France dalam Islam in Europe: Integration or Marginalization?


(Burlington: Ashgate Publishing Company, 2004), 42-45.

Savage, Timothy M. Europe and Islam: Crescent Waxing, Cultures Clashing, The
Washington Quarterly Summer 2005 Vol. 27:3, hlm. 25-50

Vincent Geisser. Islamohobia: A French Specifity in Europe? Human Architecture: Journal


of the Sociology of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.
Fadhly Nurman Hassanal Abdullah
11151130000062/Politik Islam Global

Zwilling, Main Muslim Organisation in France, 189-190.

Jurnal

Britton D. Davis, Livting the Veil: Frances New Crusade, 34 B.C. Intl & Comp. L. Rev.
117 (2011), http://lawdigitalcommons.bc.edu/iclr/vol34/iss1/6.

Chris Allen dan Jorgen S. Nielsen. Summary Report on Islamophobia in the EU after 11
September 2001 fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-report_en.pdf
diakses 31 Oktober 2017 pukul 8:21WIB

Raphael Liogier, Laicite on the Edge in France: Between the Theory of Church-State
Separation and the Praxis of States-Church Confusion, Macquarie Law Journal vol 9
(2009): 26

Website

Faiza Zeroula, Headscarf ban turns Frances Muslim women towards homeworking, 3
oktober 2014, diakses pada 7 November 2017, tersedia di
http://www.theguardian.com/world/2014/oct/03/france-Muslim-women-home-working

Morgane Hoarau dan Patrycya Sasnal, 'The Rise of Islamophobia in France, The Polish
Institute of International Affairs, 2013 (https://www.pism.pl/files/?id_plik=13739) diakses
pada 7 November 2017 23:56 WIB

Stephen Castle. T.t. Islamophobia Takes a Grip Across Europe.


http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 31 Oktober 2017 pukul
9:41
WIB

The New York Times, 5 Agustus 2010


(http://www.nytimes.com/2010/08/06/opinion/06fri2.html?_r=0) diakses pada 7 November
2017 pkl 09:34 WIB

Anda mungkin juga menyukai