Anda di halaman 1dari 5

DEMOGRAFI DAN IDENTITAS

Krisis demografi akibat pertumbuhan penduduk ras putih


eropa itu mendapatkan tantangan lain. Yaitu pertumbuhan
imigran. Mayoritas imigran di Perancis adalah dari Maroko,
Aljazair, Tunisia dan negara-negara Afrika yang dulu mereka
jajah. Sedangkan Inggeris dipenuhi oleh imigran Pakistan,
India dan Bangladesh. Adapun Jerman dengan imigran
Turkinya.

Para imimgran ini membawa nilai yang berbeda dari negara


yang mereka tinggali sekarang. Mereka mempunyai tradisi
keluarga yang lebih kuat, walaupun hari ini semakin terkikis.
Juga pada dasarnya tidak mempunyai trauma mentalitas
tanggung jawab keluarga dan anak.

Entitas Arab, Turki, Pakistan, Bangladesh atau India gemar


membuat anak. Di Perancis, angka pertumbuhan imigran
Turki adalah 3.21, Aljazair 2.57, Maroko 2.97, Tunisia 2.9. Di
UK angka rata-rata pertumbuhan itu 1.82 sedangkan di kota-
kota yang dipenuhi para imigran angka itu mencapai 2.34.

Angka-angka tersebut tidak hanya menunjukan perubahan


demografi, tapi juga perubahan sirkulasi uang. Dengan
sistematika yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak anak
berarti banyak generasi muda, yang berarti generasi tenaga
kerja. Generasi tenaga kerja lah yang menyerap uang sebuah
negara. Itulah sebabnya nasib imigran generasi pertama yang
datang dengan alakadarnya semakin membaik di generasi
kedua dan ketiga. Sekarang generasi ketiga memasuki mid-
management di lapangan kerja Eropa. Beberapa warga
keturunan bahwan menjadi pemimpin komunitas hingga kota
besar, seperti walikota Oxford, Lord Abbasi dan walikota
London Sadiq Khan.
Perubahan ini mengaburkan identitas Eropa sebagai western,
dengan definisi yang telah dijelaskan sebelunya. Tradisi
Kristen mereka kian terkikis digantikan Ateisme, dan jumlah
umat Islam yang dilahirkan di Eropa kian melonjak. Inilah kira-
kira yang melatari berbagai skenario yang mendiskreditkan
imigran (muslim), termasuk parade bom di kota-kota besar
Eropa. Gelombang anti imigran sedang dibangkitkan
sehingga mereka merasa tidak nyaman berada di Eropa.

Pendorong terbesar Brexit adalah krisis demografi ini. Mereka


ingin merebut kembali posisi-posisi sosial dan karir yang
dianggap selama ini diisi para imigran baik imigran Eropa
ataupun imigran non Eropa yang masuk UK setelah menjadi
warga negara Eropa. Tapi efek domino Brexit ini akan
dahsyat. Karena ia akan memicu keluarga negara-negara
eropa lain dari Uni Eropa, yang merupakan kekuatan
pemersatu di hadapan Amerika, Rusia dan Cina.

MUSLIM EROPA
Mentalitas para imigran muslim di Eropa generasi pertama
adalah seperti umumnya imigran di seluruh dunia. Mereka
datang sebagai tamu, karena membantu bangsa Eropa dalam
perang dunia ke-2 atau membantu membangun infrastruktur
pasca perang, ataupun berbagai alasan lain. Sayangnya
mentalitas ini terus diturunkan ke generasi ke dua dan ke tiga
(hari ini).

Mentalitas itu membuat umat Islam di Eropa merasa sebagai


orang asing yang menuntut perlakuan sama, sebagai warga
negara, dan merasa perlu membuktikan diri bahwa mereka
tidak berbeda dengan warga asli. Mereka perlu menunjukan
bahwa mereka juga mempunyai skil, talenta, memahami
bahasa juga budaya setempat untuk mendapat perlakuan
sebagai warga yang setara.

Dalam kehidupan keislaman, mentalitas seperti itu membuat


mereka begitu defensif dengan keislaman mereka.
Mempertahankan ibadah di tengah masyarakat materialis,
sampai mengisolasi diri dan mencukupkan hidup selama bisa
mendirikan masjid, membuka toko makanan halal dan bisa
memakai jilbab.

Seorang pembaharu hadir untuk menawarkan narasi baru,


yaitu Tariq Ramadan cucu Hasan al-banna. Ia banyak dikritik
oleh umat Islam sendiri karena tidak membai’at diri menjadi
anggota IM bentukan kakeknya, dan tidak meneruskan narasi
yang dibawa al-Banna. Tapi justru Tariq Ramadan menjawab
bahwa mentalitas kakeknya lah yang ia bawa dalam dakwah
internasionalnya. Yaitu mentalitas pembaharu. Artinya ia
membaca tren zaman, membuka lembaran-lembaran laporan
tentang tantangan geopolitik dimana dia dilahirkan (Swiss)
tinggal dan tumbuh, yaitu Eropa.

Maka Tariq Ramadan datang dengan sebuah gagasan


Muslim Eropa, bukan imigran yang mencoba bergabung
dengan masyarakat Eropa. Gagasan ini melampaui diskursus
Islam VS Barat. Karena dengan narasinya, ia membuka
perspektif baru bahwa Barat adalah lahan kosong, milik
bersama, siapapun yang lahir dan tinggal disana, dan
menolak definisi Barat secara ideologis.

Gagasan ini mempunyai pengaruh yang mendasar dalam


perubahan pola pikir umat Islam di Eropa dari imigran yang
meminta kesetaraan menjadi mentalitas pemilik asli kawasan
yang mencoba memimpin kaumnya, atau setidaknya
mewarnainya dengan nilai Islam.

Gagasan praktisnya adalah Islam and Ethics. Bahwa muslim


perlu percaya diri sebagai anak-anak asli negerinya di
berbagai negara Eropa untuk masuk berpartisipasi dalam
masyarakat, membina diri dengan pendidikan tertinggi, dan
menempati posisi-posisi paling berpengaruh di strata sosial
untuk satu tujuan, yaitu mewarnai kehidupan Eropa yang
telah kehilangan etika di berbagai bidang dengan nilai Islam.
Strategi yang ia lakukan bukanlah membuat gerakan seperti
kakeknya, karena itu tidak memungkinkan di Eropa. Tapi ia
membangun komunitas elit intelektual yang berpengaruh dan
mempunyai bargaining position kuat di depan para pemimpin
komunitas muslim di Eropa, para intelektual universitas-
universitas besar barat, hingga di depan para pemimpin
gerakan Islam di timur tengah. Ia sendiri adalah Profesor
Contemporary Islamic Studies di Univesitas Oxford. Gerakan
intelektual yang ia bangun diwadawi oleh CILE (Center for
Islamic Legalislation and Ethics).

Tariq Ramadan adalah tipikal pemikir muslim yang kokoh


dalam basis pengetahuan, bermodalkan Bahasa Perancis,
Inggeris dan Arab yang sempurna. Lalu pendidikan
humaniora Universitas Barat dan talaqqi tradisional di Al-
Azhar Cairo. Maka tools itu adalah bahan dasar yang
memadai untuk membaca nafas zaman lalu merumuskan
narasi besar yang dibutuhkan kemanusiaan.

Tariq Ramadan pada dasarnya mempunyai tawaran narasi


global untuk umat Islam, namun menurut saya posisinya
sebagai lelaki yang lahir dan besar di barat membuatnya tidak
mempunyai legitimasi di depan umat Islam secara umum di
negara-negara timur tengah dan Asia Tenggara untuk
memimpin gerakan pemikiran. Status dan resume hidupnya
saja sudah cukup membuat beberapa elemen umat Islam
resisten dengan gagasannya, bahkan sebelum ia memulai
menyampaikannya. Berbeda halnya jika lahir seorang pemikir
besar dari Mesir, atau Suriah. Walaupun begitu kalangan
intelektual timur dan barat mengakui kapasitas dan
gagasanya, dan cukuplah Tariq menjadi pembaharu untuk
membawa perubahan signifikan bagi Eropa atau negara-
negara barat secara khusus.

Anda mungkin juga menyukai