PENDAHULUAN
Tahun 1990-an agaknya menjadi dekade terakhir di mana Islam dipandang sebagai
tradisi beragama yang menempati posisi sebagai “pelengkap penderita”, setelah
lebih dari seribu tahun Barat memperlakukan Islam sebagai “the others” (pihak
lain). Dengan melihat angka pertumbuhannya, pada tahun 2015 Islam akan menjadi
agama terbesar kedua di Amerika sesudah Kristen.
Menurut perkiraan Gedung Putih dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat saat
ini diperkirakan sekitar enam sampai tujuh juta muslim tinggal di Amerika, dan
memiliki lebih dari 1209 mesjid. Dua pertiganya adalah muslim imigran dan
keturunannya, sementara sepertiga dari jumlah itu adalah muslim pribumi
(kebanyakan adalah orang-orang Afroamerika). Angka yang tepat mengenai jumlah
muslim di negara ini cenderung kurang dapat dipercaya karena para imigran dan
mereka yang melakukan konversi kadang tidak harus mengumumkan identitas mereka
atau mendaftar. Karenanya sulit untuk memastikan jumlahnya.
Sebagai gambaran tentang perkembangan agama ini, sebuah penelitian yang
dilakukan oleh organisasi Islam terkemuka pada tahun 2001 sebelum peristiwa 11
September dalam laporannya yang berjudul “The Mosque in America: A National
Potrait” menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sangat cepat penyebarannya di
Amerika. Selama tujuh tahun terakhir terjadi pertumbuhan masjid hingga 25 %.
Sekitar 30 % anggota jamaah masjid merupakan konversi dari agama lain.
Faktor utama yang memungkinkan penyebaran Islam di Amerika Serikat adalah
Amandemen Pertama Konstitusi yang membebaskan warga negaranya untuk memeluk/tidak
memeluk suatu agama tertentu, dan mengekspresikan ajaran agamanya, sama sekali
tanpa campur tangan pemerintah. Sebagai negara sekular, pemerintah AS tidak
mencampuri urusan agama warganya. Sebagai contoh, tiap centre bebas mendatangkan
imam dari negara lain, misalnya dari Mesir. Imam yang dikirim tersebut dianggap
sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan warga negara yang harus dilindungi.
Kehadiran imam tersebut diperlakukan sebagai tenaga kerja yang diperlukan jasanya
untuk kepentingan warga negaranya.
Faktor lain yang bisa disebutkan adalah berpalingnya interest orang Barat dari
kehidupan materialis ke kehidupan spiritual. Dalam hal ini mistisisme Islam
memegang peranan penting bagi da’wah Islam. Walaupun pada awalnya warga Barat
yang berkonversi ke Islam ini hanya tertarik dengan nilai spiritual Islam dan
kurang tertarik untuk mengamalkan syari’ah, namun ketertarikan mereka pada Islam
disambut oleh para aktivis da’wah sehingga banyak juga di antara mereka yang
menjadi muslim yang baik.
Sementara itu di Eropa -- karena alasan yang kurang lebih sama-- muslim pun kian
menjadi faktor signifikan dalam struktur demografis, dan merupakan fenomena
penting yang ikut diperhitungkan dalam kehidupan sosial budaya, ekonomi dan
politik negara-negara Barat.
Tulisan ini hendak memberi gambaran tentang kaum muslim yang tinggal di Amerika
Serikat dan Inggris yang saya anggap mewakili negara Eropa, demi untuk membatasi
pembicaraan.
INGGRIS. Kehadiran Islam di Inggris bisa dilacak sejak 300 tahun yll. Mulanya
adalah rekrutmen terhadap para pelaut yang dilakukan East India Company dari
Yaman, Gujarat, Sind, dan Bengal. Mereka dijadikan laskar. Setelah dibukanya
Terusan Suez (1869) dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para
pendatang muslim mulai banyak. Sebagian kecil dari mereka lalu menetap di kota-
kota pelabuhan di Inggris, terutama di London, Cardiff, Liverpool, South Shields,
dan Tyneside.
Sekitar abad ke-19 sejumlah pengusaha muslim juga telah berniaga di kerajaan
itu, salah satunya adalah perusahaan terkenal ‘Mohammad’s Baths’ yang didirikan di
Brighton oleh Sake DeenMuhammad (1750-1851).
Selain pekerja dan pedagang, pada akhir abad ke-19 mulai masuk juga kelompok
intelektual ke Inggris. Pada 1889 sebuah kelompok elit muslim London membangun
masjid di Woking, suatu distrik di wilayah baratdaya London. Masjid ini menjadi
pusat kegiatan dakwah para penerjemah Al-Qur’an terkenal seperti Marmaduke
Pickthall dan Abdullah Yusuf Ali dari gerakan Ahmadiyah.
Pada periode 1893-1908 sebuah jurnal mingguan The Crescent mulai disebarkan
di Liverpool, yang didirikan oleh William Henry Quilliam (yang di komunitas muslim
dikenal sebagai Syaikh Abdullah Quilliam), yang berprofesi sebagai pengacara.
Quilliam masuk Islam pada 1887, setelah lama bermukim di Aljazair dan Maroko.
Pada 1901 ia memelopori pembangunan sebuah masjid yang sangat aktif, sebelum
akhirnya ditutup ketika ia menarik diri dan bergabung dengan pemerintahan Turki
Utsmani menjelang PD I.
Selanjutnya gelombang migrasi kelompok muslim besar-besaran ke Inggris
terjadi mulai tahun 1950-an. Pada 1951 penduduk muslim di negara itu diperkirakan
baru mencapai 23 ribu jiwa. Sepuluh tahun belakangan, populasi penduduk muslim di
Inggris menjadi 82 ribu, dan pada 1971 sudah mencapai 369 ribu jiwa. Saat ini,
jumlah penduduk muslim di Inggris sekitar dua juta jiwa, seperti dikemukakan oleh
Phillip Lewis. Termasuk di antara mereka adalah para akademisi dari negara
Islam, seperti Dr. Z. Bedawi, Muhsin Mahdi, Hamzah Ala000wi, dan Khalid bin Sayed.
Membengkaknya angka migrasi --terutama dari negara bekas jajahan Inggris
seperti Pakistan dan Bangladesh-- disebabkan adanya ketersediaan lapangan kerja
terutama di industri baja dan tekstil yang berkembang pesat di Yorkshire dan
Lanchasire, terlebih ketika dikeluarkannya Commonwealth Immigration Act of 1962
yang memberikan kemudahan untuk menjadi warga negara Inggris, sekaligus berdampak
menyatukan kembali keluarga imigran. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penduduk muslim di Inggris terdiri dari dua kategori: Sebagian datang
karena ‘undangan’ lapangan kerja dan pembenahan struktur dan infrastruktur Inggris
pasca Perang Dunia I, dan sebagian lain datang secara sukarela dari negara
Commonwealth lain dan memilih menjadi warga negara Inggris.
Daftar kasus diskriminasi yang dikeluarkan oleh CAIR dalam situsnya di atas
hanya sebagian kecil dari ratusan bahkan ribuan kasus. Yang ditampilkan dalam
makalah ini hanyalah kasus-kasus yang secara langsung ataupun tidak berhubungan
dengan sikap resmi pemerintah AS, sementara kasus kekerasan dan diskriminasi yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok tak dikenal terlalu banyak untuk ditampilkan di
sini.
Walaupun para petinggi AS sering menyatakan bahwa mereka tidak menyamakan
Islam dengan terorisme, namun tampaknya pemerintah AS harus bekerja keras untuk
dapat menyakinkan umat Islam di AS dan dunia tentang hal tersebut. Yang semakin
jelas adalah tampaknya pemerintah AS tidak berminat untuk juga bersikap ‘hati-
hati’ terhadap jaringan teroris Jepang atau Irlandia yang sarat dengan radikalisme
dan fundamentalisme Katolik-nya.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas ada persamaan antara muslim di Eropa -- khususnya
Inggris -- dan Amerika Serikat yang dapat disebutkan antara lain:
1. Islam dibawa oleh para imigran dengan latar belakang ekonomi, sosial, dan
politik yang berbeda, sehingga memunculkan komunitas-komunitas muslim yang
berbeda, walaupun pada perkembangannya kemudian kesatuan umat lebih terasa di
Amerika Serikat, sementara di Eropa perbedaan etnis cenderung menimbulkan masalah
internal.
2. Muslim di kedua wilayah ini menghadapi peluang yang kurang lebih sama, yaitu
peluang untuk mengekspresikan kebebasan beragama di tengah masyarakat sekuler dan
sangat heterogen. Kebebasan berpikir di negara-negara Barat merupakan iklim
kondunsif bagi munculnya ide-ide pembaruan Islam. Hal ini merupakan kemewahan
yang tidak ditemui di negeri-negeri muslim sendiri.
3. Tantangan dan kendala yang dihadapi pun lebih kurang sama, antara lain
tantangan untuk mempertahankan jatidiri sebagai muslim, islamophobia dan kasus
kekerasan yang ditimbulkannya, jumlah yang kurang representatif di parlemen,
pendidikan, media massa yang bias, dan krisis kepemimpinan (walau di Eropa hal ini
lebih dirasakan). Termasuk tantangan –yang jika boleh disebut demikian—terbesar
adalah bagaimana muslim yang hidup di Barat (AS dan Eropa) dapat mempresentasikan
wajah sebenarnya dari Islam, menjalin hubungan baik dengan komunitas non-muslim,
namun sekaligus menyebarkan nilai-nilai universal yang agung yang terkandung dalam
Islam.
Adapun perbedaannya pun layak dikemukakan agar kondisi kaum muslim di kedua
benua itu dapat dipahami secara lebih baik.
1. Di benua Amerika, terutama Amerika Serikat, imigran muslim kontemporer
umumnya termasuk ke dalam kelompok menengah, seperti dokter, insinyur, dan
akademisi. Posisi ini turut membentuk rasa percaya diri mereka dalam kehidupan
sosial, termasuk kekuatan untuk mempertahankan jatidiri mereka. Sedangkan di
Eropa, kaum muslim umumnya masih terdiri dari para buruh yang digaji rendah. Hal
ini mempengaruhi kekuatan tawar-menawar politis mereka. Hingga kini kaum muslim
belum mempunyai wakil di parlemen Inggris, meskipun jumlah mereka cukup besar.
2. Islamic center yang sekaligus merupakan masjid, tempat pertemuan, sekolah,
percetakan, dan pusat kegiatan bisnis muslim menjadi peradaban unik yang
dimunculkan oleh muslim di Barat, sebagai sarana untuk mempermudah pertemuan
komunitas muslim di sana, karena jarak tempat tinggal mereka yang saling
berjauhan.
3. Kaum muslim di Amerika Serikat cenderung tersebar di berbagai tempat,
sedang di Eropa cenderung berkonsentrasi di satu tempat. Kecenderungan ini
mendorong parokialisme yang lebih tajam di antara sesama muslim, karena komunitas
yang kemudian terbentuk umumnya berdasarkan negara asal mereka. Di sini corak
sektarian dan etnis yang ada di negara asal dibawa masuk ke lingkungan baru. Hal
ini makin mempersulit terbentuknya kepemimpinan muslim pada tingkat yang lebih
tinggi. Sedangkan fenomena mega-masjid di Amerika Serikat menjadi tempat
berkumpul muslim multietnis.
4. Kaum muslim di Amerika pada umumnya masuk ke negara itu dengan niat menetap
di sana. Sebagai negara melting plot, siapa saja dijanjikan akan diperlakukan
sejajar. Beberapa tokoh Islam bahkan masuk ke negara ini untuk berdakwah.
Sementara itu di Eropa, kaum muslim berada di sana karena orangtua mereka adalah
imigran di sana atau terpaksa ke sana untuk mencari kerja. Dan itu berkaitan erat
dengan pengalaman kolonialisme banyak negara Eropa terhadap negara-negara muslim
di masa sebelumnya. Hingga tingkat tertentu hal ini menimbulkan perasaan terasing
yang tidak menguntungkan.
5. Gagasan mengenai jati diri etnis memang turut meningkatkan kesadaran diri
kaum muslim baik di Eropa maupun Amerika. Tetapi di Amerika Serikat ada sejumlah
muslim yang menjadi superstars di tingkat nasional; di Eropa tidak ada. Hal ini
menyebabkan tingkat kepedulian publik nasional terhadap pentingnya Islam berbeda
di kedua benua itu. Di Amerika Serikat, kebangkitan kesadaran kulit hitam sangat
fenomenal. Hal ini turut menaikkan reputasi Islam, yakni Malcolm X dan Muhammad
Ali yang menjadi simbol kebanggaan muslim yang hidup di negara-negara non-muslim.
http://usinfo.state.gov.
Ibid, h. 27.
Drs. Deddy Mulyana, M.A. Islam di Amerika. Suka Duka Menegakkan Agama.
(Bandung: Pustaka, 1998) h. 52.
Ibid.
Akbar. S. Ahmed, Living Islam, op.cit., h. 245.
Menurut Akbar Muhammad, Guru Besar State University of New York. Dikutip
Dr. Juhaya S. Praja, op.cit., h. 17.
Timothy Miller ,(ed.) America’s Alternative Religious, dari
http://usinfo.state.gov.
Muslim yang datang ke Amerika pada dasarnya tidak berniat menetap di sana
untuk selamanya, karena menurut mereka Amerika tidak memiliki sesuatu untuk mereka
ambil, dan hidup di sana membahayakan aqidah. Hal ini sejalan dengan teologi
Islam, yang membedakan Dar-al Islam dari Dar-al Kufr, atau Dar al- Harb. Tinggal
di Dar al-Kufr hanya boleh sementara, untuk alasan ekonomi, diplomatik, sekolah
atau urusan lain yang tidak tersedia di Dar al-Islam. Setelah urusan selesai
harus kembali sesegera mungkin. Poston, op.cit., h.32
Ibid.
Ibid, h. 256
Ibid
Taufik Abdullah, op.cit, h. 272
Ibid.
Ibid
Ibid
Ibid.
Ibid.
Ibid, h. 43
Pada tahun 1993 Perancis heboh kasus muslimah yang dikecam dan diusir dari
sekolah karena berjilbab, karena dianggap bertentangan dengan prinsip sekularitas
Perancis.
Ibid, h. 258. Baca juga Daud Rasyid, op.cit., bab VIII, “Sunnah dan
Orientalisme”, h. 143-168
Ibid, h. 261.
Baca lebih jauh Akbar S. Ahmad, Living Islam, yang dijadikan salah satu
rujukan dalam membuat makalah ini.
Haddad adalah seorang profesor dari Georgetown University, lahir di
Syria, beragama Kristen, pakar sejarah Islam dan Hubungan Islam-Kristen. Ia
termasuk yang memprakarsai lahirnya CMCU (Center for Muslim-Christian
Understanding) pada tahun 1993, satu-satunya lembaga akademis yang mengabdikan
diri untuk mengekplorasi hubungan kultural, historis, dan teologis yang telah
terjalin lebih dari 14 abad antara Islam dan Kristen.