Anda di halaman 1dari 8

ISU HUBUNGAN INTERNASIONAL DI EROPA IV:

MUSLIM DI EROPA
Dibuat Sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah HI Kawasan Eropa

Oleh :

Sandi Apriliyanto 11171130000051


Adistyo Perdana Arbi 11171130000056
Fahrul Rozy 11171130000060
M. Yusuf Rivaldy 11171130000062

Kelas : HI – 5B
Dosen Pengampu : Febiyana, S.Sos., MA

S1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JAKARTA
2019
Pertanyaan :
1. Bagaimana kaum imigran beradaptasi dengan kultur Eropa ?
2. Bagaimana peranan mereka dalam ranah politik di sejumlah negara Eropa dan di Institusi-
institusi Uni Eropa secara umum ?

PEMBAHASAN

A. Adaptasi Kaum Muslim di Eropa


Populasi Muslim telah eksis di Eropa semenjak tahun 1950-an yang mayoritas merupakan
imigran dari skema pekerja tamu hingga akhir 1970-an. Imigran muslim mayoritas merupakan kelu-
arga dari para pekerja tamu tersebut yang ikut pindah ke negara-negara di Eropa dan berkembang
menjadi sebuah komunitas baru. Negara-negara Eropa seperti Britania Raya, Perancis, dan Belanda
yang memiliki pengalaman menjajah negara dengan populasi Muslim yang besar mendapat banyak
imigran Muslim ke negara mereka dari negara bekas jajahannya yang sudah familiar dengan sistem
pemerintahan, peninggalan bahasa, serta kesamaan sistem pendidikan di negara-negara tersebut
yang memudahkan proses integrasi warga Muslim. Begitupun dengan nilai, kebiasaan, juga norma
yang berlaku di negara Eropa tersebut. Lain halnya dengan negara-negara Eropa Barat yang memi-
liki banyak pengalaman dalam menerima imigran dari berbagai negara, baik sebagai pencari suaka,
pengungsi, maupun para profesional dan pelajar (J.Buijs & Rath).
Dalam sebuah tulisan karya Mirjam Dittrich yang diterbitkan oleh King Baudouin Founda-
tion berjudul “What perspectives for Islam and Muslims in Europe?” yang diterbitkan pada 2003
menyebutkan bahwa setiap tahun Saudi Arabia, Mesir, Moroko, dan Turki mengirimkan delegasi-
delegasi pelajar mereka ke Eropa untuk mengajarkan mengenai Islam yang masih bersifat tradi-
sional dan tidak sesuai dengan keadaan realitas di negara-negara di Eropa. Salah satu penerima
pelatihan gratis mengenai Islam di Saudi Arabia kembali ke Eropa dan mempromosikan untuk
membaca kitab suci dan mengaplikasikannya sesuai dengan yang tertulis di teks, menolak untuk
berintegrasi dengan masyarakat sekitar (masyarakat Eropa tempat mereka bermigrasi), dan melihat
Eropa sebagai sebuah dunia tempat dimana muslim harus memisahkan diri dari segala aspek di
sana. Bahkan, beberapa grup seperti Tablighi dan Salafi mempromosikan pandangan bahwa Muslim
di Eropa tidak seharusnya terlibat dalam politik di wilayah tersebut. Beberapa menerima pandangan
tersebut karena mereka tetap ingin terhubung dengan tradisi dan kebudayaan dari tanah air mereka
dan menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul untuk mendiskusikan isu-isu sosial dan politik.
Hal ini menyebabkan alienisasi atau pengasingan bagi umat Muslim di Eropa karena pilihan mereka
itu dari masyarakat sekitar (Dittrich, 2003).
Namun, hal tersebut berubah seiring dengan waktu dimana imigran muslim generasi selan-
jutnya datang dengan lebih sedikit ikatan dengan tanah air mereka yang sebelumnya dan semakin
berkembangnya jumlah organisasi Muslim yang mendapatkan dukungan finansial dari pemerintahn
Muslim. Hal ini sejalan dengan tulisan Tariq Ramdan, salah seorang penulis muslim yang menulis
tentang Islam dan Muslim di berbagai belahan dunia termasuk Eropa, yang menyatakan bahwa
“pertama, kita harus mengedukasi orang-orang muslim dan mempromosikan dialog dengan komu-
nitas mereka dan membuat mereka mengerti baahwa mereka harus menjadi umat Muslim Eropa
yang sebenarnya”. Hal ini akhirnya mengarahkan integrasi umat Muslim di Eropa dengan keadaan
sosial di wilayah tersebut dan menyebabkan masyarakat di Eropa, termasuk pemerintah di negara
tempat komunitas Muslim tersebut berada, juga pemerintahan Uni Eropa meliahat dan memperhi-
tungkan keberadaan Islam dan umat Muslim di sekitar mereka.
Sebelum terjadinya integrasi umat Muslim di Eropa ke masyarakat Eropa, komunitas Mus-
lim tidak mendapatkan perhatian. Namun, setelah terjadinya integrasi, umat Muslim di Eropa ingin
untuk memperkuat hubungan mereka dengan nilai-nilai dari budaya dan agama mereka. Namun, se-
makin membesarnya isu tersebut menyebabkan hubungan antara Islam dan Eropa dilihat sebagai
konflik dan konfrontasi antara Islam dan Barat (Dittrich, 2003). Hal ini karena sepertiga penduduk
Eropa merupakan kelompok yang sangat rasis dan mayoritas masyarakat Eropa percaya bahwa
kelompok-kelompok minoritas cenderung untuk menyalahgunakan keuntungan dari sistem sosial
dan kehadirannya merupakan sumber dari rasa tidak aman meskipun 75% dari orang eropa
menyambut perkembangan masyarakat multikultural dan 86% menolak segala bentuk diskriminasi
yang berlatar ras, agama dan budaya berlatar riset yang dilakukan sekitar tahun 2003.
Sementara itu, sebuah survei yang dilakukan oleh Bertelsmeann Foundation yang berbasis di
Jerman (Survei Eropa: Muslim Lebih Terintergrasi dan Terdidik, 2017) menunjukkan bahwa
Muslim di Eropa jauh lebih berhasil dalam mengintegrasikan diri kedalam masyarakat Eropa
dibandingkan generasi sebelumnya. Lebih dari 90% anak imigran di Perancis tumbuh dengan
bahasa Perancis sebagai bahasa pertama mereka dan sekitar 80% Muslim yang lahir di Inggris
mempelajari bahasa Inggris sejak kecil. Semenjak generasi kedua, sekitar 67% Muslim mengalami
pendidikan sampai mereka berusia lebih dari 17 tahun. Sementara itu, Muslim di Jerman dan Swiss
memiliki jumlah tenaga kerja yang tidak menganggur dengan angka yang tidak berbeda jauh
dengan jumlah penduduk. Dari survei tersebut, terdapat tiga strategi utama untuk memajukan
integrasi dan kohesi Muslim di msyarakat Eropa yang dikemukakan oleh The Religion Monitor
2017, yaitu: Muslim harus meningkatikan kesempatan untuk berpartisipasi, terutama dalam sistem
ketenagakerjaan dan pendidikan; Sesuaikan status hukum Islam dengan kelompok agama
institusional lainnya yang dengan demikian mengakui keragaman agama, dan; Mempromosikan
hubungan antar budaya dan diskusi antaragama.
B. Partisipasi Politik Masyarakat Muslim di Eropa
Sekitar 5% dari penduduk UE menyatakan dirinya sebagai muslim, oleh karena itu
kehadiran muslim di UE menyebabkan meningkatnya kehadiran mereka dikancah perpolitikan
masyarakat Eropa. Muslim di Eropa memasuki dunia perpolitikan dengan berbagai cara, ada dengan
cara partai-partai khusus Islam dan ada sebagai kandidat untuk partai-partai besar utama di Eropa.
Tetapi dari analisis partisipasi politik Muslim di Eropa menunjukkan bahwa partai-partai Islam
sebagian besar telah gagal, sementara politisi dengan latar belakang Muslim yang bergabung
dengan partai-partai utama tanpa identitas Islam telah memperoleh hasil yang baik. 1 Ini berarti
bahwa Muslim dengan identitas agama yang kuat masih dipandang sebagai dunia yang terpisah di
Eropa, sementara Muslim yang memiliki identitas sekuler atau yang menjalankan iman mereka
sebagai kepercayaan pribadi dianggap sebagai warga negara biasa yang dipilih orang berdasarkan
pada batin dan kualitas, terlepas dari agama mereka.
Kehadiran Islam di arena politik Eropa berlangsung di dua tingkat yang berbeda: yang
pertama Islam politik, dan yang keduadan Muslim dalam politik. Kedua level ini memiliki
kesamaan dalam ideologi tetapi berbeda secara pelaksanaan. 2 Kelompok pertama termasuk partai-
partai Islam atau politisi Muslim individu yang terkait dengan asosiasi yang ideologinya sangat
terikat dengan Islam politik. Kelompok kedua termasuk warga negara Eropa dengan latar belakang
Muslim yang tidak termasuk dalam kelompok Islam tertentu atau tidak secara terbuka menyatakan
identitas Islam mereka dan bahkan tidak ingin dicap sebagai Muslim.
Tetapi perlu diketahui, dalam politik, ada perbedaan yang jelas antara Muslim Eropa dan
Eropa Muslim, yaitu antara orang dengan identitas Islam yang tinggal di Eropa dan orang dengan
identitas Eropa tetapi berlatar belakang Islam. Kita akan melihat bahwa perbedaan ini kita dapat
melihat perbedaan mencolok dalam sikap dan tujuan terhadap politik. Seperti yang dinyatakan
dengan jelas oleh Tariq Ramadan: ‘Mayoritas besar Muslim di Eropa bukanlah Muslim yang taat.
Fakta ini harus diakui. Juga harus diakui bahwa, bagi mayoritas Muslim di Eropa, perhatian utama
mereka persis sama dengan penduduk asli Eropa: yaitu, pekerjaan, gaji yang baik, dan standar hidup
yang lebih baik. Itulah yang disebut Tariq sebagai Eropa Muslim, muslim dengan latar belakang
Eropa. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Tariq Ramadhan, "ada kebangkitan Islam yang
terlihat dan munculnya kesadaran baru di kalangan Muslim di Eropa" (Ramadan 2004). Kesadaran
baru ini telah mengarahkan Ramadhan untuk mendefinisikan Muslim Eropa. Muslim Eropa,
misalnya, adalah mereka yang meminta hak dalam hal makanan halal di sekolah-sekolah, lebih

1
Valentina, ColomboPolitical Islam and Islam in Politics in Europe. 2013. Sage Journals.
https://doi.org/10.1007/s12290-013-0253-7 diakses 14 Nov 2019
2
Ibid. page 2.
banyak masjid dan kebebasan untuk mengenakan jilbab atau niqab. Tujuan mereka adalah untuk
menjamin dan melindungi ide mereka tentang agama Islam, untuk memastikan bahwa tidak ada
diskriminasi.
Umat islam di Eropa memiliki komitmen politik terkait dengan kehadiran “islam politk” di
lapangan. Istilah Islam politik mengacu pada perambahan Islam, sebagai agama, ke dalam domain
politik sekuler. Untuk alasan ini sering didefinisikan sebagai Islam yang digunakan untuk tujuan
politik.
Sejak Januari 2011, Islam politik telah mendapatkan tempat di pantai selatan Mediterania.
Partai-partai yang terkait dengan Ikhwanul Muslimin, yang merupakan ekspresi paling signifikan
dan terorganisir dari Islam politik, sekarang berkuasa di Tunisia dan Mesir, dan mempengaruhi
debat politik di Maroko, Aljazair dan Libya. Di dunia Arab pasca-revolusioner, Islam politik telah
menghadirkan dirinya sebagai satu-satunya cara untuk memperkenalkan etika Islam dan hukum
Islam sebagai konteks utama untuk setiap keputusan dan tindakan pemerintah apa pun setelah masa
lalu yang korup.3
Di Eropa tujuan politik Islam berbeda secara fungsional, karena umat Islam masih
merupakan minoritas. Situasi ini telah menyebabkan perumusan yurisprudensi bagi Muslim yang
hidup dalam konteks non-Muslim, 'yurisprudensi minoritas' (Albrecht 2010). Pada tahun 1993
pemimpin partai Nahdha Tunisia yang memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, Rachid
Ghannouchi, menghabiskan sekitar 30 tahun di pengasingan Eropa ketika membahas partisipasi
Muslim dalam pemerintahan non-Islam. Dia mengatakan bahwa Muslim memiliki tanggung jawab
terhadap tugas mendirikan pemerintahan diantara masyarakat non-muslim. 4 Posisinya jelas-jelas
berbeda dengan posisi kaum Salafi, karena mereka berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh
mengambil bagian dalam politik di negara-negara non-Islam, salafis menganggap mereka sebagai
'tanah orang yang tidak dapat dipercaya.
Ghannouchi sekarang sudah kembali ke Tunisia, tetapi dia masih anggota Dewan Eropa
untuk Fatwa dan Penelitian (ECFR), yang berbasis di Dublin, yang tujuan utamanya, seperti dapat
dibaca di situs webnya adalah tentang ke legalalan masyarakat muslim untuk mengambil bagian
dalam politik di negara-negara non-musim. Dewan menyatakan partisipasi Muslim dalam pemilihan
umum yang diadakan di masyarakat non-Muslim diperbolehkan secara Islam dan tidak ada yang
salah dalam melakukannya. Selain itu, ini adalah semacam kerja sama timbal balik dengan mereka
yang dianggap Muslim sebagai calon potensial memenangkan pemilihan, akan membawa manfaat
bagi masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. (ECFR 2011)5.
3
Albrecht, S. (2010). Islamisches Minderheitenrecht: Yusuf al-Qaradawis Konzept des fiqh al-aqal-
liyat. Würzburg: Ergon Verlag.
4
ECFR. (1999). First collection of fatwas. Cairo: European Council for Fatwa and Research.
5
ECFR. (2011). Elections in non-Muslim countries: Role of Muslims. Onislam.net, 13
December. http://www.onislam.net/english/ask-the-scholar/shariah-based-systems/imamate-and-political-systems/
PARTAI POLITIK ISLAM DI EROPA
Bagi Islam politik, kehidupan politik dan komitmen politik merupakan kebutuhan agar umat
Islam dapat bertahan dalam konteks Eropa. Komitmen politik dapat dicapai baik melalui partisipasi
langsung atau melalui kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh organisasi non-pemerintah yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu Islam dalam lembaga-lembaga Eropa.
Berikut tinjauan kami tentang sejarah singkat parta-partai islam di Eropa serta hasil yang
didapatkannya :
1. Islamic Party of Britain
adalah Partai Islam Inggris. Didirikan pada tahun 1989 oleh David Musa Pidcock, seorang
mualaf, dengan tujuan 'mendorong debat publik tentang alternatif Islam' dan membantu
kaum Muslim di Inggris (Islamic Party of Britain 2005). Keberhasilan pemilihan partai yang
terbatas menyebabkan pembubarannya pada tahun 2006.6
2. PRUNE in Spain
Didirikan pada 2009 di Granada, Spanyol. Presidennya, Mustafa Bakkach El Aamrane,
seorang Spanyol asal Maroko, berulang kali menunjukkan bahwa partainya hanya memiliki
'orientasi Islam', seperti halnya Partido Popular (Partai Rakyat) yang memiliki orientasi
Kristen. Pada 2010 Bakkach, yang mewakili PRUNE, lebih jauh mengatakan, bahwa
tujuannya adalah untuk mewakili kelompok-kelompok minoritas secara umum dan tidak
terbatas pada umat Islam. Ini menegaskan bahwa Islam hanya dimaksudkan untuk sebagai
kerangka moral. Sementara hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa partai politik pertama
mereka memberi peran kecil pada agama islam khususnya.7
3. Islam Party in Belgium
Partai Islam (Lijst Islam 2012) di Belgia. Asal-usulnya berbeda dari PRUNE. Partai Islam
jelas mendefinisikan dirinya sebagai Islam. Di beranda situs webnya muncul pertama kali
adalah Basmalah. Pendirinya adalah Redouane Ahrouch dan Lhoucine Aït Jeddig, yang
keduanya memenangkan kursi di dewan lokal di Brussels pada 2012, berkampanye untuk
makanan halal di kafetaria, pengakuan pemerintah atas liburan Muslim, dan izin pemerintah
untuk hijab dan burqa untuk dikenakan di depan umum. Ahrouch, yang mengecam
kelompok Salafi Syariah di Belgium sebagai terlalu radikal, "jika mayoritas ingin hidup
dengan syariah, maka syariah harus menjadi hukum"8.
175611-elections-in-non-muslim-countries-role-of-muslims.html?Political_Systems. Daikses 14 Nov 2019
6
Euro-lslam.info. Islam in the United Kingdom. http://www.euro-islam.info/country-profiles/united-kingdom/.
Accessed 14 Nov 2019.
7
Euro-lslam.info. Islam in Spain. http://www.euro-islam.info/country-profiles/spain/. Accessed 14 Nov 2019.
8
Euro-lslam.info. Islam in Belgium. http://www.euro-islam.info/country-profiles/belgium/. Accessed 14 Nov
2019.
4. Dutch Muslim Party in the Netherlands
didirikan pada tahun 2007, mengumumkan harapannya untuk ikut serta dalam pemilihan
parlemen yang akan datang pada tahun 2015. Dari berdirinya, partai ini menampilkan
dirinya lebih moderat daripada Partai Islam atau Partai Kontemporer. Namun, ini juga
berbeda dari PRUNE, karena Islam bukan hanya bingkai untuk program partai tetapi juga
menyediakan konten. Dalam program nasionalnya dinyatakan dengan jelas bahwa,
walaupun partai tersebut tidak berniat untuk mendirikan negara Islam di negara tersebut,
tujuannya adalah untuk mengisi kesenjangan di mana partai dengan identitas Islam
seharusnya (Nederlandse Moslim Partij 2009). Program ini menekankan pentingnya aksesi
Turki ke UE. Pada Juni 2012, anggota dewan dari Dutch Muslim Party Netherlands Henny
Kreeft dan Jacques Visker, mengundurkan diri dan membubarkan partai, dengan alasan
bahwa negara tersebut belum siap untuk pesta Muslim dan bahwa komunitas Muslim
Belanda terlalu terpecah secara politis.9

POLITISI ISLAM DI EROPA


Nasib politisi individu dengan latar belakang Muslim sedikit lebih sukses daripada partai-
partai Islam. Mereka biasanya memasuki arena politik sebagai kandidat untuk partai-partai utama,
dari kanan, tengah atau kiri, dan cenderung menghindari dicap sebagai Muslim, meskipun media
suka melakukan ini.
Di arena politik utama dan terlengkap Eropa, Parlemen Eropa, dari total 749 anggota
parlemen, 10 memiliki latar belakang Muslim, yang berarti bahwa mereka dilahirkan di negara-
negara Muslim atau memiliki orang tua Muslim. Empat dipilih di Prancis: Rachida Dati (Partai
Rakyat Eropa, EPP), Tokia Saïfi (EPP), Karima Delli (Hijau) dan Malika Benarab-Attou (Hijau).
Dua berasal dari Inggris: Syed Kamall (Konservatif dan Reformis Eropa, ECR) dan Sajjad Karim
(ECR). Satu dipilih di Belgia: Saïd El-Khadraoui (Aliansi Progresif Sosialis dan Demokrat, S&D);
satu di Belanda: Emine Bozkurt (S&D); dan satu di Jerman: Ismail Ertug (S&D).10

9
Euro-lslam.info. Islam in the Netherlands. http://www.euro-islam.info/country-profiles/the-netherlands/. Ac-
cessed 14 Nov 2019.
10
Euro-lslam.info. Muslims in European politics. http://www.euro-islam.info/key-issues/political-
representation/ Accessed 14 Nov 2019.
DAFTAR PUSTAKA :
 Valentina, ColomboPolitical Islam and Islam in Politics in Europe. 2013. Sage Journals.
Dapat diakses melalui https://doi.org/10.1007/s12290-013-0253-7
 ECFR. (1999). First collection of fatwas. Cairo: European Council for Fatwa and Research.
 ECFR. (2011). Elections in non-Muslim countries: Role of Muslims. Onislam.net,
 Albrecht, S. (2010). Islamisches Minderheitenrecht: Yusuf al-Qaradawis Konzept des fiqh
al-aqalliyat. Würzburg: Ergon Verlag.

Anda mungkin juga menyukai